BAB I
PENDAHULUAN
I.
Latar Belakang
Pemakalah sebelumnya telah sedikit banyak
menjelaskan tentang pengertian iman serta naik dan turunnya iman. Bahwasanya,
tebal-tipisnya kadar iman seseorang bisa dilihat dari sepak terjangnya dalam
kehidupan sehari-hari. Yakni sejauh mana orang tersebut mematuhi segenap
perintah Allah SWT. Dan meninggalkan segala larangan-Nya. Sepak terjang
seseorang yang mencerminkan kesempurnaan imannya adalah apabila ia mampu
mempraktekkan seluruh cabang iman dalam kehidupannya sehari-hari.
Ibarat sebuah pohon, iman itu memiliki
cabang-cabang. Dalam salah satu hadits Rasulullah saw bersabda: “Iman mempunyai lebih dari enam puluh
cabang. Adapun malu adalah salah satu cabang dari iman [HR. Bukhari] Dalam
hadits tersebut, Iman memiliki cabang yang banyak. Dalam hadits di atas
disebutkan lebih dari 60 cabang. Ini menegaskan bahwa iman mendorong kita untuk
mengejar kesempurnaan iman dengan memenuhi cabang-cabangnya.
II.
Rumusan
Permaslahan
1.
Bagiamana matan hadits tentang cabang-cabang Iman?
2.
Bagaimana Syarah dari hadits cabang-cabang Iman?
3.
Bagaimana analisis Pemakalah tentang hadits cabang-cabang
Iman?
BAB II
PEMBAHASAN
I.
Matan hadits tentang cabang-cabang Iman
حَدَّثَنَا
عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدٍ الْجُعْفِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا أَبُو عَامِرٍ
الْعَقَدِيُّ قَالَ حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ
دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ
وَسِتُّونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ(رواه البخارى)[1]
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad Al-Ju’fiy, dia berkata : Telah menceritakan
kepadaku Abu Amiri al-Aqadi, berkata: Sulaiman bin Bilal dari
Abdullah bin Dinar dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata,
"Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Iman itu ada
lebih dari enam puluh cabang. Dan malu itu adalah sebagian dari iman."HR. Bukhori.
حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ
عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي
هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا
قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ
الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ (رواه مسلم )[2]
Artinya : Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin
Harb telah menceritakan kepada kami Jarir dari Suhail dari Abdullah bin Dinar
dari Abu Shalih dari Abu Hurairah dia berkata, "Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam bersabda: "Iman itu ada tujuh puluh lebih, atau enam
puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan, LAA ILAAHA ILLALLAHU
(Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah
adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah sebagian dari
iman."HR. Muslim
II.
Syarah hadits tentang cabang-cabang
Iman
Menurut al-Qazzaz, “"بضع berarti bilangan
antara tiga sampai sembilan. Pendapat tersebut banyak disepekati oleh para ahli
tafsir berdasarkan Firman ”فلبست في السجن بضع سنين"
(Karena itu tetaplah dia (Yusuf)
dalam penjara dalam beberapa tahun). Sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi
dengan sanad shahih “sesungguhnya kaum Quraisy pernah mengucapkan kata
tersebut kepada Abu Bakar” dan juga riwayat at-Thabari dengan sanad marfu’.
Lafadz “ستّون
" tidak jadi perbedaan
kata. Pada sanad dari Abu Amir syaikh Imam Bukhari. Lain halnya hadits yang
diiriwayatkanoleh Abu Awanah melalui sanad Bisyr bin Amru dari Sulaiman bin
Hilal yaitu ”بضع وستون او بضع وسبعون” (enam puluh atau tujuh puluh). Demikian
pula terjadi keraguan dalam riwayat Imam Muslim
dari jalur sanad Suhail bin Abi
Shalih dari Abdullah bin Dinar. adapun riwayat Ashhab sunan ast-Tsalast dari
jalur Suhail menyebutkan” "بضع و سبعون tanpa ada
keraguan, Abu Awanah dalam salah satu riwayatnya menyebutkan "ستون وستون"(enam
puluh enam) atau "سبع وسبعون"
(tujuh puluh tujuh).
Imam Baihaqi lebih menguatkan riwayat
Bukhari, karena, menurutnya sulaiman bin Bilal tidak ragu dalam mengucapkan
angka tersebut. pendapat ini masih bisa dikritik mengingat Bisyr bin Amru dalam
riwayatnya sempat mengalami keraguan, namun kemudian menyebutkan angka enam
pulah empat adalah riwayat yang cacat, tapi sebenarnya riwayat ini tidak
bertentangan dengan riwayat Bukhari. Adapaun upaya untuk menguatkan pendapat
yang menyatakan “Tujuh puluh” sebagaimana
disebutkan Hulaimi dan Iyad adalah berdasarakan banyaknya rawi yang dapat
dipercaya, tetapi Ibnu Shalah menguatkan
pendapat yang menyebutkan bilangan yang
lebih sedikit, karana yang lebih sedikit adalah yang diyakini.
Arti kata ‘’شعبة’’
adalah potongan, tapi maksud kata tersebut
adalah cabang, bagian, atau perangai.
Secara terminologi ‘ الحياء’’ berarti
perubahan yang ada pada diri seseorang karena takut melakukan perbuatan yang dapat
menimbulkan aib. Kata tersebut juga berarti meninggalakan sesuatu dengan alasan
tertetu, atau adanya sebab yang memaksa kita harus meniggalkan sesuatu. Sedangkan
secara terminologi, berarti perangai yang mendorong untuk menjauhi sesuatu yang
buruk dan mencegah untuk memberikan suatu hak
kepada pemilikya, sebagaimana diriwayatakan dalam sebuah hadits, “ malu
itu baik keseluruhaannya”.
Apabila dikatakan bahawa. Bahwa sifat
malu merupakan insting manusia, lalu bisa dikategorikan sebagai cabang dari
iman? Jawabnya, bahwa malu bia menjadi insting
dan bisa menjadi sebuah perilaku moral,
akan tetapi penggunaan rasa malu agar sesuai dengan jalur syariat membutuhkan
usaha, pengetahuan dan niat, maka dari sinilah dikatakan bahwa malu adalah
bagian dari iman. Karena malu dapat
menjadi faktor stimulus yang dapat melahirkan perbuatan taat dan membentengi
diri dari pebuatan maksiat. Dengan demikian tidak dibenarkan kita mengatakan”
Ya Tuhan aku malu untuk mengucapkan kebenaran atau malu untuk melakukan
perbuatan baik” karena yang seperti ini tidak sesauia dengan syariat.
Apabila ada pendapat mengatakan,
“kenapa hanya malu yang disebutkn? jawabannya, karena sifat malu adalah
motivator yang akan memunculkan cabang iman yang lain, sebab dengan malu,
seseorang merasa takut untuk melakukan perbuatan buruk di dunia maupun di
akhirat. Sehingga malu dapat berfungsi untuk memerintah, menghindari atau mencagah.
Ibnu Iyad berpendapat semua orang
telah berusaha untuk menentukan cabang atau bagian iman dengan ijtihad. Karena
menentukan hukumnya secara pasti sangat sulit untuk dilakukan. Tetapi, tidak
berarti keimanan seseorang akan cacat bila tidak mampu menentukan batasan
tersebut secara terperinci.
Al Hafizh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani
dalam Fathul Bari menjelaskan, “Bahwa para ulama yang
menyebutkan cabang-cabang itu tidaklah sepakat dalam menyebutkannya dalam satu
macam, yang paling mendekati kebenaran adalah jalan yang ditempuh Ibnu Hibban,
akan tetapi kami tidak mengetahui penjelasan ucapannya, dan saya telah
meringkas dari apa yang mereka sebutkan seperti yang akan saya sebutkan, yaitu
bahwa cabang-cabang ini terbagi menjadi amal yang terkait dengan hati, amal
yang terkait dengan lisan, dan amal yang terkait dengan anggota badan. Amal
yang terkait dengan hati itu ada yang berupa keyakinan dan ada yang berupa
niat. Ia terbagi dua puluh empat perkara, yaitu:
1. Beriman kepada Allah, termasuk di dalamnya beriman kepada
Dzat-Nya, sifat-Nya, tauhid-Nya, dan bahwa tidak ada yang serupa dengan-Nya,
serta meyakini barunya segala sesuatu selain-Nya,
2. Demikian pula beriman kepada malaikat-Nya,
3. Beriman kepada kitab-kitab-Nya,
4. Beriman kepada rasul-rasul-Nya,
5. Beriman kepada qadar-Nya yang baik maupun yang buruk,
6. Beriman kepada hari Akhir, termasuk di dalamnya beriman
kepada pertanyaan di alam kubur, kebangkitan, penghidupan kembali, hisab,
mizan, shirat, surga, dan neraka.
7. Mencintai Allah,
8. Cinta dan benci sesama karena-Nya.
9. Mencintai Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, meyakini kemuliaannya. Termasuk di dalamnya
bershalawat kepadanya dan mengikuti sunnahnya.
10.
Berniat
ikhlas, termasuk di dalamnya meninggalkan riya’, dan kemunafikan.
11.
Bertobat.
12.
Khauf (rasa takut kepada Allah).
13.
Raja’ (berharap kepada Allah)
14.
Bersyukur
15.
Memenuhi janji
16.
Bersabar
17.
Ridha terhadap qadha’ Allah
18.
Bertawakkal
(menyerahkan urusan kepada Allah)
19.
Bersikap rahmah (sayang)
20.
Rendahan hati
21.
Meninggalkan
kesombongan
22.
Meninggalkan
iri
23.
Meninggalkan
dengki
24.
Meninggalkan
marah.
Amal yang terkait dengan lisan itu ada tujuh perkara,
yaitu:
1. Melafazkan tauhid 2. Membaca al-Qur’an. 3. Mempelajari
ilmu 5. Mengajarkannya. 6. Berdoa Berdzikr, termasuk di dalamnya beristighfar.
7. Menjauhi perkataan sia-sia (laghwun).
Amal yang terkait dengan anggota
badan itu ada tiga puluh delapan perkara, di antaranya ada yang terkait dengan
orang-perorang, ia ada lima belas perkara, yaitu:
1. Membersihkan, baik secara hissi (inderawi) maupun maknawi.
Termasuk di dalamnya menjauhi najis.
2. Menutup aurat.
3. Melaksanakan shalat baik fardhu maupun sunat.
4. Zakat juga demikian.
5. Memerdekakan budak.
6. Bersikap dermawan. Termasuk di dalamnya memberikan makan
dan memuliakan tamu.
7. Berpuasa, yang wajib maupun yang sunat.
8. Berhaji dan berumrah juga demikian.
9. Berthawaf.
10.
Beri’tikaf.
11.
Mencari malam
Lailatul qadr.
12.
Pergi membawa
agama. Termasuk di dalamnya berhijrah dari negeri
13.
syirk.
14.
Memenuhi
nadzar.
15.
Memeriksa
keimanan.
16.
Membayar
kaffarat.
Yang terkait dengan yang menjadi pengikut, ia ada enam
perkara, yaitu:
1. Menjaga diri dengan menikah.
2. Mengurus hak-hak orang yang ditanggungnya.
3. Berbakti kepada kedua orang tua, termasuk pula menjauhi
sikap durhaka.
4. Mendidik anak.
5. Menyambung tali silaturrahim.
6. Menaati para pemimpin atau bersikap lembut kepada budak.
Yang terkait dengan masyarakat umum,
ia ada tujuh belas cabang, yaitu:
1. Menegakkan pemerintahan dengan adil.
2. Mengikuti jamaah.
3. Menaati waliyyul
amri (pemerintah).
4. Mendamaikan manusia, termasuk di dalamnya memerangi
khawarij dan para pemberontak.
5. Tolong-menolong di atas kebaikan, termasuk di dalamnya
beramr ma’ruf dan bernahi munkar.
6. Menegakkan hudud.
7. Berjihad, termasuk di dalamnya ribath (menjaga
perbatasan).
8. Menunaikan amanah.
9. Menunaikan khumus (1/5 ghanimah).
10.
Memberikan
pinjaman dan membayarnya, serta memuliakan tetangga.
11.
Bermu’amalah
dengan baik.
12.
Mengumpulkan
harta dari yang halal.
13.
Menginfakkan
harta pada tempatnya, termasuk di dalamnya meninggalkan boros dan berlebihan.
14.
Menjawab
salam.
15.
Mendoakan
orang yang bersin.
16.
Menghindarkan
bahaya atau sesuatu yang mengganggu dari manusia.
17.
Menjauhi perbuatan
sia-sia dan menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan.
Sehingga jumlahnya 69 perkara, dan
bisa menjadi 79 jika sebagiannya tidak disatukan dengan yang lain, wallahu a’lam. (Lihat Fathul Bari juz 1 hal. 77)
Dalam riwayat hadit muslim ditemukan “Yang
paling utama adalah ucapan Laailaahaillallah, sedangkan yang paling rendahnya
adalah menyingkirkan sesuatu yang mengganggu dari jalan.” Hal ini
menunujukkan adanya [erbedaan tingkatan antara satu cabang dengan cabang iman
yang lainnya.[3]
III.
Analisis Pemakalah
Jadi di sini jelas betapa pentingnya
kita menjaga iman atau beriman secara keseluruhannya, jangan setengah-setengah
atau jangan melalaikan/melupakan kewajiban iman. Dan yang paling utama adalah beriman kepada Allah, karena permulaan
iman adalah mengenal Allah, mengenal zat-Nya, sifat-Nya, agar kita dapat melihat
dan mengenal ke-Agungan & Kebesaran-Nya.
Menjaga iman agar kita bukan hanya sekedar beriman dalam ucapan saja,
tapi benar-benar beriman dalam lisan, hati dan perbuatan kita. Apalagi di jaman
sekarang yang begitu banyak godaan dalam nikmat dunia yang hanya meninggalkan
kenikmatan yang sesaat.
BAB III
PNENUTUP
I.
Kesimpulan
Dari
Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda “ Iman mempunyai lebih dari enam puluh
cabang. Adapun malu adalah salah satu cabang dari iman”. Hadits tersebut menjelaskan bahwa
begitu banyak cabang-cabang dari Iman.
Cabang-cabang tersebut telah disebutkan dalam syarahnya ibnu hajar
Ats-Qalaini. Cabang-cabang iman terbagi menjadi dalam tiga jenis, yaitu amalan
yang berhubungan dengan hati, amalan yang berhubungan dengan lisan, dan amalan
yang berhubungan dengan perbuatan.
Hadits
tersebut juga menjelaskan bahwa memiliki rasa malu yang mendorong orang untuk
melakukan amal shaleh dan menjauhi maksiat adalah sebagian dari iman. Dengan
demikian, seolah-olah yang mendorong dan
mencegah mereka adalah keimanan mereka.
II.
Saran
Demikianlah
makalah tenteng “Cabang-cabang Iman” yang kami susun. Tentunya dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam ssegi penulisan maupun segi materinya. Maka
dari itu, kami mohon kritik dan saran yang membangun agar dapat lebih baik lagi
dalam penyusunan makalah selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar, Ebook Fathul Baari: Penjelasan Kitab Shahih Bukhari,Terj (Ghazirah
Abdi Ummah) Jakarta: Pustaka Azzam. 2002
An-Nawawi,
Imam, Syarah Shahih Muslim. Jakarta: Pustaka Azzam. 2010
Al-Asqalani,
Ibnu Hajar, Syarah Shahih Fathul Baari, Riyadh: Maktabah Darussalam.1997
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon