Untuk memahami al-Qur’an, diperlukan pendalaman terhadap ilmu yang mempelajari tentangnya. Dalam makalah ini, pemakalah akan membahas tentang muthlaq dan muqayyad. Pembahasan tentang muthlaq dan muqayyad dapat juga kita temukan dalam pembahasan ushul al-fiqh. Karena pembahasan muthlaq dan muqayyad juga masih dalam epistemologi ilmu al-qur’an (Ulumu al-Qur’an) maka pemakalah akan menjelaskannya dalam makalah kali ini.
B. Pokok Masalah
1. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
2. Macam-macam Muthlaq dan Muqayyad dan status hukum masing-masing
C. Analisis
1. Pengertian Muthlaq dan Muqayyad
a. Definisi Muthlaq dan Muqayyad
Kata Muthlaq secara etimologi mempunyai arti sesuatu yang tidak ada batasannya (ما خلى من القيد). sedangkan secara terminologi, para ulama’ dalam mendefinisakannya terdapat perbedaan. Menurut al-Amady yang dimaksud dengan lafadz Muthlaq adalah suatu lafadz yang menunjukkan dalil-dalil yang mencakup segala jenis. sedangkan al-Banany mendefinisikan lafadh muthlaq berrti lafadz yang menunjukkan bahwa maknanya tidak terikat oleh batasan tertentu. Manna’ al-Qaththan mendefinisikan kata muthlaq mempunyai arti lafadz yang menujunkkan suatu hakikat tanpa sesuatu qayyid.
Dari beberapa definisi tersebut, dapat kita ambil pemahaman bahwa substansi yang ditawarkan oleh para ulama’ itu sama, yaitu lafadh yang menunjukkan suatu entitas yang tidak dibatasi oleh lafadh yang lain. Lafadh muthlaq ini pada umumnya berbentuk nakirah dalam konteks kalimat positif. Misalnya lafadh raqabah (seorang budak) dalam Q.S. al-Mujadalah : 3. Ini berarti boleh membebaskan hamba sahaya yang tidak Mukmin atau hamba sahaya yang Mukmin. Lafazh tersebut termasuk mutlaq karena tidak dibatasi dengan sifat tertentu.
Sedangkan Muqayyad dalam derifatif etimologisnya berasal dari قَيَّدَ yang mempunyai arti sama dengan حَصَرَ yang berati membatasi. Sedangkan secara terminologi Manna’ al-Qaththan mendefinisikannya sebagai lafadz yang menunjukkan suatu hakikat dengan qayyid (batasan), seperti kata raqabah yang dibatasi dengan kata mu’minah sebagaimana dalam Q.S. al-Nisa’ : 92.
Syarat-syarat dalam muthlaq:
a. Dapatnya lafadl itu ditetapkan sebagai lafadl muthlaq atau dapat dikenai qayyid
b. Tidak terdapatnyabqarinah yang menunjkkan bahwa lafadl itu mempunyai qayyid baik muttashil maupun munfasil
c. Penetapan terhadap lafadl mutlaq itu nyata bukan sekedar dapat diartikan demikian.
b. Perbedaan Mutlak dan ‘Am
Lafal mutlak menunjukan hakekat suatu lafal tanpa batasan apapun, baik dari segi sifat atau jumlahnya. Misalnya firman Allah yang berbunyi sebagai berikut : فتحر ير رقبة Ayat tersebut menuntut memerdekakan budak, tanpa memerhatikan jumlah budak, satu atau banyak dan tanpa megartikan sifat budak, apakah beriman atau tidak yang penting adalah memerdekakaan budak.
Sedang ‘Am ialah lafal yang menunjukan pada hakekat lafal tersebut dengan memperhatikan jumlahnya. Misalnya firman Allah dalam surat Muhammad ayat 4 yang berbunyi : فضرب الرقاب
Lafal ‘am(al-Riqob) diatas adalah meliputi semua orang-orang kafir yang ikut berperang.
2. Macam-macam Muthlaq dan Muqayyad dan status hukum masing-masing
Apabila ada suatu lafal, di satu tempat berbentuk mutlaq sedangkan pada tempat lain berbentuk muqayyad, maka ada empat kemungkinan dari ketentuan tersebut.
a. Persamaan Sebab dan Hukum
Apabila kedua lafal itu bersamaan dalam sebab dan hukumnya, maka salah satunya harus diikutkan pada yang lain, yakni muqayyad. Artinya lafal mutlaq tadi jiwanya sudah tidak mutlaq lagi karena ia harus tunduk kepada yang muqayyad, dan harus diartikan secara muqayyad. Jadi, kedua lafal tadi sekalipun berbeda dalam bentuknya namun sama saja cara mengartikannya. Oleh karena itu yang muqayyad merupakan penjelasan yang mutlaq.
فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ
Artinya : “siapapun yang tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kafarahnya selama tiga hari.”
Menurut bacaan mutawatir, lafal di atas bentuknya mutlaq. Tetapi menurut bacaan syadzah lafal di atas bentuknya muqayyad (bacaan Ubbaid bin Ka’ab dan Ibnu Mas’ud) ayat itu berbunyi,
فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مُتَتَا ِبعَات
Artinya: Hendaklah puasa tiga hari berturut-turut.
Jadi, dibatasi dengan kata-kata berturut-turut (mutatâbi’ât). Karena kedua bacaan tadi bersamaan sebab dan hukumnya, maka qiraat mutawatir di atas harus diikuti (disesuaikan) dengan qiraat syadzah, cara mengartikannya disamakan dengan qiraat syadzah, hendaklah berpuasa tiga hari berturut-turut, jadi dalam qiraat mutawatir harus juga dibatasi dengan berturut-turut. Jadi karena keduanya sama hukumnya, yaitu wajib puasa dan sama sebabnya karena kafarat sumpah. Walaupun di dalam mushaf tidak disebutkan (mutatabiat) tetapi cara mengartikannya haruslah “berturut-turut” sesuai dengan qiraat syadz.
b. Sebabnya berbeda tetapi hukumnya sama
Apabila dua lafal berbeda dalam sebab, tetapi tidak berbeda dalam hukum (persamaan hukum) maka bagian ini diperselisihkan antara ulama ushul. Menurut sebagian ulama, yang mutlaq harus diikutkan kepada yang muqayyad, sedangkan ulama yang lain mengatakan bahwa yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya.
Contohnya pada perkataan “ رقبة ” yang artinya budak. Lafal ini bentuknya mutlaq dalam ayat :
وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا
Artinya : “Dan orang-orang yang mendzihar istri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka wajib (atas mereka) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami istri itu bercampur....” (al-Mujadalah : 3). Pada ayat lain dalam surat An-Nisa disebutkan dengan bentuk muqayyad رقبة مؤمنة (budak yang mukmin).
وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
Artinya: “Barang siapa yang membunuh orang mukmin dengan tersalah, maka wajiblah memerdekakan budak yang mukmin.” (QS. An-Nisa: 92)
Dalam ayat pertama, yang menjadi sebab seseorang harus memerdekakan budak ialah karena bersumpah zhihar, sedangkan pada ayat kedua karena membunuh dengan tidak sengaja. Jadi, berbeda dalam sebabnya.
Meskipun berlainan dalam sebabnya, tetapi hukumnya bersamaan, yaitu sama-sama harus memerdekakan budak. Dalam ayat yang pertama bentuknya mutlaq karena hanya disebut رقبة (budak) sedangkan dalam ayat kedua bentuknya muqayyad karena disebut رقبة مؤمنة (budak yang mukmin). Jadi, kalau yang mutlaq diikutkan kepada muqayyad, maka yang dimaksud budak dalam ayat yang pertama itu ialah budak-budak yang mukmin (harus mukmin). Namun, jika tidak diikutkan, berarti yang mutlaq tetap pada kemutlaqannya, maka dalam sumpah zhihar, budak yang dimerdekakan tidak harus mukmin, sedangkan dalam soal membunuh dengan tidak sengaja budak yang dimerdekakan haruslah yang mukmin.
c. Hukum berbeda tetapi sebabnya sama
Seperti kata “tangan” dalam wudlu dan tayamum. Membasuh tangan dalam wudlu dibatasi sampai siku. Allah beerfirman :
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ
Artinya: “Basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku-siku”. (QS. Al-Maidah: 6)
Sedangkan menyapu tangan dalam bertayamum tidak dibatasi, mutlak, sebagaimana dijelaskan dalam firman-Nya :
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ
Artinya : “..Maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu..” (al-Ma’idah : 6)
Dalam hal ini ada yang berpendapat, lafadz yang mutlak tidak dibawa ke muqayyad karena berlainan hukumnya. Namun, Ghazali menukil dari mayoritas ulama’ Syafi’i bahwa mutlak di sini dibawa ke muqayyad mengingat sebabnya sama sekalipun hukumnya berbeda.
d. Sebab berbeda dan hukum pun berlainan
Seperti kata tangan dalam berwudlu dan dalam pencurian. Dalam berwudlu’ ia dibatasi sampai dengan siku, sedang dalam pencurian dimuthlaqkan, tidak dibatasi. Firman Allah :
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
"Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya" (al-Ma’idah : 38).
Hal-hal yang diperselisihkan dalam mutlaq dan muqayyad:
1. Kemutlakannya dan kemuqayyadannya terdapat pada sebab hukum. Namun, masalah (maudu’) dan hukumnya sama. Menurut jumhur ulama dari kalangan Syafi’iyah, Malikiyah, dan Hanafiyah, dalam masalah ini wajib membawa mutlaq kepada muqayyad. Oleh sebab itu, mereka tidak mewajibkan zakat fitrah kepada hamba sahaya. Sedangkan ulama hanafiyah tidak mewajibkan membawa lafazh mutlaq dan muqayyad. Oleh sebab itu, ulama Hanafiyah mewajibkan zakat fitrah atas hamba sahaya secara mutlaq.
2. Mutlaq dan muqayyad terdapat pada nash yang sama hukumnya, namun sebabnya berbeda. Masalah ini juga diperselisihkan. Menurut ulamahanafiyah tidak boleh membawa mutlaq pada muqayyad, melainkan masing-masingnya berlaku sesuai dengan sifatnya. Oleh karena itu, ulama hanafiyah, pada kafarat zihar tidak mensyaratkan hamba mukmin. Sebaliknya, menurut jumhur ulama harus membawa mutlaq kepada muqayyad secara mutlaq. Namun menurut sebagian ulama Syafi’iyah, mutlaq dibawa pada muqayyad apabila ada illat hokum yang sama, yakni dengan jalan qiyas.
Penulis al-Burhân berkata : “Jika terdapat dalil bahwa muthlaq telah dibatasi, maka yang muthlaq dibawa ke muqayyad. Namun, jika tidak terdapat dalil, maka muthlaq tidak boleh dibawa kepada muqayyad; ia tetap dalam kemuthlaqannyaa dan yang muqayyad pun tetap dalam keterbatasannya. Sebab Allah berbicara kepada kita dengan bahasa Arab. Konkritnya ialah, apabila Allah telah menetapkan sesuatu (hukum) dengan sifat atau syarat kemudian terdapat pula ketetapan lain yang bersifat mutlak, maka mengenai mutlak harus dipertimbangkan. Jika ia tidak mempunyai hukum pokok, yang kepadanya ia dikembalikan, selain dari hukum yang muqayyad, maka ia wajib ditaqyidkan dengannya. Tetapi jika mempunyai hukum pokok yang lain selain muqayyad, maka mengembalikannya kepada salah satu dari keduanya tidak lebih baik daripada mengembalikan kepada yang lain.”
D. SIMPULAN
Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk dapat menggali hukum syar’i yang terdapat dalam nash al- Qur’an dan al- Sunnah perlu diketahui makna dan jenis lafadz tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrachman, Asymuni, Ushul fiqh syi’ah imamiyah. ( Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1985 )
al-Qaththan, Manna’, (diterjemahkan Mudzakkir As.) Mabâhits fî ‘Ulumi al-Qur’ân, Pustaka Litera AntarNusantara, Bogor : 1992
Ichwan, M. Nor ,Memahami Bahasa al-Qur’an, Pustaka Pelajar : Semarang, 2002
Uman, Khairul dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001
____________________________________
1. M. Nor Ichwan, Memahami Bahasa al-Qur’an, Pustaka Pelajar : Semarang, 2002. Hal. 206
2. Nama lengkapnya adalah Saif al-Din bin Ali bin Abi Ali bin Muhammad bin Salim al-Tsa’laby al-Amady al-Hanbaly. Ia adalah seorang yang pakar dalam bidang Ushul Fiqh. Dilahirkan di desa Amad tahun 551 H. Besar di Baghdad kemudian pindah ke Syam dan meninggal di sana pada tahun 631 H. Ia telah mengarang beberapa kitab, dan yang termasyhur diantaranya adalah al-Ihkâm fî Ushûli al-Ahkâm dan Ghâyah al-Marâm fî ‘Ilm al-Kalâm.
3. Dikutip dari M. Nor Ichwan, Memahami Bahasa al-Qur’an, Pustaka Pelajar : Semarang, 2002. Hal. 206
4. Ibid.
5. Manna’ al-Qaththan, (diterjemahkan Mudzakkir As.) Mabâhits fî ‘Ulumi al-Qur’ân, Pustaka Litera AntarNusantara, Bogor : 1992. Hal. 348.
6. وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ,
7. Ibid.
8. Kamus Arab-Indonesia digital.
9. وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
10. Asymuni abdurrachman. Ushul fiqh syi’ah imamiyah. ( Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1985 )h.50-51
11. Saefullah Ma’sum dkk.ushuk fiqih Jakarta: PT.Rineka Cipta
12. Ibid.
13. Kamus Arab-Indonesia digital.
14. وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلَّا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ
15. Asymuni abdurrachman. Ushul fiqh syi’ah imamiyah. ( Yogyakarta: CV. Bina Usaha, 1985 )h.50-51
16. Saefullah Ma’sum dkk.ushuk fiqih Jakarta: PT.Rineka Cipta
17. Khairul Uman dan A. Ahyar Aminudin, Ushul Fiqih II, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hal. 100
18. Ibid. Hal.
19. Manna’ al-Qaththan, (diterjemahkan Mudzakkir As.) Mabâhits fî ‘Ulumi al-Qur’ân, Pustaka Litera AntarNusantara, Bogor : 1992. Hal. 351
20. Rachmat syafe’i.ilmu ushul fiqih.(Bandung: Pustaka Setia, 2010)H. 212-214
21. Imam Zarkasyi dalam kitabnya al-Burhan fi ‘ulûmi al-qur’an
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon