Tafsir Baidhawi (Anwar al-Tanzil wa Isrâr al-Ta’wil)

A.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Dalam studi Al-Qur’an, nama al-Baidhawi dikenal sebagai salah seorang mufassir yang cukup terkenal dengan kitab tafsirnya Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil. Kitab ini sangat populer baik di kalangan umat Islam maupun non-Islam. Popularitas kitab Tafsir al-Baidhawi di dunia Barat konon menyamai populernya kitab Tafsir Jalalain karya Jalaluddin al-Suyuti dan Jalaluddin Al-Mahalli di kalangan umat Islam. Beberapa bagian dari tafsir al-Baidhawi ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Prancis. Bahkan kitab ini lebih luas daripada kitab tafsir Jalalain itu, serta mendalam dan meyakinkan sehingga sering dijadikan sandaran oleh para pencari ilmu terutama ketika berkaitan dengan pembentukkan kata.

2.      Pokok Masalah
1.      Biografi Baidhawi
2.      Sejarah dan Latar Belakang Penulisan Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil

B.     ANALISA
1.      Biografi al-Baidhawi
Al-Baidawi dilahirkan di Baida’, sebuah daerah yang berdekatan dengan kota Syiraz di Iran Selatan. Di kota inilah beliau tumbuh dan berkembang menempa ilmu. Ia juga pernah belajar di Baghdad hingga kemudian menjadi hakim agung di Syiraz (Azarbaijan) –suatu daulah yang berdiri sendiri namun tetap berkiblat kepada daulah Abbasiyah –mengikuti jejak ayahnya.[1] Abdullah ibn Umar bin Muhammad bin Ali al-Baidawi al-Syafi’i yang merupakan nama lengkap dari al-Baidawi adalah seorang ulama multidisipliner dalam  ilmu pengetahuan, yaitu ahli dalam bidang tafsir, bahasa arab, fiqh, ushul fiqh, teologi, dan mantiq.[2] Iapun merupakan sosok yang pandai berdebat dan sangat menguasai etika berdiskusi, sehingga pantaslah ia mendapatkan gelar nazzar atau mutabahhir fi maida fursan al-kalam.[2] Al-Baidhawi merupakan salah satu pengikut madzhab syafi’iyah dalam bidang fiqh dan ushul fiqh serta menganut konsep teologi ahl al-sunnah wa al-jama’ah.
Sesuai dengan jabatan dan keahliannya dalam berbagai bidang keilmuan, al-Baidawi dapat disebut sebagai sosok yang unggul dalam masyarakatnya. Salah satu bukti kepandaiannya adalah pujian yang diteriama beliau, yaitu Nasir al-Din (penolong agama). Al-Baidawi hidup dalam keadaan politik yang tidak menentu. Sultan Abu Bakar yang memegang tampuk kekuasaan pada saat itu tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya supremasi keadilan yang lemah, namun juga sikap hedonis dan boros dari para pejabat yang berkuasa. Nampaknya hal inilah yang melatarbelakangi pengunduran diri al-Baidawi dari jabatan hakim agung. Intervensi dari penguasa terhadap lembaga peradilan yang begitu kuat membuat kekhawatiran tersendiri bagi banyak fuqaha’, termasuk al-Baidawi. Mereka khawatir jika diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syari’at Islam. Keputusan al-Baidawi ini juga dipengaruhi oleh nasihat yang diberikan oleh pembimbing spiritualnya, Syaikh Muhammad bin Muhammad al-Khata’i agar al-Baidawi tidak lagi bersentuhan dengan lembaga hukum.[3]
Setelah melepaskan jabatannya sebagai hakim di daerah Syiraz, al-Baidawi mengembara ke Tabriz dan berguru pada ulama setempat. Ia singgah di sebuah majlis dars bagi para pembesar setempat. Karena kehebatan beliau, banyak diantara pembesar setempat memujinya. Dikota inilah beliau mengarang kitab tafsir yang berjudul Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil. Beliau menetap di kota ini hingga ajal menjemputnya. Ada perbedaan diantara ulama tentang tahun wafat beliau, antara lain al-Subki dan Asnawi menyatakan bahwa al-Baidawi wafat pada tahun 691 M, sedangkan Ibnu Kasir menyatakan bahwa beliau wafat tahun 685 M.[4]
Sebagai seorang ulama yang terkemuka, al-Baidawi telah menghasilkan banyak karya tulis diberbagai bidang keilmuan. Karya-karya tesebut antara lain Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil (tafsir), Syarah Masabih (hadis), Tawali al-Anwar, al-Misbah fi Ushul al-Din (teologi), syarh al-Mahsul, Minhaj al-Wusul ila ‘Ilm al-Usul (ushul fiqh), syarh al-Tanbih (fiqh), al-Lubb fi al-Nahwu (nahwu), Kitab Al-Mantiq (mantiq), al-Tahzib wa al-akhlaq (tasawuf), Nizam al-Tawarikh (sejarah), dll.[5]

2.      Seputar Tafsir Anwar Al-Tanzil wa Asrar Al-Ta’wil
a.      Latar Belakang Penulisan
Kitab tafsir al-Baidhawi dinamainya sendiri dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil. Hal ini tampak dalam dari pernyataan beliau sendiri sebagaimana terdapat dalam pengantar tafsirnya sebagaimana dikutip oleh Al-Dzahabi: “Setelah melakukan shalat istikharah, saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu mulai menulis dan menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan buku ini, setelah selesai penulisannya, dengan Anwar Al-Tanzil Wa Asrar Al-Ta’wil”.[6] Alasan al-Baidawi menulis kitab ini adalah sebagaimana yang beliau tuliskan dalam muqaddimah kitab bahwa ilmu tafsir merupakan ilmu yang paling tinggi derajatnya. Tafsir merupakan pemimpin, fondasi, dan dasar bagi ilmu-ilmu agama yang lainnya.[7]
b.     Bentuk dan Sistematika Penafsiran
Kitab tafsir al-Baidawi ini merupakan salah satu kitab tafsir yang mencoba memadukan penafsiran bi al-ma’sur dengan bi al-ra’yi sekaligus. Dalam hal ini, al-Baidawi tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi yang menjadi ciri khas penafsiran bi al-ma’sur, tapi juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya ataupun argumentasinya. Model seperti ini dinilai dapat mempermudah pemahaman dan pengamalan akan petunjuk kitab suci tersebut, karena mufasir tidak hanya mengutip pendapat ulama terdahulu, melainkan juga menggunakan tinjauan dari pengetahuannya sendiri.[8]
Kitab ini, sebagaimana yang dipaparkan al-Zahabi, merupakan kitab hasil ringkasan dari tafsir al-Kasysyaf dengan meninggalkan unsur-unsur kemu’tazilahan yang terdapat dalam kitab al-Kasysyaf. Namun, terkadang beliau juga mengambil pendapat dari Shahib al-Kasysyaf, al-Zamakhsyari. Selain bertolak pada kitab ini, al-Baidawi juga menggunakan kitab tafsir al-Razy dan juga al-Ashfahani.[9] Terlepas dari pendapat al-Zahabi dan Haji Khalifah tersebut, dalam muqadimahnya, al-Baidawi menyebutkan bahwa ada dua macam sumber yang dijadikan rujukan dalam menulis tafsirnya. Pertama, berdasarkan qaul para sahabat, tabi’in, dan ulama-ulama salaf. Kedua, qaul yang terdapat kitab tafsir sebelumnya. Beliau menerapkan hal ini memang  sebagai salah satu upaya untuk mensarikan pendapat ulama-ulama sebelumnya. Disamping itu, beliau juga memberikan pandangannya sendiri dalam menafsirkan ayat al-Qur’an sehingga pantaslah beliau menyatakan bahwa karyanya adalah langkah independen dari hasil istinbat yang beliau lakukan sendiri.[10]
Dari segi sistematika penyusunannya, kitab tafsir ini diawali dengan menyebutkan basmalah, tahmid, penjelasan tentang kemu’jizatan al-Qur’an, signifikasi ilmu tafsir, latar belakang penulisan kitab, baru kemudian uraian penafsiran ayat-ayat al-Qur’an dengan metode al-Baidawi tersendiri. Di akhir kitabnya, al-Baidhawi menjelaskan tentang keunggulan kitab karyanya, mengungkapkan harapan agar kitab ini bisa dimanfaatkan oleh pelajar. Bacaan tahmid dan shalawat menjadi penutup dari kitab ini.[11]

c.       Metode Penafsiran
Tafsir al-Baidhawi ini menggunakan metodologi tahlili (analitis), berupaya menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan urutan urutan mushaf Usmani, dari surat ke surat, dan dari ayat ke ayat, mulai dari al-Fatihah sampai al-Nas.[12] Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an, beliau menggunakan berbagai sumber, antara lain ayat al-Qur’an, hadis Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan ulama sebelumnya. Selain itu, penggunaan tata bahasa dan qira’at juga menjadi suplemen utama guna penguatan analisis dan penafsiran al-Baidawi. Keberadaan cerita-cerita israiliyat dapat ditemukan walau penggunaanya diminimalisir oleh al-Baidawi.
Kisah-kisah Israiliyat yang menjadi bagian penting dalam kitab-kitab sebelumnya, dalam tafsir al-Baidhawi diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut, al-Baidhawi menyebutkannya dengan menggunakan istilah ruwiya (diriwayatkan) atau qila (dikatakan). Menurut Al-Dzahabi, penggunaan kedua istilah itu menunjukkan bahwa al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah Israiliyat tersebut yang tidak bisa diterima oleh akal dan logika. Contohnya adalah ketika beliau menafsirkan surat Al-Naml: 22;
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطْتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ زماناً غير مديد يريد به الدلالة على سرعة رجوعه خوفاً منه، وقرأ عاصم بفتح الكاف. فَقالَ أَحَطْتُ بِما لَمْ تُحِطْ بِهِ يعني حال سبأ، وفي مخاطبته إياه بذلك تنبيه له على أن في أدنى خلق الله تعالى من أحاط علماً بما لم يحط به لتتحاقر إليه نفسه ويتصاغر لديه علمه، وقرئ بإدغام الطاء في التاء بإطباق وبغير إطباق. وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ وقرأ ابن كثير برواية البزي وأبو عمرو وغير مصروف على تأويل القبيلة أو البلدة والقواس بهمزة ساكنة. بِنَبَإٍ يَقِينٍ بخبر متحقق
روي أنه عليه الصلاة والسلام لما أتم بناء بيت المقدس تجهز للحج فوافى الحرم وأقام بها ما شاء، ثم توجه إلى اليمن فخرج من مكة صباحاً فوافى صنعاء ظهيرة فأعجبته نزاهة أرضها فنزل بها ثم لم يجد الماء. وكان الهدهد رائده لأنه يحسن طلب الماء.
فتفقده لذلك فلم يجده إذ حلق حين نزل سليمان فرأى هدهداً واقعاً فانحط إليه فتواصفا وطار معه لينظر ما وصف له، ثم رجع بعد العصر وحكى ما حكى، ولعل في عجائب قدرة الله وما خص به خاصة عباده أشياء أعظم من ذلك يستكبرها من يعرفها ويستنكرها من ينكرها.
"Tidak lama kemudian datanglah Hud-Hud seraya berkata: Aku telah menemukan sesuatu yang tidak kamu ketahui. Aku datang dari negeri Saba’ dengan membawa berita yang meyakinkan”. Dalam hal ini, setelah menafsirkan secar ringkas ayat tersebut dan mengemukakan macam-macam bacaan dari lafadh makaksa, saba’ serta bacaan tajwid pada beberapa kata, al-Baidhawi mengemukakan, ”Diriwayatkan bahwa Nabi Sulaiman As setelah menyelesaiakan bangunan Bait Al-Maqdis, lalu bersiap-siap untuk menunaikan ibadah haji”. Setelah mengutip sebuah kisah israiliyat tentang pengembaraan Nabi Sulaiman dari Makkah ke Sana’a tanpa menyebutkan kualitas riwayat tersebut dan juga tidak menafikannya beliau berkata: ”Barangkali di antara keajaiban kekuasaan Allah yang dikhususkan bagi hamba_hamba-Nya terdapat perkara-perkara yang lebih besar darinya, yang menyebabkan orang-orang yang mengetahui kekuasaan-Nya akan mengagungkan-Nya, dan sebaliknya, orang-orang yang mengingkarinya akan menolaknya”.
Sebagaimana telah disebutkan bahwa penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi. Dengan demikian pendekatan bahasa menjadi ”menu utama” dalam setiap penafsirannya.
Adapun langkah operasional penafsiran al-Baidhawi dalam kitabnya ialah mula-mula al-Baidhawi menyebutkan tempat turun surat (Makki atau Madani) beserta jumlah ayat yang menjadi obyek. Penjelasan makna ayat baik menggunakan analisis kebahasaan, hadis nabi, maupun qira’ah menjadi langkah selanjutnya yang diterapkan al-Baidhawi. Pada bagian akhir surat, beliau menyertakan hadis-hadis yang menerangkan tentang keutamaan surat yang sedang ditafsirkan. Lebih lanjut, al-Baidawi juga menggunakan metode munasabah ayat antara suatu ayat dengan ayat lain.

d.     Corak Penafsiran
Sebagaimana yang al-Zahabi kutip dari shahib al-kasyf al-Zunun, bahwa al-Baidawi dalam menulis tafsirnya merujuk pada al-Zamakhsyari dalam hal I’rab, Ma’ani, dan Bayan, al-Razy dalam hal filsafat dan kalam, juga pada al-Ashfahani dalam hal asal-usul kata.[13]
Dalam hal penetapan hukum, tafsirnya dipengaruhi oleh teologi ahlus-sunnah, yakni dipengaruhi oleh tafsir Mafatih al-Ghaibi karya Imam Fakhruddin ar-Raziy. Walaupun begitu tafsir ini merupakan ringkasan dari tafsir Al-Kasysyaf, namun beliau meninggalkan aspek-aspek kemuktazilahannya. Namun kadang dalam beberapa hal, beliau sependapat juga dengan pendapat penulis al-Kasysyaf.
Dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an, al-Baidhawi sebenarnya tidak memiliki kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara muthlak, misalnya fiqh, aqidah atau yang lainnya. Karyanya ini justru mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqh, bahkan tasawuf. Tentunya ini didukung oleh basis awal keilmuan beliau dan juga aspek-aspek yang mempengaruhi beliau dalam penafsiran, seperti yang telah disebutkan sebelumnya. Yang jelas, sebagai seorang Sunni, penafsiran al-Baidhawi memang cenderung kepada madzhab yang dianutnya tersebut. Dan secara otomatis, kitab tafsir ini lebih kental nuansa teologisnya.[14]

C.    PENUTUP
Kitab tafsir ini dikenal dengan sebutan Tafsir al-Baidhawi. Tafsir ini merupakan salah satu kitab yang populer di dunia Islam, yang memiliki banyak manfaat, gaya bahasa yang indah, perumpamaan yang manis, dan banyak diminati para pakar dan cendekiawan terkemuka untuk mengkaji dan memberi catatan pinggir (komentar) terhadapnya.
Isinya dibuat semodel ringkasan (ikhtishâr), mengandung berbagai pemikiran, pandangan-pandangannya diarahkan pada banyak dimensi gramatika bahasa, fiqh, dan ushul yang terkandung dalam ayat-ayat al-Qur’an, dan begitu juga dari sudut pandang bacaan (qirâat) dan makna intrinsik ayat (isyârât), serta mengkombinasikan antara tafsir dan takwil berdasarkan kaidah-kaidah bahasa dan syar’i.
Metode penafsirannya dibuat sebagaimana umumnya kitab-kitab tafsir, menyebutkan nama surat, mengaitkan dengan konteks turunnya, baru menafsirkan ayat demi ayat, serta mengangkat hadis tentang keutamaannya pada akhir surat tersebut.
Penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi dalam hal gramatika bahasa, ma’ani, dan bayan merujuk pada kitab Al-Kasysyâf karya Az-Zamakhsyari, sampai-sampai dikategorikan sebagai “ikhtishâr al-Kasysyâf” karena itu. Akan tetapi, al-Baidhawi meninggalkan pandangan-pandangan Mu’tazilahnya dan berpegang pada madzhab Asy’ariyah dalam masalah teologi dan kalam, demikian menurut adz-Dzahabi. Selain itu, juga merujuk pada kitab At-Tafsîr al-Kabîr milik Ar-Razi dalam kaitannya dengan hikmah dan kalam, serta Jâmi’ at-Tafsîr karya Ar-Raghib al-Ashfahani dalam kaitannya dengan pembentukan kata, makna intrinsik, dan isyarat-isyarat batin dari ayat.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Baidawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Jeddah: Harramayn)
al-Dzahabi, Husain, Al-Tafsir wal Mufassirun, (Maktabah Mush’ab bin Amir al-Islamiyah, 2004),
Khalifah, Haji, Kasyf al-Zunun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994).
Yusuf, Muhammad (dkk), Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004).




[1] Muhammad Yusuf (dkk), Studi Kitab Tafsir; Menyuarakan Teks yang Bisu, (Yogyakarta: Teras, 2004), hlm. 114-115.
[2] Haji Khalifah, Kasyf al-Zunun, (Beirut: Dar al-Fikr, 1994), hlm. 197.
[3] Op. Cit. Muhammad Yusuf (dkk). Hal. 197
[4] Husain al-Dzahabi, Al-Tafsir wal Mufassirun, (Maktabah Mush’ab bin Amir al-Islamiyah, 2004), hlm. 211.
[5] Op. Cit. Muhammad Yusuf (dkk). Hal. 116
[6] Op. Cit. Husain al-Dzahabi.Hal. 211.
[7] Al-Baidawi, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, (Jeddah: Harramayn, tth), hlm. 3-6.
[8] Op. Cit. Muhammad Yusuf (dkk). Hal. 121
[9] Op. Cit. Husain al-Dzahabi.Hal. 211-212.
[10] Op. Cit. Al-Baidawi. Hal. 2
[11] Op. Cit. Muhammad Yusuf (dkk). Hal. 122
[12] Ibid.
[13] Op. Cit. Husain al-Dzahabi.Hal. 214.
[14] Op. Cit. Muhammad Yusuf (dkk). Hal. 122
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

1 comments:

Click here for comments
Terima Kasih Sudah Berkomentar
14 December 2018 at 18:57

ijin untuk mempelajarrinya ka..
Terimakasih sebelumnya sudah memuat tulisan yang bermanfaat ini.

Selamat M Yuga Fadilllah dapat PERTAMAX...! Silahkan antri di pom terdekat heheheh...
Balas

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan