I.
PENDAHULUAN
Pembahasan mengenai agama tidak akan pernah selesai
dalam masalah negara, karena negara dan agama adalah dua hal yang sangat
berhubungan dalam kehidupan manusia. Terkadang negara memberi kebebasan dalam
memeluk keyakinan beragama sesuai dengan kehendak individu, ada kalanya negara
tidak memberi peluang sama sekali atau bahkan tidak memasukkan unsur-unsur
agama dalam sistem pemerintahan.
Pemahaman sederhana tentang negara ialah; suatu
organisai dimana sekelompok orang menempatinya serta ada batas-batas wilayah
tertentu (teritorial) dengan mengakui adanya pemerintahan yang tertib dan
terjamin keselamatannya serta adanya seorang peminpin. (Wiryono, 1989: 2).
Konsep seperti ini tidak membahas apakah negara dan agama itu berhubungan
ataukah tidak, namun lebih memandang dari segi kemasyarakatan saja.
Islam sebagaimana yang pernah dipimpin oleh Rasulullah
(sebagai kepala negara) terkadang dipandang sebagai sebuah konsep dalam
kenegaraan yang harus diikuti oleh negara-negara islam. Ketika Nabi Muhammad
membangun komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu
bentuk pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya
kemudian. Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para
elit Islam sepeninggal Muhammad. Tidak ada mekanisme politik standar yang
berlaku bagi pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Masing-masing
terpilih melalui mekanisme politik yang berbeda. Pemerintahan-pemerintahan
selanjutnya bahkan menjadi sangat lain, karena yang ada hanyalah pemerintahan
berdasarkan garis keturunan.
Sekh Ali Abd al-Raziq (1888-1966) muncul dan terkenal
pada saat dunia Islam dikejutkan oleh tindakan Mustafa Kemal tentang
penghapusan pranata khilafah (1924) yang sudah berjalan kurang lebih tiga belas
abad. Hal itu terjadi karena negara yang bersistem khalifah, yang masih
mengikuti sistem pemerintahan islam pada masa Rasulullah tidak bisa berkembang
efektif. Peran terpenting dalam kehidupan Ali Abd al-Raziq adalah ketika ia
mengemukakan teori baru mengenai negara dalam Islam yang berlandaskan sistem
khilafah.
Maka dari itu pemakalah tertarik untuk menggali lebih
jauh tentang pemikiran Ali Abdul Raziq tentang negara dan agama yang menjadi
pententangan banyak pemikir pembaharu islam.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Biografi dan
Sejarah Pemikiran Ali Abdur Raziq
B.
Sekularisme Ali
Abdur Raziq
C.
Filsafat Ali
Abdur Raziq
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi dan
Sejarah Pemikiran Ali Abdul Raziq
Ali Abd Al-Raziq nama lengkapmya syeikh Ali Abd
Al-Raziq salah satu seorang keluarga yang terkenal yang berdiam di as’Said yang
termasuk wilayah Al-Mania, suatu keluarga hartawan dengan tanah-tanah pertanian
yang luas atau meminjam istilah yang berlaku sekarang ini, keluarga feodal
ayahnya yang bernama Hasan Pasha atau Abdul Raziq Pasha Sr, adalah seorang
pembesar yang terpandang di daerah pinggiran dan Ali Abd Raziq di lahir di
pedalaman propinsi Menia pada tahun 1888 ia keluarga feodal yang aktif dalam
kegiatan politik. ayah yang berkicinpung dalam dunia politik bahkan ia pernah
menjadi wakil ketua Partai Rakyat (Hizbu al- Ummah) pada tahun 1907. Setelah
revolusi tahun 1919, Al-Asharar Al-Dusturiyah, partai ini adalah partai
kelanjutan Hizbu Al-Ashrar al Ummah yang mempunyai dukungan yang rapat dengan
Inggris. Pendiri partai ini antara lain ialah Hassan Ali Abd al Raziq saudara
Ali Syaikh Abd al Raziq.
Pendidikan Ali Abd al Raziq menganut pendidikan Abduh
meskipun ia tidak sempat belajar banyak secara langsung darinya, oleh karena
pada Abduh wafat pada tahun 1905, saat itu Ali baru berusia 17 tahun kemudian
dia belajar di Al-Azhar. Pada umur masih amat muda 10 tahun ia mempelajari
hukum pada Seyikh Ahmmad Abu Thatwah, sahabat Abduh, Khatwah sebagai Iman Abduh
adalah murid Jamal al Din Al-Afgani, Ali selama satu tahun atau dua tahun
mengikuti perkuliahan di al janni‘ah Al-Mishiyyah, itulah Prof Santillana yang
memberikan perkuliahan sejarah filsafat setelah Ali Abd al Raziq memperoleh
izasah Aumyyah dari Al Azhar tahun 1911 ia mulai mengajar di universitas tapi
itu tak lama pada bagian kedua tahun 1912 ia berangkat ke Inggris untuk belajar
di unversitas Oxford, disitu ia banyak mempelajari ilmu ekonomi dan politik
juga banyak membaca dan mempelajari ide- ide Barat sehingga pikiran dia banyak
terpengaruh oleh pikiran Barat.
Ketika dunia islam dikejutkan dengan tindakan Mustafa
Kemal dengan mempersiapkan muktamar khalifah yang diadakan pada tahun 1926 dan
menyiapkan negara denga lebih memperhatikan kepentingan nasionalnya dalam
menghadapi kelihaian politik penjajah. Karena itu muncullah ide baru pemikiran
Ali Abdl Raziq yang dianggap radikal dan dianggap berseberangan dengan pendapat
para ulama’. Bagi Al-Azhar selaku penyelenggara muktamar hal itu dirasakan
sebagai dari dalam karena Ali Abdul Raziq termasuk anggota korps ulama’
Al-Azhar. Karena itu tidak herak jika mejelis ulama’ besar Al-Azhar dibawah
pimpinan syeh Al-Azhar Muhammad Abi Al-Fadl dengan dua puluh empat anggota
korps ulama’ Al-Azhar secara ijma’ menyetujui keputusan pemecatan Ali Abdul
Raziq dari korps ulama’ Al-Azhar dan dari semu jabatannya.
Ali Abdul Raziq mempunyai pemikiran yang ditantang
banyak kalangan, terutama para pemikir pembaharu islam. Pemikirannya tertuang
dalam sebuah buku berjudul Al-Islam Wa Ushulul Al-Hukum yang diterbitkan pada tahun 1925.
Pemikirannya yang tertuang dalam buku tersebut adalah tentang sekularisme,
yaitu memisahkan antara agama dan negara. Dia berpendapat bahwa agama tidak ada
kaitannya sama sekali denga negara.
Pada massa itu pertumbuhan dan pemikiran Ali Abd al
Raziq terpengaruh oleh anggota keluarganya yang mempunyai hubungan erat dengan
orang inggris, dan pokok pemikiran yang ada kaitannya dengan keadaan pada waktu
itu dan situasi politik Ali Abd al Raziq, bahwa pada waktu itu kondisi
politiknya sangat genting, terjadinya perang dunia I yang di kumandangkan pada
bulan juli 1914 yang kemudian yang di ikuti oleh revolusi Turki yang saat itu
merupakan negara kehalifahan yang menyatakan perang kenegara Inggris akhir
oktober tahun 1914 dan tampa alasan yang yang di benarkan oleh undang-undang
inggris lalu menduduki Mesir, dan pada saat itu sesuai dengan undang-undang
internasional merupakan bagian kekhalifahan Turki Usmani yakni negara
kekhalifahan Islam dan merupakan ikatan keagamaan yang historis. Bangsa Mesir
mengakui kekuasaan politik dan sepiritual khalifah Turki yang mengakui kekuatan
khalifah yaitu kekuasaan umat Islam yang berpusat di Istambul. Dan ketika
perang Turki dan Inggris pecah maka pusat pemerintahan Inggris pindah ke negara
Mesir, dan pada puncaknya kekeritisan masyarakat Mesir dalam bentuk nasionalisme
membenci mereka dan tidak mau mengakui kekuasaannya sedangkan pada saat yang
sama hubungan Mesir dengan Turki sesama muslimnya di segenap penjara ikut
terpengaruh pula.
B.
Sekularisme Ali
Abdul Raziq
Islam berkembang pesat sesuai perkembangan zaman. Salah satu perkembangan
pemahaman yang sampai saat ini terjadi topik hangat adalah penegasan dari
sebuah konsepsi mengenai sistem politik Islam, yang dalam ini adalah pencarian
tentang konsep negara. Masalah ini kian makin komplek karena tatkala konsep
negara bangsa yang berasal dari barat berpengaruh di praktekan dalam lingkungan
Islam.
Masalah Khilafah, dalam arti sistem pemerintahan dalam Islam memang cukup
ruwet, tetapi sangat penting. Sebagai fakta sejarah, ia pernah membawa citra
gemilang, sekaligus menjadi biang keladi kemunduran Dunia Islam dalam berbagai
aspek ajarannya. Kajian terhadap persoalan ini cukup penting, sebagai bahan
untuk mencari alternatif modern mengenai teori politik dalam Islam sesuai
dengan perkembangan zaman. Masalah pokok dan mendasar tentang khilafah yang
dibahas oleh Ali Abd al-Raziq dalam bukunya tersebut merupakan jawaban atas
pertanyaan: apakah sistem khilafah termasuk dasar pemerintahan dalam Islam?
Menurutnya, pernyataan bahwa mendirikan khilafah itu tidak wajib, telah membawa
konsekuensi mendasar tentang apa itu Islam. Apakah Islam itu agama saja atau
agama dan dunia? Apakah dalam Islam ada pemisahan antara agama dan negara?
Negara memiliki dua tugas yaitu: (1) mengendalikan dan
mengatur gejala-gejala kekuasaan yang sosial, yakni yang bertentangan satu sama
lain, supaya tidak menjadi antagonisme yang membahayakan (2) mengorganisir dan
mengintegrasikan manusia dan golongan-golongan kearah yang tercapai
tujuan-tujuan dari masyarakat seluruhnya. Bahkan ketika Nabi Muhammad membangun
komunitas politik di Madinah, dia tidak pernah mengemukakan satu bentuk
pemerintahan politik standar yang harus diikuti oleh para penerusnya kemudian.
Apa yang disebut politik Islami tidak lebih dari ijtihad politik para elit
Islam sepeninggal Muhammad. Ali Abdul Raziq memandang Rasulullah bukanlah
seorang pewaris sistem pemerintahan melainkan hanya seorang utusan yang membara
risalah untuk umatnya.
Ali Abdul Raziq berpendapat bahwa pemerintahan berdasarkan kebutuhan dan
pertimbangan, jadi ia berpendapat agama dan politik atau negara itu harus
dipisah, dan karena itu buku yang di tulis bertentangan dengan pemikir politik
islam lain (Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, 1985: 1-6). Salah satunya adalah sistem
khalifah, karena menurutnya islam tidak mengajarkan tentang politik. Baginya,
khalifah hanyalah sebuah sistem yang manusia ciptakan yang memang sesuai dengan
waktu itu. Sehingga pada masa Ali Adbul Raziq, ia menolak tentang sistem
pemerintahan khalifah karena dianggap sudah tidak relefan dengan zaman pada
saat itu.
Islam tidak mengajarkan bentuk-bentuk pemerintahan yang harus diikuti
pemerintah. Karena sesutu yang sentral dalam agama adalah iman (keyakinan), dan
negara bukanlah sebuah tempat untuk membentuk keyakinan agama. Negara adalah
sesuatu yang manusiawi dengan pola pikir manusia sendiri. Berkaitan dengan
agama, Ali Abdul Raziq mengatakan bahwa Mereka mesti taat lahir batin sebab
taat pada pemimpin berarti taat pada Allah dan membagkang pada pemimpin berarti
tidak taat pada Allah, jadi mentaati peminpin dan perintahnya adalah suatu
kewajiban seorang muslim, dan seseorang tidak di sebut sempurna tanpa
keislamannya dan tidak diakui menjadi imamah. (Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, 1985:
6-7).
Pendapatnya itu dapat kita pahami dari pernyataan Raziq, Nabi Muhammad itu
adalah rasul untuk mendakwahkan agama semata-mata, tidak dicampuri
kecenderungan untuk mendirikan kerajaan dan tidak pula mendakwakan berdirinya
negara.' (Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, hal. 69).
Argumentasi yang dikemukakan sebagian besar ulama yang menyepakati wajibnya
khilafah itu bermacam-macam. Sebagian menggunkan dalil akal dan logika (dalil ‘aqli),
seperti pendapat Ibnu Kholdun tentang adanya ijmak Sahabat dan ijmak
tabi’in bagi wajibnya khilafah. Ijmak versi Ibnu Kholdun ini didasarkan atas
tinjauan sosiologis, yaitu keharusan adanya kumpulan manusia dan
ketidakmungkinan hidup menyendiri, sehingga diperlukan al-hakim atau al-wazi;
jika tidak demikian, akan terjadi kekacauan sosial, padahal memelihara
eksistensi sosial termasuk di antara tujuan syara’ yang mutlak. Sebagian lagi
berargumen dengan dalil Sayr’i baik, baik dengan nash Al-Quran, hadits maupun
ijmak versi ahli Ushul al-fiqh. Golongan ketiga berargumentasi dengan dalil
aqli dan syar’i secara bersama-sama. Pendapat kedua menyatakan bahwa khilafah
bukan merupakan dasar pemerintahan dalam Islam. Dengan kata lain, sebagai
sistem pemerintahan, khilafah termasuk persoalan yang diserahkan kepada kaum
Muslimin. Sebagian kaum Mu’tazilah dan Khawarij Al-Najdat berpendapat bahwa
pendirian khilafah tidak wajib; yang wajib adalah terlaksananya hukum syari’ah.
Ali Abd al-Raziq menolak dalil Ijma’ sebagai hukum syara’ atau hujah agama,
baik ijma’ sahabat, ijma’ sahabat bersama tabi’in, maupun ijma’ seluruh kaum
muslimin. Ia membuktikannya dengan argumen historis secara rasional terhadap
pembantaian Yazid. Menurutnya, bagaimana ada ijma’ yang sebenarnya karena saat
itu ada intimidasi. “Siapa yang menolak baiat, inilah bagiannya,” kata protokol
upacara sambil menunjuk pedangnya. Pendapat ini dibantah oleh Al-Rais.
Menurutnya, yang dimaksud dengan ijma’ adalah ijma’ sahabat dan tabi’in.
Al-Rais mengatakan bahwa nilai ijmak yang tertinggi dan terkuat dalam syari’ah
Islam ialah ijma’ sahabat. Selanjutnya Al-Rais menerangkan bahwa yang dimaksud
ijma’ menurut pemahaman ulama adalah dalam kewajiban untuk menegakan khilafah,
bukan dalam memilih orangnya (khalifah). Dalam memilih orangnya itu cukup
dengan suara mayoritas; hal itu terjadi berulang kali dalam sejarah.
C. Filsafat Ali
Abdul Raziq
Ali Abdul Raziq lebih tepat bukanlah seorang filosof, ia hanyalah pemikir
pembaharu islam yang pernah muncul ketika terjadi polemik besar dalam
pemerintahan Mesir. Maka tidak heran jika pemikirannya adalah cenderung pada
sistem pemerintahan yang ideal. Namun kita akan mencoba melihat pemikkiran Ali
Abdul Raziq tersebut dari sudut pandang filsafat. Ia sangat membedakan antara
dimensi manusia dan dimensi Tuhan. Dalam hal ini Tuhan tidak ikut campur dalam
urusan manusia, terutama dalam pemerintahan. Rasulullah telah membawa risalah
untuk umat muslim yang itu dapat dikembangkan dalam bentuk pemerintahan. Maka
dari itu tidak sah bagi Tuhan jika masih disangkut-pautkan dengan problematika
negara.
Al-Farabi seorang tokoh filsafat besar Islam mengemukakan bahwa manusia
mempunyai kecenderungan alami untuk bermasyarakat atau bernegara, karena tidak
mampu memenuhi kebutuhan sendiri tanpa bantuan orang lain. Konsep Ibnu Taimiyah
mengenai negara di dasarkan pada akal dan hadits. Argumen pemikiran Ibnu
Taimiyah terletak pada kebutuhan universal semua manusia untuk bergabung,
bekerja sama untuk menikmati berbagai manfaat kepeminpinan apakah mereka
menganut agama atau tidak.
Sejarah pemikiran politik benar-benar menggambarkan hubungan yang dekat
antara konsep watak manusia dan filsafat politiknya. Namun yang tidak kalah
penting untuk dicatat adalah bahwa setiap tatanan sosial dan politik pada dasarnya pasti
didasarkan pada suatu filsafat yang mencakup asumsi-asumsi dan
keyakinan-keyakinan dasar mengenai manusia. Demikian pula setiap risalah
politik pasti diletakkan dalam konsepsi mengenai watak alam.
Kebanyakan teori mengenai sifat kekuasaan tergolong kedalam dua kategori
besar: organik dan mekanistik. Karya-karya Plato,
Aristoteles, dan Burke merupakan representasi tipikal dari jenis yang pertama,
sementara karya-karya para teoritis kontrak sosial mewakili jenis yang kedua. Teori organik berpandangan bahwa
kekuasaan merupakan lembaga etis, denga tujuan moral. Kesatuan politik tumbuh
dan dirunut dari predisposisi dalam manusia yang mendorong bersosialisasi
dengan orang lain.
Teori mekanistik cenderung mengabaikan karakter sosial manusia denga memandang kekuasaan
sebagai sebuah lembaga artifisial yang didasarkan atas kalim-klaim individu.
Teori ini menganggap kekuasaan hanya sebagai sarana atau mesin yang muncul
sebagai akibat kesepakatan diantara para individu yang ingin memuaskan
keinginan-keinginan jangka pendek mereka yang tidak peduli dengan tujuan-tujuan
bersama yang mencakup anggota-anggota lain dari kelompoknya.
Teori-teori tersebut sangat menitik beratkan manusia sebagai sumber
pemikiran yang membentuk alam sekitarnya. Ada negara ideal dalam pandanga
plato. Ketika masalah ini diangkat, ia bertanya “Akankah seorang pelukis
menjadi lebih buruk karena setelah ia melukis-denga seni yang sempurna-tantang
manusia ideal yang benar-benar cantik, dia tidak mampu menunjukan bahwa orang
tersebut benar-benar ada?” dari sini tergambar dari pemikiran dasar tentang
alam ide, yaitu segala sesuatu memiliki realitas yang sebenarnya, dan itu ada
di alam ide. Maka bukan tidak mungkin kalau negara ideal itu benar-benar bisa
dicapai. Secara singkat Plato mengungkapkan tentang kriteria seorang pemimpin
haruslah seorang filosof, jika tidak ada maka pemimpin itu lah yang harus
menjadi filosof. Artinya disini seorang pemimpin tidak hanya memimpin negara
dalam pemerintahan saja, namun bagaimana pemimpin ini bisa memikirkan secara
sistematis tentang rakyatnya, baik masalah dalam jajaran pemerintahan, maupun
dalam masyarakat kecil.
Plato sempat mengatakan tentang negara idealnya, yaitu: ...saya tidak
memikirkan ia (negara ideal) berada dimanapun juga di muka bumi... di kayangan,
barangkali, sebuah pola dari negara itu disimpan bagi dia yang memiliki mata
untuk melihat... persoalanya sama sekali bukan apakah negara itu berada di mana
saja atau akan berada; melainkan agar prinsip-prinsipnya dipraktekkan, itu
saja.
Ali Abdul Raziq mencoba mengangkat kembali kemerdekaan pemikiran manusia
untuk mengatur negara sesuai denga situasi yang berlaku. Katanya, Islam adalah:
'Risalah la hukm, wa din la daulah'. (Islam adalah risalah, bukan pemerintahan.
Islam adalah agama, bukan negara). (Al-Islam wa Ushul Al-Hukm, hal. 64). Dalam keterangan lain di bukunya tertulis:
Nabi besar Muhammad Nabi Muhammad SAW adalah semata-mata utusan Allah untuk
mendakwahkan agama murni tampa mendirkan negara. Nabi tidak mempunyai
kekuasaandunia , negara atau pun pemerintahan, nabi tidak mendirikan kerajaan
atau politik atau sesuatu yang mirip dengan kerajan, dia adalah nabi seperti
hal nya para nabi sebelumnya. Dia Bukan raja, bukan pendiri negara dan bukan
pula mengajak ummat untuk mendirikan duniawi.
Manusia dalam pandangan Ali Abdul Raziq menjadi
pusat pemikiran dan perkembangan ilmu pengetahuan. Manusia mengambil dari apa
yang telah Tuhan sampaikan lewat utusannya. Termasul dalam masalah politik.
Karena Allah, baginya tidak pernah menentukan sistem politik yang baku,
sekalipun Rasulullah pernah menjadi kepala negara, namun Rasul tidak pernah
mengajarkan sistem yang harus dipakai oleh negara-negara islam, termasuk bukan
khalifah.
IV. KESIMPULAN
Pemikiran dari Ali Abd al-Raziq tentang khilafah
menggugah pemikiran muslim untuk mencari alternatif tentang masalah negara Islam.
Sistem khilafah yang dulu dianggap sebagai dogma agama terbukti tidak ada
keterangannya dalam secara eksplisit dalam Alquran dan hadis. Yang bisa
dipahami secara implisit adalah bahwa dasar-dasar Islam perlu panata yang
merealisasikannya. Pranata yang paling mampu dan efektif untuk
merealisasikannya adalah negara dan pemerintahan.
Cara berpikir Ali Abd al-raziq yang scholastic serta
bersifat emphirical history dan rational telah membuktikan sesuatu yang baru.
Namun sayang, metode berpikirnya itu telah menghasilkan sekulerisme yang tidak
disepakati oleh sebagian besar Dunia Islam. Meskipun demikian, masalah terakhir
ini kerap kali timbul ke permukaan, karena ia menyangkut pandangan hidup
Muslim.
Dalam sudut pandang filsafat, pemikiran ini terpaku
pada manusia, dimana manusialah yang seharusnya menentukan sistem untuk manusia
yang lain sesuai dengan masa yang dialami. Dan juga Ali Abdul Raziq sangat
membedakan antara hubungan Tuhan dan manusia dalam segi eksistensinya. Ia tidak
mengikut-campurkan Tuhan dalam urusan manusia semata. Sedangkan agama adalah
wadah untuk manusia berhubungan dengan Tuhan, bukan negara.
Daftar Pustaka
Al-Raziq, Ali Abdul. 1925. Al-Islam wa Ushul Al-Hukm. Mesir Math Ba’ah.
Al-Maududi. 1775. Sistem-Sistem Politik Islam.
Bandung: Mizan.
Al-Bana, Gamal. 2006. Relasi Agama dan Negara.
Jakarta : Mata Air Publishing.
Ar- Rais, Dhiya Ad-Din. 1985. Islam dan Khilafah.
Bandung: Pustaka.
Rapar, JH. 1995. Filsafat
Politik Agustinus. Jakarta: PT. Grafindo Persada
Schmandt, Henry J. 2002. Filsafat Politik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon