Ayat Tentang Relasi Orangtua dan Anak

I.         PENDAHULUAN
Seorang anak di dalam mencari nilai-nilai hidup, harus mendapat panduan dari pendidik, karena menurut ajaran agama islam, saat anak dilahirkan dalam keadaan lemah dan suci atau fitrah, dan alam sekitarnya yang akan memberikan corak warna terhadap nilai hidup atas pendidikan seorang anak, khususnya pendidika karakter.
Karena itu islam sangat memperhatikan masalah pendidikan terhadap anak dan memberikan konsep secara kongkrit, yang terdapat dalam al-Qur’an dan penjelasan Rasullullah saw. di dalam hadits.
Dalam kaitannya hubungan antara anak dan orangtua, terdapat peraturan dan panduan-panduan khusus yang dibuat Allah SWT. Di dalam al-Qur’an. Di al-Qur’an, Allah menjelaskan tentang hak-hak dan kewajiban apa saja yang harus dipenuhi oleh orangtua, demikian pula sebaliknya, selain hal-hal tersebut ditujukan kepada orangtua, anak-anak juga mendapatkan hal yang sama, meskipun konteksnya berbeda.
Nah.. untuk lebih jelasnya, dalam makalah ini, pemakalah akan mencantumkan beberapa kewajiban dan hak-hak pokok orang tua terhadap anaknya, dan juga beberapa kewajiban serta hak-hak anak kepada kedua orangtuanya.
II.      RUMUSAN MASALAH
1.             Apa saja ayat-ayat yang membahas tentang Relasi orangtua dan anak?
2.             Bagaimana penjelasan tentang ayat-ayat relasi orangtua dan anak?

III.   PEMBAHASAN
A.    Kewajiban Ibu Menyusui Anaknya dan Ayah Menafkahi Anak Serta Ibunya.
Sub-tema di atas sangat berkaitan dengan penafsiran yang terdapat dalam QS.Al-Baqarah: 233.
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَارَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَهُ بِوَلَدِهِ ۚ وَعَلَى الْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَنْ تَرَاضٍ مِنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدْتُمْ أَنْ تَسْتَرْضِعُوا أَوْلَادَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُمْ مَا آتَيْتُمْ بِالْمَعْرُوفِ ۗ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
Artinya: Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
Maksud ayat ini sangat berkenaan dengan penyusuan anak setelah terjadinya talak. Meskipun telah terjadi perceraian antara ayah dan ibu, hubungan anak tetap menjadi tanggung-jawab keduanya. Ibu yang telah diceraikan oleh suaminya mempunyai kewajiban terhadap anaknya yang masih menyusu. Hal ini merupakan ketetapan dari Allah yang diamanahkan kepada Ibu sebagai bentuk dari tugas dan kewajibannya sebagai seseorang yang telah melahirkan dan juga dianggap sebagai orang yang paling dekat dengan si anak, khususnya dalam hal kasih sayangnya. Allah mewajibkan si ibu untuk menyusui si anak selama dua tahun penuh. Masa dua tahun ini sangat ideal apabila ditinjau dari segi kesehatan maupun jiwa si anak. Tetapi, ketentuan ini hanya ditujukan kepada mereka yang ingin menyempurnakan penyusuan.
Sebagai timbal balik atas jasa si ibu, si ayah juga mempunyai tanggung jawab berupa kewajiban memberi nafkah dan pakaian kepada si Ibu secara patut dan baik. Jadi, masing-masing dari ayah dan ibu mempunyai beban serta tanggung jawab terhadap si anak yang masih menyusu ini. Si ibu merawat, menyusui, dan memeliharanya, sementara si ayah harus memberi makanan dan pakaian kepada si ibu dan anaknya sesuai dengan kadar kemampuannya.[1]
Dalam penafsiran lain dijelaskan bahwa secara lahiriah ayat di atas bermaksud menyatakan tentng kewajiban menyusui bagi ibu kepada anaknya, kecuali jika ada udzur yang menghalangi, seperti sakit dan sebagainya. Udzur di sini juga termasuk dengan halangan mencari pengganti air susu ibu, kalau tidak mendatangkan madlarat. Sebab, kewajiban di sini berdasarkan maslahat, bukan ibadah. Menyusui adalah hak si ibu, karena si ayah tidak boleh menghalangi si ibu menyusui anaknya, meskipun sudah ditalak.
Segolongan ulama’ menyatakan bahwa menyusui bukan kewajiban ibu, kecuali jika si anak tidak mau menyusu kepada orang lain atau si ayah tidak mau menyusukan anaknya kepada orang lain. Atau, si ayah tidak mampu untuk membiayai orang lain untuk menyusui anaknya, atau tidak sanggup membeli makanan lain sebagai pengganti air susu ibu atau tidak mendapatkan orang lain yang bersedia untuk menyusui anknya.
Adapun hikmah membatasi waktu menyusui selama dua tahun adalah untuk memelihara kepentingan bayi. Karena, air susu adalah makanan utama bayi yang sangat sesuai untuk tubuhnya. Selain hukmah tersebut, memberi air susu dalam tempo dua tahun itulah yang mengaharamkan pernikahan. Para ulama’ dengan mendasarkan pada ayat ini berpendapat bahwa sekurang-kurangnya tempo mengandung adalah enam bulan. Maka, jika waktu tersebut dikurangi oleh tempo menyusui selama dua tahun (24 bulan) dari 30 bulan, maka tinggal enam bulan.
Selain itu, firman ini memberi pengertian bahwa anak-anak dibangsakan kepada ayahnya, namun tidak berarti bahwa ibu tidak mempunyai hak apa-apa terhadapa anaknya. Dan, kewajiban yang dibebankan kepada ayah dan ibu atas anaknya adalah kewajiban yang didasarkan pada batas kemampuannya serta tidak menghasilkan kemadlaratan bagi keduanya.
Pesan lain yang ingin dikatakan oleh ayat ini adalah seyogyanya seorang ayah dan ibu agar selalu bermusyawarah dalam mendidik putra/inya, tidak boleh ada kesewenang-wenangn dalam memelihara anak.[2]

B.     Larangan Membangkang dan Tuntutan Taat Kepada Kedua Orangtua.
Allah berfirman dalam QS. Al-Isra’ ayat:23-24

وَقَضَى رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا
 تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا . وَاخْفِضْ لَهُمَا جَنَاحَ الذُّلِّ مِنْ الرَّحْمَةِ وَقُلْ رَّبِّ ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

Artinya: “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia.” (Al-Isra’:23). “Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kesayangan dan ucapkanlah: "Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku waktu kecil." (Al-Isra’:24)

Dari ayat di atas, menjelaskan bahwa “Qadla” bermakna memerintahkan dan mewajibkan. Ibnu Abbas, al-Hasan, dan Qatadah berkata: “ini bukan keputusan hokum, akan tetapi, ketentuan perintah. Di dalam mushaf Ibnu Mas’ud, “wa washsho” ini adalah qira’ah para sahabat dan qira’ah Ibnu Abbas, Ali, dll. Demikian pula pendapat Ubay Ibnu Ka’b. Adapun para ulama’ ahli kalam, dll. Berkata: “bahwa kata “Qadla” secara bahasa digunakan untuk arti perintah. Selain itu, ada juga yang memaknai kata “qadla” sebagai janji.
Dan, jika “Qadla” mencakup semua makna di atas, maka tidak boleh mengatakan bahwa segala macam kemaksiatan adalah qadla dari Allah. Karena, kalau yang dikehendaki adalah perintah, maka tidak ada perselisihan bahwa hal-hal itu tidak boleh, karena Allah SWT. tidak memerintahkan yang demikian. 
Zakaria Bin Salam berkata: “Ada seseorang datang kepada al-Hasan, lalu berkata bahwa ia telah menceritakan istrinya tiga kali.” Maka ia menjawab: “Engkau telah bermaksiat kepada Rabb-mu, sehingga dia terceraikan ba’in (talak 3 darimu).” Orang itu berkata: “Allah telah menetapkan hal itu kepadaku. Dengan fasih al-Hasan berkata: “Allah itu tidak memerintahkan itu, lalu dia membaca ayat, “Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia”.[3]
Selain itu, ayat tersebut juga menegaskan untuk mengesakan-Nya dalam beribadah, mengikhlaskan diri, dan tidak mempersekutukan-Nya. Karena, ayat ini ditujukan kepada kaum muslimin, sehingga kata qadla yang berarti menetapkan lebih tepat untuk dipilih, berbeda dengan QS. Al-An’am:151 yang ditujukan kepada kaum musyrikin.
Keyakinan terhadap keesaan Allah serta kewajiban mengikhlaskan diri kepada-Nya adalah dasar yang padanya bertitik tolak kepada segala kegiatan. Selanjutnya, segala kewajiban dan aktivitas apapun harus dikatakan dengan-Nya dan didorong oleh-Nya. Kewajiban pertama dan utama adalah mengesakan Allah SWT. dan beribadah kepada-Nya adalah berbakti kepada kedua orangtua.
Selanjutnya, yang perlu dipahami dalam ayat ini adalah pemahaman terhadap kata ihsan (bakti) bermakna bahwa agama Islam memerintahkan pemeluknya untuk berbakti dan bersikap sopan kepada kedua orangtua, baik dalam hal ucapan maupun perbuatan yang sesuai dengan adat kebiasaan masyarakat. Sehingga, mereka senang terhadap kita serta mencukupi kebutuhan-kebutuhan mereka yang sah dan wajar sesuai dengan kemampuan kita (sebagai anak).
Potongan ayat اِمّاَ يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرُ أَحَدَهُمَا أَوْ كِلاَهُمَا memberikan pengertian bahwa ketika kedua orangtua kita telah mencapai masa tua dengan keadaan yang bagaimana pun, masing-masing dari keduanya harus mendapat perhatian dari sang anak. Dan seorang anak tidak boleh membeda-bedakan sikapa terhadap salah satu dari keduanya, baik keduanya tinggal satu atap dengan kita maupun tidak.
Lebih jelasnya, lanjutan firman Allah dalam QS. Al-Isra’:24. Dijelaskan bahwa ayat ini merupakan tuntutan berbakti kepada kedua orangtua. Tuntutan ini levelnya lebih tinggi dibanding dengan tuntutan yang terdapat pada ayat sebelumnya. Ayat ini memerintahkan anak untuk selalu bersikap rendah diri terhadap kedua orangtuanya dengan dorongan kasih sayang dan rahmat dari Allah SWT., bukan karena faktor kekhawatiran dicela atau dicemooh orang lain.
Ayat ini juga memberikan penekanan bahwa seorang anak tidak boleh membeda-bedakan sikap kepada bapak atau ibunya. Meskipun, pada dasarnya ibu hendaknya jauh lebih didahulukan atas ayah, tetapi ini tidak selalu bermakna demikian. Thahir Ibnu ‘Asyur enulis bahwa Imam Syafi’i pada dasarnya mempersamakan keduanya, sehingga bila ada salah satu yang hendak didahuluka, sang anak hendaknya mencari faktor-faktor penguat guna mendahulukan salah satunya. Karena itu pula, walaupun ada hadits yang mengisyaratkan perbandingan hak ibu dengan ayah sebagai tiga banding satu, penerapannya pun harus setelah memperhatikan faktor-faktor yang dimaksud.
C.    Wasiat untuk Orangtua dan Anak.
Allah berfirman dalam QS. Al-An’am:151:

 
قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

Artinya: Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu, yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan. Kami akan memberi rezeki kepadamu dan kepada mereka; dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar". Demikian itu yang diperintahkan oleh Tuhanmu kepadamu supaya kamu memahami (nya)
            Ayat ini memerintahkan Rasulullah saw. mengajak mereka meninggalkan posisi yang rendah dan hina, yang tercermin pada kebejatan moral, dan perhambaan diri kepada selain Allah SWT., menuju ketinggian derajat dan keluhuran budi pekerti. Katakanlah wahai Nabi kepada mereka: “Marilah menuju kepadaku, beranjak meninggalkan kemusyrikan dan kebodohan menuju ketinggian dan keluhuran budi dengan mendengar dan memperkenankan apa yang kubacakan,  yakni kusampaikan kepadamu sebagian dari apa yang diharamkan, yakni dilarang oleh Tuhan pemelihara dan pembimbing kamu atas kamu, yaitu: pertama dan paling utama adalah janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan-Nya, sesuatu dan sedikit persekutuan pun.
Kedua, setelah menyebut causa prima,  penyebab dari segala sebab wujud, dan sumber segala nikmat, disebutnya penyebab perantara yang berperanan dalam kelahiran manusia,  sekaligus yang wajib disyukuri, yakni Ibu dan Bapak. Karena itu, disusulkan dan dirangkaikannya perintah pertama itu dengan perintah ini,  dalam makna larangan mendurhakai mereka. Peranan tersebut demikian tegasnya, sehingga dikemukakan dalam bentuk perintah berbakti, yakni, dan berbuat baiklah secara dekat dan melekat kepada kedua orang ibu-bapak secara khusus dan istimewa dengan berbuat kebaktian yang banyak lagi mantap atas dorongan rasa kasih kepada mereka.
Ketiga, setelah menyebut sebab perantara keberadaan manusia di pentas bumi, dilanjutkan-Nya dengan pesan berupa larangan menghilangkan keberadaan itu, yakni dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena kamu sedang ditimpa kemiskinan dan mengakibatkan kamu menduga bahwa bila mereka lahir kamu akan memikul beban tambahan. Jangan khawatir atas dirimu. Bukan kamu sumber rizki, tetapi kamilah sumbernya. Kami akan memberi, yakni menyiapkan sarana rizki kepadamu sejak saat ini dan juga kami akan siapkan kepada mereka. Yang penting adalah kalian berusaha mendapatkannya. Selanjutnya, setelah melarang kekejian yang terbesar setelah syirik, durhaka kepada orangtua, dan membunuh, kini dilarangnya secara umum segala macam kekejian.
Keempat, yaitu dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, seperti membunuh dan berzina, baik yang nampak diantaranya, yakni yang kamu lakukan secara terang-terangan, maupun yang tersembunyi. Seperti memiliki pasangan simpanan tanpa diikat oleh akad nikah yang sah.
Kelima, disebut secara khusus satu contoh yang amat buruk dari kekejian itu yakni, dan jangan kamu membunuh jiwa yang memang diharamkan Allah membunuhnya, kecuali berdasarkan suatu sebab yang benar, yaitu berdasarkana ketetapan hukum yang jelas. Demikian itu yang diwasiatkan Tuhan dan nalar yang sehat kepada kamu supaya kamu berakal dan menghindari larangan-larangan-Nya.[4]
D.    Wasiat Khusus kepada Anaknya.
Allah berfirman dalam QS. Luqman:13-19:

وَإِذْ قَالَ لُقْمَانُ لإنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ


Artinya:  “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi nasehat kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”

وَوَصَّيْنَا الإِنسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَى وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيرُ

Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun  bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu,uhanyarkepada-Kulahukembalimu.”

وَإِن جَاهَدَاكَ عَلى أَن تُشْرِكَ بِي مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ فَلا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِي الدُّنْيَا مَعْرُوفًا وَاتَّبِعْ سَبِيلَ مَنْ أَنَابَ إِلَيَّ ثُمَّ إِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَأُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ


Artinya:  “Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku, kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamuokerjakan.”

يَا بُنَيَّ إِنَّهَا إِن تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُن فِي صَخْرَةٍ أَوْ فِي السَّمَاوَاتِ أَوْ فِي الأَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللَّهُ إِنَّ اللَّهَ لَطِيفٌ خَبِيرٌ


Artinya:  (Luqman berkata): “Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui.”

يَا بُنَيَّ أَقِمِ الصَّلاةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنكَرِ وَاصْبِرْ عَلَى مَا أَصَابَكَ إِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الأُمُورِ


Artinya:  “Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah).”

وَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأَرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ


Artinya:  “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-oranguyanglsombongmlagimmembanggakan.”

وَاقْصِدْ فِي مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِن صَوْتِكَ إِنَّ أَنكَرَ الأَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِير

Artinya:  “Dan rendah dirilah ketika berjalan dan pelankan suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.”
Sesudah Allah menjelaskan bahwa Luqman telah diberi hikmah, karena itu lalu Luqman bersyukur kepada Tuhannya atas semua nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada dirinya. Dan dia sendiri melihat dampaknya di dalam alam semesta dan dalam diri sendiri setiap malam dan siang hari. Selanjutnya Allah mengiringi hal itu dengan penjelasan bahwa Luqman telah menasehati anaknya untuk melakukan hal-hal tersebut. Kemudian di tengah-tengah nasehat ini, Allah SWT. menyebutkan wasiat yang bersifat umum ditujukan kepada semua anak. Allah mewasiatkan kepada mereka supaya memperlakukan orang-orangtua mereka dengan cara yang baik, dan selalu memelihara hak-haknya sebagai orangtua. Hal itu sebagai balas jasa atas semua kebaikan dan nikmat yang telah diberikan oleh orangtua mereka terhadap diri mereka.
Sekalipun demikian, dalam rangka berbakti kepada kedua orangtua, mereka tidak boleh melanggar hak-hak Allah. Kemudian setelah itu, Allah kembali menuturkan nasehat-nasehat Luqman lainnya, yaitu sebagian diantaranya berkaitan dengan hak-hak Allah dan lainnya berkaitan dengan cara bermu’amalah dengan manusia sebagian diantara mereka terhadap sebagian yang lain.
Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik itu merupakan kedzaliman yang besar. Syirik disebut dengan perbuatan yang dzalim, karena perbuatan syirik itu berarti meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Dan dia dikatakan dosa besar, karena perbuatan itu berarti menyamakan kedudukan Tuhan, yang hanya dari Dialah segala nikmat yaitu, Allah SWT. dengan sesuatu yang tidak memiliki nikmat apapun, yaitu berhala.
Sesudah Allah menuturkan apa yang telah diwasiatkan oleh Luqman terhadap anaknya, yaitu supaya ia bersyukur kepada Tuhan yang telah memberikan semua nikmat, yang tiada seorang pun bersekutu dengan-Nya di dalam menciptakan sesuatu. Kemudian Luqman menegaskan bahwasanya syirik itu adalah perbuatan yang buruk. Selanjutnya Allah mengiringi hal tersebut dengan wasiatnya kepada semua anak supaya mereka berbuat baik kepada kedua orangtuanya, karena sesungguhnya kedua orangtua adalah penyebab pertama bagi keberadaannya di dunia ini.
Ibu menyapih anaknya dari persusuan sesudah dia dilahairkan dalam jangka waktu dua tahun. Selama masa itu, ibu mengalami berbagai masa kerepotan dan kesulitan dalam rangka mengurus keperluan bayinya. Hal ini tiada yang dapat menghargai pengorbanannya selain hanya yang Maha mengetahui keadaan ibu, yaitu Tuhan yang tiaa sesuatu pun sama bagi-Nya baik di langit maupun di bumi.
Dan apabila kedua orangtua memaksamu serta menekanmu untuk menyekutukan Allah dengan yang lain dalam hal ibadah, yaitu dengan hal-hal yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya, maka janganlah kamu menaati apa yang diinginkan oleh keduanya. Sekalipun keduanya menggunakan kekerasan supaya kamu mau mengikuti terhadap keduanya, maka lawanlahn dengan kekerasan pula bila keduanya benar-benar memaksa kamu.
Menurut suatu riwayat, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Sa’ad Ibnu Abi Waqash. Sehubungan dengan hal ini sahabat Sa’ad telah menceritakan, ketika aku masuk Islam, ibuku bersumpah bahwa ia tidak mau makan dan tidak mau minum. Lalu pada hari pertama aku membujuknya supaya dia makan dan minum, akan tetapi ia menolak dan tetap pada pendiriannya. Dan pada hari kedua, akau membujuknya pula untuk mau makan dan minum, tetapi masih tetap menolak. Sehingga, hari ketiga aku membujuknya lagi, dan ia masih juga menolak, maka aku berkata: demi Allah seandainya engkau mempunyai 100 nyawa, niscaya semua itu akan keluar dan aku tidak akan meninggalkan agamaku ini. Dan ketika ibuku melihat bahwasanya diriku benar-benar tidak mau mengikuti kehendaknya, akhirnya ia mau makan.
Ayat selanjutnya mengisyaratkan bahwa mereka mempergauli keduanya adalah suatu hal yang mudah. Karena sesungguhnya hal itu terjadinya tidaklah terus menerus, sehingga tidak menjadi beban berat bagi orang yang bersangkutan.[5]

IV.             KESIMPULAN
Allah SWT. Telah menetapkan aturan-aturan yang berkaitan tentang relasi antara orangtua dan anak. Diantara aturan-aturan tersebut adalah kewajiban seorang ayah untuk menfkahi anak dan ibunya, baik nafkah batin maupun batin. Nafkah batin diantaranya adalah memberi pendidikan dan kasih saying. Sedangkan nafkah lahir adalah hal-hal yang meliputi sandang, pangan, dan papan.
Selain itu, Allah juga menetapkan aturan untuk anak-anak, diantaranya adalah kewajiban untuk taat dan patuh kepada keduanya, selain perintah-perintah yang berlawanan dengan aturan Allah. Dan, dalam hal ini, Allah menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan kadar baik kepada orangtua laki-laki (ayah) dan orangtua perempuan (ibu), dalam artian, keduanya sama saja.
V.                PENUTUP
Demikian makalah tentang Tafsir Ayat-Ayat Relasi antara orangtua dan anak. Pemakalah menyadari bahwa makalah ini, jauh dari kata sempurna. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari teman-teman sangat penulis harapkan. Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua. Aamiin.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, 1992, Ahmad Musthafa, Tafsir al-Maraghi, Semarang: Karya Thoha Putra, jilid 21.
Al-Shiddiqi, Muhammad Hasby, 2011, Tafsir al-Qur’anul Majid al-Nur, (Jakarta: Cakrawala, jilid 1.
Imam al-Qurthubi, 2008, Terjemah Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam).
Sayyid Quthb, 2000, Terjemah Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, Jakarta: Gema Insani Press, jilid 2.
Shihab, M. Quraish, 2001, Tafsir al-Misbah (Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an), Jakarta: Lentera Hati, volume 4.



[1]  Sayyid Quthb, Terjemah Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an,(Jakarta: Gema Insani Press, 2000), jilid 2, hlm 154-155.
[2] Prof. Dr. Tengku Muhammad Hasby al-Shiddiqi, Tafsir al-Qur’anul Majid al-Nur, (Jakarta: Cakrawala, 2011), jilid 1, hlm 255-257.
[3] Imam al-Qurthubi, Terjemah Tafsir al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm 586-589.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah (Pesan, kesan, dan keserasian al-Qur’an), (Jakarta: Lentera Hati, 2001), volume 4,  hlm 329-331.
[5] Ahmad Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Semarang: Karya Thoha Putra, 1992), jilid 21, hlm 152-157.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan