PENDAHULUAN
Islam mengatur kehidupan umatnya dalam segala lini, baik ibadah, akidah,
muamalah, sosial, bahkan politik. Ajaran yang benar tidak hanya memerintahkan
setiap muslim untuk menyembah Allah dengan segala prakteknya. Namun, islam
sebagai agama yang mengajarkan kebenaran juga mengajarkan keseimbangan hidup di
dunia dan akhirat dengan ibadah vertikal dan horisontal. Sebuah matan hadis
Nabi SAW menyatakan, bahwa tidak dikatakan beriman kepada Allah, Rasul dan hari
akhir bagi seseorang yang orang lain tidak merasa nyaman disampingnya. Tidaklah
beriman seseorang jika tidak memulyakan tetangganya.
Salah satu bentuk ibadah horisontal (hablun min an-naas) adalah
silaturrahim, yakni memelihara cinta kasih antarsesama manusia. Berbuat baik
kepada orangtua adalah awal dari silaturrahim, terutama pada ibu.[1] Sebab,
dalam diri seorang ibu terkandung rahm (cinta kasih) tempat seorang janin
mendapat perlindungan selama kurang lebih sembilan bulan. Tidak ada cinta kasih
semurni kasih sayang seorang ibu. Maka tidak heran jika Rasulullah
memerintahkan agar umatnya menghormati ibu lebih tinggi tiga tingkat dibanding
ayah.
Istilah silaturrahim kemudian diperluas cakupannya menjadi kasih sayang
kepada seluruh kerabat serta umat islam. Oleh sebab itu, jika seseorang ingat
(berdzikir) pada Allah, maka harus mampu berbuat baik kepada sesama manusia.
Islam telah mengonsep silaturrahim dengan baik sebagaimana termaktub dalam
al-Qur’an dan al-Hadist.
PEMBAHASAN
Silaturrahmi atau ada yang mengatakan silaturrahim merupakan kata
majemuk gabungan dari kata shilah dan rahim. Kata shilah
berarti menyambung, sedangkan rahim berarti kasih sayang dan berarti
pula peranakan (kandungan). Salah satu bukti yang paling kongkrit dari adanya
silaturrahmi adalah hubungan kasih sayang tanpa pamrih, seperti hubungan orang
tua dan anaknya. Menurut Azyumardi Azra, secaraharfiyahsilaturrahmiberartimenghubungkankasihsayang.
Hubungankasihsayang yang saratdengannilai-nilaipersaudaraandankesetiakawananbaikantarasesamamuslim,
maupunantarasesamamanusia.[2]
A. Memberi penghormatan
واذا حييتم بتحيية فحيوا باحسن منها او ردوها ان الله كان علي كل شيئ حسيبا
”Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu
penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari
padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa)Sesungguhnya Allah
memperhitungankan segala sesuatu." (QS an-Nisa 86)
Pada ayat diatas, islam mengajarkan
umatnya demi menjalin hubungan yang lebih akrab, yaitu membalas penghormatan
yang sama atau yang lebih baik. Kata
at-tahiyyah berasal dari kata kerja haiyyaitu dan asal tahyiyah
sama seperti tahdiyah dan tasmiyah, kemudian ya’ digabungkan
dengan huruf ya’ lainnya sehingga menjadi at-tahiyyatu as-salam. At-tahiyyah,
arti asalnya adalah do’a untuk keselamatan dan keselamatan dari Allah yaitu
selamat dari bahaya.
Allah juga berpesan dalam firman-Nya, “apabila kalian pergi berjihad sebagaimana yang telah
diperintahkan, maka berilah penghormatan ketika dalam perjalanan dengan
penghormatan secara islami dan janganlah kalian mengucapkan salam kepada selain
orang mukmin akan tetapi jawablah salam mereka karena hukum-hukum islam berlaku
bagi mereka.”[3]
Pada masa Jahiliah, masyarakatnya bila bertemu saling mengucapkan salam
antara lain yang berbunyi ( حياك الله) hayyaka
Allah, yakni semoga Allah memberikan untukmu kehidupan, dari sini kata tahiyyah
secara umum dipahami dalam arti mengucapkan salam. Dalam interaksi sosial,
Allah dan Rasulnya berpesan agar menyebarluaskan kedamaian antar seluruh
anggota masyarakat, kecil atau besar, dikenal atau tidak dikenal.
Ucapan salam yang diajarkan dan dianjurkan islam bila bertemu dengan
sesama, bukan sekedar ( السلام عليكم) as-salamu ‘Alaikum, tetapi ditambah lagi dengan ( ورحمة الله وبركاته) warahmatullahi
wa barakatuh, rahmatdan berkah ini, untuk menunjukkkan bahwa bukan
hanyakeselamatan dari
kekurangan dan aib yang diharapkan kepada mitra salam, tetapi juga rahmat Allah.
Salam atau damai yang dipersembahkan
harus dinilai sebagai satu penghormatan dari yang mempersembahkannya. Di sisi
lain, damai yang didambakan adalah perdamaian yang langgengdan tidak semu.
Karena itu salam yang dianjurkan al-Qur’an bukan saja yang serupa dengan salam
yang ditawarkan oleh pihak lain, tetapi yang lebih baik. Begitu pesan ayat 86
ini.
Perlu diingat bahwa ucapan salam yang
diajarkan untuk diucapkan adalah ( السلام عليكم)
as-salamu ‘alaikum, sama yang diucapkan Nabi Ibrahim as, yakni salam
yang sifatnya langgeng dan mantap. Pengucapan salam dengan redaksi ini dinilai
Nabi saw memperoleh sepuluh ganjaran, bila ditambah dengan ( ورحمة الله)
wa rahmatullah, menjadi dua puluh, dan bila disertai lagi dengan ( وبركاته)
wa barakatuh, genaplah ganjaran menjadi tiga puluh. (HR. Abu Daud dan
at-Tirmidzi melalui Imran Ibn al-Hushain ra.)[4]
B. Menyambung silaturrahmi
واللذين ينقضون عهدالله من بعد ميثاقه
ويقطعون ما امر الله به ان يوصل ويفسدون في الارض اولئك لهم اللعنة ولهم سوء
اللدار
“Orang-orang yang
merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang
Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi,
orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang
buruk (Jahannam).” (Al-Ra’d 25)
Mufassir Indonesia, M. Quraisy Syihab menjelaskan
dalam tafsir al-mishbah, bahwa makna kata memutuskan apa-apa yang Allah
perintahkan supaya dihubungkanadalah
memutuskan tali silaturrahim dengan cara memecah belah persatuan dan kesatuan,
memutuskan hubungan harmonis antara manusia dengan Allah, dan lain-lain.[5]
C. Etika Bertamu
ياايهاالذين
امنوا لا تدخلوا بيوتا غير بيوتكم حتي تستأنسوا وتسلموا على اهلها ذالكم خيرلكم
لعلكم تذكرون
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah
yang bukan rumahmu sebelum meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.
Yang demikian itu lebih baik bagimu, agar kamu (selalu) ingat.” (QS an-Nur: 27)
Ayat diatas turun berkenaan dengan pengaduan seorang
wanita anshar yang berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, saya di rumah
dan enggan dilihat oleh seseorang. Sedang saat itu datanglah ayah dan kemudian
disusul seorang dari keluarga dan saya masih dalam keadaan semula (belum
siap)”. Dengan keluhan tersebut, turunlah ayat diatas.
Rasulullah mengajarkan seorang muslim agar meminta
ijin ketika bertamu, hal ini dapat dilakukan dengan cara mengetuk pintu,
berdehem, berdzikir, atau dengan cara terbaik, yakni memberi salam. Janganlah
memasuki rumah orang lain dengan menggunakan cara jahiliyyah. Suatu ketika Zaid
bin Tsabit berkunjung ke rumah Abdullah bin Umar, beliau berkata, “Bolehkah
saya masuk?” Abdullah bin Umar menjawab, “Mengapa kau meminta ijin dengan adat
orang Arab pada masa Jahiliyyah? Jika engkau meminta ijin, maka ucapkanlah-assalamu
‘alaikum-dan jika telah mendapatkan jawaban, maka katakanlah-bolehkah saya
masuk?”
Rumah pada prinsipnya adalah tempat beristirahat dan
dijadikan sebagai tempat perlindungan, bukan saja dari bahaya, akan tetapi juga
dari hal-hal yang penghuninya malu bila terlihat orang lain. Dan tetap
dianjurkan meminta ijin meskipun berada di rumah sendiri. Rasulullah bersabda,
“Jika seseorang diantara kamu telah meminta ijin tiga kali tetapi belum
mendapat ijin, hendaklah dia kembali saja.” (QS an-Nur: 28) Sabda Rasulullah
ini dikecualikan pada tempat-tempat umum yang biasa dipakai banyak orang.
Maksudnya, boleh memasuki tempat umum tanpa ijin, misalnya di perpustakaan,
rumah yang dipersilahkan masuk tanpa ijin terlebih dahulu, dan lain-lain. (QS
an-Nur: 29)
Di sisi lain, saat memperkenalkan diri, Rasulullah
mengajarkan agar saat ditanya siapa yang mengetuk pintu atau meminta ijin,
hendaklah tidak menjawab, “Saya”. Ini karena kata tersebut belum mencerminkan
siapa yang bermaksud masuk.
D. Larangan dalam pembicaraan rahasia
الم
تر الى الذين نهوا عن النجوى ثم يعودون لما نهوا عنه ويتناجون بالاثم والعدوان
ومعصية الرسول واذا جاءوك حيوك بمالم يحيك به الله ويقولون فى انفسهم لولا
يعذبناالله بما نقول حسبهم جهنم يصلونها فبئس المصير
"Apakah tidak kamu perhatikan orang-orang yang telah dilarang
mengadakan pembicaraan rahasia, kemudian mereka kembali (mengerjakan) larangan
itu dan mereka mengadakan pembicaraan rahasia untuk berbuat dosa, permusuhan
dan durhaka kepada Rasul. Dan apabila mereka datang kepadamu, mereka
mengucapkan salam kepadamu dengan memberi salam yang bukan sebagai yang
ditentukan Allah untukmu. Dan mereka mengatakan kepada diri mereka sendiri:
"Mengapa Allah tidak menyiksa kita disebabkan apa yang kita katakan
itu?" Cukuplah bagi mereka Jahannam yang akan mereka masuki. Dan neraka
itu adalah seburuk-buruk tempat kembali". (QS
al-Mujadalah: 8)
Ayat ini turun berkenaan dengan sikap orang-orang
Yahudi dan orang munafik terhadap islam. Mereka senantiasa berbisik-bisik
dengan sesamanya, khususnya jika ada muslim yang melewati mereka. Sikap mereka
menimbulkan perasaan tidak enak dan kecurigaan di hati kaum muslim. Walaupun
rasulullah telah melarang perbuatan mereka, namun mereka justru terus-terusan
melakukannya. Mereka mengucapkan kata-kata yang tidak baik saat bertemu Rasul
dan kaum muslim. Mereka mengganti ucapan salam, “assalamu ‘alaikum” dengan
“as-saamu ‘alaikum” (kematian untuk kamu). Ayat diatas menunjukkan tiga macam
kedurhakaan, pertama (الاثم) atau dosa.
Menurut thabathaba’I, dosa adalah perbuatan yang
membawa dampak buruk yang hanya mengenai pelakunya, misalnya minum-minuman
keras. Kedua, (والعدوان ) artinya permusuhan, yakni perbuatan yang
membawa dampak buruk terhadap pelaku dan juga orang lain. Kedua macam
kedurhakaan yang telah disebutkan berkenaan dengan hak-hak Allah (بالاثم
) dan manusia (والعدوان
). Ketiga, (ومعصية
الرسول ) atau kedurhakaan kepada rasul, yakni hal-hal yang pada
dasarnya boleh, karena tidak ada perintah atau larangan dari Allah, namun
Rasulullah melarangnya demi kemaslahatan umat. Misalnya melakukan pembicaraan
rahasia yang mengandung maksiat.[6]
Prinsip dalam Islam adalah melarang adanya pembicaraan
rahasia khususnya jika pembicaraan itu dihadiri oleh yang tidak dilibatkan
mendengarnya. Berbicara berduaan dengan bahasa yang tidak dimengerti orang
ketiga-walau tidak secara diam-diam, serupa dengan merahasiakan percakapan itu.
Rasulullah bersabda, “Apabila berkumpul tiga orang, janganlah dua orang
diantara mereka saling berbisik tanpa melibatkan yang ketiga, kecuali jika ia
sudah mengijinkannya” (HR Muslim).
Sebagian ulama mengartikan larangan diatas dengan
pemaknaan makruh, bahkan haram. Pembicaraan antara dua orang dapat
diperbolehkan apabila berada di hadapan orang banyak, kerahasiaan mengandung
makna ketidakpercayaan sedangkan keterusterangan dan keterbukaan dapat
dikatakan sebagai keberaniaan pembicaraan.
ياايهاالذين
امنوا اذا تناجيتم فلاتتتناجوا بالاثم والعدوان ومعصية الرسول وتناجوا بالبر
والتقوى واتقوا الله الذى اليه تحشرون
"Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan
rahasia, janganlah kamu membicarakan tentang membuat dosa, permusuhan dan berbuat
durhaka kepada Rasul. Dan bicarakanlah tentang membuat kebajikan dan takwa. Dan
bertakwalah kepada Allah yang kepada-Nya kamu akan dikembalikan." (QS
al-Mujadalah: 9)
Pada ayat yang lalu telah dijelaskan larangan
melakukan pembicaraan rahasia yang pelarangan tersebut tidaklah bersifat
mutlak. Allah melarang membicarakan perbuatan dosa, yaitu
merencanakan atau melakukan dosa. Dan juga melarang menciptakan permusuhan dan
perbuatan durhaka kepada Rasulullah. Jika terpaksa harus melakukan pembicaraan
rahasia, maka berbicaralah tentang kebajikan dan takwa.[7]
PENUTUP
Sebagai makhluk sosial, manusia harus mampu menyeimbangkan hubungan
vertikal dan horisontal. Islam mengatur etika silaturrahmi dalam al-Qur’an yang
juga dijelaskan Rasulullah dalam hadis. Silaturrahmi merupakan salah satu
perbuatan yang dianjurkan karena memiliki banyak manfaat dalam kehidupan. Dalam
lingkup khusus, silaturrahmi terbatasi hanya pada ibu, namun cakupannya
kemudian diperluas sehingga silaturrahmi juga merupakan hubungan dengan seluruh
umat islam.
Ketika hendak silaturrahmi, seseorang harus menjalankan etikanya,
diantaranya, mengucapkan salam, meminta ijin ketika hendak masuk rumah orang
lain dengan cara mengucapkan salam atau mengetuk pintu, melakukan pembicaraan
yang baik dan tidak dirahasiakan, serta selalu menjaga jalinan silaturrahmi agar
jangan sampai terputus.
Anjuran melakukan silaturrahmi seakan-akan sangat dianjurkan. Hal ini
dikarenakan silaturrahmi memiliki banyak manfaat. Meskipun perbuatan ini adalah
perbuatan yang berhubungan dengan manusia, namun manfaatnya dapat menghantarkan
manusia menuju ridho Allah SWT. Wa Allahu a’lam bi al-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abi Abdullah
bin Ahmad al anshary al- qurthuby, al-Jami’li ahkam al-Qur’an,(Jakarta: Pustaka
Azam, 2012
Munawar, Budhy rahman, Ensiklopedi
Nur Kholis Madjid, 2006, Jakarta: Mizan
Quraisy,M. Syihab, Tafsir
al-Mishbah, 2002, Jakarta: Lentera Hati
Septayuda,Tata, ManfaatBersilaturrahmi,
MajalahGontorEdisi 7. Nopember.Gontor. 2004
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon