I. PENDAHULUAN
Shalat jama’ dan qashar
merupakan rukhsah yang diberikan oleh Allah bagi orang-orang yang dalam keadaan
tertentu merasa kesulitan untuk melaksanakan sholat secara sempurna untuk itu
allah memberikan keringanan berupa jma’ dan qosor. Ini menujukan bahwa islam
merupakan agama yang mudah tetapi tidak patut untuk dimudahkan. Allah swt
membuat peraturan-peraturanya sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan manusia.
Bagi
orang-orang yang jauh dari anugrahnya merasa keberatan jika melaksanakan
perintah-perintahnya karena hati mereka ditutupi olah setan hawa nafsu yang
jauh dari rahmatnya. Banyak sekali hal-hal yang jika dikerjakan olah manusia
dianggap berat allah telah memudahkan dengan cara yang lain. Allah tidak
memaksa orang-orang yang tidak mampu melaksanakan puasa haji dan zakat.
Begitupun sholat jika seseorang bepergian mereka merasa kesulitan untuk
melaksanakan sholat lima waktu allah telah memberikan jalan dengan sholat jama’
dan qosor. Allah maha pemurah.
II.
Rumusan
Masalah
A.
Pengertian
B.
Uraian Hadis Jama’dan Qashar
III.
Pembahasan
A.
Pengertian
Sholat
musafir disyariatkan semata-mata untuk meringankan beban berat yang disandang
oleh mufasir yaitu bepergian meninggalkan kampung halamanya yang merupakan
siksanya tersendiri baginya. Dispensi tersebut berupa qasar (pengurangan jumlah
raka’at sholat rubai’iyah), sholat yang jumlah raka’atnya 3 dan 2 tidak dapat
diqashar, sedangkan sholat yang jumlah
raka’atnya 4 dapat diqashar menjadi 2 raka’at[1]Seseorang
yang bepergian jauh (musafir) yang telah memenuhi persyaratan, berhak
mendapatkan dispensasi qasar (meringkas sholat) dari empat raka’at menjadi dua
raka’at[2].
Tendensi diperbolehkaya qasar sholat adalah firman Allah surat an nisa’ : 101 :
#sÎ)ur ÷Läêö/uÑ Îû ÇÚöF{$# }§øn=sù ö/ä3øn=tæ îy$uZã_ br& (#rçÝÇø)s? z`ÏB Ío4qn=¢Á9$# ÷bÎ) ÷LäêøÿÅz br& ãNä3uZÏFøÿt tûïÏ%©!$# (#ÿrãxÿx. 4 ¨bÎ) tûïÍÏÿ»s3ø9$# (#qçR%x. ö/ä3s9 #xrßtã $YZÎ7B ÇÊÉÊÈ
Artinya : Allah berfrman “ketika kalian bepergian dimukan
bumi, maka tidak ada dosa bagimu mengqasar sholat “
Seseorang bisa disebut sebagai musafir bila perjalananya telah melewati batas
daerah tempat tinggalnya, dikalangan para ulama’ terjadi perbedaan pendapat
pada batasan jarak jauh dan mereka ada yang mengatakan 2 marhalah (81km), dan ada yang mengatakan 3 marhalah
(243 km), bahkan pembatasan 2 marhalah ada yang mengatakan 75 km, 95 km,113 km,
116 km, dan masih ada yang lain.[3]penyebab
munculnya kontradiksi ini karena tidak ada dalil nash yang menerangkan batasan
jarak jauh, sehingga para ulama’ menggunakan hasil ijtihad mereka masing masing
dalam membatasinya.
Difinisi jama’secara luqat (etimologi)
adalah mengumpulkan, sedangkan menurut istilah syara’ (terminologi) adalah
mengumpulkan dua sholah dalam satu waktu, seperti mengumpulkan sholat dhuhur
dengan sholat asar untuk dikerjakan pada salah satunya, jika sholat dikerjakan
pada waktu sholat yang awal (dhuhur) dinamakan jama’ takdim, dan jika dikerjakan
pada waktu yang kedua (ashar) dinamakan jama’ ta’khir. Jama’ hanya
diperbolehkan antara dua sholat dzuhur dengan ashar (jama’ taqdim atau ta’khir)
dan antara sholat maqhrib dengan sholat isya’ (jama’ taqdim atau ta’khir) hukum
diperbolehka jama’taqdim atau ta’khir
adalah mengikiti pendapatnya madhab tiga (maliki , syafi’i, hambali)[4]
B.
Hadits Shalat Jama’ dan
Qashar dan Uraiannya
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ
يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ نَافِعٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا عَجِلَ بِهِ السَّيْرُ
جَمَعَ بَيْنَ الْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ (رواه مسلم )
Telah menceritakan kepada
kami Yahya bin Yahya, katanya; Aku pernah menyetorkan hapalan di hadapan Malik
dari Nafi' dari Ibnu Umar katanya; \"Ketika beliau melakukan perjalanan
dengan terburu-buru, maka Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjamak
antara shalat Magrib dan Isya'.\"
Imam Syafi’i dan
kebanyakan ulama berkata, di perbolehkan menjamak shalat dhuhur dan ashar dalam
waktu mana yang dikehendaki, dan antara maghrib dan isya’ dalam waktu yang
dikehendaki, di dalam perjalanan yang jauh. Sedangkan dalam perjalanan yang
pendek, terjadi perbedaan pendapat di kalangan Syafi’iyah, dan pendapat yang
lebih shahih adalah tidak diperbolehkan menjamak shalat pada perjalanan dekat
maupun jauh kecuali telah mencapai 48 mil hasyimiyah yaitu 2 marhalah[5],
hitungan 2 marhalah sebagaimana diuraikan di atas.
Adapun syarat-syarat jamak
shalat pada waktu yang pertama adalah mendahulukan shalat yang pertama, niat
jamak sebelum waktu yang pertama telah habis, dan tidak memisahkan antara
keduanya.
Sedangkan jika seseorang
menghendaki jamak pada waktu yang kedua, maka wajib niat pada waktu yang
pertama dan sebelum habisnya waktu sekiranya ada waktu untuk melakukan shalat
dan lebih. Dan apabila seseorang mengakhirkan shalat tanpa niat maka ia telah
melakukan maksiat dan shalatnya menjadi shalat qadha’. Apabila seseorang
mengakhirkan shalat dengan niat maka sunnah shalat yang pertama dilakukan pada
awal waktu (shalat yang kedua). Niat di atas adalah niat jamak, selanjutnya
tidak memisahkan antara shalat yang pertama dan yang kedua. Dan tidak wajib
sesuatu selain itu. Ini adalah ringkasan hukum jamak selanjutnya mengenai
cabang-cabangnya dapat dilihat di kitab-kitab fiqih.
Dan boleh menjamak sholat
dengan sebab hujan pada waktu yang pertama, tidak boleh pada waktu yang kedua
menurut qoul yang lebih shokhih karna tidak ada kepercayaan untuk
sampai(istimror) waktu yang kedua, dan syarat terjadinya hujan itu ketika
takbirotul ikhrom awal sholat yang pertama dan selesai sampai awal sholat yang
kedua. Dan boleh juga bagi orang yang berjalan menuju jama’ah tanpa menggunakan
jas hujan sekiranya terbasahi oleh air hujan, dan menurut qoul yang lebih
shohih juga bahwa sholat jama’ ini tidak boleh dilakukan selain dalam keadaan
seperti ini didalam madzab kita, dan jumhurul ulama’ mengatakan hal ini boleh
dilakukan dalam sholat dzuhur dan asar, dan sholat maghrib dan isya’. Sedangkan
Imam Malik hanya menentukan untuk sholat maghrib dan isya’ saja.
Sedangkan orang yang sakit
menurut qoul mashur dari madzhab syafi’i dan kebanyakan ulama’ ia tidak boleh
melakukan jama’ sholat dan Imam Ahmad dan segolongna dari ulama’ syafi’iyah
memperbolehkanya.[6]
Imam Abu Hanifah berkata
tidak boleh menjama’ diantara dua sholat dengan sebab bepergian, hujan, sakit
dan selainya kecuali diantara sholat dzuhur dan asyar ketika di arofah dengan
sebab ibadah haji dan diantara maghrib dan isya’ di muzdalifah dengan sebab
ibadah haji juga.[7]
و حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ
بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا الْمُفَضَّلُ يَعْنِي ابْنَ فَضَالَةَ عَنْ عُقَيْلٍ عَنْ
ابْنِ شِهَابٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ
أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ نَزَلَ فَجَمَعَ بَيْنَهُمَا
فَإِنْ زَاغَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ يَرْتَحِلَ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ
(رواه مسلم )
Telah menceritakan kepada
kami Qutaibah bin Said Telah menceritakan kepada kami Almufadhdhal yakni Ibnu
fadhalah dari Uqail dari Ibnu Syihab dari Anas bin Malik katanya, Dahulu
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam jika melakukan safar (perjalanan)
sebelum matahari miring, maka beliau mengakhirkan shalat zhuhur hingga waktu
ashar, kemudian singgah dan beliau jamak antara keduanya. Namun jika melakukan
perjalanan dan matahari telah miring, beliau lakuakn shalat zhuhur terlebih
dahulu kemudian beliau naik kendarannya.
و حَدَّثَنِي عَمْرٌو
النَّاقِدُ حَدَّثَنَا شَبَابَةُ بْنُ سَوَّارٍ الْمَدَايِنِيُّ حَدَّثَنَا لَيْثُ
بْنُ سَعْدٍ عَنْ عُقَيْلِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ أَنَسٍ قَالَ
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَجْمَعَ
بَيْنَ الصَّلَاتَيْنِ فِي السَّفَرِ أَخَّرَ الظُّهْرَ حَتَّى يَدْخُلَ أَوَّلُ
وَقْتِ الْعَصْرِ ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا (رواه مسلم )
Dan
telah menceritakan kepadaku 'Amru annqid telah menceritakan kepada kami
Syababah bin Suwar Al madayini telah menceritakan kepada kami Laits bin Sa'd
dari Uqail bin Khalid dari Az Zuhri dari Anas katanya; \"Apabila Nabi
shallallahu 'alaihi wasallam hendak menjamak antara dua shalat ketika dalam perjalanan,
beliau mengakhirkan shalat zhuhur hingga awal waktu ashar, kemudian beliau
menjamak antara keduanya.\"
حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ يُونُسَ حَدَّثَنَا زُهَيْرٌ حَدَّثَنَا أَبُو الزُّبَيْرِ
عَنْ أَبِي الطُّفَيْلِ عَامِرٍ عَنْ مُعَاذٍ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَكَانَ يُصَلِّي
الظُّهْرَ وَالْعَصْرَ جَمِيعًا وَالْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ جَمِيعًا (رواه مسلم )
Telah menceritakan kepada
kami Ahmad bin Abdullah bin Yunus telah menceritakan kepada kami Zuhair telah
menceritakan kepada kami Abu Zubair dari Abu Thufail Amir dari Mu'adz katanya;
\"Kami berangkat bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ketika
perang Tabuk, lalu beliau melakukan shalat zhuhur dan ashar sekaligus, maghrib
dan isya` sekaligus.\"
Di dalam
hadis yang terakhir ini, bahwa nabi melakukan jama’ diantara sholat dzuhur dan
asyar, dan maghrib dan isya’. Dan tidak ada yang menafsiri bagaimana gambaranya
jama’ dalam hadis itu. Sedangkan Abi
Dawud melalui hadisnya Muadz berkata ketika tergelingsirnya matahari rosulillah
berada dirumah melakukan sholat jama’ seperti
ini, dan ketika tergelincirnya matahari rosullullah dalam keadaan
perjalanan beliau mengakhirkan dzuhur sampai masuk waktu asar dan maghrib dan
isya’ juga seperti itu.[8]
IV.
Penutup
Nabi
telah memberi contoh bagaimana seseorang diperbolehkan dan bagaimana cara
melakukan shalat jama’ dan qashar. Dari hadis di atas kemudian dimaknai oleh
para ulama’ tentang hal-hal mengenai shalat jama’. Termasuk juga disebutkan
bahwa syarat-syarat orang yang melakukan jama’ taqdim adalah mendahulukan
shalat yang pertama, niat jamak sebelum waktu yang pertama telah habis, dan
tidak memisahkan antara keduanya.
Sedangkan
yang jama’ ta’khir adalah wajib niat pada waktu yang pertama dan sebelum
habisnya waktu sekiranya ada waktu untuk melakukan shalat dan lebih. Dan
apabila seseorang mengakhirkan shalat tanpa niat maka ia telah melakukan
maksiat dan shalatnya menjadi shalat qadha’. Apabila seseorang mengakhirkan
shalat dengan niat maka sunnah shalat yang pertama dilakukan pada awal waktu
(shalat yang kedua). Niat di atas adalah niat jamak, selanjutnya tidak
memisahkan antara shalat yang pertama dan yang kedua.
Namun
yang kami sampaikan hanya sebatas yang ada pada syarah kitab shahih muslim.
Untuk lebih detainya, Ulama’ fiqih telah menjelaskan dalam kitabnya. Oleh sebab
itu kami mohon maaf atas kekurangan dengan sebesar-besarnya. Tak lupa kritik
dan saran selalu kami harapkan demi kedepan yang lebih baik. Wassalam.
V.
Daftar Pustaka
Ahman Halimi Husaini, Kasyful
Lubab (Terjemah Matan Shofwatiz Zubad), Fiqih Madhab Imam Syafi’i, semarang
: toha putra group.
Abdul Manan, Fiqih Lintas Madhab
(Hanafi,Maliki, Syafi’i, Hambali),
Kediri: Tiga Aksara.
Imam Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarah
Shahih Muslim, juz 5, (beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt.).
Muhammad bin Khalifah Al-Wastani
Al-Ubay, Ikmalu Ikmalil Muallim (Syarah Shahih Muslim), juz 3, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, tt.).
[1]Ahman
Halimi Husaini, Kasyful Lubab (Terjemah Matan Shofwatiz Zubad), Fiqih Madhab
Imam Syafi’i, semarang : toha putra group, hlm.204
[2]Abdul
Manan, Fiqih Lintas Madhab (Hanafi,Maliki, Syafi’i, Hambali), Kediri: Tiga Aksara. hlm. 130
[3]
Ibid, hlm.132
[4]
Ibid, hlm.141
[5] Imam
Yahya bin Syaraf An-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, juz 5, (beirut: Darul
Kutub Ilmiah, tt.), hal.181
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] Muhammad
bin Khalifah Al-Wastani Al-Ubay, Ikmalu Ikmalil Muallim (Syarah Shahih
Muslim), juz 3, (Beirut: Darul Kutub
Ilmiah, tt.) hal. 27.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon