Pemikiran Yusuf Qardlawi Tentang Hadits

I.                   PENDAHULUAN
As Sunnah (hadis Nabi saw.) merupakan penafsiran al-Quran dalam praktik atau penerapan ajaran Islam secara factual dan ideal. Hal ini mengingat bahwa pribadi Nabi saw.  merupakan perwujudan dari al-Quran yang ditafsirkan untuk manusia, serta ajaran Islam yang dijabarkan dalam kehidupan sehari-hari.
Akan tetapi, sejak pertengahan abad ke-19, definisi otoritas Rasulullah menjadi masalah penting bagi para pemikir Muslim. Karena abad ini merupakan periode ketika hegemoni barat yang berkaitan dengan kelemahan politik dan agama telah menciptakan dorongan kuat diadakannya reformasi.
Sunnah Nabi yang suci ini telah menghadapi berbagai macam serangan dari para kaum orientalis dengan beragam aksi yang mereka lakukan untuk menghancurkan esensi hadis Nabi itu sendiri.
Sejak saat itu juga, para pemikir Muslim menghadapi banyak tantangan terhadap gagasan Islam klasik tentang otoritas keagamaan (baca: hadis). Pergolakan di dunia Muslim telah mendorong meluasnya pengujian kembali sumber-sumber klasik hukum Islam karena orang Muslim telah berjuang untuk memelihara, menyesuaikan, atau mendefinisikan kembali norma-norma sosial dan hukum dalam menghadapi kondisi  yang berubah.
Dengan demikian, hadis-hadis Nabi saw.  haruslah dipahami secara benar dan tepat. Namun, karena banyaknya serangan-serangan yang dilakukan oleh orang-orang Barat, maka banyak dari kalangan Muslim yang mulai berbeda pendapat dalam memaknai  dan memahami hadis-hadis itu sendiri.
II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Profil yusuf qardhawi
B.     Hadist dalam pandangan yusuf qardhawi
C.     Metode pemahaman hadist yusuf qardhawi



III.             PEMBAHASAN
A.    PROFIL YUSUF QARDHAWI
Nama lengkapnya adalah Yusuf Al-Qardhawi, Beliau dilahirkan di desa Shaft Turab di tengah Delta Sungai Nil, daerah Mahallah al-Kubra, Republik Arab Mesir, pada tanggal 9 September 1926. Ayahnya bernama Abdullah, Yusuf Qardhawi hanya dua tahun bersama ayahnya, karena ayahnya dipanggil oleh Allah.
Pelajaran yang pertama kali ditekuninya adalah al-Quran. Pada usia sepuluh tahun, ia sudah hafal al-Quran dan dengan bacaan yang sangat baik. Dengan keahliannya itu ia dijadikan imam salat lima waktu di desa dan pada usia yang sangat muda.[1]
Pendidikan formalnya ditempuh di al-Azhar Mesir, kecuali tingkat Aliyah, ia tempuh di Ma’had al-Buhus wa la-Dirasah al-Arbiyat al-‘Aliyah, sehingga mendapatkan hijaza diploma tinggi dalam bidang bahasa dan sastra Arab. Namun, keahliannya yang menonjol adalah dalam bidang keushuluddinan (aqidah, tafsir, dan hadis). Hal itu didukung oleh pelajarannya di Fakultas Ushuluddin, yang diselesaikan pada tahun 1960.[2]
B.     Hadis Dalam Pandangan Yusuf Qardhawi
Di antara para pemikir kontemporer, al-Qardhawi memberikan  penjelasan yang luas tentang bagaimana pemikirannya tentang hadis yang dikembangkan menjadi metode sistematis untuk menilai otentisitas hadis. Menurut al-Qardhawi, sunnah nabi mempunyai 3 karakteristik, yaitu komprehensif (manhaj syumul), seimbang (manhaj mutawazzun), dan memudahkan (manhaj muyassar). Ketiga karakteristik ini akan mendatangkan pemahaman yang utuh terhadap suatu hadis.[3]
Atas dasar inilah maka al-Qardhawi menetapkan tiga hal juga yang harus dihindari dalam berinteraksi dengan sunnah, yaitu pertama, penyimpangan kaum ekstrim; kedua, manipulasi orang-orang sesat, (intihal al-mubthilin), yaitu pemalsuan terhadap ajaran-ajaran Islam, dengan membuat berbagai macam bid’ah yang jelas bertentangan dengan akidah dan syari’ah; ketiga, penafsiran orang-orang bodoh (ta’wil al-jahilin). Oleh sebab itu, pemahaman yang tepat terhadap sunnah adalah mengambil sikap moderat (wasathiya), yaitu tidak berlebihan atau ekstrim, tidak menjadi kelompok sesat, dan tidak menjadi kelompok yang bodoh.
Adapun prinsip-prinsip dalam berinteraksi dengan as-Sunnah, adalah sebagai berikut:
1. Meneliti dengan seksama tentang ke-shahih-an hadis yang dimaksud sesuai dengan acuan ilmiah yang telah ditetapkan oleh para pakar hadis yang dipercaya. Yakni yang meliputi sanad dan matannya, baik yang berupa ucapan Nabi saw., perbuatannya, ataupun persetujuannya.
2. Dapat memahami dengan benar nash-nash yang berasal dari Nabi saw. sesuai dengan pengertian bahasa (Arab) dan dalam rangka konteks hadis tersebut serta sebab wurud (diucapkannya) oleh beliau. Juga dalam kaitannya dengan nash-nash al-Quran dan Sunnah yang lain, dan dalam kerangka prinsip-prinsip umum serta tujuan-tujuan universal Islam. Semua itu, tanpa mengabaikan keharusan memilah antara hadis yang diucapkan demi penyampaian risalah (misi Nabi saw.), dan yang bukan untuk itu. Atau dengan kata lain, antara Sunnah yang dimaksudkan untuk tasyri’ (penetapan hukum agama) dan yang bukan untuk itu. Dan juga antara tasyri’ yang memiliki sifat umum dan permanent, dengan yang bersifat khusus atau sementara. Sebab,di antara ”penyakit” terburuk dalam pemahaman sunnah, adalah pencampuradukan antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya.
3. Memastikan bahwa nash tersebut tidak bertentangan dengan nash lainnya yang lebih kuat kedudukannya, baik yang berasal dari al-Quran, atau hadis-hadis lain yang lebih banyak jumlahnya, atau lebih shahih darinya, atau lebih sejalan dengan ushul. Dan juga tidak dianggap berlawanan dengan nash yang lebih layak dengan hikmah tasyri’, atau berbagai tujuan umum syariat yang dinilai telah mencapai tingkat qath’iy karena disimpulkan bukan hanya dari satu atau dua nash saja, tetapi dari sekumpulan nash yang setelah digabungkan satu sama lain mendatangkan keyakinan serta kepastian tentang tsubutnya (atau keberadaanynya sebagai nash).[4]
As-Sunnah adalah sumber kedua dalam Islam di bidang tasyri’ dan dakwah
(tuntunan) nya. Para ahli fiqh merujuk kepadanya untuk menyimpulkan hukum-hukum, sebagaimana para ahli dakwah dan tarbiyah merujuk kepadanya untuk menggali makna-makna yang mengilhami, nilai-nilai yang mengarahkan, serta hikmah-hikmah yang merasuk ke dalam sanubari manusia. Demikian pula untuk mencari cara-cara efektif dalam rangka menganjurkan perbuatan kebaikan dan mencegah kejahatan.
C.    Metode Pemahaman Hadis Yusuf Qardhawi
1. Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Quran
Al-Quran adalah roh eksistensi Islam dan asas bangunannya. Ia adalah konstitusi Illahi yang menjadi rujukan bagi setiap perundang-undangan dalam Islam. Adapun sunnah Nabi adalah penjelasan terinci bagi konstitusi tersebut, baik secara teoritis maupun praktis.
Sedangkan As-Sunnah adalah penjelasan terinci tentang isi konstitusi tersebut, baik dalam hal-hal yang bersifat teoritis ataupun penerapannya secara praktis. Itulah tugas Rasulullah saw., ”menjelaskan bagi manusia apa yang diturunkan kepada mereka”.
Tugas seorang Rasul adalah menjelaskan kepada manusia risalah yang diturunkan untuk mereka. Oleh karena itu, tidak mungkin sebuah ”penjelasan” bertentangan dengan ”apa yang hendak dijelaskan” atau sebuah ”cabang” tidak mungkin bertentangan dengan ”pokok”. Penjelasan Nabi senantiasa berkisar pada al-Quran dan tidak pernah melampauinya. Oleh sebab itu, tidak ada sunnah yang shahih yang bertentangan dengan ayat-ayat al-Quran yang muhkamat keterangan-keterangannya yang jelas.[5]
Apabila dalam menghadapi perbedaan pemahaman dalam menyimpulkan makna-makna hadits, maka kita harus dapat memahami dengan cara yang baik dan benar adalah dengan melihat makna hadits yang didukung oleh al-Quran, karena isi hadits (cabang) sebagai penjelas al-Quran tidak akan mengandung makna yang berbeda dengan al-Quran (pokok) sebagai sesuatu yang dijelaskan.
2. Menghimpun Hadis-hadis yang Terjalin dalam Tema yang Sama
Untuk memahami sunnah Nabi dengan baik, kita harus menghimpun hadis-hadis yang bertema sama. Hadis-hadis yang mutasyabih dikembalikan kepada yang muhkam, yang mutlaq dihubungkan dengan yang muqayyad, dan yang ’am ditafsirkan dengan yang khas. Dengan demikian, makna yang dimaksud akan semakin jelas dan satu sama lain tidak boleh dipertentangkan. [6]
Sebagaimana yang sudah disepakati, sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas al-Quran. Artinya, sunnah memerinci ayat-ayat yang global, menjelaskan yang masih samar, mengkhususkan yang masih umum, dan membatasi yang mutlak. Dengan demikian, ketentuan-ketentuan tersebut harus diterapkan dalam memahami hadis yang satu dengan yang lainnya. 
Mencukupkan diri dengan pengertian lahiriah suatu hadis saja tanpa memperhatikan hadis-hadis lainnya, dan nas-nas lain yang berkaitan dengan topik tertentu seringkali menjerumuskan orang ke dalam kesalahan, dan menjauhkannya dari kebenaran mengenai maksud sebenarnya dari konteks hadis tersebut.
Sebagai misal, hadis-hadis yang berkenaan dengan larangan ”mengenakan sarung sampai di bawah mata kaki”, yang mengandung ancaman cukup keras terhadap pelakunya. Yaitu hadis-hadis yang dijadikan sandaran oleh sejumlah pemuda yang amat bersemangat, untuk menunjukkan kritik yang tajam terhadap siapa-siapa yang tidak memendekkan tsaub (baju gamis)—nya sehingga di atas mata kaki. Sedemikian bersemangatnya mereka, sehingga hampir-hampir menjadikan masalah memendekkan tsaub ini,  sebagai syiar Islam terpenting, atau kewajibannya yang mahaagung. Dan apabila menyaksikan seorang ’alim atau da’i Muslim yang tidak memendekkan tsaub—nya, seperti yang mereka sendiri melakukannya, maka mereka akan mencibirnya, dalam hati, atau adakalanya menuduhnya secara terang-terangan sebagai seorang yang ”kurang beragama”!
3. Penggabungan atau Pentarjihan antara Hadis-hadis yang (Tampaknya)  Bertentangan (Kompromi atau Tarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif)
Pada prinsipnya, nash-nash syari’at yang benar tidak mungkin bertentangan. Sebab, kebenaran tidak akan bertentangan dengan kebenaran. Seandainya ada pertentangan, maka hal itu hanyalah merupakan keadaan luarnya saja, atau hanya kelihatan di luar saja bertentangan, tapi makna yang terkandung adalah sama. Dan kewajiban kita terhadap hal tersebut adalah menghilangkan pertentangan di dalamnya.
Apabila pertentangan tersebut dapat dihilangkan dengan cara menggabungkan atau menyesuaikan antara kedua nash, tanpa harus memaksakan atau mengada-ada sehingga keduanya dapat diamalkan.
Salah satu hal yang penting untuk memahami sunnah dengan baik adalah menyesuaikan hadis-hadis shahih yang ”tampak” bertentangan, yang kandungannya sepintas berbeda-beda, serta menggabungkan antara hadis yang satu dengan hadis yang lainnya. Kemudian meletakkan masing-masing hadis sesuai dengan tempatnya sehingga menjadi satu kesatuan dan tidak lagi kelihatan berbeda atau bertentangan karena keduanya saling melengkapi.
Misalnya, hadis dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah saw. ”melaknat wanita yang sering menziarahi kuburan.” (Diraawikan oleh Ahmad, Ibn Majah dan Tirmidzi yang berkata: ”Hadis ini hasan sahih”, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Hibban dalam shahih—nya).
Hal itu dikuatkan pula oleh beberapa hadis yang mengandung larangan terhadap kaum wanita untuk mengikuti jenazah. Dari sana dapat disimpulkan pula larangan terhadap ziarah kubur bagi wanita.
Walaupun demikian, ada hadis-hadis lainnya yang isinya berlawanan dengan hadis-hadis di atas. Yakni yang dapat dipahami darinya, bahwa kaum wanita diizinkan menziarahi kuburan, sama seperti kaum laki-laki. Di antaranya, sabda Nabi saw.
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, فزورها او زوروا القبور فإنها تذكر الموت
 ”Aku pernah melarang kalian menziarahi kuburan, kini ziarahilah kini ziarahlah” atau “ziarahilah kuburan-kuburan, sebab itu akan mengingatkan kepada maut.”
Selain hadis tersebut di atas, terdapat lagi hadis Nabi tentang diperbolehkannya wanita menziarahi kubur. Yaitu ”Ziarahilah kuburan-kuburan, sebab hal itu akan mengingatkan kepada maut.”
Dalam hadis-hadis di atas, izin umum tersebut tentunya mencakup kaum wanita juga. Demikian pula hadis yang dirawikan oleh Muslim, An-Nasaiy dan Ahmad, dari Aisyah, katanya: ”Apa yang harus ku ucapkan kepada mereka, ya Rasulullah?” (Yakni apabila menziarahi kuburan). Jawab beliau: ”Katakanlah: ’Salam sejahtera atas kaum Mukminin dan Muslimin, para penghuni rumah-rumah ini. Semoga Allah merahmati semua kita, yang telah mendahului maupun yang masih tertinggal. Kami, insyaAllah, akan menyusul kalian.”
Meskipun hadis-hadis ini, yang menunjukkan diizinkannya (kaum wanita menziarahi kuburan) lebih sahih dan lebih banyak, dibandingkan hadis-hadis yang melarang, namun menggabungkan semuanya dan berupaya menyesuaikan makna kandungannya, adalah masih mungkin. Yaitu dengan mengartikan kata ”melaknat” yang tersebut dalam hadis—sebagaimana dinyatakan oleh Al-Qurthubiy—yang ditujukan kepada para wanita yang amat sering melakukan ziarah. Hal itu sesuai dengan bentuk kata zawwarat, yang berkonotasi ”amat sering”. Menurut Al-Qurthubiy, mungkin sebabnya ialah hal itu dapat mengakibatkan berkurangnya perhatian mereka kepada pemenuhan hak para suami, disamping kemungkinan membawa mereka kepada tabarruj serta meratapi orang-orang yang mati dengan suara keras, dan lain-lainnya lagi. Mungkin dapat dikatakan pula bahwa jika semua itu dapat dihindarkan, maka tak ada salahnya memberi izin kepada mereka. Sebab, soal mengingat mati adalah sesuatu yang diperlukan bagi kaum laki-laki maupun wanita.
Berkata Asy-Syaukani: ”Pendapat itulah yang sepatutnya dijadikan andalan dalam upaya penggabungan antara hadis-hadis yang tampaknya saling bertentangan menurut zahirnya.”[7]
Dan apabila tidak mungkin menggabungkan antara dua hadis atau berbagai hadis yang pada zahirnya saling bertentangan, barulah diupayakan pentarjihan. Yaitu dengan mentarjihkan (atau ’memenangkan’) salah satu darinya, dengan berbagi alasan pentarjih yang tentukan oleh para ulama.
-          Soal  Naskh dalam Hadis
Masalah yang berkaitan erat dengan kontradiksi dalam hadis adalah persoalan naskh (pengahapusan) atau yang biasa kita dengan istilah nasikh mansukh (yang menghapus dan yang dihapus) dalam hadis.
Sebagian ahli hadis menggunakan naskh apabila mereka mengalami kesulitan di dalam menggabungkan dua hadis yang bertentangan dan kemudian di antara keduanya diketahui mana hadis yang muncul belakangan.
Banyaknya hadis yang diasumsikan sebagai mansukh, membuat problematika dalam hadis lebih rumit dibandingkan dengan naskh di dalam al-Quran, karena al-Quran bersifat umum dan universal. Namun, setelah diadakan penelitian hadis yang dikatakan mansukh tidaklah demikian. Karena di antara hadis-hadis itu ada yang mengandung ketetapan (’azimah), dan ada pula yang dimaksudkan sebagai keringanan (rukhshah). Dan di antara keduanya mempunyai hukum masing-masing sesuai dengan kedudukannya.
4. Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
Di antara cara-cara yang baik untuk memahami hadis Nabi saw.  ialah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu ‘illah (alasan, sebab) tertentu, yang dinyatakan dalam hadis tersebut atau disimpulkan darinya, ataupun dapat dipahami dari kejadian yang menyertainya.
Ini berarti bahwa suatu hukum yang dibawa oleh suatu hadis, adakalanya tampak bersifat umum dan waktu tak terbatas, namun jika diperhatikan lebih lanjut, akan diketahui bahwa hukum tersebut berkaitan dengan suatu ‘illah tertentu, sehingga ia akan hilang dengan sendirinya jika hilang ‘illah—nya, dan tetap berlaku jika masih berlaku ‘illah—nya.
Untuk dapat memahami hadis dengan pemahaman yang benar dan tepat, haruslah diketahui kondisi yang meliputinya serta di mana dan untuk tujuan apa ia diucapkan. Sehingga dengan demikian maksudnya benar-benar menjadi jelas dan terhindar dari berbagai perkiraan yang menyimpang dan terhindar dalam pengertian yang jauh dari tujuan sebenarnya.
Kita mengetahui bahwa para ulama kita telah menyatakan bahwa untuk memahami al-Quran dengan benar, haruslah diketahui tentang asbab an-nuzul (sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya ayat-ayat al-Quran). Agar kita tidak terjerumus ke dalam kesalahan seperti yang terjadi atas sebagaian kaum ekstrem dari kalangan Khawarij atau yang seperti mereka. Yaitu, yang mengambil ayat-ayat yang Turun berkenaan dengan kaum musyrik, lalu menerapkannya atas kaum muslim.
Demikianlah, jika asbab an-nuzul perlu diketahui oleh siapa saja yang ingin memahami al-Quran atau menafsirkannya, maka asbab al-wurud (sebab atau peristiwa yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis) juga perlu untuk diketahui.
Hal tersebut mengingat bahwa al-Quran, sesuai dengan wataknya, adalah universal dan abadi. Karena itu, ia tidak berkepentingan untuk membicarakan hal-hal yang detil atau yang hanya berkaitan dengan waktu tertentu. Kecuali untuk menyimpulkan darinya prinsip-prinsip tertentu atau menunjukkan pelajaran (‘ibrah) apa yang kiranya dapat diambil darinya.
Lain halnya dengan as-Sunnah, sebab ia memang menangani berbagai problem yang bersifat local (maudhi’iy), particular (juz’iy) dan temporal (‘aniy). Di dalamnya juga terdapat dalam al-Quran.
Oleh sebab itu, haruslah dilakukan pemilahan antara apa yang bersifat khusus dan yang umum, yang sementara dan yang abadi, serta antara yang particular dan yang universal. Semua itu mempunyai hukumnya masing-masing. Dan dengan memperhatikan konteks, kondisi lingkungan serta asbab an-nuzul dan asbab al-wurud, pasti akan lebih mudah mencapai pemahaman yang tepat dan lurus, bagi siapa saja yang beroleh taufik Allah SWT. 
Dalam hal ini, penulis mengambil contoh tentang keharusan wanita disertai mahramnya ketika bepergian jauh. Disebutkan dalam Shahih Bukhari dan Muslim, dari Abdullah bin Abbas, secara marfu’: “Tidak dibolehkannya seorang perempuan bepergian jauh kecuali ada seorang mahram bersamanya.”[8]
‘Illah (alasan) di balik larangan ini ialah kekhawatiran akan keselamatan perempuan apabila ia bepergian jauh tanpa disertai suami atau mahram. Ini mengingat bahwa di masa itu, orang menggunakan kendaraan unta, baghal ataupun keledai dalam perjalanan mereka, seringkali mengarungi padang pasir yang luas atau daerah-daerah yang jauh dari hunian manusia. Dalam kondisi seperti itu, seorang perempuan yang bepergian tanpa disertai suazi ataupun  mahramnya, tentunya dikhawatirkan keselamatan dirinya, atau—paling sedikit—nama baiknya dapat tercemar.
Akan tetapi, jika kondisi seperti itu telah berubah, seperti di masa kita Semarang, ketika perjalanan jauh ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang yang mengangkut seratus orang penumpang atau lebih; atau kereta api yang mengangkut ratusan musafir, maka tidak ada lagi alasan untuk mengkhawatirkan keselamatan wanita bepergian sendiri. Karena itu, tidak ada salahnya, ditinjau dari segi syariat, jika ia melakukannya. Dan ini tidak dapat dianggap sebagai tindak pelanggaran terhadap hadis tersebut.

5. Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap
Di antara penyebab kekacauan dan kekeliruan dalam memahami as-Sunnah, ialah bahwa sebagian orang mencampuradukkan antara tujuan atau sasaran yang hendak dicapai oleh as-Sunnah dengan prasarana temporer atau lokal yang kadangkala menunjang pencapaian tujuan. Mereka lebih mementingkan sarana ini, seolah-olah itulah yang menjadi tujuan sebenarnya.
Setiap sarana dan prasana, mungkin saja berubah dari satu masa ke masa  dan dari suatu lingkungan ke lingkungan lainnya; bahkan semua itu pasti mengalami perubahan. Oleh sebab itu, apabila suatu hadis menunjuk kepada sesuatu yang menyangkut sarana atau prasarana tertentu, maka itu hanyalah untuk menjelaskan tentang suatu fakta, namun sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengikat kita dengannya, ataupun membekukan diri kita disampingnya.
Bahkan, sekiranya al-Quran sendiri menegaskan tentang suatu sarana atau prasarana yang cocok untuk suatu tempat atau masa tertentu, hal itu tidak berarti bahwa kita harus berhenti padanya saja, dan tidak memikirkan tentang prasarana lainnya yang selalu berubah dengan berubahnya waktu dan tempat.
Sebuah contoh yaitu hadis tentang siwak (sepotong kayu lunak dari pohon tertentu) untuk membersihkan gigi, tujuannya adalah kebersihan mulut sehingga mendatangkan keridhaan Allah, seperti disebutkan dalam hadis ”siwak menyebabkan kesucian mulut serta keridhaan Tuhan.” 
Adakah penggunaan siwak itu merupakan suatu tujuan tersendiri? Ataukah ia hanya suatu alat yang cocok dan mudah diperoleh di jazirah Arab, sehingga Rasulullah saw. menganjurkan penggunaannya, demi memanfaatkan sesuatu yang mudah didapat oleh mereka?!
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya, bagi masyarakat-masyarakat lainnya yang tidak mudah memperoleh kayu siwak itu, menggantikannya dengan alat lainnya yang dapat diproduksi secara besar-besaran, cukup untuk digunakan oleh jutaan orang; seperti sikat—gigi yang kita kenal sekarang. Begitulah yang telah dinyatakan oleh sejumlah fuqaha’.
Dengan ini, kita mengetahui bahwa sikat gigi dan pasta gigi (seperti yang digunakan sekarang) sepenuhnya dapat menggantikan kayu arak. Terutama di rumah, setelah makan, atau ketika hendak tidur.
6. Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan
 Teks-teks hadis banyak sekali yang menggunakan majas atau metafora, karena rasulullah adalah orang Arab yang menguasai balaghah. Rasul menggunakan majas untuk mengemukakan maksud beliau dengan cara yang sangat mengesankan. Adapun yang termasuk majas adalah; majas lughawi, aqli, isti’arah. Misalnya hadis tentang sifat-sifat Allah. Hadis semacam ini tidak bisa secara langsung dipahami, tapi harus perhatikan berbagai indikasi yang menyertainya, baik yang bersifat tekstual ataupun kontekstual.
Sebagai misal, dalam surat al-Ahzab yang berbunyi:
$¯RÎ) $oYôÊttã sptR$tBF{$# n?tã ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ÉA$t6Éfø9$#ur šú÷üt/r'sù br& $pks]ù=ÏJøts z`ø)xÿô©r&ur $pk÷]ÏB $ygn=uHxqur ß`»|¡RM}$# ( ¼çm¯RÎ) tb%x. $YBqè=sß Zwqßgy_ ÇÐËÈ  
Artinya: ” Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, Maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu Amat zalim dan Amat bodoh.”  (Al-Ahzab: 72)
Bahkan adakalanya pemahaman berdasarkan majaz  itu, merupakan suatu keharusan. Atau, jika tidak, orang akan tergelincir dalam kekeliruan. Ketika Rasulullah saw.  berkata kepada istri-istri beliau: ”Yang paling cepat menyusulku di antara kalian –sepeninggalku –adalah yang paling panjang tangannya,” mereka mengira bahwa yang dimaksud oleh beliau, adalah yang benar-benar bertangan panjang. Karena itu, seperti dikatakan oleh Aisyah r.a.; mereka saling mengukur, siapa di antara mereka yang tangannya paling panjang.
Bahkan, menurut beberapa riwayat, mereka mengambil sebatang bambu untuk mengukur tangan siapakah yang paling panjang?!
Padahal Rasulullah tidak bermaksud seperti itu. Yang dimaksud oleh beliau dengan ”tangan yang paling panjang” ialah yang paling banyak kebaikannya dan kedermawanannya.
7. Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata)
  Maksudnya membedakan antara yang gaib dan alam kasatmata (nyata), di sini adalah dalam hal memaknai teks hadis. Di antara kandungan As-Sunnah, ada beberapa  hal yang berkaitan dengan alam gaib (’alam al-ghaib), yang sebagiannya menyangkut makhluk-makhluk yang tidak dapat dilihat di alam kita ini. Misalnya, malaikat, mereka adalah jenis makhluk spiritual (halus), tercipta dari cahaya, nur, tak dapat ditangkap dengan indera dan tidak memiliki bentuk fisik. Makhluk-makhluk yang tidak bersifat fisik ini tidak makan, tidak minum, tidak kawin dan juga tidak berketurunan. Mereka juga tidak mempunyai sifat kelamin, lelaki atau perempuan. Mereka memang diciptakan untuk taat saja kepada Allah SWT. Dari mereka terpancar dzikir, tasbih, dan ibadah, sebagaimana halnya  nafas yang keluar dari seorang manusia. Mereka juga tidak dibebani kewajiban sebagaimana yang diberikan Allah kepada manusia.[9]
Juga seperti jin, penghuni bumi yang dibebani pula kewajiban-kewajiban tertentu seperti kita (manusia) juga, yang mereka itu dapat melihat kita dan kita tidak dapat melihat mereka. Dan di antara mereka itu adalah setan-setan, tentara Iblis yang pernah bersumpah di hadapan Allah SWT untuk berupaya menyesatkan kita dan memperindah kebatilan dan kejahatan dalam pandangan kita. Sebagaimana disebutkan dalam al-Quran dijelaskan: 
tA$s% y7Ï?¨ÏèÎ6sù öNßg¨ZtƒÈqøî_{ tûüÏèuHødr& ÇÑËÈ   žwÎ) x8yŠ$t7Ïã ãNßg÷YÏB šúüÅÁn=øÜßJø9$# ÇÑÌÈ  
Artinya:  iblis menjawab: "Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlis di antara mereka”[Shad: 82-83] (Yang dimaksud dengan mukhlis ialah orang-orang yang telah diberi taufiq untuk mentaati segala petunjuk dan perintah Allah s.w.t.)
Dan sebagian lagi dari hal-hal gaib ini bersangkutan dengan kehidupan di alam barzakh; yakni kehidupan setelah mati dan sebelum kebangkitan di hari kiamat. Termasuk di dalamnya, pertanyaan-pertanyaan malaikat ketika manusia berada dalam kuburnya; demikian pula tentang kenikmatan ataupun siksaan di dalamnya. Dan sebagiannya lagi berkaitan dengan kehidupan akhirat; yakni kebangkitan dan pengumpulan manusia di padang mahsyar, peristiwa-peristiwa besar pada hari kiamat, syafaat (dari para nabi, khususnya dari Nabi Muhammad saw.), mizan (neraca amalan manusia), hisab, shirath, surga serta pelbagai kenikmatan di dalamnya; baik yang bersifat material maupun spiritual, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya; dan juga neraka serta pelbagai siksaan di dalamnya, baik yang inderawi maupun yang maknawi, dan tingkatan-tingkatan manusia di dalamnya. Begitu pula dengan ’arsh dan kursy yang tidak dapat disaksikan oleh indera penglihatan manusia. 
8. Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis
Dalam memahami suatu hadis haruslah dapat memastikan makna dan konotasi yang dimaksud dalam hadis. Sebab, penggunaan atau pemaknaan kata dan konotasi setiap masyarakat atau masing-masing orang itu berbeda-beda dalam memaknai suatu kata.
Adakalanya suatu kelompok manusia menggunakan kata-kata tertentu untuk menunjuk kepada makna-makna tertentu pula. Dan tentunya tidak ada keberatan sama sekali dalam hal ini. Akan tetapi yang ditakutkan di sini adalah apabila mereka menafsirkan kata-kata tersebut yang digunakan dalam as-Sunnah (atau juga dalam al-Quran) sesuai dengan istilah mereka yang baru (atau yang hanya digunakan di kalangan mereka saja).


IV.             KESIMPULAN
Seperti yang telah dijelaskan, bahwa as-Sunnah adalah sumber hukum kedua setelah a-Quran. Oleh sebab itu, kita sebagai umat Muhammad, haruslah bisa memahami dengan baik apa-apa saja yang terkandung di dalam al-Quran dan as-Sunnah, sebagai penjelas dari pada al-Quran.
Dari sini Yusuf al-Qardhawi memberikan delapan metode dalam memahami hadis secara benar dan tepat, antara lain sebagai berikut:
-          Memahami Hadis Sesuai dengan Petunjuk al-Qur’an.
-          Menghimpun Hadis-Hadis yang Setema.
-          Mengkompromikan  atau mentarjih terhadap Hadis-Hadis yang Kontradiktif.
-           Memahami Hadis dengan Mempertimbangkan Latar Belakangnya, Situasi dan Kondisinya Ketika Diucapkan, serta Tujuannya.
-           Membedakan antara Sarana yang Berubah-ubah dan Tujuan yang Tetap .
-          Membedakan antara yang Hakekat dan Ungkapan.
-          Membedakan antara Alam Gaib dan Alam Kasatmata (Nyata).
-          Memastikan Makna dan Konotasi Kata-kata dalam Hadis.
Secara spesifik gagasan pemikiran Yusuf al-Qardhawi bukan sesuatu yang sama sekali baru. Beberapa kriteria yang ditawarkan oleh Yusuf al-Qardhawi merupakan refleksi hasil dialog dan pembacaan yang dilakukan Yusuf al-Qardhawi dari realitas masyarakat dan berbagai konsep yang ditawarkan para ulama jauh hari sebelumnya. Selain itu, pentingnya memberikan corak baru dalam studi pemahaman hadis, mengingat jarak waktu yang memisahkan realitas sekarang ini dengan sejarah bagaimana sebuah hadis muncul.




V.                PENUTUP
Demikianlah pembahasan makalah yang dapat kami paparkan. Dan tentunya masih terdapat banyak kekurangan dan kesalahan baik dari susunan isinya maupun dalam penyampaiannya. Maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan, dan semuga makalah ini dapat menambah wawasan kita. Amin..












DAFTAR PUSTAKA
Al-Qardhawi, Yusuf, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., (Bandung: Karisma, 1999)
Al-Qardhawi, Yusuf, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007)
Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar 2001)



[1] Isam Talimah, Manhaj Fiqh Yusuf al-Qardhawi (terj) Samson Rahman (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), hal. 3.
[2] Ibid, hal, 4.
[3] Yusuf  Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 92.
[4] Yusuf  Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis, hal. 26-27.
[5] Yusuf Al-Qardhawi, Pengantar Studi Hadits, (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 153
[6] Yusuf al-Qardhawi, Pengantar Studi…………………….hal. 171
[7] Yusuf Al-Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi saw., (Bandung: Karisma, 1999), hal.122.
[8] Yusuf  Qardhawi, Bagaimana Memahami Hadis Nabi Saw, (Bandung: Karisma, 1999), hal. 71
[9] Yusuf Al-Qardhawi, As-Sunnah Sebagai Sumber IPTEK dan Peradaban (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 1999), hal. 117.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan