A. LATAR BELAKANG
Bani Abbas mencapai masa keemasannya hanya pada periode
pertama. Setelah itu dinasti ini mulai menurun terutama di bidang politik. Hal
ini disebab kan karena para penguasa cenderung memilih untuk hidup mewah. Dan
setiap khalifah cenderung ingin lebih mewah dibanding khalifah sebelumnya.
Sebenarnya, disintegrasi politik sudah terjadi pada di
akhir zaman Bani Umayyah. Dengan adanya kebijaksanaan yang lebih menekankan
pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada persoalan politik,
propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasan
Abbas.
Faktor lain yang menyebabkan peran politik Bani Abbas
menurun adalah perebutan kekuasaan di pusat pemerintahan Bani Abbasiyah.
Demikian pula kondisi ekonomi yang buruk menyebabkan kekuatan politik Bani
Abbasiyah menurun.
B. PEMBAHASAN
Menurut Watt, sebenarnya keruntuhan kekuasaan Bani
Abbasiyah mulai terlihat sejak awal abad ke Sembilan.[1]
Fenomena ini mungkin bersamaan dengan datangnya pemimpin-pemimpin yang memiliki
kekuatan militer di propinsi-propinsi tertentu yang membuat mereka benar-benar
independen. Kekuatan Abbasiyah saat itu mulai mengalami kemunduran. Sebagai
gantinya, para penguasan Abbasiyah memperkerjakan orang-orang professional di bidang
kemiliteran, khususnya orang-orang Turki dengan system perbudakan.
Pengangkatan anggota militer Turki, dalam perkembangan
selanjutnya ternyata memberikan ancaman besar terhadap khalifah. Terlebih pada
periode pertama pemerintahan Dinasti Abbasiyah, sudah muncul fanatisme
kebangsaan berupa gerakan syu’ubiyah (kebangsaan/
anti Arab). Gerakan inilah yang banyak memberikan inspirasi terhadap gerakan
politik, di samping persoalan-persoalan keagamaan. Nampaknya para khalifah
tidak sadar akan bahaya politik dari fanatisme kebangsaan dan aliran keagamaan
itu, sehingga meskipun dirasakan hamper semua segi kehidupan, seperti dalam
kesusastraan dan karya-karya ilmiah, mereka tidak bersungguh-sungguh
menghapuskan fanatisme tersebut, bahkan ada di antara mereka yang justru
melibatkan diri dalam konflik kebangsaan dan keagamaan itu.
Kondisi seperti inilah yang menyebabkan banyak lahirnya
dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dari Baghdad. Di antara
dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa
khalifah BaniAbbasiyah adalah:[2]
1. Yang berbangsa Persia
a. Thahiriyah di Khurasan
b. Shafariyah di Fars
c. Samaniyah di Transoxania
d. Sajiyyah di Azerbaijan
e. Buwaihiyyah yang menguasai
Baghdad
2. Yang berbangsa Turki
a. Thuluniyah di Mesir
b. Ikhsidiyah di Turkistan
c. Ghaznawiyah di Afghanistan
d. Dinasti Seljuk dan
cabang-cabangnya
3. Yang berbagsa Kurdi
a. Al-barzuqani
b. Abu Ali
c. Ayyubiyah
4. Yang berbangsa Arab
a. Idrisiyah di MArokko
b. Aghlabiyah di Tunisia
c. Dulaifiyah di Kurdistan
d. Alawiyah di Tabaristan
e. Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil
f.
Mazyadiyyyah di Hillah
g. Ukailiyyah di Mautsil
h. Mirdasiyyah di Aleppo
5. Yang mengaku dirinya
sebagai Khalifah
a. Umawiyah di Spanyol
b. Fathimiyah di Mesir
Dari lahirnya dinasti-dinasti di atas, Nampak jelas
adanya persaingan antar bangsa, terutama antar Arab, Persia, dan Turki. Di
samping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga dilatarbelakangi
paham keagamaan, yaitu antara Syi’ah dan Sunni.
Sebab-
sebab Kemunduran Bani Abbasiyah
Keruntuhan Bani Abbasiyah terjadi bukan tanpa sebab,
melainkan ada beberapa faktro yang melatarbelakanginya. Di antara factor
penyebab runtuhnya Dinasti Abbasiyah adalah sebagai berikut:[3]
1. Kecenderungan khalifah
bersama putra-putri dan pejabat pmerintahannya tenggelam dalam pemujaan nafsu
syahwat dan kesenangan hidup, sehingga menyebabkan mereka kehilangan sensifitas
tanggung jawabnya ssebagai pejabat Negara. Akibatnya, mereka mengabaikan bahkan
meninggalkan urusan Negara, serta tidal memberikan perhatian yang memadai
terhadap rakyat. Hal ini bias dibuktikan dengan adanya pasukan Tatar yang
melakukan pengepungan terhadap istana pemerintahan di Baghdad seraya
melontarkan anak panah dari berbagai penjuru hingga mengenai seorang budak
perempuan yang sedang mneghibur di hadapan sang khalifah. Budak perempuan
tersbut terkena anak panah hingga tewas. Ternyata pada anak panah tersebut
tertulis, “ Jika Allah menghendaki
pelaksanaan ketetapan dan keputusan-Nya, maka Dia menghilangkan akal dari
orang-orang yang berakal”.
2. Khalifah al-Musta’shim
Billah yang merupakan penguasa terakhir Dinasti Abbasiyah bukanlah orang yang
kompeten menjabat sebagai Khalifah. Sebab ia tidak memiliki semangat yang kuat,
lemah visi misinya, ragu-ragu dan mudah tunduk, mudah menyerah, tidak bias
memperhitungkan dampak negative atas kebijakan yang diambil, dan cenderung
menuruti hawa nafsu. Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Aibak al-Duwadari dalam Kanz al-Durar, yang menyatakan bahwa dia
adalah sosok yang ceroboh, gila-gilaan, zhalim, bodoh, lemah, dan mudah tunduk kepada
orang lain. Ia juga tidak peduli dengan kepentingan ummat Islam.[4]
3. Situasi dan kondisi dalam
negeri Baghdad yang tidak kondusif, karena dipenuhi dengan berbagai tragedy dan
huru-hara sectarian, perang saudara dan konflik antar madzab, yaitu Syi’ah dan
Ahlu Sunnah.
4. Tercerai-berainya Negara
dalam beberapa pemerintahan kecil, atau sebagian dari mereka memisahkan diri
dari kekhalifahan Baghdad, baik secara total ataupun masih menginduk kepadanya,
meksipun hanya sekedar formalitas. Perpecahan disebabkan semakin melusnya
wilayah kekuasaan Bani Abbasiyah sehingga sulit untuk dikendalikan.
5. Ketergantungan
kekhalifahan Abbasiyah terhadap beberapa kelomppk Non Arab dalam melayani
kebutuhan kehkalifahan. Kelompok asing tersebut semakin banyak jumlahnya dan
keburukannya semakin menonjol hingga mereka mampu mengintervensi dalam
pengambilan keputusan-keputusan yang dikeluarkan khalifah. Kondisi seperti ini
sudah sangat popular di sepanjang sejarah. Sebab kekhalifahan Abbasiyah pada
awal berdirinya meminta bantuan kepada bangsa Persia. Ketika langkah-langkah kebijakan
mereka semakin menekan khalifah, maka para khalifah mendatangkan bangsa Turki
untuk menggantikan kedudukan tokoh-tokoh Khurasan. Namun kemudian mereka juga
melancarkan tekanan terhadap khalifah.[5]
6. System administrasi dalam
pemerintahan Bani Abbasiyah sangatlah lemah hingga berpotensi membenturkan
antar penguasa yang satu dengan lainnya.
7. Ketidakmapuan atau
kebobolan keuangan Negara dan kelemahan kemampuan finansialnya yang disebabkan
berbagai peperangan yang terus berkobar dan tidak pernah padam melawan
Negara-negara Kristen yang berdampingan dengannya, yang selalu melancarkan
permusuhan dan serangan terhadap wilayah-wilayah Negara sehingga peperangan
tidak pernah berhenti.
8. Munculnya berbagai bid’ah,
orang-orang kafir, dan kaum atheis seperti Al-Rawandi, Al-Khurramiya, beberapa
kelompok ahli kalam, dan lain-lain, yang berpoteni memecah belah persatuan dan
kesatuan ummat Islam.[6]
Perkembangan
Intelektual Pada Masa Disintegrasi
Betapapun seramnya situasi politik di Ibu Kota Negara
Baghdad, namun ilmu-ilmu pengetahuan dan kebudayaan Islam tetap menunjukkan
semaraknya. Pada masa disintegrasi yang menyebabkan kehancuran kekhalifahan
Abbasiyah, tetapi tidak menghambat perkembangan intelektual. Pada saat itu,
dimulai dengan berdirinya Dinasti Thahiriya, perkembangan intelektual mengalami
kemajuan yang cukup pesat. Ini terbukti dengan munculnya tokoh-tokoh
intelektual pada bidangnya, baik dalam ilmu sastra, ilmu filsafat, hukum dan
politik, serta kedokteran.[7]
1. Ilmu sastra
a. Abul ‘Alla al-Ma’arry
b. Pujangga Proza Shabi
c. Shahib Ibnu Ubbad
d. Ulama’ penyair, Abu Bakar
Khuwarizmi
e. Penyair pegarang Badi’uz
Zaman Hamdani
f.
Pengarang penyair Ibnu ‘Amied
2. Ilmu filsafat dan
kedokteran
a. Muhammad Ibnu Zakariyya
Ar-Razi
b. Ali Ibnu Abbas al-Majusi,
pengarang buku, “Kamil as-Sina’atÔ
3. Hokum dan politik
Tokoh yang sangat
popular sebagai seorang ahli hokum dan menjabat kedudukan tertinggi dalam
Negara yaitu, Hakim Mahkamah Agung dan juga pengarang politik terbesar adalah
Imam Mawardi. Ia pengarang ilmu politik yang sangat aktif, sekaligus penulis
buku, “Al-Ahkam as-Sulthaniya”,
tentang hokum pemerintahan.
Dari berbagai uraian di atas, ada banyak pelajaran yang
dapat kita ambil dan diaplikasikan dalam kehidupan, baik dalam segi politik,
agama, maupun social kebudayaan. Pesan yang sangat urgen untuk kita adalah, harus
lebih cermat dan bijak dalam memilih pemimpin, karena akan sangat bahaya jika
kita salah dalam memilihnya. Wallahu
a’lam bi al-shwab.
C. PENUTUP
Demikian makalah ini saya susun. Saya sadar bahwa
makalah ini masih sangat jauh dari kata sempurna. Maka dari itu, kritik dan
saran yang konstruktif dari saudara sekalian sangat diharapkan, demi kebaikan
makalah ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 2003
Fathi Zaghrut, Bencana-bencana Besar Dalam Sejarah Islam, Jakrata:
PUSTAKA AL-KAUTSAR, 2009
Fatah Syukur , Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT.
Pustaka Rizki Putra, 2012
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon