Tafsir Masa Tabi’in

    A.    PENDAHULUAN
Penafsiran al-Qur’an termasuk kegiatan ilmiah paling tua dibandingkan kegiatan ilmiah lainnya dalam Islam. Sudah lima belas abad yang lalu al-Qur’an diturunkan melalui seorang Rasul yang mempunyai kapasitas sebagai  pemberi penjelasan (mubayyin). Memberi penjelasan kepada sahabat-sahabatnya, khususnya menyangkut ayat-ayat yang sulit dipahami atau memiliki kesamaan arti. Keadaan seperti ini berlangsung hingga wafatnya Rasulullah, walaupun harus diakui penjelasan tersebut tidak semua diketahui, sebagai akibat dari tidak sampainya riwayat-riwayat tentangnya atau karena memang Rasulullah sendiri tidak menjelaskan semua kandungan Al-Qur’an.
Jika pada masa Rasulullah, para sahabat menanyakan persoalan-persoalan yang tidak jelas kepada beliau, maka setelah wafatnya terpaksa mereka melakukan ijtihad, khususnya bagi mereka yang memiliki kamampuan semacam Ali bin Abi Thalib, Ibn Abbas, Ubay bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud.
Dalam perkembangannya, para tokoh tafsir dari kalangan sahabat melahirkan murid dari generasi tabi’in diberbagai kota. Hal inilah yang kemudian menyebabkan semakin berkembangnya model-model penafsiran dan semakin ketatnya dalam periwayatan. Terbukti bahwa di masa tabi’in ini ada istilah yang dikenal dengan Thabaqah al-Mufassirin, yaitu thabaqah Makkah, thabaqah Madinah dan thabaqah Irak, yang sudah barang tentu ini tidak lepas dari model dan periwayatan tafsir.

    B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa itu Tafsir ?
2.      Bagaimana sejarah Tafsir pada masa Tabi’in ?
3.      Bagaimana kualitas Tafsir pada masa Tabi’in ?

    C.     PEMBAHASAN
1.      Definisi Tafsir dilihat dari segi Etimologi dan Terminologinya
Tafsir secara etimologi mengikuti wazan “taf’il”, artinya menjelaskan, menyingkap dan menerangkan makna-makna rasional. Kata kerjanya “fasara asy-syai’a – yafsiru” dan “yafsuru fasran” dan “fassarahu”, artinya “abanahu” (menjelaskannya). Kata at-tafsir dan al-fasr mempunyai arti menjelaskan dan menyingkap yang tertutup. Dalam lisan arab dinyatakan : kata “al-fasr” berarti menyingkap sesuatu yang tertutup, sedang kata “at-tafsir” berarti menyingkapkan maksud suatu lafadz yang musykil.[1]
Sedangkan tafsir secara terminologi memiliki arti : ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz Al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum-hukumnya baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tenang makna-maknanya yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya.[2]
Labih jelas lagi istilah tafsir merujuk pada Al-Qur’an sebagaimana tercantum pada ayat 33 dari surat al-Furqan :

ولا يأتونك بمثل الا جئناك بالحق وأحسن تفسيرا
Artinya : “tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu membawa sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan penjelasan (tafsir) yang terbaik”. QS. Al-Furqan : 33

2.      Tafsir pada masa Tabi’in
Membicarakan sejarah tafsir pada masa ini berarti memulai pembahasannya dari tahun 21 H dengan ditandai kelahiran seorang tokoh mufassir besar yaitu Mujahid bin Jabir, hingga kira-kira pada tahun 159 H yang ditandai wafatnya seorang mufassir yaitu Hasan al-Bashri. Pada masa ini, masih dikategorikan sebagai periode pertama dari perkembangan tafsir. Sejak kegiatan penafsiran Rasulullah, penafsiran sahabat hingga sampai kepada penafsiran tabi’in..[3]
Kurang lebih seratus tiga puluh delapan tahun penafsiran di masa tabi’in ini semakin menampakkan perkembangannya. Terbukti bahwa banyak dikalangan mufassir pada masa ini terlahirkan. Misalnya Mujahid bin Jabir, yang digadang-gadang sebagai mufassir yang sangat diperhitungkan penafsirannya, baik penafsirannya itu sendiri maupun riwayat penafsirannya, serta menjadi pusat sandaran bagi murid-murid selanjunya. Selain itu, ada lagi mufassir lain pada masa ini yang terkenal ketokohannya, baik dari Makkah seperti Said bin Zubair yang berguru pada Ibn ‘Abbas, dari Madinah yaitu Muhammad bin Ka’ab, Zaid bin Aslam yang berguru pada Ubay bin Ka’ab dan dari Irak seperti Al-Hasan Al-Bashriy, Amir Al-Sya’bi yang berguru pada Abdullah bin Mas’ud.
Jika dilihat dari model penafsirannya, para tabi’in mengacu pada sumber-sumber yang sudah ada pada pendahulunya, disamping ijtihat dan pertimbangan nalar mereka sendiri. Dikatakan demikian karena mereka meggunakan metode bil ma’tsur yaitu penafsiran diambil dari Al-Qur’an itu sendiri dan sunnah Nabi serta kadangkala mereka menuqil dari pendapat para pendahulunya. Jika mereka tidak menemukan tafsir dengan metode ini, maka mereka mencendrungkan dirinya untuk berijtihad, mengingat mereka adalah orang-orang Arab asli yang menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghah-an yang ada di dalamnya.
Menurut Muhammad Arkoun yang dikutip pendapatnya oleh Abdul Mustaqim dalam bukunya “Epistimologi Tafsir Kontemporer”, mengatakan bahwa pada masa ini lebih dikenal sebagi Tafsir Era Formatif dengan Nalar Qoasi-Kritis, yaitu mufassir yang menggunakan sebuah model atau cara berfikir yang kurang memaksimalkan penggunaan rasio (ra’yi) dalam menafsirkan Al-Qur’an dan juga belum mengemukanya budaya kritisisme.[4]
Model berfikir nalar quasi-kritis antara lain ditandai dengan; pertama, penggunaan simbol-simbol tokoh untuk mengatasi persoalan. Dalam konteks penafsiran, simbol tokoh seperti nabi dan para sahabat cenderung dijadikan sebagai rujukan utama dalam penafsiran Al-Qur’an. Standar kebenarannya pun ditentukan oleh ketokohan orang-orang tersebut. Kedua, cenderung kurang kritis dalam menerima produk penafsiaran; menghindari hal yang konkret-realistis dan berpegang pada hal-hal yang abstrak –metafisis. Dalam konteks penafsiran, Al-Qur’an cendrung diposisikan sebagai objek. Dengan kata lain, posisi teks menjadi sentral sehingga model berfikir induktif. Oleh karena itu tidak mengherankan jika pada era ini yang dominan adalah model tafsir bi ar-riwayah, sedangkan tafsir bi ar-ra’yi cenderung dihindari dan bahkan dicurigai.[5]

Jika mereka tidak menemukan riwayat, maka metode yang mereka tempuh kemudian adalah menafsirkan ayat dengan ayat lainnya. Sebab ada keyakinan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an itu saling menafsirkan satu dengan lainnya (Al-Qur’an yufassiru ba’dhuhu ba’dhan).[6] Itulah yang kemudian lahir sebuah metode yang dikenal sebagai metode mawdhu’i (tematik) yang kemudian secara metodologis dirumuskan oleh para mufassir era belakangan, seperti Al-Farmawi, Hassan Hanafi dan juga Fazlur Rahman.
Hal yang membedakan penafsiran pada masa tabi’in ini barang kali hanya pada persoalan sektarianisme, yaitu mulai munculnya aliran-aliran tafsir berdasarkan kawasan. It disebabkan karena para mufassir dari para tabi’in yang dahulu berguru kepada para sahabat kemudian menyebar ke beberapa daerah.
Sudah disinggung di atas bahwa, paling tidak ada tiga aliran panafsiran yang menonjol di era tabi’in; pertama, aliran Makkah, yang dipelopori oleh Said bin Jubair (w. 712 M.), Ikrimah (w. 723 M.), dan Mujahid bin Jabir (w. 722 M.). Mereka berguru kepada sahabat Ibnu ‘Abbas. Kedua, aliran Madinah, yang dipelopori oleh Muhammad bin Ka’b (w. 735 M.), Zaid bin  Aslam al-Qurazhi (w. 735 M.), dan Abu ‘Aliyah (w. 708 M.). Mereka berguru kepada sahabat Ubay bin Ka’b. Ketiga, aliran Irak, di mana tokoh-tokohnya adalah ‘Alqamah ibn Qays (w. 720 M.), Amir asy-Sa’bi (w. 723 M.), Hasan al-Bashri (w. 738 M.) dan Qatadah ibn Di’amah as-Sadusi (w. 735 M.). Mereka berguru kepada sahabat Abdullah bin Mas’ud. Sementara itu, ada pula ulama yang menambahkan satu aliran lagi dalam tafsir tabi’in, yaitu aliran Bashrah, yang dipelopori oleh Ibn Sirrin, Jabir bin Zayd al-Azdi, dan Abu Sya’sya’.[7]
Menurut sebagian pengamat sejarah tafsir pada masa tabi’in, penafsiran Al-Qur’an aliran Makkah dan Madinah cenderung bercorak tradisionalis, dalam arti lebih banyak menggunakan riwayat, sedangkan aliran Irak cenderung bercorak rasional sehinga memunculkan model tafsir bi ar-ra’yi. Hal ini boleh jadi karena kondisi geografis Irak yang cukup jauh dari Madinah (sebagai pusat studi hadits) sehingga mereka cenderung menggunakan ijtihad ketika tidak ditemukan riwayat. Selain itu, secara politis, tradisi penafsiran yang cenderung rasional itu mendapat dukungan dari Guberbur ‘Ammar ibn Yasir yang diangkat oleh Khalifah Umar ibn Khaththab. Dia adalah seorang sahabat yang “rasional”.[8]

3.      Kualitas Tafsir pada masa Tabi’in
Para ulama berbeda pendapat tentang kualitas tafsir tabi’in jika tafsir tersebut bersifat independen, tidak diriwayatkan dari rasulullah atau para sahabat, apakah pendapat mereka dapat dipegangi atau tidak?
Segolongan ulama berpendapat, tafsir mereka tidak (harus) dijadikan pegangan, sebab mereka tidak menyaksikan peristiwa-peristiwa, situasi atau kondisi yang berkenaan dengan turunnya ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga mereka dapat saja berbuat salah dalam memahami apa yang dimaksud. Sebaliknya, banyak mufassir berpendapat, tafsir mereka dapat dipegangi, sebab pada umumnya mereka menerimanya dari para sahabat.[9]
Pendapat yang kuat adalah jika para tabi’in sepakat atas suatu pendapat, maka bagi kita wajib menerimanya, tidak boleh meninggalkannya untuk mengambil jalan yang lain.
Ibnu Taimiyah menukil pendapat, Syu’bah bin Al-Hajjaj dan lainnya katanya, “pendapat para tabi’in itu bukan hujjah”. Maka bagaimana pula pendapat-pendapat tersebut dapat menjadi hujjah di bidang tafsir? Maksudnya, pendapat-pendapat itu tidak menjadi hujjah bagi orang lain yang tidak sependapat dengan mereka. Inilah pendapat yang benar. Namun jika mereka sepakat atas sesuatu maka tidak diragukan lagi bahwa kesepakatan itu merupakan hujjah. Sebaliknya, jika mereka berbeda pendapat maka pendapat sebagian mereka tidak menjadi hujjah, baik bagi kalangan tabi’in sendiri maupun bagi generasi sesudahnya. Dalam keadaan demikian, persoalannya dikembalikan kepada bahasa Al-Qur’an, Sunnah, keumuman bahasa Arab dan pendapat para sahabat tentang hal tersebut.[10]



[1] Manna’ Al-Qaththan, pengantar stadi Al-Qur’an, terj. Jakarta : Pustaka Al-kautsar, 2005. Hlm. 407-408
[2] Abu Hayyan menjelaskan yang dimaksud dengan lafadz-lafadz Al-Qur’an ialah ilmu qira’at. Indikator-indikatornya yaitu pengertian-pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz-lafadz itu, ini mengacu kepada ilmu bahasa yang diperlukan dalam ilmu tafsir ini. Kata-kata “hukum-hukumnya baik ketika independen maupun berkaitan dengan yang lainnya” meliputi ilmu Sharaf, ilmu I’rab, ilmu Bayan, dan ilmu Badi’. Kemudian, makna-makna yang berkaitan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya  meliputi pengertiannya yang hakiki dan majazi. Dan hal yang berkaitan dengan hal-hal yang melengkapinya yaitu mencakup pengetahuan tentang nash, asbab an-nuzul, kisah-kisah dan lain sebagainya.
[3] M Quraisy Syihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung : Mizan, 1998. Hlm. 71
[4] Abdul Mustaqim, Epitemologi Tafsir Kontemporer,  Yogyakarta: LKIS, 2010. Hlm. 34
[5] Ibid, hlm. 34-35
[6] Ibid,. Hlm. 41
[7] Ibn ‘Ali al-Khudhri, Tafsir at-Tabi’in, jld. 1, hlm 422-466
[8] Manna’ al-Qaththan, hlm. 426-427
[9] Ibid,. Hlm. 427
[10] Ibid,.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
Silakan berkomentar dengan sopan