I.
PENDAHULUAN
Kemunculan metode tafsir kontemporer diantaranya dipicu oleh kekhawatiaran
yang akan ditimbulkan ketika penafsiran al qur`an dilakukan secara tekstual,
dengan mengabaikan situasi dan latarbelakang turunnya suatu ayat sebagai
data sejarah yang penting. Metode tafsir kontemporer adalah, metode penafsiran
Al-Qur’an yang menjadikan problem kemanusiaan yang ada sebagai semangat penafsirannya.
Persoalan yang muncul dihadapan dikaji dan dianalisis dengan berbagai
pendekatan yang sesuai dengan problem yang sedang dihadapinya serta sebab-sebab
yang melatar belakanginya.
II.
RUMUSAN MASALAH
a) Penjelasan Tafsir bil-Ma’tsur
b) Penjelasan Tafsir bil-Ra’yi
c) Penjelasan Tafsir ash-Shufi
d) Penjelasan Tafsir al-Falsafi
e) Penjelasan Tafsir al-Adabi al-Ijtima’i
f) Penjelasan Tafsir al-‘Ilmi
g) Penjelasan tafsir al-Fiqhi
III.
PEMBAHASAN
A. Tafsir bil-Ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur adalah tafsir
yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut urutan yang telah
disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan
Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan
perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau
dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena pada umumnya mereka
menerimanya dari para sahabat.
Mufasir yang menempuh cara seperti ini hendaknya
menelusuri lebih dahulu asar-asar yang ada mengenai makna ayat kemudian
asar tersebut dikemukakan sebagai tafsir ayat bersangkutan. Dalam hal ini ia
tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan sesuatu makna tanpa ada dasar,
juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang tidak berguna atau bermanfaat untuk
diketahui selama tidak ada riwayat shahih mengenainya.[1]
Contoh dari corak tafsir ini yaitu Jami’ al-Bayan fi Tafsir al-Qur’an karya Ibn
Jarir ath-Thabari.
B. Tafsir bil-Ra’yi
Tafsir bir-ra’yi ialah tafsir
yang di dalam menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahaman
sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata.
Tidak termasuk kategori ini pemahaman (terhadap Qur’an) yang sesuai dengan roh syari’at dan didasarkan pada
nas-nasnya. Ra’yu semata yang tidak disertai bukti-bukti akan membawa
penyimpanan terhadap Kitabullah. Dan kebanyakan orang yuang melakukan
penafsiran dengan semangat demikian adalah ahli bid’ah, penganut mazhab batil.
Mereka mempergunakan Qur’an untuk ditakwilkan menurut pendapat pribadi yang
tidak mempunyai dasar pijakan berupa pendapat atau penafsiran ulama’ salaf, sahabat dan tabi’in. Golongan ini
telah menulis sejumlah kitab tafsir menurut pokok-pokok mazhab mereka, seperti
tafsir Mafatih al-Ghaib karya Fakhr al-Razi, al-Juba’I, ‘Abdul Jabbar,
ar-Rummani, Zamakhsyari, dan lain sebagainya.
C. Tafsir ash-Shufi
Apabila yang dimaksud dengan tasawuf adalah
perilaku ritual yang dilakukan untuk menjernihkan jiwa dan menjauhkan diri dari
kemegahan duniawi melalui zuhud, kesederhanaan dan ibadah, maka yang
demikian merupakan hal yang tidak diragukan lagi, jika tidak dikatakan sangat
disukai. Akan tetapi dewasa ini “tasawuf”telah menjadi filsafat teoritis khusus
yang tidak ada hubungannya dengan wara’, takwa dan kesederhanaan, serta
filsafatnya pun telah mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan dengan islam
dan akidahnya. Inilah yang kami maksudkan dengan tasawwuf dalam pembahasan ini, dan ini pula yang
mempunyai pengaruh terhadap tafsir Qur’an.[2]
Adapun yang dimaksud dengan tafsir ash-Shufi sendiri yaitu penafsiran al Qur’an yang berlainan dengan zahirnya
ayat karena adanya petunjuk-petunjuk yang tersirat. Tafsir ini memiliki dua jenis
yaitu tafsir shufi nadhari dan tafsir shufi isyari. Tokoh yang
menggunakan tafsir ini yaitu seperti Muhyiddin Ibn ‘Arabi,[3] al-Sulami
(Haqa’iq al-Qur’an) dan lain sebaginya.
D. Tafsir al-Falsafi
Yang dimaksud dengan
tafsir falsafi dalam tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an adalah bagaimana para
filosof membawa pikiran-pikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
Diantara tokohnya adalah Al-Farabi, Ibnu-Shina. Sedang Thaba’ Thaba’i sendiri
memasukkan pembahasan filsafat sebagai tambahan dalam menerangkan suatu ayat
atau menolak teori filsafat yang bertentangan dengan al-Qur’an. Ia menggunakan
pembahasan filsafat hanya pada sebagian ayat saja.
Menyikapi hal ini, ulama’ Islam terbagi kepada
dua golongan sebagai berikut:
1. Golongan pertama yang
menolak filsafat, atau ilmu-ilmu yang bersumber dari buku-buku karangan filosof
tersebut. Mereka tidak mau menerimanya, oleh karena mereka memahami diantaranya
ada yang bertentangan dengan aqidah dan agama. Bangkitlah mereka yang menolak
buku-buku itu dan menyerang faham-faham yang dikemukakan didalamnya,
membatalkan argumen-argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan menjauhkannya
dari kaum muslimin. Diantara yang bersikap keras dalam menyerang para filosof
dan filsafat adalah Hujjah al-Islam al- Imam Abu Hamid al-Ghazaly.
Karena itu ia mengarang sebuah kitab al- Irsyad dan kitab-kitab lain
untuk menolak paham mereka. Begitu juga Fakhrur Rozi di dalam kitab
tafsirnya beliau membeberkan ide-ide filsafat yang dipandang bertentangan
dengan agama. Dan akhirnya dengan tegas ia menolak filsafat berdasar dalil yang
beliau anggap memadai.
2. Kelompok kedua, adalah
kelompok yang menerima filsafat dan mengaguminya. Meskipun sebenarnya ada
pertentangan yang nampak jelas anatara filsafat dan agama. Namun mereka
berpendapat bahwa hal itu masih memungkinkan untuk dilakukan kompromi antara
al-Qur’an dengan filsafat dengan menghilangkan pertentangan yang terjadi
diantara keduanya. Dalam mengkompromikan kedua hal tersebut, dilakukan dengan
dua cara, yaitu:
1. Cara pertama, mereka
melakukan ta’wil terhadap nash-nash al-Qur’an sesuai dengan pandangan filosof.
Yakni mereka menundukkan nash-nash Al-Qur’an pada pandangan-pandangan filsafat.
Sehingga keduanya nampak seiring sejalan.
2. Cara kedua, adalah mereka
menjelaskan nash-nash al-Qur’an dengan pandangan pandangan teori filsafat.
Mereka menempatkan pandangan para filosof sebagai bagian primer yang mereka
ikuti, dan menempatkan al-Qur’an sebagai bagian sekunder yang mengikuti
filsafat. Yakni filsafat melampaui Al-Qur’an. Cara ini lebih berbahaya dari
cara yang pertama.[4]
Ulama’ yang menggunakan corak tafsir ini yaitu seperti al-Farabi, Ibn Sina,
Fakhr al-Din al-Razi (Mafatih al-Ghaib) dan lain-lain.
Tafsîr
al-Falâsifah menafsirkan ayat-ayat al-Qur`an berdasarkan pemikiran atau pandangan
falsafi, seperti tafsir bi al-ra`y. Dalam hal ini ayat lebih berfungsi
sebagai justifikasi pemikiran yang ditulis, bukan pemikiran yang menjustifikasi
ayat.
E. Tafsir al-Adaby al-Ijtima’i
Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk
mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti sopan
santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna
norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam
kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu, istilah al-adaby
bisa diterjemahkan sastra budaya. Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna
banyak bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi
secara etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah tafsir yang
berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di sebut dengan
tafsir sosio-kultural.[5]
Definisi tafsir jenis ini dirinci dan di uraikan oleh
para ahli sebagai berikut. Sebagai contoh, Dr. Muhammad Husain al-Dzahabi
mengatakan tafsir al-Adaby wa al-Ijtima’iy adalah tafsir yang
menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa alQuran dan ketelitian
redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat alQuran dengan sunatullah
dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan problematika
umat Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.[6]
Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah
corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang
berkaitan langsung dengan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi
penyakit-penyakit masyarakat atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk
ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang
mudah dimengerti tapi indah didengar.[7] Kitab tafsir yang menggunakan corak ini yaitu seperti tafsir
al-Maraghi, tafsir al-Manar.
F.
Tafsir al-‘Ilmy
Pengertian tafsir ini yaitu pemahaman atas teks al-Qur’an dengan
menggunakan data hasil observasi ilmiah sebagai variable penjelas.[8] Setiap
muslim mempercayai bahwa al qur`an mampu mengantisipasi pengetahuan modern. Al
Gazali mempunyai peran penting dalam memperkenalkan tafsir ini, dalam tataran
diskursus modern kemunculan tafsir ini menimbulkan polemik. Para pendukungnya
berpandangan bahwa kemunculan tafsir Ilmi adalah fenomena yang wajar dan mesti
terjadi. Mengingat al qur`an sendiri mengisyaratkan bahwa segala sesuatu tidak
terlupakan di dalamnya “ tidaklah kami lupakan di dalam al kitab, kemudian
kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan ( Qs. Al An`am (6) : 38 ).”[9]
Pokok pemikiran tafsir Ilmi bisa
dilacak pada tokoh semisal Mohammad Abduh, Al Maraghi, Tanthawi Jauhari, Sa`id
Huwa, ‘Abd al-Razaq Nawfal dan lain-lain. Bahkan secara lesan Abduh
mengisyaratkan bahwa penemuan telegraf, telepon, kereta, dan mikrofon telah
tercantum dalam al qur`an.
G. Tafsir al-Fiqhi
Tafsir Fiqhi adalah corak tafsir yang lebih
menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah fiqhiyyah dan cabang-cabangnya
serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat
imam madzhab. Tafsir fiqhi ini juga dikenal dengan tafsir Ahkam, yaitu tafsir
yang lebih berorientasi kepada ayat-ayat hukum dalam al-Quran (ayat-ayat
ahkam). Diantara kitab yang menggunakan corak tafsir ini adalah Ahkam
al-Qur’an,disusun oleh al-Imam Hujjat al-Islam Abi Bakr Ahmad bin Ali al-Razi
al-Jasshash, Al-Iklil fi Istinbath At-tazil, oleh As-Suyuthi dan masih banyak
lagi.
Karakteristik dari tafsir fiqhi adalah memfokuskan
perhatian kepada aspek hukum fiqh. Karena itu para mufasir corak fiqhi akan
selalu menafsirkan setiap ayat Al-Qur’an yang dihubungkan dengan persoalan
hukum Islam. Para mufasir akan panjang lebar menafsirkan ayat-ayat ahkam, yaitu
ayat-ayat yang berhubungan dengan hukum Islam dalam Al-Qur’an. Terkadang
mufasir hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu saja mengenai satu tema yang sama,
maka dalam hal ini tafsir fiqhi secara metodik adalah tafsir maudhu’i.
IV.
KESIMPULAN
1. Tafsir bil-ma’tsur adalah tafsir
yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih menurut urutan yang telah
disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu menafsirkan Qur’an dengan
Qur’an.
2. Tafsir bir-ra’yi ialah tafsir
yang di dalam menjelaskan maknanya mufasir hanya berpegang pada pemahaman
sendiri dan penyimpulan (istinbat) yang didasarkan pada ra’yu semata.
3. Tafsir ash-Shufi yaitu penafsiran al Qur’an yang berlainan dengan zahirnya ayat karena adanya
petunjuk-petunjuk yang tersirat.
4. Yang dimaksud dengan tafsir falsafi dalam
tafsir al-Mizan fi tafsir al-Qur’an adalah bagaimana para filosof membawa
pikiran-pikiran filsafat dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an.
5. Dr. Muhammad Husai
al-Dzahabi mengatakan tafsir al-Adaby wa al-Ijtima’iy adalah tafsir yang
menyingkapkan balaghah, keindahan bahasa alQuran dan ketelitian
redaksinya, kemudian mengaitkan kandungan ayat-ayat alQuran dengan sunatullah
dan aturan hidup kemasyarakatan, yang berguna untuk memecahkan problemaka umat
Islam khususnya dan umat manusia pada umumnya.
6. Tafsir al-‘ilmi yaitu pemahaman atas teks al-Qur’an dengan menggunakan
data hasil observasi ilmiah sebagai variable penjelas.
7. Tafsir al-Fiqhi yaitu corak tafsir yang lebih menitikberatkan kepada pembahasan masalah-masalah
fiqhiyyah dan cabang-cabangnya serta membahas perdebatan/perbedaan pendapat seputar pendapat-pendapat imam madzhab.
V.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun. Pastinya masih
banyak sekali kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran
akan kami terima dengan senang. Semoga bermanfaat. Amin.
VI.
DAFTAR PUSTAKA
Studi Ilmu-ilmu Qur’an / Manna’
Khalil al-Qaththan; diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Mudzakir AS.—Cet.
15—Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2012.
Karman, Supiana-M., Ulumul Qur’an (Bandung:
PUSTAKA ISLAMIKA, 2002).
al-Dzahabi, Muhammad Husain, al-Tafsir wa
al-Mufassirun, juz, III, (Mesir: Dar alKitab al-Arabi, 1976).
Syihab, Quraish,
Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007), ctk. I
Setiawan, Nurkholis, “ Al
Qur`an dalam kesejarahan klasik & kontemporer “, Jurnal study Al
Qur`an, ( Ciputat : Pusat study Al Qur`an ( PSQ ) ), 2006).
Gusmian, Islah, Tafsir
Indonesia, (Jakarta Selatan: Teraju, 2003), Cet. 1.
[1] Studi Ilmu-ilmu Qur’an / Manna’ Khalil al-Qaththan; diterjemahkan dari bahasa Arab oleh
Mudzakir AS.—Cet. 15—Bogor : Pustaka Litera Antar Nusa, 2012, hlm. 482-494.
[4] file:///E:/file%20campus/tugas%20makalah/kumpulan%20makalah/semester%204/tafsir%20kontekstual/tafsir-falsafy.html
[6] Muhammad
Husain al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun, juz, III, (Mesir: Dar
alKitab al-Arabi, 1976), hlm. 215.
[9]
Nurkholis Setiawan, “ Al Qur`an dalam kesejarahan klasik &
kontemporer “, Jurnal study Al Qur`an, ( Ciputat : Pusat study Al Qur`an (
PSQ ) ), 2006), hal 93.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon