I.
PENDAHULUAN
As
Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau
penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa
pribadi Nabi saw. merupakan perwujudan
dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang
dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Akan
tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi
masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode
ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah
menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi.
Sunnah
Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum
orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi
hadis Nabi itu sendiri.
Sejak
saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan
Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia
Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum
Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau
mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi
kondisi yang berubah.
Dengan demikian, hadis-hadis
Nabi saw. haruslah dipahami secara benar
dan tepat. Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh
orang-orang Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat
dalam memaknai dan memahami hadis-hadis
itu sendiri.
II.
RUMUSAN
MASALAH
A.
Profil
yusuf qardhawi
B.
Hadist
dalam pandangan yusuf qardhawi
C.
Metode
pemahaman hadist yusuf qardhawi
III.
PEMBAHASAN
A.
PROFIL YUSUF QARDHAWI
Nama lengkapnya adalah
Yusuf Al-Qardhawi, Beliau dilahirkan di desa Shaft Turab di tengah Delta Sungai
Nil, daerah Mahallah al-Kubra, Republik Arab Mesir, pada tanggal 9 September
1926. Ayahnya bernama Abdullah, Yusuf Qardhawi hanya dua tahun bersama ayahnya,
karena ayahnya dipanggil oleh Allah.
Pelajaran yang pertama
kali ditekuninya adalah al-Quran. Pada usia sepuluh tahun, ia sudah hafal
al-Quran dan dengan bacaan yang sangat baik. Dengan keahliannya itu ia
dijadikan imam salat lima waktu di desa dan pada usia yang sangat muda.[1]
Pendidikan formalnya
ditempuh di al-Azhar Mesir, kecuali tingkat Aliyah, ia tempuh di Ma’had
al-Buhus wa la-Dirasah al-Arbiyat al-‘Aliyah, sehingga mendapatkan hijaza
diploma tinggi dalam bidang bahasa dan sastra Arab. Namun, keahliannya yang
menonjol adalah dalam bidang keushuluddinan (aqidah, tafsir, dan hadis). Hal
itu didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikan pada
tahun 1960.[2]
B.
Hadis Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi
Di antara para pemikir
kontemporer, al-Qardhawi memberikan penjelasan yang luas tentang
bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode
sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi
mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga
karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[3]
Atas dasar inilah maka
al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi
dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim; kedua,
manipulasi orang-orang sesat, (intihal al-mubthilin),
yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam
bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah; ketiga,
penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil
al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah
adalah mengambil sikap moderat (wasathiya),
yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak
menjadi kelompok yang bodoh.
Adapun prinsip-prinsip
dalam berinteraksi dengan as-Sunnah, adalah sebagai berikut:
1.
Meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadis
yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar
hadis yang dipercaya. Yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa
ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.
2.
Dapat memahami dengan benar nash-nash yang
berasal dari Nabi saw. sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka
konteks hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau.
Juga dalam kaitannya dengan nash-nash al-Quran dan Sunnah yang
lain, dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal
Islam. Semua itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang
diucapkan demi penyampaian risalah (misi Nabi saw.), dan yang bukan
untuk itu. Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri’
(penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara tasyri’
yang memiliki sifat umum dan permanent, dengan yang bersifat khusus atau
sementara. Sebab,di antara ”penyakit” terburuk dalam pemahaman sunnah, adalah pencampuradukan
antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
3.
Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan
dengan nash lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari
al-Quran, atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih shahih
darinya, atau lebih sejalan dengan ushul. Dan juga tidak dianggap
berlawanan dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri’,
atau berbagai tujuan umum syariat
yang dinilai telah mencapai tingkat qath’iy karena disimpulkan bukan
hanya dari satu atau dua nash saja, tetapi dari sekumpulan nash
yang setelah digabungkan satu sama lain mendatangkan keyakinan serta kepastian
tentang tsubutnya (atau keberadaanynya sebagai nash).[4]
As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang
tasyri’ dan dakwah
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
C.
Metode Pemahaman Hadis Yusuf Qardhawi
1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran
Al-Quran adalah roh
eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia
adalah konstitusi Illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan
dalam Islam. Adapun sunnah Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi
tersebut, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan As-Sunnah adalah
penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang
bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rasulullah
saw., ”menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka”.
Tugas seorang Rasul adalah
menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan untuk mereka. Oleh karena
itu, tidak mungkin sebuah ”penjelasan” bertentangan dengan ”apa yang hendak
dijelaskan” atau sebuah ”cabang” tidak mungkin bertentangan dengan ”pokok”.
Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Quran dan tidak pernah
melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang bertentangan
dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat keterangan-keterangannya yang
jelas.[5]
Apabila dalam menghadapi
perbedaan pemahaman dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus
dapat memahami dengan cara yang baik dan benar adalah dengan melihat makna
hadits yang didukung oleh al-Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas
al-Quran tidak akan mengandung makna yang berbeda dengan al-Quran (pokok)
sebagai sesuatu yang dijelaskan.
2. Menghimpun Hadis-hadis
yang Terjalin dalam Tema yang Sama
Untuk memahami sunnah Nabi
dengan baik, kita harus menghimpun hadis-hadis yang bertema sama. Hadis-hadis
yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq
dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang ’am ditafsirkan dengan
yang khas. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan
satu sama lain tidak boleh dipertentangkan. [6]
Sebagaimana yang sudah
disepakati, sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas al-Quran. Artinya,
sunnah memerinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih samar,
mengkhususkan yang masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian,
ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadis yang satu
dengan yang lainnya.
Mencukupkan diri dengan
pengertian lahiriah suatu hadis saja tanpa memperhatikan hadis-hadis lainnya,
dan nas-nas lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan
orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud
sebenarnya dari konteks hadis tersebut.
Sebagai misal, hadis-hadis
yang berkenaan dengan larangan ”mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki”,
yang mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang
dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat, untuk
menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub
(baju gamis)—nya sehingga di atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka,
sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan tsaub ini, sebagai syiar Islam terpenting, atau
kewajibannya yang mahaagung. Dan apabila menyaksikan seorang ’alim atau da’i
Muslim yang tidak memendekkan tsaub—nya, seperti yang mereka sendiri
melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam hati, atau adakalanya
menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang ”kurang beragama”!
3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang
(Tampaknya) Bertentangan (Kompromi
atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif)
Pada prinsipnya, nash-nash
syari’at yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan
bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu
hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya kelihatan di luar saja
bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah sama. Dan kewajiban kita
terhadap hal tersebut adalah menghilangkan pertentangan di dalamnya.
Apabila pertentangan
tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara
kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada sehingga keduanya dapat
diamalkan.
Salah satu hal yang
penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah menyesuaikan hadis-hadis
shahih yang ”tampak” bertentangan, yang kandungannya sepintas berbeda-beda,
serta menggabungkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lainnya. Kemudian
meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu
kesatuan dan tidak lagi kelihatan berbeda atau bertentangan karena keduanya
saling melengkapi.
Misalnya, hadis dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah saw. ”melaknat wanita yang sering menziarahi
kuburan.” (Diraawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi yang berkata: ”Hadis
ini hasan sahih”, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam shahih—nya).
Hal itu dikuatkan pula
oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap kaum wanita untuk
mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan terhadap ziarah
kubur bagi wanita.
Walaupun demikian, ada
hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis-hadis di atas. Yakni
yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita diizinkan menziarahi kuburan,
sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya, sabda Nabi saw.
كنت
نهيتكم عن زيارة القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
”Aku pernah melarang kalian menziarahi
kuburan, kini ziarahilah kini ziarahlah” atau “ziarahilah
kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut.”
Selain hadis tersebut di
atas, terdapat lagi hadis Nabi tentang diperbolehkannya wanita menziarahi
kubur. Yaitu ”Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan
kepada maut.”
Dalam hadis-hadis di atas,
izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga. Demikian pula hadis yang
dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari Aisyah, katanya: ”Apa yang
harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah?” (Yakni apabila menziarahi
kuburan). Jawab beliau: ”Katakanlah: ’Salam sejahtera atas kaum Mukminin dan
Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini. Semoga Allah merahmati semua kita,
yang telah mendahului maupun yang masih tertinggal. Kami, insyaAllah, akan
menyusul kalian.”
Meskipun hadis-hadis ini,
yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita menziarahi kuburan) lebih sahih dan
lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan
semuanya dan berupaya menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin.
Yaitu dengan mengartikan kata ”melaknat” yang tersebut dalam hadis—sebagaimana
dinyatakan oleh Al-Qurthubiy—yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering
melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwarat, yang
berkonotasi ”amat sering”. Menurut Al-Qurthubiy, mungkin sebabnya ialah hal itu
dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada pemenuhan hak para
suami, disamping kemungkinan membawa mereka kepada tabarruj serta
meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya lagi.
Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak
ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah
sesuatu yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
Berkata Asy-Syaukani:
”Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam upaya penggabungan
antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.”[7]
Dan apabila tidak mungkin
menggabungkan antara dua hadis atau berbagai hadis yang pada zahirnya saling
bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan mentarjihkan (atau
’memenangkan’) salah satu darinya, dengan berbagi alasan pentarjih yang
tentukan oleh para ulama.
-
Soal Naskh dalam
Hadis
Masalah yang berkaitan
erat dengan kontradiksi dalam hadis adalah persoalan naskh
(pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikh mansukh
(yang menghapus dan yang dihapus) dalam hadis.
Sebagian ahli hadis
menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di dalam menggabungkan dua
hadis yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya diketahui mana hadis
yang muncul belakangan.
Banyaknya hadis yang
diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika dalam hadis lebih
rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena al-Quran
bersifat umum dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadis yang
dikatakan mansukh tidaklah demikian. Karena di antara hadis-hadis itu
ada yang mengandung ketetapan (’azimah), dan ada pula yang dimaksudkan
sebagai keringanan (rukhshah). Dan di antara keduanya mempunyai hukum
masing-masing sesuai dengan kedudukannya.
4.
Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan
Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
Di antara cara-cara yang baik untuk
memahami hadis Nabi saw. ialah dengan
memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau
kaitannya dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan
dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari
kejadian yang menyertainya.
Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa
oleh suatu hadis, adakalanya
tampak bersifat umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih
lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illah
tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illah—nya,
dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illah—nya.
Untuk dapat memahami
hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah diketahui kondisi yang
meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan. Sehingga dengan
demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang
menyimpang dan terhindar dalam pengertian yang jauh dari tujuan sebenarnya.
Kita mengetahui bahwa
para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami al-Quran dengan benar,
haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab yang
melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran). Agar kita tidak terjerumus ke
dalam kesalahan seperti yang terjadi atas sebagaian kaum ekstrem dari kalangan
Khawarij atau yang seperti mereka. Yaitu, yang mengambil ayat-ayat yang Turun berkenaan dengan kaum
musyrik, lalu menerapkannya atas kaum muslim.
Demikianlah, jika asbab
an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami al-Quran atau
menafsirkannya, maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa yang
melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) juga perlu untuk diketahui.
Hal tersebut mengingat
bahwa al-Quran, sesuai dengan wataknya, adalah universal dan abadi. Karena itu,
ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal yang detil atau yang hanya
berkaitan dengan waktu tertentu. Kecuali untuk menyimpulkan darinya
prinsip-prinsip tertentu atau menunjukkan pelajaran (‘ibrah) apa yang
kiranya dapat diambil darinya.
Lain halnya dengan
as-Sunnah, sebab ia memang menangani berbagai problem yang bersifat local (maudhi’iy),
particular (juz’iy) dan temporal (‘aniy). Di dalamnya juga
terdapat dalam al-Quran.
Oleh sebab itu,
haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum,
yang sementara dan yang abadi, serta antara yang particular dan yang universal.
Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing. Dan dengan memperhatikan konteks,
kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, pasti
akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja yang
beroleh taufik Allah SWT.
Dalam hal ini, penulis
mengambil contoh tentang keharusan wanita disertai mahramnya ketika
bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim,
dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’: “Tidak dibolehkannya seorang
perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya.”[8]
‘Illah (alasan) di
balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia
bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Ini mengingat bahwa di
masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam
perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau
daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang
perempuan yang bepergian tanpa disertai suazi ataupun mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan
dirinya, atau—paling sedikit—nama baiknya dapat tercemar.
Akan tetapi, jika
kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita Semarang, ketika
perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang mengangkut
seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkut ratusan
musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita
bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat,
jika ia melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran
terhadap hadis tersebut.
5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan
Tujuan yang Tetap
Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan
dalam memahami as-Sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara
tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh as-Sunnah dengan prasarana
temporer atau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian tujuan. Mereka lebih
mementingkan sarana ini, seolah-olah itulah yang menjadi tujuan sebenarnya.
Setiap sarana dan
prasana, mungkin saja berubah dari satu masa ke masa dan dari suatu lingkungan ke lingkungan
lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila
suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana
tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama
sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri
kita disampingnya.
Bahkan, sekiranya
al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana yang cocok
untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus
berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang
selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.
Sebuah contoh yaitu
hadis tentang siwak (sepotong kayu lunak dari pohon tertentu) untuk
membersihkan gigi, tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga mendatangkan
keridhaan Allah, seperti disebutkan dalam hadis ”siwak menyebabkan kesucian
mulut serta keridhaan Tuhan.”
Adakah penggunaan siwak
itu merupakan suatu tujuan tersendiri? Ataukah ia hanya suatu alat yang cocok
dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Rasulullah saw. menganjurkan
penggunaannya, demi memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat oleh mereka?!
Oleh sebab itu, tidak ada
salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya yang tidak mudah memperoleh kayu
siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnya yang dapat diproduksi secara
besar-besaran, cukup untuk digunakan oleh jutaan orang; seperti sikat—gigi yang
kita kenal sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan oleh sejumlah fuqaha’.
Dengan ini, kita
mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta gigi (seperti yang digunakan sekarang)
sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak. Terutama di rumah, setelah
makan, atau ketika hendak tidur.
6. Membedakan
antara yang Hakekat dan Ungkapan
Teks-teks hadis
banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah
orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan
maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas
adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat
Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus
perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual
ataupun kontekstual.
Sebagai misal, dalam surat
al-Ahzab yang berbunyi:
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur ú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ
Artinya: ” Sesungguhnya
Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka
semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia
itu Amat zalim dan Amat bodoh.” (Al-Ahzab:
72)
Bahkan adakalanya
pemahaman berdasarkan majaz itu,
merupakan suatu keharusan. Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam
kekeliruan. Ketika Rasulullah saw.
berkata kepada istri-istri beliau: ”Yang paling cepat menyusulku di
antara kalian –sepeninggalku –adalah yang paling panjang tangannya,” mereka
mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau, adalah yang benar-benar bertangan
panjang. Karena itu, seperti
dikatakan oleh Aisyah r.a.; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang
tangannya paling panjang.
Bahkan, menurut beberapa
riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang
paling panjang?!
Padahal Rasulullah tidak
bermaksud seperti itu. Yang dimaksud oleh beliau dengan ”tangan yang paling
panjang” ialah yang paling banyak kebaikannya dan kedermawanannya.
7.
Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata)
Maksudnya membedakan antara yang gaib dan
alam kasatmata (nyata), di sini adalah dalam hal memaknai teks hadis. Di antara
kandungan As-Sunnah, ada beberapa hal
yang berkaitan dengan alam gaib (’alam al-ghaib), yang
sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita
ini. Misalnya, malaikat, mereka adalah jenis makhluk spiritual (halus),
tercipta dari cahaya, nur, tak dapat ditangkap dengan indera dan tidak memiliki
bentuk fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat fisik ini tidak makan, tidak
minum, tidak kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka juga tidak mempunyai
sifat kelamin, lelaki atau perempuan. Mereka memang diciptakan untuk taat saja
kepada Allah SWT. Dari mereka terpancar dzikir, tasbih, dan ibadah, sebagaimana
halnya nafas yang keluar dari seorang
manusia. Mereka juga tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang diberikan Allah
kepada manusia.[9]
Juga seperti jin, penghuni
bumi yang dibebani pula kewajiban-kewajiban tertentu seperti kita (manusia)
juga, yang mereka itu dapat melihat kita dan kita tidak dapat melihat mereka.
Dan di antara mereka itu adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah
bersumpah di hadapan Allah SWT untuk berupaya menyesatkan kita dan memperindah
kebatilan dan kejahatan dalam pandangan kita. Sebagaimana disebutkan dalam
al-Quran dijelaskan:
tA$s% y7Ï?¨ÏèÎ6sù öNßg¨ZtÈqøî_{ tûüÏèuHødr& ÇÑËÈ wÎ) x8y$t7Ïã ãNßg÷YÏB úüÅÁn=øÜßJø9$# ÇÑÌÈ
Artinya: iblis menjawab: "Demi kekuasaan
Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang
mukhlis di antara mereka”[Shad: 82-83] (Yang dimaksud dengan mukhlis ialah
orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan
perintah Allah s.w.t.)
Dan sebagian lagi dari
hal-hal gaib ini bersangkutan dengan kehidupan di alam barzakh; yakni
kehidupan setelah mati dan sebelum kebangkitan di hari kiamat. Termasuk di
dalamnya, pertanyaan-pertanyaan malaikat ketika manusia berada dalam kuburnya;
demikian pula tentang kenikmatan ataupun siksaan di dalamnya. Dan sebagiannya
lagi berkaitan dengan kehidupan akhirat; yakni kebangkitan dan pengumpulan
manusia di padang mahsyar, peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat
(dari para nabi, khususnya dari Nabi Muhammad saw.), mizan (neraca
amalan manusia), hisab, shirath, surga serta pelbagai kenikmatan
di dalamnya; baik yang bersifat material maupun spiritual, dan
tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya; dan juga neraka serta pelbagai siksaan
di dalamnya, baik yang inderawi maupun yang maknawi, dan tingkatan-tingkatan
manusia di dalamnya. Begitu pula dengan ’arsh dan kursy yang tidak dapat
disaksikan oleh indera penglihatan manusia.
8. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis
Dalam memahami suatu hadis haruslah dapat memastikan
makna dan konotasi yang dimaksud dalam hadis. Sebab, penggunaan atau pemaknaan
kata dan konotasi setiap masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda-beda
dalam memaknai suatu kata.
Adakalanya suatu kelompok
manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna
tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan
tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata
tersebut yang digunakan dalam as-Sunnah (atau juga dalam al-Quran) sesuai
dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan di kalangan mereka
saja).
IV.
KESIMPULAN
Seperti yang telah
dijelaskan, bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah a-Quran. Oleh
sebab itu, kita sebagai umat Muhammad, haruslah bisa memahami dengan baik
apa-apa saja yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah, sebagai penjelas
dari pada al-Quran.
Dari sini Yusuf
al-Qardhawi memberikan delapan metode dalam memahami hadis secara benar dan
tepat, antara lain sebagai berikut:
-
Memahami Hadis Sesuai
dengan Petunjuk al-Qur’an.
-
Menghimpun Hadis-Hadis
yang Setema.
-
Mengkompromikan atau mentarjih terhadap Hadis-Hadis
yang Kontradiktif.
-
Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar
Belakangnya, Situasi dan Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
-
Membedakan
antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap .
-
Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan.
-
Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata).
-
Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan
sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf
al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf
al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para
ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam
studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang
ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.
V.
PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat kami
paparkan. Dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan baik dari
susunan isinya maupun dalam penyampaiannya. Maka dari itu kritik dan saran
sangat kami harapkan, dan semuga makalah ini dapat menambah wawasan kita.
Amin..
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi saw., (Bandung: Karisma, 1999)
Al-Qardhawi, Yusuf, Pengantar
Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Isam Talimah, Manhaj
Fiqh Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman
(Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2001)
[1] Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi
(terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hal. 3.
[2] Ibid, hal, 4.
[3] Yusuf Qardhawi, Bagaimana
Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 92.
[4] Yusuf Qardhawi, Bagaimana
Memahami Hadis, hal. 26-27.
[9] Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai
Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal. 117.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon