A. Latar
Belakang
“Knowledge
is power”. Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas
mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia
adalah pengetahuan. Sebab, manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah
cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus dan berkembang. Proses
olah cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan
pendidikan.
Pendidikan
adalah proses transformasi pengetahuan dan keilmuan kepada orang lain, dengan
tujuan menyebarluaskan keilmuan agar terjadi regenerasi intelektual yang
memadai. Dan di dalam konteks agama Islam, penekanan pendidikan telah
dijelaskan dengan sangat gamblang di dalam kitab yang telah diturunkan sekitar
15 abad yang lalu (Al-Qur’an). Oleh karena itu, penulis akan membahas
penafsiran beberapa ayat yang berhubungan dengan pendidikan.
B. Pokok
Permasalahan
1.
Al-Nisa’
4 : 9
2.
Luqman
31 : 13
3.
Al-Maidah
5 : 67
4.
Al-Dzariyat
51 : 56
5.
Ali
Imran 3 : 102
6.
Al-Qashash
28 : 77
C. Analisis
1.
Al-Nisa’
4 : 9
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللَّهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا
Artinya : “Dan
hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan generasi
yang lemah di belakang mereka, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)
nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah, dan hendaklah
mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
Ayat ini masih berkaitan dengan
ayat sebelumnya. Asbab al-Nuzûl ayat
ini yaitu, pada saat jaman jahiliyyah, ada orang yang meninggal dan seluruh harta si mayit
diserahkan sepenuhnya kepada orang-orang faqir dan miskin. Sedangkan
anak-anaknya tidak disisakan sedikitpun –di dalam kitab dijelaskan dengan kata
diharamkan—, yang akhirnya menjadi beban masyarakat –karena menjadi pengemis
atau peminta-minta— dan terabaikan. Maka
turunlah ayat ini sebagai peringatan bagi ahli waris si mayit untuk lebih
memperhatikan generasi yang ditinggalkan oleh si mayit.[1]
Penggunaan
kata
سديد --dengan tarkîb sebagai sifat— dalam
ayat ini, tidak dengan redaksi Ma’rûfâ, atau Layyinâ, dan
lain-lain, karena mausuf lafadz sadîda sudah jelas/pasti dengan
tujuan untuk meyakinkan dan sebagai realisasi dari mausufnya. Bukan untuk
memuliakan dan menjaga kehormatan Mukhatthab.[2]Sedangkan,
dalam kitab al-Mannâr dijelaskan bahwa, yang dimaksud dengan Sadîd
adalah keadilan dan kebenaran.[3]
Wajib
bagi orang tua maupun ahli waris –lebih luas lagi “orang Islam”— untuk tidak meninggalkan generasi penerusnya dalam keadaan
terlantarkan. Mereka harus dibekali dengan kesejahteraan jasmani dan ruhani
(pendidikan).
2.
Luqman
31 : 13
وَإِذْ
قَالَ لُقْمَانُ لِابْنِهِ وَهُوَ يَعِظُهُ يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ
إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
Artinya :” Dan (ingatlah) ketika Lukman berkata
kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan (Allah) sesungguhnya mempersekutukan (Allah)
adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Ayat 13 ini berbicara tentang nasihat
Luqman kepada putranya yang dimulai dari peringatan terhadap perbuatan syirik.
Luqman menjelaskan kepada anaknya, bahwa perbuatan syirik itu
merupakan kezaliman yang besar.[4]
Syirik dinamakan perbuatan yang zalim, karena meletakan sesuatu bukan pada
tempatnya.
Imam al-Shobuni menafsirkan لا
تُشْرِكْ بِاللَّهِ dengan menyatakan, “jadilah orang yang berakal; jangan
mempersekutukan Allah dengan apapun, entah itu manusia, patung, atau anak.”
Beliau menafsirkan إِنَّ
الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ dengan menyatakan, “Perbuatan syirik merupakan sesuatu yang buruk dan tindak kezaliman yang nyata.
Karena itu, siapa saja yang menyerupakan antara Khalik dengan makhluk, tanpa
ragu-ragu, orang tersebut bisa dipastikan masuk ke dalam golongan manusia yang
paling bodoh. Sebab, perbuatan syirik menjauhkan seseorang dari akal sehat dari
hikmah sehingga pantas digolongkan ke dalam sifat zalim, bahkan pantas
disertakan dengan binatang.
Kata يَعِظُهُ
terambil dari kata عظو yaitu nasihat menyangkut berbagai
kebajikan dengan cara yang menyentuh hati. Ada juga yang mengartikan sebagai
ucapan yang mengandung peringatan dan ancaman. Penyebutan kata ini yakni tidak
membentak, tetapi penuh kasih sayang sebagaimana dipahami dari panggilan mesra
kepada anak.
Sedangkan ulama memahami kata عظو dalam arti ucapan yang mengandung
peringatan dan ancaman, berpendapat bahwa kata tersebut mengisyaratkan bahwa
anak Luqman itu adalah seorang musyrik, sehingga sang ayah menyandang hikmah itu
terus menerus menasihatinya sampai akhirnya sang anak
mengakui Tauhid.[5]
Kata بُنَيَّ
adalah patron yang menggambarkan kemungilan. Asalnya
dalah ابني ibny, dari
kata بنا ibn yakni anak lelaki. Pemungilan tersebut mengisyaratkan
kasih sayang. Dari sini kita dapat berkata bahwa ayat diatas sumber isyarat
bahwa mendidik hendaknya didasari oleh rasa kasih sayang terhadap peserta
didik.
Pada ayat 13 diperintahkan untuk merenungkan
anugrah Allah kepada Luqman, serta mengingatkan kepada orang lain. Ayat ini
berbunyi : Dan ingatlah ketika Luqman berkata kepada anaknya dalam keadaan
pada saat ke saat menasihatinya bahwa wahai anakku sayang! Janganlah engkau
mempersekutukan Allah dengan apapun, dan jangan juga mempersekutukan-Nya
sedikit persekutuan pun, lahir maupun batin. Persekutuan yang jelas maupun
tersembunyi adalah syirik yakni mempersekutukan Allah.[6]
Luqman menekankan perlunya meninggalkan
sesuatu yang buruk sebelum melaksanakan yang baik. Memang Al-takhiyah
muqaddamun ‘ala al-tabliyah (menyingkirkan keburukan lebih utama dari pada
menyandang perhiasan).[7]
Dari ayat ini pula dapat dipahami bahwa antara kewajiban orang tua kepada
anak-anaknya adalah memberi nasihat dan didikan. Orang tua harus memperhatikan
pendidikan bagi anak-anaknya. Orang tua tidak boleh menganggap cukup apabila
telah menyediakan segala kebutuhan fisik seperti sandang, pangan, papan,
kesehatan dan kesenangan lahiriyah lainnya. Justru yang lebih penting adalah
memperhatikan kebutuhan rohani berupa pendidikan agama maupun pendidikan
keilmuan lainya dan keterampilan.
3.
Al-Mâidah
5 : 67
يَا
أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ وَإِنْ لَمْ
تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللَّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ
اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya
: “Wahai Rasul! Sampaikanlah apa yang diturunan Tuhanmu kepadamu. Jika tidak
engkau lakukan (apa yang diperintahkan itu) berarti engkau tidak menyampaikan
amanat-Nya. Dan Allah memelihara engkau dari (gangguan) manusia. Sungguh, Allah
tidak memberi petunjuk kepada orang-orang kafir.”
Asbabun
Nuzûl dari ayat ini adalah ketika Rasulullah merasakan
kesusahan yang di sebabkan oleh kaumnya yang pasti akan mendustakannya.
Sehingga, turunlah ayat ini sebagai penghibur dari rasa kesusahannya. Sedangkan
penggunaan Nida’ “Yâ Ayyuha al-Rasûlu” sebagai persaksian bahwa
Nabi datang dengan membawa risalah.[8]
Ayat
ini berisi ancaman kepada Rasulullah SAW untuk menyampaikan segala sesuatu yang
diamanatkan oleh Allah kepadanya, dan Allah juga berjanji untuk melindunginya
dari gangguan orang-orang yang tidak beriman kepadanya.[9]
Walaupun dalam menyampaikan risalah yang diberikan oleh Allah, Rasul SAW
mendapatkan tekanan yang menyakitkan berupa ucapan dan perbuatan. Namun, Allah
SWT tetap memerintahka n Rasul-Nya untuk menyampaikan risalah tersebut.[10]
Hal ini sesuai dengan firman Allah di surat al-Syûra ayat 48, إِنْ عَلَيْكَ
إِلَّا الْبَلَاغُ yang berarti,”kewajibanmu tidak lain
hanyalah untuk menyampaikan risalah”.
Hendaknya,
seorang pendidik harus mempunyai sifat-sifat profetik seperti yang dimiliki
Rasulullah yaitu, tabligh. Dalam menyampaikan pengetahuan kepada murid, wajib
bagi seorang pendidik untuk tidak menyembunyikan keilmuan –kitmân— yang
dimilikinya. Jadi, dictum dalam dunia persilatan bahwa seorang guru tidak akan
mengajarkan seluruh ilmu yang dimilikinya kepada muridnya –dengan alasan sang
murid akan mengungguli kemampuan gurunya— tidak
berlaku dalam dunia pendidikan intelektual.
4.
Al-Dzariyât
51 : 56
وَمَا
خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya : “Aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku”
Ayat ini menegaskan bahwa Allah SWT
tidaklah menjadikan jin dan manusia melainkan untuk mengenal Nya dan supaya
menyembah Nya. Hal ini diterangkan juga dalam hadis Qudsi yang diriwayatkan
oleh Mujahid, yang berbunyi sebagai berikut:
كنت كنزا مخفيا فأردت أن أُعْرَفَ فخلقت الخلق فبي عرفوني
Artinya: “Aku laksana perbendaharaan yang tersembunyi, lalu Aku ingin supaya diketahui, maka kujadikanlah makhluk, maka dengan adanya (ciptaan-Ku) itulah mereka mengetahui-Ku.”
Firman Allah SWT:
وما أمروا
إلا ليعبدوا إلها واحدا لا إله إلا هو سبحانه عما يشركون
Artinya:”Tidaklah
mereka itu diperintahkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa, tidak ada Tuhan
(yang berhak disembah) selain Dia, Maha Suci Allah dari apa yang mereka
persekutukan.” (Q.S. At Taubah: 31)
Pendapat
tersebut sama dengan pendapat AZ Zajjaj, tetapi ahli tafsir yang lain
berpendapat bahwa maksud ayat tersebut ialah bahwa Allah SWT tidak menjadikan
jin dan manusia kecuali untuk tunduk kepada-Nya dan untuk merendahkan diri.
Maka setiap makhluk, baik jin atau manusia wajib tunduk kepada peraturan Tuhan,
merendahkan diri terhadap kehendak-Nya. Menerima apa yang Ia takdirkan, mereka
dijadikan atas kehendak-Nya dan diberi rezeki sesuai dengan apa yang telah Ia
tentukan. Tak seorang pun yang dapat memberikan manfaat atau mendatangkan
mudarat karena kesemuanya adalah dengan kehendak Allah SWT.[11]
5.
Ali
Imran 3 : 102
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ
إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Artinya : “Wahai orang-orang beriman!
Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya, dan janganlah kamu
mati kecuali dalam keadaan muslim.”
Ayat
ini mewajibkan kita untuk bertakwa kepada Allah dengan
sungguh-sungguh. Seakan-akan, ayat ini berbanding terbalik dengan ayat فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ yang berarti “bertakwalah kepada Allah dengan semampu
kalian”. Ibnu Mas’ud meriwayatkan bahwa ayat yang kedua telah menasakh ayat
yang pertama, dengan sanad yang mauquf dan marfu’. Sedangkan Ibnu
Jarir dan lainnya memaknai اتَّقُوا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ dengan maksud “Taatlah dan jangan mendurhakai (maksiat), ingatlah
(berdzikirlah) dan jangan sampai lupa, dan bersyukurlah hingga jangan sampai
kufur”.[12]
Sedangkan
menurut pendapat Ibnu Abbas definisi ayat itu adalah,”berjihad
(bersungguh-sungguh) di (agama) Allah dengan sebenar-benarnya jihad, tidak
terpengaruh kecaman orang yang suka mencela, dan menegakkan (hukum) Allah
dengan keadilan walaupun diterapkan atas diri mereka sendiri, bapak-bapak
maupun ibu-ibu mereka.”[13]
6.
Al-Qashash
28 : 77
وَابْتَغِ
فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ
الدُّنْيَا وَأَحْسِنْ كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ
فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُفْسِدِينَ
Artinya : “Dan carilah (pahala) negeri
akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah
kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik kepaddamu, dan janganlah kamu berbuat
kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan.”
Pada
ayat ini Allah SWT menerangkan empat macam nasihat dan petunjuk yang ditujukan
kepada Karun oleh kaumnya. Barangsiapa mengamalkan nasihat dan petunjuk itu
akan memperoleh kesejahteraan di dunia dan di akhirat kelak. Yaitu:
1.
Orang yang dianugerahi oleh Allah SWT kekayaan yang berlimpah-limpah,
perbendaharaan harta yang bertumpuk-tumpuk serta nikmat yang banyak, hendaklah
ia memanfaatkan di jalan Allah, patuh dan taat pada perintah-Nya, mendekatkan
diri kepada-Nya untuk memperoleh pahala sebanyak-banyaknya di dunia dan di
akhirat. Sabda Nabi saw:
اغتنم
خمسا قبل خمس شبابك قبل هرمك وصحتك قبل سقمك وغناك قبل فقرك وفراغك قبل شغلك وحياتك
قبل موتك.
Artinya:”Manfaatkan
yang lima sebelum datang (lawannya) yang lima; mudamu sebelum tuanmu, sehatmu
sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, waktu senggangmu sebelum kesibukanmu
dan hidupmu sebelum matimu”. (H.R. Baihaqi dari Ibnu
Abbas)
2.
Janganlah seseorang itu meninggalkan sama sekali kesenangan dunia baik berupa
makanan, minuman dan pakaian serta kesenangan-kesenangan yang lain sepanjang
tidak bertentangan dengan ajaran yang telah digariskan oleh Allah SWT, karena
baik untuk Tuhan, untuk diri sendiri maupun keluarga, semuanya itu mempunyai
hak atas seseorang yang harus dilaksanakan. Sabda Nabi Muhammad SAW:
اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا واعمل لآخرتك كأنك
تموت غدا
Artinya:”Kerjakanlah
(urusan) duniamu seakan-akan kamu akan hidup selama-lamanya. Don laksanakanlah
amalan akhiratmu seakan-akan kamu akan mati besok.”
(H.R. Ibnu Umar)
3.
Seseorang harus berbuat baik sebagaimana Allah SWT berbuat baik kepadanya,
membantu orang-orang yang berkeperluan, pembangunan mesjid. madrasah, pembinaan
rumah yatim piatu di panti asuhan dengan harta yang dianugerahkan Allah
kepadanya dan dengan kewibawaan yang ada padanya, memberikan senyuman yang
ramah tamah di dalam perjumpaannya dan lain sebagainya.
4.
Janganlah seseorang itu berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat kepada
sesama makhluk Allah, karena Allah SWT tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan. Allah SWT tidak akan menghormati mereka, bahkan Allah tidak akan
memberikan rida dan rahmat-Nya.[14]
D. Simpulan
-----------------------------------------------------
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Mustafa
Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi. Maktabah Syamilah
Muhammad al-Shâwi, Hâsyiyah
al-Shâwî, Darul Kutub al-‘ilmiyah: Beirut.
Muhammad Hussain Tabatabai, al-Mîzân,
Maktabah Syamilah
Muhammad Rasyid bin Ali Ridlo, al-Mannâr,
Haiah al-Mishriyyah al-‘Ammah lilkitab : Mesir. 1990.
Shihab, M.
Quraish, TAFSIR AL-MISBAH: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an.
Jakarta: Lentera Hati. 2002
[1]
Muhammad al-Shâwi, Hâsyiyah al-Shâwî, Darul Kutub al-‘ilmiyah:
Beirut. Juz 1. Hlm. 274.
[2]
Muhammad Hussain Tabatabai, al-Mîzân, Maktabah Syamilah, juz 4. Hlm. 39
[3]
Muhammad Rasyid bin Ali Ridlo, al-Mannâr, Haiah al-Mishriyyah al-‘Ammah
lilkitab : Mesir. 1990. Hlm. 322
[4]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi. Maktabah Syamilah, hal. 153
[5]
Shihab, M. Quraish, TAFSIR AL-MISBAH:
Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati. 2002
[6]
Ibid.
[7]
Ibid.
[8]
Muhammad al-Shâwi, Hâsyiyah al-Shâwî, Darul Kutub al-‘ilmiyah:
Beirut. Juz 1. Hlm. 396
[9]
Muhammad Hussain Tabatabai, al-Mîzân, Maktabah Syamilah, juz 5. Hlm. 23
[10]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi. Maktabah Syamilah, hal. 158
[11]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi. Maktabah Syamilah, juz 27. hal. 12-13
[12]
Muhammad Rasyid bin Ali Ridlo, al-Mannâr, Haiah al-Mishriyyah al-‘Ammah
lilkitab : Mesir. 1990. Hlm. 16. Juz 4
[13]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir
Al-Maraghi. Maktabah Syamilah, juz 4. hal. 16
[14]
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi.
Maktabah Syamilah, juz 20. Hlm. 90.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon