Tujuan Sosiologi Ibadah Nikah

I.                   PENDAHULUAN

Hukum nikah menurut kebanyakan ulama’ adalah sunah. Sedangkan menurut pengikut Daud al-Dhahiri hukum nikah itu wajib.  Dan menurut ulama’ modern pengikut imam Malik nikah itu adakalanya menjadi wajib, sunah dan mubah. Pendapat tersebut karena terkait dengan kekhawatiran dirinya untuk berbuat zina. Perbedaan pendapat yang terjadi tersebut karena penafsiran terhadap firman Allah SWT :
فَانكحُواْ مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاء مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاع
“Dan nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi, dua atau tiga atau empat wanita.” (QS. An-Nisa`: 3)
Para ulama’ berbeda pendapat dalam menafsirkan perintah yang terdapat dalam ayat di atas. Apakah perintah itu mengandung pengertian mubah, sunah maupun wajib. Tetapi, semua penafsiran dari para ulama’ mempunyai tujuan untuk kemaslahatan.[1]
Manusia diciptakan oleh Allah mempunyai naluri manusiawi yang memerlukan pemenuhan. Pemenuhan sifat manusiawi dalam hal kebutuhan biologis, termasuk kebutuhan yang harus terpenuhi. Sehingga, Allah SWT memerintahkan manusia unutk menikah agar terhindar dari perbuatan zina.
Tujuan pernikahan menurut islam ialah untuk memenuhi petunjuk agama yaitu mendirikan keluarga yang harmonis, sejahtera dan bahagia. Sedang menurut pandangan sosiologi, pernikahan bertujuan untuk menjalin tali solidaritas antar sesama anggota masyarakat dengan berbagai karakteristik yang berbeda, mempunyai adat yang berbeda, serta letak suatu wilayah yang berbeda untuk mewujudkan integritas sosial.


II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian pernikahan
B.     Pengertian ilmu sosiologi
C.     Pernikahan dalam perspektif sosiologi
D.    Pernikahan dalam perspektif Islam

III.                  PEMBAHASAN
A.    Pengertian pernikahan
          Pernikahan dalam literatul fiqh berbahasa Arab terdapat dua kata yaitu nikah (نكا ح) dan zawaj (زواج ). Secara arti, kata nikah berarti “bergabung” (ضم), “hubungan kelamin” (وطء) dan juga berarti “akad” (عقد). Adanya dua kemungkinan arti ini disebabkan kata nikah yang terdapat dalam al-Qur’an mengandung dua arti. Kata nikah dalam surat al-Baqarah ayat 230 :

فَاِنْ طَلَقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدِ حَتَّى تَنْكَحَ زَوْجًا غَيْرَهُ ........

Artinya :  “Maka jika suami menalaknya(sesudah talak dua kali), maka perempuan itu tidak boleh lagi dinikahinya hingga perempuan itu kawin dengan laki-laki lain. ” (QS. Al-Baqarah :230)

        Meskipun ada kemungkinan arti dari kata na- ka- ha. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa kata nikah berarti akad dalam arti yang sebenarnya(hakiki); hubungan kelamin.
Dalam arti terminologis dalam kitab-kitab terdapat beberapa rumusan. Perbedaan rumusan tersebut disebabkan oleh berbeda dalam titik pandang. Di kalangan ulama Syafi’iyah rumusan yang di pakai adalah:

عقد يتضمن ابا حة الو طء بلفظ الا نكاح او التزويج
Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja. (al-Mahalli,206).       [2]
        Ulama golongan Syafi’iyah ini memberikan definisi sebagaimana melihat kepada hakikat dari akad itu bila di hubungan dengan kehidupan suami istri sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedangkan sebelum akad berlangsung di antara keduanya tidak di perbolehkan bergaul.
Menurut istilah hukum Islam, terdapat beberapa definisi, di antaranya adalah:
الزواج شرعا هوعقد وضعه الشارع ليفيد ملك استمتاع الرجل بالمراة وحل استمتا ع المراة باالرجل
Perkawinan menurut syara’ yaitu akad yang di tetapkan syara’ untuk membolehkan bersenang-senang antara laki-laki dengan perumpuan dan menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki.[3]
        Sayyid Sabiq, mengomentari: Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk Tuhan. Perkawinan merupakan cara yang di pilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia beranak, berkembang biak, dan melestarikan hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif. Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia, Allah mengadakan hukum sesuai dengan martabatnya, sehingga hubungan antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan rasa saling meridhai.

B.     Pengertian ilmu sosiologi
        Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial dan proses-proses sosial, teruma berkaitan dengan perubahan-perubahan sosial. Masyarakat atau yang sering di sebut dengan Social Human adalah komponen yang menempati serta mempunyai peran penting sebagai sekelompok orang yang saling berinteraksi.
        Di dalam struktur status dan peran (role) tersebut terdapat pula norma-norma dan sistem tata nilai yang di jadikan pedoman dalam bertindak serta tolok ukur (penilaian) terhadap salah satu atau sekelompok anggota masyarakat tertentu.  

C.    Pernikahan dalam perspektif sosiologi
        Pernikahan dalam pandangan Islam (terminologi) adalah suatu Akad atau perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja. Sedangkan ilmu Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari tentang struktur sosial dan proses-proses sosial. Sehingga dalam perspektif sosiolog, nikah atau yang sering disebut dengan amalgamasi adalah sebuah ikatan antara seseorang dengan orang lain di suatu daerah tertentu yang bertujuan untuk menciptakan tradisi baru antar anggota atau kelompok masyarakat yang berbeda. Keberagaman budaya inilah yang melatar belakangi terjadinya suatu amalgamasi.
        Para ahli antropologi mengatakan bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan komplek yang di dalamnya meliputi pengetahuan, seni, moral, hukum, adat istiadat dan setiap kemampuan atau kebiasaan yang dilakukan oleh seseorang sebagai anggota suatu masyarakat. Sehingga muncul berbagai tujuan (aim) dari pernikahan dalam perspektif sosiologi, diantaranya adalah:
1.      Menjalin solidaritas antar budaya dan wilayah tertentu
2.      Menciptakan dan mengintegrasikan berbagai adat istiadat
3.      Untuk saling mengenal keberagaman budaya, hukum, seni dan moral sebagai sebuah ilmu pengetahuan.


D.    Pernikahan dalam perspektif Islam
a.      Prinsip-prinsip pernikahan
  Ada beberapa prinsip pernikahan menurut agama Islam. Adapun prinsip-prinsip tersebut yaitu:
1.      Memenuhi dan melaksanakan perintah Agama[4]
                             Pernikahan adalah sunnah Nabi. Itu berarti bahwa melaksanakan perkawinan pada hakikatnya merupakan pelaksanaan dari ajaran agama. Agama mengatur perkawinan itu memberi batasan rukun dan syarat-syarat yang perlu di penuhi.
2.      Kerelaan dan persetujuan[5]
                        Sebagai salah satu syarat yang harus di penuhi oleh pihak yang hendak melangsungkan perkawinan ialah Ikhtiyar(tidak dipaksa). Pihak yang melangsungkan peerkawinan itu dirumuskan dengan dasar kerelaan calon istri dan suami. Untuk kesempurnaan itulah perlu adanya Khitbah yang merupakan satu langkah sebelum melakukan perkawinan. 
3.         Pernikahan untuk selamanya[6]
                               Tujuan pernikahan antara lain untuk dapat keturunan dan ketenangan, ketentraman dan cinta serta kasih sayang. Kesemuanya dapaat dicapai hanya dengan prinsip bahwa pernikahan adalah untuk selamanya.
                        Karena prinsip pernikahan dalam Islam adalah untuk selamanya, maka Islam tidak membenarkan:
a.          Akad nikah yang mengandung ketentuan pembatasan waktu perkawinan.
b.          Nikah Mut’ah
Nikah Mut’ah hukumnya adalah haram. Adapun dinamakan Mut’ah, ialah nikah dengan maksud dalam waktu tertentu itu seseorang dapat bersenang-senang melepaskan keperluan syahwatnya.
c.          Nikah Muhallil [7]
Nikah Muhallil ialah nikah yang di lakukan oleh seseorang terhadap wanita yang telah dicerai tiga kali oleh suaminya yang pertama, setelah selesai iddahnya. Jadi dalam nikah nikah Muhallil itu ada unsur perencanaan dan niat untuk bukan untuk selamanya. Sehingga hukum pernikahan itu haram dan akibatnya tidak sah.

d.          Nikah Syighar [8]
Nikah Syighar ialah seorangwali mengawinkan putrinya dengan seorang laki-laki dengan syarat agar laki-laki itu mengawinkan putrinya dengan si wali tanpa bayar mahar.
Jumhur Ulama berpendapat bahwa nikah syighar pada pokoknya tidak diakui, karena hukumnya adalah batal (tidak sah).

b.   Rukun dan syarat pernikahan
          Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu sendiri.
                 Syarat yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah atau tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), tetapi tidak termasuk dalam rangkaian pekerjaan itu.
1.    Rukun pernikahan
Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun pernikahan terdiri atas[9]:
a.    Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan pernikahan.
b.    Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita.
c.    Adanya dua orang saksi.
d.   Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang di ucapkann oleh wali atau wakilnya dari pihak wanita, dan di jawab oleh calon pengantin laki-laki.
2.    Syarat syahnya pernikahan
     Syarat pernikahan merupakan dasar bagi sahnya pernikahan. Apabila syarat-syarat terpenuhi, maka pernikahan itu sah dan menimbulkan segala hak dan kewajiban sebagai suami istri.
Secara garis besarnya, syarat-syarat sahnya pernikahan ada dua:
a.    Calon mempelai perempuannya halal untuk di nikahi oleh laki-laki yang ingin menjadikannya istri.
b.    Akad nikahnya  dihadiri para saksi.[10]

IV.             KESIMPULAN
          Pernikahan yaitu akad yang telah di tetapkan oleh syara’ untuk menghalalkan bersenang-senangnya perempuan dengan laki-laki dengan tujuan untuk kemaslahatan dan untuk menjauhi diri dari perbuatan zina.




[1]Imam al-Qadli Abu al-Walid Muhammad, Bidayatu al-Mujtahid wa al-Nihayatu al-Muqtashid, (al-Maktabah al-Syamilah)
[2] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Croup, 2009) hlm. 37
[3] Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana 2008)  hlm. 8
[4] Lihat Ilmu Fiqh II, h.70. Lihat pula Zakiah Daradjat, op.cit.,hlm. 54
[5] Ilmu Fiqh II, loc cit. Lihat pula Zakiah Daradjat, op. Cit., hlm. 54
[6] Lihat Ilmu Fiqh II, h.74. Lihat pula Zakiah Daradjat, op.cit.,hlm. 56
[7] Ibid. hlm. 76-78
[8] Lihat Sayyid Sabiq, op. cit., hlm. 47
[9] Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqh Munakahat 1, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999).
[10] Lihat Sayyid Sabiq, op. Cit., hlm. 48
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan