Akhlaq

BAB I
PENDAHULUAN
I.       Latar Belakang
Ilmu akhlak merupakan sebuah ilmu yang mempelajari tentang perbuatan manusia, yang tergolong dalam perbuatan baik dan buruk. Dalam mengkaji ikhwal akhlak, banyak ulama Islam yang membuat definisi tentang akhlak, yang definisi itu berbeda satu sama lain.
Ulama-ulama tersebut di antaranya adalah Ibn Miskawaih, Imam al-Ghazali, Ibrahim Anis, dan lainnya. Meskipun berbeda namun pada hakikatnya memiliki kesamaan maksud dan esensi. Dan untuk mengetahui pendapat-pendapat mereka tentang definisi akhlak dapat dilihat di berbagai literatur tentang akhlak.
Akan tetapi dari berbagai definisi yang ada, secara sederhananya akhlak dapat diartikan sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
Namun, dalam makalah ini tidak akan dibahas panjang lebar mengenai pengertian akhlak. Dan yang akan dibahas adalah perbuatan-perbuatan yang menjadi induk terciptanya sebuah akhlak, yang bisa dikatakan mana perbuatan yang akan bermuara pada akhak yang terpuji dan mana yang tidak.
II.    Rumusan Masalah
a.       Perbuatan apa saja yang menjadi induk terbentuknya akhlak?
b.      Apa penunjang terbentuknya induk aklak tersebut?
c.       Kata apa saja dalam al-Qur’an untuk mengungkapkan kata adil?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Induk Akhak
Secara garis besar akhlak dibagi menjadi dua, yakni akhlak yang baik dan akhlak yang buruk. Dan secara teoritis, di dalam bukunya Abuddin Nata (2012) menyebutkan macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (kebijaksanaan), syaja’ah (ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).[1]
a.       Hikmah
      Yang dimaksud hikmah di sini adalah berpengetahuan luas dan bijaksana dalam tindakan dan perbuatan berlandaskan al-Qur’an dan as-Sunnah. Orang yang berhikah ialah mereka yang dapat membedakan yang benar daripada yang salah dan dapat memberi alasan yang munasabah serta bukti yang sesuai.[2]
b.      Syaja’ah
      Yaitu apabila keadaan marah yang sedang meluap-luap itu dapat dituntut oleh akal untuk terus memajukan keberanian. Orang yang berani juga ialah orang yang sanggup berjuang dengan penuh kesabaran bagi mempertahankan agama, diri, maruah, akal, keturunan, harta benda dan negara dengan kekuatan fikiran, tenaga, harta benda dan jiwa.
c.       Iffah
      Ialah mengawal kemahuan nafsu atau syahwat dari perkara-perkarayang haram dan syubhah, supaya ia terdidik ke arah melaksanakan perkara-perkara yang ma’ruf dan senantiasa tunduk kepada petunjuk akal dan syarak. Sifat kesederhanaan dapat membantu manusia memiliki akhlak murine yang lain seperti malu, tenang, sabar, dewmawa, qonaah, berbudi basaha, berdisiplin, mempunyai niat yang baik, lemah lembut, warak, peramah, pemurah dan suka menolong orang.[3]
            Dalam literatur lain, misalnya dalam buku Sebening Mata Hati (2008), dijelaskan bahwa dalam diri seseorang terdapat empat pilar yang merupakan induk dari akhlak, yaitu hikmah, keberanian, kesucian, dan keadilan.[4] Dan dari keseimbangan serta keselarasan empat pilar tersebutlah akan muncul akhlak yang mulia.
            Bahkan, menurut Kiai Muchtih, induk akhalaqu karimah itu meliputi: (1) al-hikmah (bijaksana), (2) al-syaja’ah (berani), (3) al-iffah (menjaga diri), (4) al-‘adalah (adil), (5) al-shidq (jujur), (6) al-amanah (dipercaya), (7) al-tabligh (menyampaikan sesuatu kepada yang berhak), (8) al-fathonah (cerdas), (9) al-wafa bi al-‘ahdi (disiplin), (10) al-ta’awun (tolong menolong), (11) al-istiqomah (konsisten).[5]
B.     Pembentuk Induk Akhlak
Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari perbuatan sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.[6]
Akal yang digunakan secara adil akan melahirkan kebijaksanaan, sedangkan amarah yang yang digunakan adil akan menimbulkan sikap perwira/ksatria, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah.
Demikian pentingnya bersikap adil ini, di dalam al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu berbuat adil. Beberapa contoh ayat tersebut dari sekian banyaknya ayat-ayat tentang perintah berbuat adil, di antaranya adalah:
(#qä9Ïôã$# uqèd Ü>tø%r& 3uqø)­G=Ï9 ÇÑÈ  
Artinya: “….Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa.” (QS. al-Maidah,5: 8)
#sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ ÇÎÑÈ  
Artinya: “…apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil”, (QS. An-Nisa, 4: 58)

Bahkan ayat-ayat tersebut juga dihubungkan dengan perbuatan baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan keputusan yang bijak sana, berbuat kebajikan, dll. Dengan demikian ayat-ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitanyannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya.
Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan dengan hadist Nabi yang berbunyi:
خَيْرُ الأمُورِ أًوْسَطهَا ( رواه احمه)
Artinya: “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan” (HR. Ahmad).
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau idiot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak tercela.
Demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta. Sikapnya apabila amarah digunakan terlelu lemah akan menimbulkan sikap pengecut. Dengan demikian penggunakan amarah yang berlebihan atau terlalu lemah sudah jelas akan melahirkan akhlak buruk.
Hal itu juga berlaku pula pada nafsu syahwat. Nafsu syahwat yang tidak digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap melacur, dan jika digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup. Dan orang yang menggunakan nafsu syahwatnya secara pertengahanlah yang akan membuahkan sikap iffah, yaitu dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah SWT. berfirman:
ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ   tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEŸx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ   tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# šcqàÊ̍÷èãB ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ío4qx.¨=Ï9 tbqè=Ïè»sù ÇÍÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»ym ÇÎÈ  
Artinya: (1) “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (2) (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, (3) Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, (4) Dan orang-orang yang menunaikan zakat, (5) Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya.” (QS. al-Qur’an, 1-5)
Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira dan dapat memelihara dri, Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.
Dalam perkembangan selanjutnya teori pertengahan adil ini digunakan pula untuk menjellaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan saling berlawanan. Diketahui bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukan kelembutan, juga ada yang menunjukan kekerasan.[7] Sifat Rahman (Maha Pengasih), Rahim (Maha Penyayang), dan lainnya yang menunjukan kelembutan, vis a vis dengan sifat qohhar (Maha Perkasa), jabbar (Maha Memaksa), dan lainnya yang menunjukan sikat kekerasan. Sifat yang saling kontradiktif ini dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. dengan kata lain sifat adil atau seimbang menjadi koordinator dari sikap-sikap lainnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, menyatakan bahwa setidaknya di dalam al-Qur’an kata adil disebutkan sebanyak 28 kali. Dan di antara ayat-ayat itu, misalnya ialah:
$pkšr'¯»tƒ ß`»|¡RM}$# $tB x8¡xî y7În/tÎ/ ÉOƒÌx6ø9$# ÇÏÈ   Ï%©!$# y7s)n=yz y71§q|¡sù y7s9yyèsù ÇÐÈ 
Artinya: (6) Hai manusia, Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang Maha Pemurah. (7) Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh) mu seimbang. (QS. Al-Infithaar, 82: 6-7)
(#qà)¨?$#ur $YBöqtƒ žw ÌøgrB ë§øÿtR `tã <§øÿ¯R $\«øx© Ÿwur ã@t6ø)ム$pk÷]ÏB ×pyè»xÿx© Ÿwur äs{÷sム$pk÷]ÏB ×Aôtã Ÿwur öNèd tbrã|ÁZムÇÍÑÈ  
Artinya: “Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa'at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong.” (QS. Al-Baqoroh, 2: 48)
Jika dicermati secara seksama, kata adil dalam al-Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan, yaitu bahwa keadilan harus ditegakkan dalam rangka memutuskan perkara di pengadilan, dalam rangka mencatatat perjanjian, dan sebagainya. Ini menunjukan bahwa teori pertengahan sebagai sumber timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan al-Qur’an.
C.    Nama lain kata adil dalam al-Qur’an
Dalam hal teori pertengahan ini, al-Qur’an tidak selamanya menggunakan kata adil. Tetapi juga dengan kata-kata lainnya. Misalnya kata qawwama, al-Qisth, al-Kadzimin, dan lainnya.
Kata qawwama dapat kita jumpai contoh ayatnya pada suarat al-Furqan: 67.
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs% ÇÏÐÈ  
Artinya: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.” (QS. Al-Furqan, 25: 67)
Demikian pula kata al-Qisth dan al-Kadzimin, salah satu ayatnya dapat kita jumpai pada surat al-Isra’: 35 dan Ali Imran, 3: 134), dan lainnya.
(#qèù÷rr&ur Ÿ@øs3ø9$# #sŒÎ) ÷Läêù=Ï. (#qçRÎur Ĩ$sÜó¡É)ø9$$Î/ ËLìÉ)tFó¡ßJø9$# 4 y7Ï9ºsŒ ׎öyz ß`|¡ômr&ur WxƒÍrù's? ÇÌÎÈ  
Artinya: “Dan sempurnakanlah takaran apabila kamu menakar, dan timbanglah dengan neraca yang benar. Itulah yang lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (al-Isra’, 17: 35)
tûïÏ%©!$# tbqà)ÏÿZムÎû Ïä!#§Žœ£9$# Ïä!#§ŽœØ9$#ur tûüÏJÏà»x6ø9$#ur xáøtóø9$# tûüÏù$yèø9$#ur Ç`tã Ĩ$¨Y9$# 3 ª!$#ur =Ïtä šúüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÌÍÈ  
Artinya: “(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran, 3: 134)
BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Secara garis besar akhlak dibagi menjadi dua, yakni akhlak yang baik dan akhlak yang buruk. Dan secara teoritis, macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (kebijaksanaan), syaja’ah (ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari perbuatan sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Beberapa kata yang digunakan al-Qur’an dalam menggantikan kata adil, di antaranya adalah kata al-Qist, al-Qawwama, al-Kadzimin, awwanun, haunamma, dan lainnya, dengan penggambaran dan penggunaannya masing-masing.
B.     Saran
Demikian makalah yang dapat pemakalah sampaikan. Makalah ini tentu tidak terlepas dari kesalahan. Baik itu yang bersifat subjektifitas tinggi dari pemakalah sendiri, atau juga berupa teknis penulisan yang kurang baik dan benar.
Juga kurangnya literatur pendukung yang menguatkan isi makalah. Karena itu, mengingat makalah ini jauh dari kata kesempurnaan, maka harapan besar pemakalah adalah adanya kritik dan saran konstruktif.





[1] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, M. A, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 2012), hal 49.
[2] Asmawati Suhid, Pendidikan Akhlak dan Adab Islam, (Kuala Lumpur, Maziza SDN. BHD, 2009), hal 101.
[3] Mohd. Nasir Omar, Akhlak dan Kaunseling Islam, (Kuala Lumpur: PRIN-AD SDN. BHD, 2005), hal 112.
[4] Asfa Davy Bya, Sebening Mata Hati: Oase Penyejuk Jiwa dan Pikiran, (Jakarta: Hikmah (PT Mizan Publika), 2008), hal 243.
[5] Moch. Eksan, Kiai Kelana: Biografi KH. Muchith Muzadi, (Yogyakarta: LKiS, 2000), hal 102-103
[6] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Ibid.,
[7] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, Ibid., hal 48.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

1 comments:

Click here for comments
Terima Kasih Sudah Berkomentar
6 February 2024 at 02:33

Alhamdulillah dpt referensi ttg ahlak . Terima kasih byk 🙏

Selamat Keluarga Bergerak dapat PERTAMAX...! Silahkan antri di pom terdekat heheheh...
Balas

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan