ZAKAT DAN SEDEKAH

        I.            PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Praktek muamalah tidak terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari karena praktek muamalah menyangkut hubungan manusia dengan sesama, kelompok, maupun dengan alam.           
Salah satu praktek muamalah yaitu kegiatan zakat dan sedekah. Hal itu merupakan perintah langsung dari Allah swt. Di dalam Al-qur’an telah dijelaskan secara gamblang bagaimana hukum dan cara dalam menjalankan zakat dan sedekah.
Oleh karena itu, dalam makalah ini sedikit banyak membahas ayat-ayat Al-qur’an yang berhubungan dengan praktek zakat dan sedekah.

B.     Rumusan Masalah
1.      Ayat-ayat tentang zakat dan sedekah beserta penafsirannya.

     II.            PEMBAHASAN
·         Perintah untuk membayar zakat
QS. At-Taubah: 103

 خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ وَاللهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ﴿۱٠٣﴾

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka. Dengan zakat itu, kamu membersihkan dan mensucikan mereka. Dan do’akanlah mereka. Sesungguhnya, do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.
Kandungan ayat
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا
Firman Allah ini berisi perintah kepada Rasulullah saw untuk mengambil sedekah dari sebagian harta umat Islam. Tidak diterangkan disini, jenis harta apa saja yang harus diambil sebagai zakat, berapa ukuran harta (nishab) yang harus dikeluarkan zakatnya, berapa persen pengambilannya, dan kapan waktu pengambilannya. Semua itu kemudian dijelaskan oleh Rasulullah saw melalui haditsnya. Adapun ayat ini, Allah hanya menerangkan bahwa zakat berfungsi sebagai pembersih dan penyucian diri dari sifat kikir, rakus, dan individualis. Sedekah juga akan mengantarkan seseorang kepada derajat mukhlisin (orang-orang yang ikhlas) dan kebaikan mereka akan digandakan.
Alasan penyertaan kata tazkiyah (mensucikan) bersama-sama dengan kata tathhir (membersihkan) adalah karena kata tazkiyah memiliki konotasi makna yang lebih kuat dibandingkan kata tathhir. Selain bermakna “mensucikan”, tazkiyah juga bisa berarti “tumbuh berlipat dan memiliki unsur barokah”. Artinya, walaupun harta seseorang berkurang karena diambil untuk sedekah, namun pada hakekatnya penyerahan sedekah tersebut adalah sebuah langkah awal untuk menjadikan hartanya berkembang dan berbarokah. Hal ini pernah ditegaskan oleh Rasulullah saw, sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Muslim, dan at-Tirmidzi dari Abu Hurairah:
مَا نَقَّصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ
Sedekah tidak akan menjadikan harta berkurang.[1]
Al-Qurthubi menjelaskan kata صدقة diambil dari kata الصّدق (benar), yang zakat ini dapat menjadi sebuah bukti tentang kebenaran keimanan seseorang, atau juga untuk menyesuaikan kebenaran yang ditunjukkan melalui batin seseorang dengan kebenaran yang ditunjukkan oleh zahirnya. Juga agar dapat diketahui bahwa orang yang mengeluarkan zakat ini tidak termasuk orang munafik yang hanya dapat mencibir orang-orang beriman yang rela mengeluarkan harta sebagai zakat.
Lafazh وتزكّيهم بها تطهّرهمdengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka,” adalah dua kata keterangan untuk orang yang diajak berbicara atau orang kedua. Perkiraan makna yang dimaksud adalah, ambillah zakat dari harta mereka sebagai penyucian dan pembersihan diri mereka.
Kedua kata tersebut bisa juga berfungsi sebagai sifat untuk zakat, yaitu ambillah zakat dari harta mereka, untuk menyucikan dan membersihkan diri mereka. Dengan begitu, fa’il dari lafazh وتزكّيهم kembali pada objek yang diajak berbicara, dan dhamir (kata ganti) pada lafazh بها kembali kepada yang disifati.[2]
  وَصَلِّ عَلَيْهِمْ إِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْ
Dan do’akanlah mereka. Sesungguhnya, do’a kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka.
Ayat ini berisi perintah kepada Nabi Muhammad saw untuk mendo’akan dan memintakan ampun bagi mereka yang telah diambil sedekahnya. Sebab, do’a dan istighfar dari Nabi akan menjadikan hati mereka tenang karena tentu saja Allah akan menerima do’a dan istighfar Nabi Muhammad saw.
Ada beberapa makna kata shalawat (shalawat). Bila berasal dari Allah, shalawat bermakna “rahmat”, artinya ketika disebutkan “Allah bershalawat” berarti Allah menurunkan rahmat. Bila berasal dari malaikat, shalawat berarti istighfar (memintakan ampun). Sedangkan bila datang dari nabi dan orang-orang mukmin, shalawat berarti do’a.
Sekalipun ayat ini untuk Nabi, tapi ketentuan untuk mendo’akan bagi orang yang diambil sedekahnya juga sangat dianjurkan bagi pemimpin atau orang yang ditugaskan mengambil sedekah (amil). Bila seorang amil mengambil zakat, hendaknya ia mendo’akan orang yang mengeluarkan sedekah, misalnya dengan bacaan do’a: semoga Allah menerima sedekahnya, semoga hartanya menjadi barokah, dan semoga diri dan hartanya menjadi suci. Amin.[3]
Hasbi Ash-Shiddieqiy juga menyebutkan demikian tentang tafsiran ayat diatas dalam tafsir nya: “Berdo’alah, wahai rasul, untuk para pemberi sedekah engan kebajikan dan berkat. Mohonlah ampun kepada Allah untuk mereka, karena do’amu dan istighfarmu membuat mereka merasa tenang dan menghilangkan kekacauan jiwa.
Allah Maha Mendengar segala macam ucapan atau pernyataan, dan Dia akan membalasnya. Selain itu Allah Maha mengetahui rasa penyesalan dan tobat mereka serta keikhlasannya di dalam memberi sedekah.”[4]
Jumhur ulama berpendapat bahwa hukum asal ayat ini adalah perintah kepada para imam atau pemimpin untuk mengambil zakat dari rakyatnya dan mendo’akan orang yang memberikan zakat itu agar memperoleh keberkahan.
Muslim meriwayatkan dari Abdullah bin Abu Aufa, dia berkata, “Apabila Rasulullah saw didatangi oleh suatu kalangan yang ingin menyerahkan harta zakat mereka, maka beliau akan memanjatkan do’a,اللّهم صلّ عليهم  ‘Ya Allah, berikanlah keberkahan bagi mereka’. Kemudian pada saat Abdullah menyerahkan harta zakatnya, nabi saw juga berdo’a:
اللّهمّ صلّ على آل أبى أوفى ‘Ya Allah, berikanlah keberkahan kepada keluarga Abu Aufa’.”[5]
Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 43
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
43. dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'.[6]
Abu Ja’far (Imam Thobari) berkata (dalam tafsirnya): disebutkan bahwa para pendeta Yahudi dan orang-orang munafik memerintahkan orang-orang melakukan sholat dan mengeluarkan zakat, namun mereka sendiri tidak melakukannya, oleh karena itulah Allah memerintahkan mereka agar mendirikan sholat bersama umat islam yang beriman kepada Rasulullah saw dan mengeluarkan zakat bersama mereka serta tunduk dan patuh kepada Allah dan Rasul-Nya.
Adapun yang dimaksud dengan mengeluarkan zakat adalah zakat yang fardhu atau wajib. Namun ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan zakat di sini adalah zakat fitrah sebagaimana pendapatnya imam Malik. Asal kata zakat adalah berkembang dan bertambah sehingga menjadi banyak, seperti perkataan penyair berikut ini:
كَانُوْا خَسًّا أَوْزَكًا مِنْ دُوْنِ اَرْبَعَةٍ ÷ لَمْ يُخْلَقُوْا وَوُجُوْدُ النَّاسِ تَعْتَلِجُ
Mereka sedikit atau banyak di bawah empat, belum dicipta sedangkan nenek moyang manusia telah berperang.  
Menurut satu pendapat, asal kata Az-Zakah adalah sanjungan yang baik, contohnya زَكَى الْقَاضِيُ الشَّاهِدَ (hakim menyanjung saksi), dengan demikian seolah-olah orang yang mengeluarkan zakat itu mendapatkan sanjungan yang baik. Pendapat lain mengatakan  kata Az-zakah diambil dari kata التَّطْهِيْر (penyucian) sebagaimana dikatakan زَكَى فُلاَنٌ (si fulan bersuci), yakni bersuci dari kotoran luka dan kelalaian. Dengan demikian harta yang dikeluarkan untuk zakat seolah-olah menyucikan harta tersebut dari hak orang-orang miskin yang berhak di dalamnya.[7]   
Harta yang dikeluarkan sebagai zakat disebut dengan zakat, karena Allah akan mengembangkan harta yang tersisa pada pemiliknya dengan dikeluarkannya zakat tersebut sehingga menjadi banyak. Atau kemungkinan disebut dengan zakat karena zakat menyucikan harta yang tersisa pada pemiliknya dan membersihkannya dari unsur-unsur aniaya atas orang lain, seperti firman Allah swt yang menceritakan tentang nabi Musa:
tA$s% |Mù=tGs%r& $T¡øÿtR Op§Ï.y ÎŽötóÎ/ <§øÿtR     
74. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena Dia membunuh orang lain?.
Penakwilan zakat yang kedua ini lebih menakjubkanku (Imam Thobari) dari penakwilan yang pertama, meskipun penakwilan yang pertama juga benar. Adapun makna ruku dalam ayat ini adalah tunduk dan patuh kepada Allah.[8]
1)      Syarat-Syarat Dan Manfaat Zakat
a)      Syarat Wajib Zakat
                                                       i.       Islam. Tidak wajib membayar zakat bagi kafir atau orang murtad.
                                                    ii.       Milik yang sempurna. Yakni benar-benar harta itu milik pribadi orang yang berkewajiban membayar zakat, yang berada dalam kekuasaan dan berhak mentasarufkannya. Atau berada di tangan orang lain, tetapi ia mampu untuk menghasilkannya. Memiliki secara penuh ketika zakat harus dibayar.
                                                  iii.       Sudah sampai batas nisab. Yakni harta benda yang dimiliki sudah sampai pada nisab yang telah di tentukan syara’. Sedangkan batas nisab itu berbeda dengan harta benda yang dimiliki, sebagaimana yang diterangkan di atas. Ada kalanya yang memperkirakan nilai harga, ada yang berdasarkan kepastian syara’ dan lainnya.
                                                  iv.       Sudah satu tahun. Yakni harta yang sampai nisab itu sudah dimiliki selama satu tahun, kecuali hasil bumi. Adapun zakat hasil bumi, ialah setiap muslim panen. Sedangkan keturunan binatang ternak yang di gembalakan dan laba hasil perdagangan, di hitung satu tahun dari permulaan ketika sudah sempurna nisabnya.
                                                v.            Merdeka. Yakni memiliki harta kekayaan itu seorang yang merdeka, bukan budak. Karena itu tidak ada kewajiban zakat bagi hamba. Sebab dia tidak memiliki hak milik secara penuh. Dia berada dalam kekuasaan tuannya, karena itu segala perbuatan dan pekerjaannya berada dalam tanggung jawab tuannya.
b)     Manfaat Zakat
                                                  i.            Menjalankan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, dan mendahulukan sesuatu yang dicintai Allah dan Rasul-Nya daripada kesenangan pribadi dalam masalah harta kekayaan.
                                               ii.            Melipatgandakan dalam beramal.
                                             iii.            Sedekah atau zakat adalah petunjuk dan penerang iman.
                                             iv.            Membersihkan dosa-dosa dan akhlaq yang tercela
                                                v.            Menambah harta kekayaan.
                                             vi.            Orang yang menunaikan zakat, berada dalam naungan sedekah yang dikeluarkan pada hari kiamat nanti.
                                           vii.            Sebab untuk mencapai rahmat Allah.[9]
2)      Zakat Mal Atau Harta Benda
Zakat mal terbagi menjadi enam macam yaitu zakat binatang ternak, zakat emas dan perak, zakat tanaman dan buah-buahan, zakat perdagangan, zakat hasil tambang, zakat barang temuan.
a.    Zakat binatang ternak
Para ulama mazhab sepakat bahwa binatang yang wajib dizakati adalah: unta, sapi, kerbau, kambing, dan biri-biri, mereka juga sepakat bahwa binatang seperti kuda, keledai, dan bighal tidak wajib dizakati, khusus Hanafi kuda juga termasuk binatang yang wajib dizakati asalkan kuda tersebut bercampur antara jantan dan betina.
Unta
Nishab unta adalah 5 ekor, artinya bila seseorang telah memiliki 5 ekor unta maka ia terkena kewajiban zakat. Selanjutnya zakat itu akan bertambah, jika jumlah unta yang dimilikinya juga bertambah. maka dapat dibuat tabel sebagai berikut:

Jumlah ternak (ekor)
Zakat
5 – 9
1 ekor kambing atau domba   (a)
  10 – 14
2 ekor kambing atau domba 
15 – 19
3 ekor kambing atau domba
20 – 24
4 ekor kambing atau domba
25 – 35
Dd111    1 ekor unta bintu makhad       (b)
36 – 45
1 ekor unta bintu labun           (c)
46 – 60
1 ekor unta hiqoh                    (d)
61 – 75
1 ekor unta jadz’ah                 (e)
76 – 90
2 ekor unta bintu labun           (c)
91 – 120
2 ekor unta hiqah                    (d)
Keterangan:
(a) Kambing berumur 2 tahun atau lebih, atau domba berumur satu tahun atau lebih.
(b) Unta betina umur 1 tahun, masuk tahun ke-2
(c) Unta betina umur 2 tahun, masuk tahun ke-3
(d) Unta betina umur 3 tahun, masuk tahun ke-4
(e) Unta betina umur 4 tahun, masuk tahun ke-5
Selanjutnya, jika setiap jumlah itu bertambah 40 ekor maka zakatnya bertambah 1 ekor bintu Labun (c), dan setiap jumlah itu bertambah 50 ekor, zakatnya bertambah 1 ekor Hiqah (d)
Tabel di atas berdasarkan nishob menurut mazhab Syafi’i, para ulama mazhab sepakat bahwa yang kurang dari 5 ekor tidak wajib dizakati.

 Sapi
Nishob kerbau dan kuda disamakan dengan nishobnya sapi yaitu 30 ekor, artinya jika seseorang telah memiliki sapi (kerbau atau kuda) maka ia sah terkena kewajiban zakat.

Jumlah Ternak (ekor)
Zakat
30 – 39
1 ekor sapi jantan atau betina tabi’
40 – 59
1 ekor sapi betina musannah
60 – 69
2 ekor sapi tabi’
70 – 79
1 ekor sapi musannah dan 1 ekor sapi tabi’
80 – 89
2 ekor sapi musannah

Keterangan:
Sapi Tabi’ adalah sapi umur 1 tahun yang masuk tahun ke 2
Sapi Musannah adalah sapi umur 2 tahun yang masuk tahun ke-3

Mayoritas  ulama mazhab seperti di atas keterangannya, namun mazhab Maliki punya pengertian lain tentang Tabi’ dan Musannah. Tabi’ adalah sapi yang berumur 2 tahun masuk tahun yang ke-3 sedangkan Musannah alah sapi umur 3 tahun masuk tahun ke-4.

Kambing atau domba
Setiap jumlah 40 ekor kambing, wajib mengeluarkan satu ekor kambing. Setiap 121 ekor, wajib mengeluarkan 2 ekor kambing. Dan apabila mencapai 201 ekor, maka wajib mengeluarkan 3 ekor kambing, ketentuan ini disepakati oleh semua ulama mazhab. 

Jumlah ternak (ekor)
Zakat
40 – 120
1 ekor kambing umur 2 tahun atau domba umur 1 tahun
121 – 200
2 ekor kambing atau domba umur 2 – 3 tahun
201 – 300
3 ekor kambing atau domba umur 2 – 3 tahun

Selanjutnya setiap jumlahnya bertambah 100 ekor maka zakatnya bertambah satu ekor kambing atau domba betina.[10]

b.   Zakat Emas Dan Perak
Ulama fiqih berpendapat emas dan perak wajib dizakati jika cukup nishobnya, nishob emas adalah 20 Mithqal, nishob perak adalah dua ratus dirham, mereka juga memberi syarat berlalunya waktu satu tahun dalam keadaan nishob. Jumlah yang wajib dikeluarkan zakatnya adalah 2,5% (dua setengah persen).
Emas dan perak wajib dizakati dalam bentuk batangan, begitu juga dalam bentuk uang namun para ulama berbeda pendapat mengenai emas dan perak dalam bentuk perhiasan, sebagian mewajibkan zakat sebagian yang lain tidak wajib.
Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali berpendapat uang kertas tidak wajib dizakati jika tidak sampai nishobnya dan belum berlalu satu tahun namun jika uang kertas tersebut ditukar dengan emas dan perak maka menurut Hambali wajib dikeluarkan zakatnya.
c.    Zakat Tanaman Dan Buah-Buahan
Semua ulama mazhab sepakat bahwa jumlah (kadar) yang wajib dikeluarkan dalam zakat tanaman dan buah-buahan adalah sepersepuluh atau 10%, kalau tanaman dan buah-buahan tersebut disiram air hujan atau air dari aliran sungai. Tapi jika air yang dipakai menggunakan air irigasi (dengan membayar) dan sejenisnya, maka cukup mengeluarkan 5%
Ulama mazhab berbeda pendapat tentang tanaman dan buah-buahan  yang wajib dizakati, Hanafi berpendapat semua tanaman dan buah-buahan yang keluar dari bumi wajib dizakati kecuali rumput, kayu, dan tebu peri, sedangkan Syafi’i dan Maliki berpendapat tanaman dan buah-buahan yang disimpan untuk kepentingan pokok atau untuk belanja yang wajib dizakati, seperti gandum, beras, kurma, dan anggur, beda lagi dengan Hambali yang berpendapat bahwa semua tanaman dan buah-buahan yang ditimbang dan disimpan wajib dizakati.
d.   Zakat Perdagangan
Yang dinamakan harta dagangan adalah harta yang dimiliki dengan akad tukar dengan tujuan untuk memperoleh laba, dan harta yang dimilikinya harus merupakan hasil usahanya sendiri, kalau harta yang dimiliknya itu merupakan harta warisan, maka ulama mazhab sepakat tidak menamakannya dengan harta dagangan. Zakat yang dikeluarkan berasal dari nilai barang-barang yang diperdagangkan, jumlah yang dikeluarkan sebanyak  dua setengah persen
Semua mazhab sepakat bahwa syaratnya harus mencapai satu tahun, untuk menghitungkannya pertama-tama harta tersebut diniatkan untuk berdagang, apabila telah mencapai satu tahun penuh dan memperoleh untung, maka ia wajib dizakati.
Seorang pedagang harus menghitung jumlah nilai barang dagangan dengan harga asli (beli), lalu digabungkan dengan keuntungan bersih setelah dipotong hutang.
Misalnya: Seorang pedagang menjumlah barang dagangannya pada akhir tahun dengan jumlah total sebesar Rp. 200.000.000 dan laba bersih sebesar Rp. 50.000.000. Sementara itu, ia memiliki hutang sebanyak Rp. 100.000.000. Maka perhitungannya sebagai berikut:

Modal – Hutang:
Rp. 200.000.000 – Rp. 100.000.000 = Rp. 100.000.000
Jadi jumlah harta zakat adalah:
Rp. 100.000.000 + Rp. 50.000.000 = Rp. 150.000.000
Zakat yang harus dibayarkan:
Rp. 150.000.000 x 2,5 % = Rp. 3.750.000

e.    Zakat Hasil Tambang
Hasil tambang tidak disyaratkan haul, zakatnya wajib dibayar ketika barang itu telah digali. Hal ini mengingat bahwa haul disyaratkan untuk menjamin perkembangan harta, sedang dalam hal ini perkembangan tersebut telah terjadi sekaligus, seperti dalam zakat tanaman.
Barang tambang yang digali hanya sekali harus memenuhi nisab begitu juga yang digali secara terus-menerus, tidak terputus karena terbengkalai. Semua hasil tambang yang digali secara terus-menerus harus digabung untuk memenuhi nisab. Jika penggalian itu terputus karena suatu hal yang timbul dengan tiba-tiba, seperti reparasi peralatan atau berhentinya tenaga kerja, maka semua itu tidak memengaruhi keharusan menggabungkan semua hasil galian.
Bila galian itu terputus karena beralih profesi, karena pertambangan sudah tidak mengandung barang tambang yang cukup atau sebab lain, maka hal ini memengaruhi penggabungan yang satu dengan yang lain. Dalam hal ini harus diperhatikan nisab ketika dimulai kembali penggalian baru.
Termasuk dalam barang tambang semua hasil yang digali dari daratan atau pun dari dasar laut, sementara yang dikeluarkan dari laut itu sendiri, seperti mutiara, ambar dan marjan, harus dizakati seperti zakat komoditas dagang. Dan kadarnya 2,5 %
f.     Zakat Barang Temuan
Zakat Barang Temuan (Rikaz) wajib dikeluarkan untuk barang yang ditemukan terpendam di dalam tanah, atau yang biasa disebut dengan harta karun. Zakat barang temuan tidak mensyaratkan baik haul (lama penyimpanan) maupun nisab (jumlah minimal untuk terkena kewajiban zakat), sementara kadar zakatnya adalah sebesar seperlima atau 20% dari jumlah harta yang ditemukan. Jadi setiap mendapatkan harta temuan berapa pun besarnya, wajib dikeluarkan zakatnya sebesar seperlima dari besar total harta tersebut. 

3)      Zakat Fitrah
Makna zakat fitrah, yaitu zakat yang sebab diwajibkannya adalah futur (berbuka puasa) pada bulan Ramadhan. Disebut pula dengan sedekah fitrah. Lafadz (sedekah) menurut syara’ dipergunakan untuk zakat yang diwajibkan, sebagaimana terdapat pada berbagai tempat dalam Qur’an dan hadits. Dipergunakan pula kata sedekah untuk zakat fitrah, seolah-olah sedekah dari fitrah atau asal kejadian, sehingga wajibnya zakat fitrah untuk menyucikan diri dan membersihkan perbuatannya.[11]
Zakat fitrah diwajibkan pada tahun kedua Hijrah, yaitu tahun diwajibkannya puasa bulan Ramadhan untuk menyucikan orang yang berpuasa dari ucapan kotor dan perbuatan yang tidak ada gunanya, untuk memberi makanan pada orang-orang miskin dan mencukupkan mereka dari kebutuhan dan meminta-minta pada hari Raya.
Zakat ini merupakan zakat yang berbeda dari zakat-zakat lainnya, karena ia merupakan zakat pada pribadi masing-masing, sedangkan zakat lain, merupakan pajak pada harta. Karenanya maka tidak disyaratkan pada zakat fitrah, apa yang disyaratkan pada zakat-zakat lain, seperti memiliki nisab, dengan syarat-syaratnya yang jelas, pada tempatnya.
Para fuqaha menyebut zakat ini dengan zakat kepala, atau zakat perbudakan atau zakat badan. Yang dimaksud dengan badan di sini adalah pribadi, bukan badan yang merupakan lawan dari jiwa dan nyawa.
Jama’ah ahli hadits telah meriwayatkan hadis Rasulullah saw dari Ibnu Umar:
أَنَّ رسول اللّهِ  ص. م . فَرَضَ زَكَا ةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضاَنَ صاَعاً مِنْ تمْرٍ أَوْ صاَعاً مِنْ شَعِيْرٍ عَلىَ كُلِّ حُوْرٍ أَوْ عَبْدٍ ذَ كَرٍ أَوْ أُ نْثىَ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ .
“Sesungguhnya Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fitrah pada bulan Ramadhan satu sha’ kurma atau satu sha’ gandum kepada setiap orang yang merdeka, hamba sahaya, laki-laki maupun perempuan dari kaum muslimin.”
Jumhur ulama salaf dan khalaf menyatakan bahwa makna farodho pada hadis itu adalah alzama dan awjaba, sehingga zakat fitrah adalah suatu kewajiban yang bersifat pasti. Juga karena masuk pada keumuman firman Allah : “Dan tunaikanlah zakat “ (QS. al-Baqarah:110).
Zakat fitrah oleh Rasulullah saw disebut dengan zakat, karenanya termasuk ke dalam perintah Allah tersebut. Dan karena sabda Rasulullah faradha biasa dalam istilah syara’ dipergunakan untuk makna alzama adalah disertainya kata-kata faradha dengan a’la yang biasanya menunjukkan pada hal yang wajib pula, karena di dalam hadis tersebut dinyatakan : ala kulli hunin waabdin, sebagaimana riwayat-riwayat sahih menyatakan zahirnya amar menunjukkan kepada yang wajib.
Telah menjelaskan pula Abu Aliyah, Imam ‘Atha dan Ibnu Sirin, bahwa zakat fitrah itu adalah wajib, sebagaimana dikemukakan dalam Shohih Bukhari. Ini adalah Mazhab Maliki, Syafi’i dan Ahmad.
Hanafiyah menyatakan bahwa zakat fitrah itu wajib, bukan fardhu, berdasarkan kaidahnya yang membedakan antara fardhu dengan wajib. Fardhu menurut mereka, segala sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil qath’i, sedangkan wajib adalah segala sesuatu yang ditetapkan berdasarkan dalil zanni. Efek dari perbedaan ini adalah bahwa orang yang mengingkari fardhu, berakibat kufur, sedangkan orang yang mengingkari wajib, berakibat tidak kufur.
Hal ini berbeda dengan Imam yang tiga. Menurut mereka fardhu itu mencakup dua bagian : fardhu yang ditetapkan berdasarkan dalil qat’i dan fardhu yang ditetapkan berdasarkan dalil zanni. Dari sini kita mengetahui, bahwa hanafi tidak berbeda dengan mazhab yang tiga dari segi hukum, tetapi hanyalah perbedaan dalam istilah saja dan ini tidak menjadi masalah.[12]          
Waktu wajibnya mengeluarkan zakat fitrah menurut ulama mazhab berbeda-beda. Hanafi: waktu yang diwajibkan untuk mengeluarkan zakat fitrah adalah dari terbitnya fajar malam hari raya sampai umur seseorang, karena kewajiban zakat fitrah termasuk kewajiban yang sangat luas waktunya, dan pelaksanaannya juga sah dilakukan dengan mendahulukan ataupun mengakhirkan. Mazhab Maliki punya dua pendapat, salah satunya mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah pada waktu tenggelamnya matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan.
Mazhab Syafi’i: waktu yang diwajibkan untuk mengeluarkannya adalah akhir bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal, artinya pada tenggelamnya matahari dan sebelumnya sedikit (dalam jangka waktu dekat) pada hari akhir bulan Ramadhan. Disunahkan mengeluarkannya pada awal hari raya (pagi hari menjelang sholat id) dan diharamkan mengeluarkannya setelah tenggelamnya matahari pada hari pertama bulan Syawal (hari raya) kecuali ada uzur.
Mazhab Hambali: melaksanakan pemberian zakat fitrah yang terlambat sampai akhir hari raya adalah haram hukumnya, dan bila dikeluarkan sehari atau dua hari sebelum hari raya mendapatkan pahala, tetapi bila diberikan selain hari itu (sehari atau dua hari sebelum hari raya) tidak mendapat pahala.
Para ulama mazhab sepakat bahwa orang yang berhak mendapatkan zakat fitrah adalah orang-orang yang berhak menerima zakat secara umum, zakat fitrah disunahkan untuk diberikan kepada kerabat (famili) yang dekat dan yang sangat membutuhkannya kemudian tetangga, seperti yang dijelaskan dalam hadits berikut:
“Tetangga yang berhak menerima zakat adalah lebih berhak untuk menerimanya.” Maksudnya tetangga termasuk kelompok penerima zakat yang harus diutamakan untuk diberi.

·         Ketentuan pembagian zakat
QS. At-Taubah: 60

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِيْنِ وَالْعَامِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُبُهُمْ وَفِى الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِى سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِّنَ اللهِ وَاللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ ﴿٦٠﴾
“Sesungguhnya, zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, pejuang dijalan Allah (sabilillah), dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan. (ini) sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. At-Taubah [9]: 60)
            Ayat ini diawali dengan adat al-hashr (yakni, Innama), yang berarti pembatasan bahwa zakat harus diberikan hanya kepada delapan golongan yang berhak menerimanya (al-ashnaf ats-tsamaniyah).
            Arti ash-shadaqat dalam ayat ini bukan sedekah sunnah, melainkan sedekah wajib atau zakat. Sebab, kalau memang yang dimaksud adalah sedekah sunnah, maka pembagiannya tidak harus pada al-ashnaf ats-tsamaniyah, dan dalam sedekah sunnah tidak ada ‘amil yang ditugaskan mengambil dan mengumpulkannya.
Adapun perincian al-ashnaf ats-tsamaniyah sebagai berikut:
1.      Al-Fuqara, bentuk plural dari al-faqir, yaitu orang yang tidak memiliki harta, tidak pula pekerjaan yang bisa memenuhi kebutuhannya.
2.      Al-Masakin, bentuk plural dari al-miskin, yaitu orang yang memiliki harta atau pekerjaan, namun hasilnya tidak mencukupi kebutuhan sehari-harinya.
3.      Al-Amilina ‘Alaiha (amil zakat), yaitu orang yang ditugaskan secra resmi oleh pemerintah untuk mengambil dan mengumpulkan zakat.
4.      Al-Muallafati Qulubuhum, yaitu orang baru masuk islam dan niatnya atau keislamannya belum kuat. Oleh karena itu, hatinya perlu dihibur dengan diberi zakat. Ini pernah dilakukan oleh Rasulullah saw pada ‘Uyainah bin Hisn, al-Aqra’ bin Habis dan al-‘Abbas bin Mirdas. Perihal al-muallafati qulubuhum, menurut Abu Hanifah dan Imam Malik, pada saat ini dianggap gugur (tidak ada), dan hanya berlaku pada permulaan Islam. Sedangkan menurut Jumhur Ulama- diantaranya Imam Kholil dari Madzhab Malikiyah- al-muallafati qulubuhum tetap berlaku sampai sekarang. Adapun Khalifah Umar, Utsman, dan Ali tidak memberi zakat kepada al-muallafati qulubuhum karena sudah tidak dibutuhkan lagi.
5.      Ar-Riqab, yaitu para budak yang berusaha membebaskan dirinya dari belenggu perbudakan. Pada saat sekarang, golongan ini sudah tidak ada lagi di dunia. Sebab, perbudakan sudah dihapuskan dari muka bumi karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan atau melanggar HAM.
6.      Al-Gharimina, yaitu orang yang memiliki hutang, baik utang itu untuk dirinya-dengan catatan bukan untuk maksiat dan tidak israf (berlebih-lebihan)-maupun berutang untuk kepentingan orang lain, semisal untuk mendamaikan dua orang (kelompok) yang sedang berselisih, dan ia tidak mampu lagi, membayarnya.
7.      Fi Sabilillah, yaitu para pejuang di jalan Allah, atau untuk menyediakan peralatan perang dan kemaslahatan perang. Menurut asy-Syafi’iyah, walaupun pejuang fi sabilillah seorang yang kaya, ia masih tetap mendapat bagian zakat. Ini berbeda dengan pendapat al-Hanafiyah yang mensyaratkan fakir bagi para pejuang yang mendapat zakat.
8.      Ibnu as-Sabil, yaitu musafir yang kehabisan bekal ditengah perjalanannya, atau orang yang akan melakukan perjalanan dalam rangka taat, bukan maksiat, seperti akan haji, ziarah yang disunnahkan, dan silaturahmi.
Di penghujung ayat ini, Allah menegaskan bahwa kewajiban dan ketentuan tentang zakat tersebut berasal dari Allah, dan bahwa ketentuan tersebut sudah pasti memiliki maslahah bagi kehidupan manusia, karena Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana. Oleh karena itu, kita harus menerimanya dengan sepenuh hati.[13]
·         Bersedekah Kepada Non-Muslim
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدٰىهُمْ وَلِكِنَّ اللهَ يَهْدِى مَنْ يَشَآءُ ۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلاَّ ابْتِغَآءَ وَجْهِ اللهِ ۚ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ ﴿۲٧۲﴾
Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah lah yang memberi petunjuk (memberi taufik) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang kamu infakkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhoan Allah. dan apa saja harta yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan). (QS. Al-Baqarah: 272) 

Ada beberapa riwayat yang menuturkan sebab turunnya ayat ini, antara lain:
1.      Ibnu Abbas r.a menceritakan, “Sesungguhnya nabi Muhammad saw memerintahkan agar para sahabat tidak mengeluarkan sedekah kecuali hanya kepada orang islam, maka turunlah ayat di atas. Setelah ayat ini turun, nabi Muhammad saw memerintahkan untuk memberikan sedekah kepada siapa pun yang yang meminta (membutuhkan) tanpa memandang dia beragama apa.”
2.      Sa’id bin Jubair meriwayatkan , “Pada awalnya kaum muslimin memberikan sedekah kepada orang-orang fakir ahli dzimmah Madinah (Non-muslim yang terlindungi). Tatkala orang-orang fakir dari kaum muslimin semakin bertambah, Rasulullah saw memberikan pengarahan agar para sahabat memberikan sedekahnya hanya kepada kaum muslimin saja, maka turunlah ayat di atas sebagai teguran bahwa sedekah boleh diberikan kepada non-muslim.”
3.      Ath-Thobari memberikan komentarnya bahwa maksud larangan larangan nabi Muhammad saw kepada para sahabat agar tidak memberikan sedekah kepada non-muslim adalah supaya mereka (non-muslim) masuk agama islam, akan tetapi Allah swt melarang hal tersebut dengan menurunkan ayat di atas yang berisi bahwa pertolongan pada seseorang jangan dikaitkan dengan agama, sebab yang memberikan hidayah hanya Allah swt.
Hidayah ada dua macam, yaitu:
1.      Hidayah taufik, menunjukkan kita kepada kebajikan dan kebahagiaan. Hidayah taufik ini hanya Allah swt yang bisa melaksanakannya.
2.      Hidayah Irsyad, menunjuk kepada kebajikan, yaitu menjelaskan ini kebajikan dan itu keburukan, inilah yang menjadi tugas nabi Muhammad saw.[14]
Ayat di atas memberikan satu pelajaran kemanusiaan yang sangat sempurna bagi kita, yakni bahwa pertolongan yang kita berikan seharusnya murni didasarkan atas nilai-nilai kemanusiaan, bukan karena kepentingan sesuatu, sekalipun itu atas nama agama. Kita diajari untuk memberikan pertolongan atas nama kemanusiaan. Apapun agama yang mereka anut, bila mereka membutuhkan pertolongan  maka kita harus menolongnya.
            Pertolongan yang kita berikan semata-mata hanya mencari ridho Allah swt bukan karena tendensi yang lain seperti agar mereka memeluk agama islam. dalam ayat ini Allah swt juga memberikan penjelasan kepada nabi Muhammad saw bahwa urusan hidayah adalah hak prerogatif Allah swt, sedangkan nabi Muhammad saw hanya bertugas menyampaikan risalah Allah dan memberikan suri teladan yang baik.
            Dari ayat ini para ulama berpendapat bahwa hanya sedekah sunah saja yang boleh diberikan kepada non-muslim yang membutuhkan. Adapun sedekah wajib seperti zakat mal harus tetap diberikan kepada delapan golongan yang berhak menerimanya. Demikian pula halnya zakat fitrah, tidak boleh diberikan kepada orang kafir sebab zakat fitrah adalah termasuk pembersih bagi orang yang berpuasa. Di samping itu, salah satu fungsi zakat fitrah  adalah agar orang-orang muslim yang fakir dan miskin bisa melakukan sholat ‘id dengan baik, sehingga mereka tidak perlu berkeliling mencari makanan pada hari yang fitri tersebut.
            Hanya imam Abu Hanifah yang memperbolehkan zakat fitrah diberikan kepada non-muslim yang ahli dzimmah (non-muslim yang terlindungi)
وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنْفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنْفِقُوْنَ اِلاَّ ابْتِغَآءَ وَجْهِ اللهِ ۚ
Dan apa saja harta yang baik yang kamu infakkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhoan Allah.  
Dalam lanjutan ayat ini, Allah swt memberikan penjelasan bahwa manfaat dari infak yang kita keluarkan akan kembali kepada kita, baik di dunia atau di akhirat. Manfaat yang kita raih di dunia: Diri dan harta kita akan terjaga dari sifat iri hati orang yang fakir, akan tercipta suasana saling tolong menolong di antara kita dan fakir miskin. Sedangkan manfaat yang akan kita dapat di akhirat adalah terampuninya kesalahan dan jaminan dimasukkan ke dalam surga. Manfaat-manfaat seperti akan kita peroleh bila infak yang kita keluarkan hanya bertujuan mencari keridhoan Allah swt.
   وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَاَنْتُمْ لَا تُظْلَمُوْنَ
Dan apa saja harta yang baik yang kamu infakkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikit pun tidak akan dianiaya (dirugikan).
Akhir ayat ini merupakan jaminan dari Allah swt bahwa orang yang menginfakkan hartanya akan mendapatkan balasan di akhirat dan pahala mereka tidak akan dikurangi sedikit pun.[15] Menurut Al-Qurthubi kata خَيْر pada ayat ini maknanya adalah harta, karena kata tersebut dihubungkan dengan dengan penyebutan sedekah atau infak (تُنْفِقُوْا), sedangkan jika tidak dihubungkan dengan kata (تُنْفِقُوْا) atau kata yang sejenisnya maka kata tersebut (خَيْر) tidak bermakna harta, sebagaimana firman Allah swt:
  أَصْحٰبُ الْجَنَّةِ يَوْمَئِذٍ خَيْرٌ مُّسْتَقَرًّا وَأَحْسَنُ مَقِيْلًا ﴿۲٤﴾   
Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya. (QS. Al-Furqaan: 24)
Dan juga firman Allah swt:
فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ ﴿٧﴾ 
Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. (QS. Al-Zalzalah: 7)
            Hal ini menurut Al-Qurthubi adalah sebagai bantahan terhadap pendapatnya Akramah yang mengatakan bahwa semua kata خَيْر dalam Al Qur’an bermakna harta. Ayat ini secara dzahir memang ditujukan kepada para sahabat namun bukan berarti bahwa ayat ini khusus bagi para sahabat tapi umum bagi seluruh manusia.[16]
·         Prioritas Orang yang Berhak Mendapat Sedekah

لِلْفُقَرَآءِ الَّذِيْنَ أُحْصِرُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْباً فِى الْأَرْضِ يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ التَّعَفُّفِ تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْ لَا يَسْئَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا ۗ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ ﴿۲٧٣﴾   
(Berinfaklah) kepada orang-orang fakir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.   (QS. Al-Baqarah: 273)
Dalam ayat ini Allah swt menjelaskan kepada kita bahwa manusia yang paling berhak mendapatkan sedekah adalah orang-orang fakir, sebab mereka adalah orang-orang yang sangat membutuhkan. Secara khusus ayat di atas turun berkenaan dengan 400 orang fakir dari kaum Muhajirin yang dalam sejarah terkenal dengan sebutan Ahlus-Suffah.      
Ada lima sifat istimewa yang menjadikan mereka (Ahlus-suffah) ditetapkan sebagai orang-orang yang paling berhak mendapatkan sedekah, yaitu:
الَّذِيْنَ أُحْصِرُوْا فِى سَبِيْلِ اللهِ
Yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah.
Mereka terikat atau sangat disibukkan oleh jihad di jalan Allah swt. Termasuk dalam kategori ini adalah mereka yang menuntut ilmu, sebab ilmu yang mereka miliki kelak akan diajarkan kembali ke masyarakat luas yang tentunya akan menjadi kemaslahatan umat.
لَا يَسْتَطِيْعُوْنَ ضَرْباً فِى الْأَرْضِ
Mereka tidak dapat (berusaha) di bumi
Mereka tidak bisa bekerja, tidak dapat melakukan perjalanan keluar negeri untuk mencari penghidupan baik disebabkan karena sudah tua, sakit, terancam jiwanya oleh musuh, maupun hal-hal darurat lainnya.
يَحْسَبُهُمُ الْجَاهِلُ أَغْنِيَآءَ مِنَ التَّعَفُّفِ
Orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta.
Secara bahasa kata التَّعَفُّفِ berarti menahan diri dari sesuatu atau menjauhkan diri dari yang tidak baik. maksudnya mereka memelihara diri dari meminta-minta. Sama sekali tidak ada sifat rakus (tamak) dalam diri mereka. Dengan kata lain, sekalipun mereka fakir, mereka masih memiliki harga diri dan tidak mau meminta-minta. Mereka menjalani hidup dengan kesederhanaan dan ketaatan yang tinggi kepada Allah swt. Dan sikap inilah yang membuat mereka dikira orang kaya oleh orang-orang yang tidak tahu
تَعْرِفُهُمْ بِسِيْمٰهُمْ
Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya
Pada ayat ini terdapat dalil bahwa sifat atau tanda memiliki peran yang sangat penting dalam mengenali seseorang, sampai-sampai seseorang yang sudah mati saja masih memiliki sifat yang dapat diidentifikasikan. Misalnya saja ada mayat yang tergeletak di kawasan penduduk muslim, namun mayat ini memiliki tanda zunnar (tanda yang dikalungkan di dada orang Majusi) ditambah lagi kemaluannya tidak dikhitan, maka sifat-sifat atau tanda-tanda seperti ini menandakan bahwa ia bukan seorang muslim dan tidak berhak untuk dikuburkan  di tempat pemakaman orang islam.  
Nabi Muhammad saw dan orang-orang yang memiliki pandangan hati yang tajam pasti dapat mengenali mereka karena mereka memiliki simá (tanda-tanda), antara lain: penampilan mereka terlihat sederhana namun bersih dan rapi, khusyuk dalam beribadah, dan dari wajahnya terpancar kewibawaan.
Para ulama berbeda pendapat mengenai spesifikasi dari tanda-tanda dalam ayat ini. Mujahid berpendapat bahwa tandanya adalah kekhusyukan dan ketawadhu’annya, Ibnu Zahid berpendapat tandanya adalah pakaian mereka yang sudah usang, sebagian ulama yang lain seperti Ibnu Athiyah dan Makki berpendapat bahwa tandanya adalah bekas tanda sujud pada kening mereka, sedangkan menurut Al Qurthubi kekhusyukan tidak bisa dijadikan tanda karena kekhusyukan tempatnya di dalam hati dan juga bekas tanda sujud di kening tidak bisa dijadikan tanda karena bekas tanda sujud juga dimiliki oleh para sahabat secara keseluruhan, dan yang dijadikan patokan sebagai tanda menurut Al Qurthubi adalah kehidupan mereka yang sulit. 
لَا يَسْئَلُوْنَ النَّاسَ إِلْحَافًا
Mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak.
Sekalipun mereka fakir namun mereka menghindarkan diri dari meminta-minta, apalagi meminta dengan cara mendesak-desak. Kata إِلْحَافًا sebenarnya berasal dari kata اللِّحَاف yang berarti mantel atau selimut, kata ini digunakan untuk menggambarkan keadaan peminta-minta untuk menyelesaikan atau menutupi masalah yang dihadapinya dengan cara apapun sebagaimana mantel atau selimut yang menutupi tubuh.[17]   
Ada kemungkinan pengertian yang dimaksud adalah mereka tidak pernah meminta kepada seseorang dengan kata-kata yang mendesak atau memohon belas kasihan. Mereka itu biasa saja dan wajar saja. Meminta-minta hukumnya adalah haram kecuali bagi orang yang dalam keadaan terdesak (darurat). Siapa saja yang mengetahui ada seseorang yang meminta-minta karena bermaksud memperkaya diri, seperti layaknya orang yang menjadikan kelakuan mengemis itu sebagai sebuah profesi, padahal ia mampu bekerja, maka hendaknya jangan diberi apapun.[18] 
وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ خَيْرٍ فَإِنَّ اللهَ بِهِ عَلِيْمٌ    
Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui.
Abu Ja’far berkata: “Maksud Allah swt dengan ayat tersebut: Wahai manusia, harta yang kalian nafkahkan lalu kalian sedekahkan pada ahli dzimmah sebagai ibadah sunah kalian, atau kalian berikan pada orang yang diperintah Tuhan kalian untuk memberikannya yaitu orang-orang fakir yang terikat dengan jihad di jalan Allah dengan harta kalian, maka Allah swt Maha Mengetahui itu semua. Dia akan menghitungnya untuk kalian, menyimpan pahalanya untuk kalian sehingga Dia berikan semua pahala itu dan melipat gandakan balasannya pada kalian di hari akhir.”[19] 



   III.            KESIMPULAN
Praktek zakat diperintahkan oleh Allah swt kepada seluruh umat Islam, serta secara tegas tercantum dalam Al-Qur’an. Diantaranya adalah QS. At-Taubah: 60 dan 103. Hal ini merupakan simbol pembersihan diri bagi setiap individu serta wujud peduli terhadap sesama. Begitupun dengan praktek sedekah, Allah swt juga menjelaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Baqarah: 272-273. Sedekah selain melatih untuk menjadi pribadi yang dermawan, juga menjadikan seseorang mengerti akan nikmat Allah swt yang harus disyukuri dan diberikan kepada orang yang berhak diantara kita. Banyak manfaat yang dapat dipetik dari praktek zakat dan sedekah selain yang tersebut diatas.
Oleh karena itu, kegiatan muamalah (zakat dan sedekah) sama sekali tidak merugikan dan tidak menjadikan harta seseorang menjadi berkurang, bahkan sebaliknya, Allah akan melipat gandakan harta hamba-Nya yang dinafkahkan di jalan yang benar dengan ikhlas. Wallahu a’lam bish-shawab.
  IV.            PENUTUP
Demikianlah makalah ini telah kami susun dengan sebaik-baiknya. Apabila ada ketidaksempurnaan di dalamnya, kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya. Kami selaku penulis menyadari akan keterbatasan makalah ini, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca umumnya.

DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. Tafsir Al-Maraghi. Jilid 3. 1993. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Al-Qur’anul Karim wa Tarjamatu Ma’aniyah Ilal Lughotil Indunisiyah, Surat Al-Baqarah,
Al-Qurthubi, Al-Jami’ Ii Ahkamil Qur’an jilid 1. Penerj. Fathurrahman. dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam. 2010) cetakan kedua.
Al-Qurthubi, Syeikh Imam. Tafsir Al-Qurthubi, terj,. 2008. Jakarta: Pustaka Azzam.
Ash-Shidieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Tafsir Al-Qur’anul Madjid An-Nur. 2011. Jakarta: Cakrawala Publishing.
Ath-Thabari, Abu Ja’far Muhammad bin Jarir. Jami’ Al-Bayan an Ta’wil Ayat Al-Qur’an. Jilid 4. 2008. Jakarta: Pustaka Azzam.
 Hasan, Kholik. Abd,. Tafsir Ibadah. 2008. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Jamil Zainu, Muhammad. Koreksi Pemahaman rukun islam dan iman (Semarang: Pustaka Mantiq, 1995).
Jarir At Thobari, Muhammad Tafsir At Thobari, diterjemahkan oleh Ahsan Askan dik dari Tafsir At Tobari, jilid 1 (Jakarta: Pustaka Azzam 2011) cetakan kedua.
Jawad Mughniyah, Muhammad Al-Fiqhu Ala al-madzhabil khomsah, penerj. Masykur. A.B dkk,.. (Jakarta: Lentera, 2011) cetakan  ke – 27.
Qardhawi, Yusuf Hukum Zakat, (Jakarta: PT Mitra Kerjaya Indonesia, 2004) .



[1] Abd. Kholiq Hasan, Tafsir Ibadah, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2008, hlm. 153-154.
[2] Syeikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, terj., Jakarta: Pustaka Azzam, 2008, hlm. 625.
[3] Abd. Kholiq Hasan,..., hlm. 154.
[4] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shidieqy, Tafsir Al-Qur’anul Madjid An-Nur, jilid 2, Jakarta: Cakrawala Publishing, 2011, hlm. 309.
[5] Syaikh Imam Al-Qurthubi, ..., hlm. 626.
`               [6] Al-Qur’anul Karim wa Tarjamatu Ma’aniyah Ilal Lughotil Indunisiyah, Surat Al-Baqarah, Ayat 43, Hal. 16
[7] Imam Al-Qurthubi, Al-Jami’ Ii Ahkamil Qur’an jilid 1. Penerj. Fathurrahman. dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam. 2010) cetakan kedua  hal. 755
[8] Muhammad bin Jarir At Thobari, Tafsir At Thobari, diterjemahkan oleh Ahsan Askan dik dari Tafsir At Thobari, jilid 1 (Jakarta: Pustaka Azzam 2011) cetakan kedua, hal. 684 – 685 
[9]  Muhammad bin Jamil Zainu, Koreksi Pemahaman rukun islam dan iman (Semarang: Pustaka Mantiq, 1995) hal.117 – 118
[10]  Muhammad Jawad Mughniyah, Al-Fiqhu Ala al-madzhabil khomsah, penerj. Masykur. A.B dkk,.. (Jakarta: Lentera, 2011) cetakan  ke – 27  hal. 180 – 182
[11] Yusuf Qardhawi, Hukum Zakat, (Jakarta: PT Mitra Kerjaya Indonesia, 2004) hal.920
[12] Yusuf Qardhawi, Ibid,,,,, hal.921-922
[13] Abd. Kholiq Hasan, ..., hlm. 149-151.
[14] Prof. Dr. Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, ..., hlm. 302.
[15] H. Abd. Khaliq Hasan, ..., hlm. 188 – 190.
[16] Syaikh Imam al-Qurthubi, ..., hlm.746 – 747.  
[17] Syaikh Imam al-Qurthubi... Ibid. hal.751 - 754
[18] Ahmad Mustafa Al-Maragi. Tafsir Al-Maragi. Jilid 3. Penerjemah Bahrun Abu Bakar, Lc. dkk. (Semarang; PT. Karya Toha Putra. 1993) hal. 88 – 90. 
[19] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, Jami’ Al Bayan an Ta’wil Ayat AlQur’an. Jilid 4. Penerjemah Ahsan Askan dkk. (Jakarta: Pustaka Azzam. 2008) hal.717 – 718.    
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan