Pemikiran Nurcholis Madjid

I.            PENDAHULUAN
a.      Latar Belakang
Memperbincangkan gerakan pemaruan Islam di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari sosok Cak Nur (Nurcholis madjid) karena ia adalah tokoh sekaligus pemain utamanya. Tentunya Cak Nur tak sendiri. Ada banyak tokoh yang seangkatan dengannya yang ikut serta dalam gerakan pembaruan Islam seperti, M. Dawam Rahardjo, Amin Rais, Gus Dur, Jalaluddin Rahmat dan tentunya masih banyak lagi.

Pada makalah kali ini, pemakalah akan menyajikan berbagai penjelasan tentang pemikiran-pemikiran yang ditawarkan oleh Nurcholis Madjid.

b.     Rumusan Masalah
a)      Siapakah Nurcholis Madjid?
b)     Apa saja pemikiran yang ditawarkan oleh Nurcholis Madjid?

II.         ANALISIS
a.      Biografi
Lahir di Jombang, Jawa Timur, 17 Maret 1939 dan meninggal di Jakarta, 29 Agustus 2005 pada umur 66 tahun. Putra dari pasangan suami istri H. Abdul Madjid dan Hj. Fathonah ini sedari kecil diberi nama Abdul Malik. Perubahan nama menjadi Nurcholis Madjid terjadi ketika menginjak usia 6 tahun. Hal ini terjadi karena dalam tradisi Jawa, anak yang sering menderita sakit dianggap kabotan jeneng, dan oleh karena itu perlu diganti nama. Lahir di lingkungan pesantren, ayahnya adalah adalah santri pendiri NU, Hadratusy Syaikh Hasim Asy’ari di Pesantren Tebu Ireng, Jombang.[1]
 Jenjang pendidikan beliau bermula SR (Sekolah Rakyat), sekaligus pada sore harinya beliau juga sekolah di Madrasah al-Wathaniyyah yang didirikan oleh ayahandanya sendiri. Walaupun masuk sekolah pagi dan sore, hal itu tidak membuat Nurcholis kecil merasa berat. Justru prestasi yang dicapainya sangat bagus. Hal itu terlihat dari penguasaan Ilmu Hitung (al-Jabbar) yang selalu mendapatkan nilai tinggi, sedangkan ketika di madrasah beliau mampu dengan mudah menguasai pelajaran di madrasah seperti tata bahasa Arab (Nahw dan Sharf).[2]

Tamat dari SR pada 1953, Nurcholis dimasukkan ayahnya ke Pesantren Darul Ulum, yang lebih dikenal dengan Pesantren Rejoso, karena terletak di Desa Rejoso, Kecamatan Peterongan. Ia tidak dikirim ke Pesantren Tebu Ireng, almamater ayahnya dulu. Sebab, saat itu K.H. Hasyim Asy’ari telah wafat. Sedangkan, Pesantren Rejoso saat itu diasuh oleh Kiai Romli Tamim dan K.H. Dahlan Cholil. Kiai Romli adalah kawan dekat ayahanda beliau ketika masih nyantri di Tebu Ireng. Dengan kata lain, sebenarnya ayahanda Cak Nur menitipkannya kepada temannya sendiri.[3]
 Suasana politik menjelang pemilu 1955 sangat terasa di desa-desa, bahkan juga masuk ke lingkungan pesantren. Pada tahun 1952, NU telah menyatakan keluar dari Masyumi. Sedangkan ayah Cak Nur adalah pendukung Masyumi yang setia, karena berpegang pada perkataan dari K.H. Hasyim Asy’ari yang beliau anggap sebagai ‘fatwa’, bahwa, Masyumi merupakan satu-satunya partai Islam. Akhirnya, dampak dari sikap politik ayahnya tersebut segera terasa oleh Cak Nur. Saat belajar, ia sering disindir oleh para pengajar sebagai anak Masyumi yang kesasar (di sarang NU). Selain para pengajar, para santripun ikut-ikutan menyindir Cak Nur karena perbedaan tersebut. Akhirnya, karena ketidaknyamanan tersebut, Cak Nur dipindahkan ayahnya ke Pesantren Gontor.[4]

Ketika nyantri di Gontor, Cak Nur menjadi santri kesayangan K.H. Zarkasyi (Pengasuh Pesantran Gontor kala itu). Hal ini karena kecerdasan dan keuletan yang dimiliki oleh beliau. Lulus dari Gontor, beliau didaftarkan oleh kianya tersebut ke Mesir. Namun pada saat itu Mesir sedang bergejolak, dan mahasiswa dari luar negeri tidak bisa mendapatkan visa untuk ke sana. Akhirnya, atas petunjuk K.H. Zarkasyi, Cak Nur meneguhkan pilihannya untuk melanjutkan studi di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan lulus pada tahun 1968 dengan predikat Cum Laude.[5]

Ketika di Jakarta, sembari kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah, Nurcholish Madjid tinggal di Masjid Agung al-Azhar, Kebayoran Baru dan sedemikian Akrab dengan Buya Hamka dan ia sedemikian kagum terhadap dakwah Buya yang mampu mempertemukan pandangan kesufian, wawasan budaya dan semangat al-Qur’an sehingga paham keislaman yang ditawarkan Buya sangat menyentuh dan efektif untuk masyarakat Islam kota. Minat Nurcholis Madjid terhadap kajian keislaman semakin mengkristal dengan keterlibatannya di HMI. Dia terpilih menjadi Ketua Umum Pengurus Besar HMI selama dua periode berturut-turut dari tahun 1966-1969 hingga 1969-1971. Ia pun menjadi presiden Persatuan Mahasiswa Islam Asia Tenggara (PEMIAT) periode 1967-1969. Dan untuk masa bakti 1969-1971, Cak Nur menjadi Wakil Sekretaris Umum International Islamic Federation of Students Organisation (IIFSO).[6]

Pada tahun 1984, ia berhasil menyandang gelar philosophy Doctoral (Ph.D) di Universitas Chicago dengan nilai cum laude. Adapun disertasinya ia mengangkat pemikiran Ibnu Taymiah dengan judul “Ibn Taymiyah dalam ilmu kalam dan filsafat: masalah akal dan wahyu dalam Islam” (Ibn Taymiyah in Kalam and Falsafah: a Problem of Reason and Revelation in Islam). Disertasi doktoral yang dilakukan ini menunjukkan atas kekaguman dirinya terhadap tokoh tersebut. Kekaguman ini pun menjadi pengakuan yang disampaikannya.[7]

b.     Karya-Karya
Diantara karya-karya Nurcholis Madjid dalam Bahasa Indonesia antara lain:
1.      Khazanah Intelektual Islam.
2.      Islam Kemodernan dan Keindonesiaan
3.      Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Masalah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan
4.      Islam Kerakyatan dan Keindonesiaan: Pikiran-Pikiran Nurcholish Madjid “Muda”.(1994)
5.      Pintu-Pintu Menuju Tuhan (1994).
6.      Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah (1995).
7.      Islam Agama Kemanusiaan: Membangun Tradisi dan Visi Baru Islam Indonesia (1995).
8.      Masyarakat Religius (1997).
9.      Tradisi Islam: Peran dan Fungsinya dalam pembangunan di Indonesia (1997).
10.  Kaki Langit Peradaban Islam (1997
11.  Bilik-Bilik Pesantren: Sebuah potret Perjalanan (1997)
12.  Dialog Keterbukaan: Artikulasi Nilai Islam dalam Wacana Sosial Politik Kontemporer (1997).
13.  Cendekiawan dan Religiusitas Masyarakat: Kolom-Kolom di Tabloid “Tekad” (1999).
14.  Cita-cita Politik Islam di Era Reformasi (1999).
15.  Indonesia Kita (2003).
Sedangkan karya-karya beliau dalam bahasa Inggris antara lain:
1.      The Issue of Modernization Among Muslimin in Indonesia: From a participant’s Paint of View, dalam Gloria Davies (ed.)
2.      What is Modern Indonesia Culture? (Athens, Ohio, University of Ohio Southeast Asia Studies, 1979)
3.      Islam in the Contemporary World, (Notre Dame, Indiana, Cross Roads Books, 1980)
c.       Pokok-Pokok Pemikiran Nurcholis Madjid
Membicarakan pemikiran Nurcholis Madjid, tidak akan bisa tersampaikan secara komperehensif jika hanya disampaikan di dalam makalah yang sangat terbatas ini. Sebagai intelektual yang pemikirannya ensiklopedis, pemikirannya juga meliputi banyak isu dan sangat komperehensif. Oleh karena itu, pemakalah akan menyampaikan beberapa pokok pemikiran Nurcholis Madjid, termasuk juga pemikiran-pemikiran beliau yang sangat kontroversial, antara lain:
a)      Sekularisasi
Polemik seputar pemikiran sekularisasi Cak Nur muncul ketika beliau menyampaikan makalahnya yang berjudul, “Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat” yang dipresentasikan pada pertemuan silaturahim antara para aktivis, anggota, dan keluarga dari empat organisasi Islam, yaitu Persami, HMI, GPI, dan PII yang diselenggarakan oleh PII Cabang Jakarta, di Jakarta 3 Januari 1970.[8]

 Lebih lanjut, inilah kutipan ide sekularisasi dari makalah tersebut:
“Dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme, sebab, secularism is the name of an ideology, a new closed world view which functions very much like a new religion. Dalam hal ini yang dimaksudkan ialah setiap bentuk liberating development. Proses pembebasan ini terutama diperlukan karena umat Islam, akibat daripada perjalanan sejarahnya sendiri, tidak sanggup lagi membedakan di antara nilai-nilai yang disangkanya Islamis itu mana yang transendental dan mana yang temporal. Malahan hirarki nilai itu sering dalam keadaan terbalik, transendental menjadi temporal dan sebaliknya atau menjadi transendental semuanya, bernilai ukhrowi tanpa kecuali. Sekalipun mungkin mereka tidak mengucapkannya secara lisan, malahan memungkirinya, namun sikap itu tercermin dalam tindakan-tindakan mereka sehari-hari. Akibat dari hal itu, sudah maklum, cukup parah: Islam menjadi senilai dengan tradisi dan menjadi Islamis sederajat dengan menjadi tradisionalis. Karena pembelaan Islam menjadi sama dengan pembelaan tradisional inilah maka timbul kesan bahwa kekuatan Islam adalah kekuatan tradisi yang bersifat reaksioner.

Kacamata hirarki nilai di kalangan kaum Muslimin telah membikinnya tidak sanggup mengadakan respon yang wajar terhadap perkembangan pemikiran yang ada di dunia dewasa ini. Jadi dengan sekularisasi tidaklah dimaksudkan penerapan sekularisme dan mengubah kaum Muslimin menjadi kaum sekularis. Tetapi dimaksudkan untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi, dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk mengukhrawikannya. Dengan demikian kesediaan mental untuk selalu menguji dan menguji kembali kebenaran suatu nilai di hadapan kenyataan-kenyataan, materiil, moril maupun historis menjadi sifat kaum Muslimin. Lebih lanjut dengan sekularisasi dimaksudkan untuk lebih memantapkan tugas duniawi manusia sebagai Khalifah Allah di bumi. Fungsi sebagai Khalifah Allah itu memberikan ruangan bagi adanya kebebasan manusia untuk menetapkan dan memilih sendiri cara dan tindakan-tindakan dalam rangka perbaikan hidupnya di atas bumi ini, dan sekaligus memberikan pembenaran bagi adanya tanggungjawab manusia atas perbuatan-perbuatan itu di hadapan Tuhan.”[9]

b)     Modernisasi
Modernisasi yang ditawarkan Cak Nur bukanlah modernisasi dengan mengikuti Barat (westernisasi), melainkan hampir identik dengan pengertian rasionalisasi. Hal itu berarti proses perombakan pola berfikir dan tata kerja lama yang tidak aqliah (rasional), dan menggantinya dengan pola berfikir dan tata kerja baru yang aqliah. Kegunaannya ialah untuk memperoleh daya guna dan efisiensi yang maksimal. Hal itu dilakukan dengan menggunakan penemuan mutakhir manusia dalam bidang ilmu pengetahuan.[10]

c)      Liberalisasi
Liberalisasi pemikiran yang ditawarkan oleh Cak Nur juga menimbulkan perdebatan dan kritik dari berbagai kalangan. Lebih jelasnya, ide tersebut antara lain:

“Salah satu balai pendidikan Islam yang liberal, yaitu Balai Pendidikan Darussalam di Gontor, Ponorogo (Jawa Timur) mencantumkan sebagai motonya berfikir bebas, setelah berbudi tinggi, berbadan sehat dan berpengetahuan luas. Di antara kebebasan-kebebasan perorangan, kebebasan berfikir dan menyatakan pendapat adalah yang paling berharga. Seharusnya kita mempunyai kemantapan kepercayaan bahwa semua bentuk fikiran dan ide, betapapun anehnya kedengaran di telinga, haruslah mendapatkan jalan untuk dinyatakan. Tidak jarang dari pikiran-pikiran dan ide-ide itu yang umumnya semula dikira salah dan palsu, ternyata kemudian benar. Kenyataan itu merupakan pengalaman dari setiap gerakan pembaruan, perorangan maupun organisasi, di mana saja di muka bumi ini. Selanjutnya di dalam pertentangan pikiran-pikiran, ide-ide, kesalahan sekalipun memberikan kegunaan yang tidak kecil, sebab ia akan mendorong kebenaran untuk menyatakan dirinya dan tumbuh menjadi kuat.

Agaknya tidaklah sama sekali omong kosong bila Nabi kita menyatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan umatnya merupakan rahmat. Kebebasan berfikir ini dengan baik sekali diterangkan oleh OW Holmes ketika dia mengatakan: The ultimate good desire is better reached by free trades in indeas that the best test of truth is the power of thought to get itself accepted competition of the market, and that truth is the only ground upon which their wishes safely can be carried out. (kebaikan terakhir yang dikehendaki adalah lebih baik dicapai melalui perdagangan-perdagangan bebas dalam ide-ide. Bahwa sebaik-baiknya ujian bagi suatu kebenaran ialah kekalutan fikiran untuk membuat dirinya dapat diterima dalam kompetisi pasar, dan bahwa kebenaran adalah satu-satunya landasan di atas mana keinginan-keinginan mereka dengan selamat dapat dilaksanakan). Karena tiadanya pikiran-pikiran yang segar, kita telah kehilangan apa yang dikemukakan di muka, yaitu psychological striking force (kekuatan maknawi yang ampuh), sebab tidak ada suatu badan dengan pikiran yang bebas yang memusatkan perhatiannya kepada tuntutan-tuntutan segera dari pada kondisi-kondisi masyarakat yang tumbuh terus, baik di bidang ekonomi, politik, maupun sosial. Walaupun begitu masih harus diakui bahwa pikiran-pikiran kita yang berdasarkan Islam itu dapat menyelesaikan problema-problema itu sebaik-baiknya jika dipersesuaikan, dipersegar, diperbaharui, dan diorganisir (dikoordinir) untuk membuat ide-ide sejalan dengan kenyataan zaman sekarang. Sebagai contoh ajaran tentang syura atau musyawarah umpamanya, telah diterima oleh umat Islam secara umum sebagai sama atau dekat dengan ajaran demokrasi yang berasal dari Barat itu. Tetapi di pihak lain ajaran prinsipil Islam tentang keadilan sosial dan pembelaan kaum lemah, miskin dan tertindas yang terdapat di mana-mana dalam kitab suci belum menemukan jalan keluarnya untuk menjadi ide-ide dengan perumusan aplikatifnya yang dinamis dan progresif, sebab umat Islam nampaknya masih tabu terhadap kata-kata sosialisme, yaitu ide yang seperti halnya dengan demokrasi juga berasal dari Barat dan kira-kira sama artinya dengan pokok-pokok ide Islam tersebut. Halangan psychologis apakah yang ada pada umat Islam jika karena bukan ketiadaan kebebasan berfikir? Karenanya kemudian umat Islam tidak mampu mengambil inisiatif-inisiatif dalam perkembangan masyarakat duniawi ini, dan inisiatif-inisiatif selalu direbut oleh orang lain, sehingga posisi-posisi strategis di bidang pemikiran dan ide berada di tangan mereka, kemudian Islam di-excludekan dari padanya. Sebenarnya penting untuk diketahui bahwa persis sebagaimana dalam operasi-operasi militer seseorang merebut posisi di medan pertempuran dan dengan begitu menghalangi musuh untuk mendudukinya, maka dalam percaturan politik yang maknawi itu mungkin saja untuk merebut posisi-posisi abstrak dan  mempertahankannya jangan sampai jatuh ke tangan musuh atau orang lain. Dalam hal inilah kita melihat kelemahan utama umat Islam. Kesemuanya itu sekali lagi akibat dari pada tiadanya kebebasan berfikir, kacaunya hirarki antara nilai-nilai mana yang ukhrawi dan mana yang duniawi, sistem berfikir yang masih terlalu tebal diliputi oleh tabu dan apriori dan sebagainya.”[11]

Itulah beberapa pokok pemikiran Nurcholis Madjid yang menurut pemakalah perlu untuk dikemukakan. Secara garis besar, ide-ide Cak Nur terangkum dalam 3 hal pokok yang tidak terpisahkan, yaitu, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan (yang akhirnya dijadikan sebagai judul buku).

III.      PENUTUP
Makalah ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan saran dari pembaca sangat saya harapkan demi terwujudnya pembahasan yang lebih komperehensif.


DAFTAR PUSTAKA


Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq (Jakarta : Paramadina, 1999)
Gaus, Ahmad AF, Api Islam Nurcholis Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas, 2010).
Hidayat, Komaruddin, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995)
Madjid, Nurcholis, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008)
Rahman, Budi Munawar, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, (Bandung: Mizan, 2006)



[1] Ahmad Gaus AF, Api Islam Nurcholis Madjid; Jalan Hidup Seorang Visioner, (Jakarta: Kompas, 2010). Hlm. 1-2
[2] Ibid. Hlm. 2
[3] Ibid. Hlm. 11
[4] Ibid. Hlm. 15
[5] Komaruddin Hidayat, “Kata Pengantar”, dalam Nurcholish Madjid, Islam Agama Kemanusiaan; Membangun Makna dan Relevansi Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), hlm. vii.
[6] Greg Barton, Gagasan Islam Liberal di Indonesia, Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahid, dan Abdurrahman Wahid, terj., Nanang Tahqiq (Jakarta : Paramadina, 1999), hlm. 78.
[7] Ibid.
[8] Rahman, Budi Munawar, Ensiklopedi Nurcholis Madjid, (Bandung: Mizan, 2006) hlm. lxi
[9] Madjid, Nurcholis, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, makalah didownload dari formuda.files.wordpress.com
[10] Madjid, Nurcholis, Islam; Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 2008).hlm. 180
[11]   Madjid, Nurcholis, Keharusan Pembaruan Pemikiran Islam dan Masalah Integrasi Umat, makalah didownload dari formuda.files.wordpress.com
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan