SYADZDZUL HADITS

        I.            PENDAHULUAN
Dalam memenuhi kepentingan penelitian hadits, ulama’ telah menciptakan berbagai kaedah dan ilmu hadis. Dengan kaedah dan ilmu hadits itu, ulama mengadakan pembagian kualitas hadits. Di antara kaedah yang telah diciptakan oleh ulama adalah keshahihan sanad hadits, yakni segala syarat atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu sanad hadits yang berkualitas shahih. Segala syarat atau kriteria keshahihan sanad hadits tersebut, ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.

     II.            RUMUSAN MASALAH
A.    Pengertian dari Syadzdzul Hadits
B.     Pembagian Syadz
   III.            PEMBAHASAN
a)      Pengertian Syadz
Dalam kitab Taisir Mustholahul Hadits dijelaskan bahwa kata Syadz secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim fa’il yang berarti “sesuatu yang menyendiri”.  Menurut mayoritas ulama, kata Syadz bermakna : “yang menyendiri”.[1]
Adapun secara istilah, menurut Ibnu Hajar, hadits Syadz adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya yang bertentangan dengan perawi yang lebih terpercaya”. Bisa karena perawi yang lebih terpercaya tersebut lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau karena sebab-sebab lain yang membuat riwayatnya lebih dimenangkan, seperti karena jumlah perawi dalam sanadnya lebih sedikit.
Sedangkan kata Mahfudh secara bahasa adalah kata benda yang berbentuk isim maf’ul dari kata Al-Hifdh yang bermakna “kekuatan hafalan”.  Oleh sebab itu para ulama berkata : “Orang yang hafal adalah hujjah bagi orang yang tidak hafal”.
Menurut istilah, hadits Mahfudh adalah “hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang lebih kuat hafalannya, lebih banyak jumlahnya, atau hal-hal lain yang membuat riwayatnya dimenangkan, dimana riwayat tersebut bertentangan dengan riwayat perawi yang kuat”.  Hadits Mahfudh adalah kebalikan dari hadits Syadz.[2]
Menurut Muhadditsin hadits syadz yaitu:
“Hadits yang diriwayatkan oleh seseorang yang maqbul (tsiqoh) menyalahi riwayat orang yang lebih rajah, lantaran mempunyai kelebihan kedlabitan atau banyaknya sanad atau lain sebagainya, dari segi-segi pentarjihan.”
Kejanggalan (syadz) suatu hadits itu adakalanya terdapat pada sanad dan adakalanya terdapat pada matan.[3]
Ulama’ berbeda pendapat tentang pengertian syadz dalam hadits. Salah satunya yaitu al-Syafi’i. Menurut al-Syafi’iy, suatu hadits tidak dinyatakan sebagai mengandung syudzudz, bila hadits itu hanya diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqot, sedang periwayat siqat lainnya tidak meriwayatkan hadits itu. Barulah suatu hadits dinyatakan mengandung syudzudz, bila hadits yang diriwayatkan oleh seorang periwayat yang siqat tersebut bertentangan dengan hadits yang diriwayatkan oleh banyak periwayat yang juga bersifat siqat.[4]
b)     Pembagian Syadz
·         Syadz dalam sanad
Seperti hadits di bawah ini:



Artinya: “Seorang laki-laki telah meninggal dunia di zaman Rasulullah saw, dan orang itu tidak meninggalkan seorang pun ahli waris, terkecuali seseorang yang telah memerdekakannya.”
            Menurut penelitian Ibn Hajar al-‘Asqalany, matn hadits ini memiliki banyak sanad. Beberapa mukharrij, sanad-nya melalui Shufyan bin ‘Uyaynah. Sanad yang dipakai oleh Ibn ‘Uyayynah sama dengan yang dipakai oleh Ibn Jurayj dan para periwayat lainnya, terkecuali Hammad bin Zayd. Sanad Ibn ‘Uyayynah dan lain-lainnya tersebut melalui “amr bin dinar, ‘Awsajah, Ibn ‘Abbas, barulah sampai kepada Nabi. Sedang sanad Hammad bin Zayd melalui ‘Amr bin Dinar, ‘Awsajah, kemudian kepada Nabi, tanpa terlebih dahulu melalui Ibn ‘Abbas. Padahal, Ibn ‘Uyayynah, Ibn Jurayj, Hammad bin Zayd, dan lain-lain adalah periwayat yang sama-sama bersifat siqat. Karena sanad Hammmad bin Zayd menyalahi beebagai sanad, dari periwayat lainnya, maka sanad Hammad bin Zayd adalah sanad yang Syadz, sedang sanad yang Ibn ‘Uyayynah dan lain-lain dinilai sebagai sanad yang mahfudh.[5]
·         Syadz dalam matan
Berikut ini dikemukakan sebuah matan hadits yang mengandung syudzudz:


Artinya:Apabila seseorang di antaramu telah shalat fajar dua raka’at, maka hendaklah dia berbaring miring di atas rusuk kanan.
Matn hadits ini berbentuk qawly (sabda). Sanad Abu Dawud dan al-Turmudzy bertemu pada periwayat yang bernama ‘Abd al-Wahid bin Ziyad. Sanad ‘Abd al-Wahid ialah al-A’masy, Abu Shalih, dan Abu Hurairah. Abu Hurayrah menerima hadits itu dari Nabi.
Menurut penelitian al-Baihaqy (wafat 458 H = 1066), jumlah murid al-A’masy yang menerima hadits tersebut banyak. Salah seorang di antaranya ialah ‘Abd al-Wahid di atas. Seluruh periwayat hadits itu bersifat siqat. Ternyata, matn hadits riwayat para murid al-A’masy, selain ‘Abd al-Wahid, berbentuk fi’ly (perbuatan). Dalam keadaaan yang demikian ini, maka matn riwayat ‘Abd al-Wahid yang berbentuk qauly tersebut dinyatakan matn yang syadz. Sedang matn  riwayat murid-murid al-A’masy lainnya dinyatakan sebagai matn yang mahfudh.[6]
  IV.            KESIMPULAN



    V.            PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami susun. Pastinya masih banyak sekali kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu kritik dan saran akan kami terima dengan senang. Semoga bermanfaat. Amin.





[1]               Mahmud At-Thohan, Taisir Mustholah Hadits, Singapura : Al-Haromain,hal.117
[2] http//jacksite.wordpress.com/2013/16/04/ilmu-hadits-definisi-hadits-mahfudz
[3]Fathur Rahman, Ikhtisar Mustholahul Hadits, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1974), hlm. 199, Cet.1
[4] M. Syuhudi Ismail, Kaedah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1995), hlm. 139, Cet.2
[5] Ibid, hlm. 142.
[6] Ibid, hlm. 146.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan