I.
Pendahuluan
Tradisi lisan atau verbal dalam
transmisi hadits tidak menafikan adanya tradisi tulis-menulis. Adanya fenomena
pemalsuan hadits adalah akibat adanya intervensi pendapat-pendapat pribadi.
Namun dari fenomena tersebut, melahirkan tradisi kritik hadits untuk mengecek
validitas hadits. Di samping itu, dengan adanya formalisasi penulisan hadits
pada abad ke-2 H, telah mengubah orientasi pemeliharaan hadits. Dan tradisi
penulisan menghadirkan beberapa karya monumental yang memuat kumpulan hadits
sebagai upaya selektif dari masing-masing tokoh yang telah menulisnya.
Kajian hadits di kalangan sarjana
Barat terwakili oleh Ignaz Goldziher, ternyata masih diwarnai epistemologi
klasik Barat yang dilandasi oleh sikap skeptis dan tendensius, walaupun diakui
ada beberapa orientalis yang tidak bersikap demikian. Ignaz Goldziher dan
beberapa tokoh orintalis cenderung termotivasi untuk membuktikan bahwa materi
hadits bukanlah bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Disamping dia juga ingin
membuktikan bahwa hadits tidak lebih dari hasil karangan tokoh-tokoh perawi
hadits yang telah menyandarkannya kepada Nabi Muhammad Saw untuk dijadikan
legitimasi keagamaan. Walaupun demikian, gagasan-gagasan yang telah dilontarkan
oleh Ignaz Goldziher juga
ikut memberikan konstribusi berkembangnya wacana hadits sekaligus menggugah
umat Islam untuk tidak terninabobokkan dengan hadits yang sudah ada secara
instan.
Sehingga banyak kalangan
ulama’-ulama’ ahli hadits yang berlomba-lomba untuk mengkaji hadits secara
mendalam, dari usaha tersebut menghasilkan beberapa pemikiran-pemikiran yang
dapat menguatkan bahwa hadits benar-benar asli dari Nabi Muhammad Saw, dari
pemikiran tersebut ada pula sanggahan- sanggahan atau kritik untuk menolak
pendapat-pendapat kaum orientalis yang ingin memecah belahkan umat Islam.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Prof. Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khotib yang dengan
tegas membantah pendapat Ignas Goldzier yang mengatakan bahwa hadits bukan asli
dari Nabi Muhammad Saw.
II.
Rumusan Masalah
A. Sejarah
Singkat Prof. Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib
B. Bantahan
Prof. Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib terhadap Orientalis tentang Hadits
III.
Pembahasan
A. Sejarah
Singkat Ajaj al-Khatib
Prof. Dr. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib. Dia adalah seorang sarjana dan pemikir
Islam ternama, khususnya dalam bidang ilmu hadis. ‘Ajaj al-Khatib dilahirkan di
Damaskus pada tahun 1932. Ketika ‘Ajaj al-Khatib berusia 7 tahun ayahnya
meninggal. ‘Ajaj belajar di sekolah-sekolah di Damaskus, dan juga sering
menghadiri lokakarya ilmu di masjid Umayyah. Setelah beberapa tahun mengikuti
lokakarya di berbagai masjid di kota Damaskus, dan pada tahun 1952 dia di
angkat menjadi guru private. Dimana sisiwa belajar di rumah guru.
Setelah beberapa tahun menjadi staf pengajar, ‘Ajaj al-Khatib diutuskan
dari Departemen Pendidikan untuk melanjutkan studinya di Fakultas Hukum di
Universitas Damaskus pada tahun 1958-1959, ‘Ajaj lulus sebagai lulusan pertama
di Fakultas Hukum. Pada tahun 1960 ‘Ajaj al-Khatib di kirim lagi oleh
Departemen Pendidikan Fakultas Ilmu di Universitas Kairo. Setelah tamat di
Universitas Kairo ‘Ajaj melanjutkan lagi studinya di Pascasarjana dan meraih
gelar masternya pada tahun 1962 dan pada tahun 1965 mendapat gelar Ph.D dalam
Studi Islam Spesialisasi Ilmu Modern.
Pada awal tahun 1966 Muhammad ‘Ajaj al-Khatib kembali ke negara asalnya
yaitu Damaskus, dimana dia di angkat menjadi instruktru di Dapartemen Ilmu
Qur’an dan Sunnah di Fakultas Hukum di Universitas Damaskus sampai dengan tahun
1969. Selain aktif mengajar di Fakultas Hukum di Universitas Damaskus. Muhammad
‘Ajaj al-Khatib juga menjadi staf pengajar d Universitas ternama lain di Timur
Tengah, diantaranya:
1.
College of
Syariah di Riyadh (1970 -1973 M).
2.
Sekolah Tinggi
Syariah dan Fakultas Pendidikan dan Fakultas Seni di Universitas Damaskus
sampai tahun 1980.
3.
Umm al-Qura
University di Mekah.
4.
Universitas Uni
Emirat Arab pada tahun akademik 1980 -1981 M. Dan tetap menjadi seorang
Profesor Ilmu Modren dan Studi Islam di sana sampai dengan tahun 1997.
5.
University of
Sharjah , dekan College of Studi Islam Syariah dari tahun 1997 sampai dengaan
tahun 2000 M.
6.
Universitas
Ajman sampai 31/08/2003 M. Beliau di kontrak dengan jangka dua tahun dan masih
bisa diperpanjangkan jika dia mau.[1]
Karya-karya Ajaj al-Khatib.
1.
Abu Hurairah Riwayah al-Islam
(1962).
2.
As-Sunnah Qabla at-Tadwin (1963).
3.
Usul al-Hadith wa Mustholahu (1968).
4.
Qibsat Min Hadi an-Nubuwwah (1968).
5.
Lamhat Fi al-Maktabah wa al-Bahath (1971).
6.
Tahqiq kitab Al-Muhadith al-Fasil Baina ar-Rawi
wa al-Wa’ie (1971).
7.
At-Tarbiyyah al-Islamiyyah, Ahdafiha Asasiha wa
Sailiha-Turuq Tadrisuha (1975).
8.
Al-Mujiz fi Hadith al-Ahkam (1975).
9.
Al-Wajiz fi Ulum al-Hadith wa Nususuhu.
10. Adwa’
‘ala al-A’lam fi Sadr al-Islam (1985).
11. Nizam
al-Usr fi al-Islam (1985).
12. Qibsat
min Hadi al-Quran wa as-Sunnah (1980).
13. Fi Rihab
Asma’ Allah al-Husna (1988).
14. Fi
al-Fikr al-Islami (1990).
15. Tahqiq
kitab Al-Jami’ al-Akhlaq ar-Rawi wa Adab as-Sami’ (1991).
16. Masalik
al-Absar fi Mamalik al-Amsar, 5 jilid (2002).
17. Al-Fihris
al-Wasfi li Kutub al-Hadith wa Ulumuhu (2002).
B. Bantahan
Prof. Dr. Muhammad ‘Ajaj al-Khatib terhadap Orientalis
Prof. Dr. Muhammad ‘Ajjad al-Khatib menunjukan
beberapa faktor yang menjamin kemurnian hadits sebagai bantahan terhadap
orientalis yang mengatakan bahwa hadits itu tidak otentik. Pertama,
adanya ikatan emosional umat Islam untuk berpegang teguh kepada segala sesuatu
yang datang dari Nabi Muhammad saw. Kedua, adanya tradisi
hafalan dalam proses transmisi hadits. Ketiga, sikap
kehati-hatian para muhaddits dari masuknya hadits palsu, ditunjang sikap
selektifitas para muhaddits dalam tradisi periwayatan. Keempat,
terdapatnya beberapa manuskrip yang berisi tentang hadits-hadits. Kelima,
adanya majlis-majlis ulama dalam tradisi transformasi hadits. Keenam,
adanya ekspedisi ke berbagai wilayah untuk menyebarkan hadits. Dan ketujuh,
sikap komitmen para muhaddits dalam meriwayatkan hadits dengan didukung
keimanan dan jiwa religiusitas yang tinggi.[2]
Begitu juga Jhon L. Esposito menguatkan
bahwa meskipun hadits pada mulanya disampaikan secara lisan, namun ada sebagian
perawi yang mulai menuliskannya. Selanjutnya penghimpunan hadits bertujuan agar
tidak merusak teks yang telah diterimanya dari para ahli yang telah diakui
periwayatanya, dan penghimpunan ini mencerminkan kata-kata
aslinya. Bahasanya langsung, dialogis, aktif repetitif, dan memakai
ungkapan yang tegas. Literatur hadits merupakan contoh prosa terbaik dari prosa
Arab dimasa awal Islam.[3]
Ungkapan diatas merupakan
bentuk sanggahan terhadap kaum orientalis, sebagaimana Ignaz Goldziher yang
menyatakan:
Pertama, pergulatan pemikiran yang berkisar pada wilayah boleh
tidaknya penulisan hadits, merangsang Ignaz Goldziher untuk berkomentar,
bahwasanya pelarangan itu merupakan akibat yang dibiaskan dari
prasangka-prasangka yang muncul kemudian. Di antaranya adalah hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda:
“Janganlah kamu menulis dariku kecuali al-Qur’an, dan barang siapa
menuliskannya hendaknya dia menghapuskannya.” Selain itu juga karena
kekhawatiran akan mensakralkan tulisan, sehingga kata Goldziher, mereka lebih
cenderung untuk tidak mengkoleksi catatan-catatan, sebagaimana yang dilakukan
oleh agama-agama terdahulu (Yahudi) yang mengabaikan ungkapan Tuhan tetapi
justru mensakralkan ungkapan-ungkapan mereka.[4]
Kedua,
Ignaz Goldziher menganggap bahwa hadits yang disandarkan pada Nabi Muhammad Saw
dan para sahabat yang terhimpun dalam kumpulan hadits-hadits klasik bukan
merupakan laporan yang autentik, tetapi merupakan refleksi doktrinal dari
perkembangan politik sejak dua abad pertama sepeninggal Nabi Muhammad Saw.
Baginya, hampir-hampir tidak mungkin bahkan setipis keyakinan untuk menyaring
sedemikian banyak materi hadits, hingga dapat diperoleh sedikit sekali hadits
yang benar-benar orisinil dari Nabi atau generasi sahabat awal.[5]
Ketiga, Ignaz Goldziher sebagaimana H. A. Gibb dan W.
Montgomery Watt, beranggapan bahwa tradisi penulisan hadith sebenarnya
merupakan pengadopsian dari gagasan-gagasan besar agama Yahudi yang di dalamnya
ada larangan atas penulisan aturan-aturan agama. Namun ternyata pemahaman yang
keliru tersebut masih juga mendapat dukungan dari sebagian kaum Muslimin
sendiri walaupun bertentangan dengan fakta-fakta yang telah ada. Menurut
Goldziher, dukungan kaum Muslimin ini sebenarnya tidak bisa terlepas dari
kepentingan ideologis, karena kaum Muslimin tidak memiliki bukti yang
menunjukkan bahwa Muhammad Saw mencatat riwayat-riwayat selain al-Qur’an serta
tidak ada bukti bahwa penulisan hadith itu sudah terjadi sejak awal Islam.
Keempat,
Ignaz Goldziher menyatakan bahwa redaksi atau matan hadits yang diriwayatkan
oleh perawi-perawi hadits dinilai tidak akurat, karena mereka lebih menitikberatkan
pada aspek makna hadits sehingga para ahli bahasa merasa enggan menerima
periwayatan hadits disebabkan susunan bahasanya tergantung pada pendapat
perawinya.[6]
Argumen Ignas Goldzier
sangatlah tidak representatif dan terkesan sangat mengada-ada. Pelarangan
penulisan di sini karena adanya kekhawatiran apabila hadits bercampur dengan
al-Qur’an, sebab berdasarkan historisitasnya, biasanya jika para sahabat
mendengar ta’wil ayat lalu mereka menuliskannya ke dalam sahifah yang sama
dengan al-Qur’an. Dan perlu diketahui, bahwa Ignaz mempunyai semangat yang
sangat luar biasa dalam mencari titik kelemahan ajaran Islam, terutama
berkaitan dengan hadits. Rupanya ia menjadikan hadits Abu Sa’id
al-Khudri sebagai dasar pijakan pelarangan penulisan hadits dan hadits Abu
Hurairah sebagai dasar pijakan pembolehan penulisan hadits. Namun sayangnya, Goldziher
menyikapi kedua hadits ini sebagai sesuatu yang kenyataannya saling
bertentangan. Padahal menurut ilmu hadits, keduanya dapat dikompromikan, yaitu
dengan menggabungkan atau mentarjih keduanya, sebagaimana metode yang telah
diterapkan oleh Yusuf Qardhawi[7] dan Muhammad ‘Ajjad
al-Khatib ataupun ulama-alama lain yang intens dalam ilmu hadits.
Berangkat dari riwayat yang kontradiktif tersebut, maka Muhammad ‘Ajjad
al-Khatib menawarkan solusinya dengan metode sebagai berikut:[8]
a.
Bahwasannya hadits yang diriwayatkan oleh
Abu Sa’id al-Khudri adalah tergolong hadith yang mauquf, sehingga
tidak dapat dijadikan hujjah.
b.
Dengan metode al-jam’u wa al-taufiq,
larangan penulisan hadits berlaku khusus, yaitu apabila hadits ditulis dalam
sahifah yang sama, sehingga ditakutkan akan terjadi percampuran antara
al-Qur’an dan hadits. Jadi, jika dilihat dari mafhum mukhalafah-nya,
apabila ilat tersebut tidak ada, maka larangan tersebut tidak
berlaku lagi.
c.
Larangan penulisan hadits ini berlaku bagi
para penghafal (huffadz) hadits yang sudah diketahui kuwalitas
hafalannya, sehingga ditakutkan mereka akan tergantung pada teks-teks tertulis.
Sebaliknya, penulisan hadits ini tetap berlaku bagi para sahabat yang tidak
mampu menghafal dengan baik, seperti kasusnya Abu Syah.
d.
Larangan penulisan hadits ini bersifat
umum, akan tetapi ada kekhususan bagi mereka yang mahir dengan tradisi membaca
dan menulis, sehingga tidak ada kesalahan dalam menulis, seperti kasusnya
Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash. Jadi, penulisan hadits itu sebenarnya sudah ada
sejak abad 1 H dan bahkan tidak ada perselisihan (kontradiksi) sampai akhir
abad itu.
Dan jika dilihat dari sejarah sebelum
kedatangan Islam, masyarakat Arab sudah dalam keadaan maju dan berkebudayaan.
Ketika para sahabat lebih mengandalkan hapalan mereka, bukan berarti tradisi
tulis-menulis tidak ada sama sekali di lingkungan mereka, karena banyak
bukti-bukti sejarah yang mendukung adanya tradisi tulis-menulis di awal Islam
ini. Jadi, sejak masa pra Islam, tradisi tulisan-pun sudah banyak dikenal dalam
bangsa Arab, terutama di kalangan penyair, walaupun harus diakui mereka lebih
membanggakan kekuatan hapalan dan menganggap tabu tradisi tulisan ini,[9] bahkan ketabuan itu
juga berimbas pada penulisan hadith yang berlanjut pada periode tabi’in dan
telah menjadi fenomena umum. Bukti lain adanya tradisi tulis menulis ini adalah
bahwa di sekitar Nabi Muhammad Saw terdapat 40 penulis wahyu yang setiap saat
siaga dalam melakukan penulisan.[10] Ada juga Sa’ad Ibn
‘Abdullah Ibn ‘Auf yang memiliki kumpulan hadith dari tulisan tangan sendiri.
IV.
Kesimpulan
a.
Prof. Dr.
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dilahirkan di Damaskus pada tahun 1932 M. Beliau
merupakan seorang sarjana dan pemikir Islam ternama, khususnya dalam bidang
ilmu hadits.
b.
Prof. Dr.
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib membantah dengan tegas atas pendapat salah satu
orientalis, yakni Ignas Goldzier. Dengan ketegasanya dan keilmuan yang beliau
miliki, ‘Ajaj al-Khatib memberikan beberapa pendapat yang dapat mengalahkan
pendapat Ignas Goldzier yang menyatakan bahwa hadits bukanlah dari Nabi
Muhammad Saw.
V.
Penutup
Demikianlah makalah yang
dapat kemi sajikan, tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam
penyusunanya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
harapkan dalam penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat
meberi manfaat kepada kita semua Amin.
Daftar Pustaka
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjad, al-Sunnah
Qabla al-Tadwin,Beirut: Dar al-Fikr, 1989.
Al-Khatib, Muhammad ‘Ajjad, Ushul al-Hadits ‘Ulumuhu wa
Mushthalahhuh, Beirut, Dar al-Fikr,
1989.
Goldziher, Ignaz,
Muslim Studies, terj. C.R.
Barber dan S.M. Sterm, London, 1971, Hlm: 183-186.
Juynboll, G.H.A, The Authenticity of The Traditions Literature: Discussion in
Modern Egyp,
Leiden: E.J. Brill, 1969.
Khalil al-Qattan, Manna’, Mabahis fi ‘Ulum al-Qur’an, Beirut: Dar al-Fikr, 1978.
L. Esposito, John, Ensiklopedi
Oxford dalam Islam Modern, terj. Eva Y.N. Dkk, jil. II, Bandung,
Mizan, 2001.
Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadits Nabi, terj. Muhammad al-Baqir, Cet. IV,
Bandung, Kharisma, 1999, Hlm: 117.
Http://kutaradja92.blogspot.com/2014/04/biografi-muhammad-ajaj-al-khatib.html.
Diakses
pada Senin, 20-5-2014.
[1] http://kutaradja92.blogspot.com/2014/04/biografi-muhammad-ajaj-al-khatib.html.
Diakses pada Senin, 20-5-2014.
[3] John L.
Esposito, Ensiklopedi Oxford dalam Islam Modern, terj. Eva
Y.N. Dkk, jil. II, Bandung, Mizan, 2001, Hlm: 127.
[5] G.H.A. Juynboll, The
Authenticity of The Traditions Literature: Discussion
in Modern Egyp, Leiden: E.J. Brill, 1969, Hlm: 100.
[7] Yusuf
Qardhawi, Bagaimana Memahami
Hadits Nabi, terj. Muhammad al-Baqir,
Cet. IV, Bandung, Kharisma, 1999, Hlm: 117.
[8] Muhammad
‘Ajjaj al-Khatib, Ushul
al-Hadits ‘Ulumuhu wa Mushthalahhuh, Beirut, Dar al-Fikr, 1989, Hlm: 150-152.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon