I.
Pendahuluan
Qiyas
Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat
bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan
hukum dalam ajaran Islam, dan insyaAllah akan diterangkan di bawah ini.
II.
Rumusan Masalah
A.
DEFINISI QIYAS.
B.
KEHUJJAHAN QIYAS.
C.
SEBAGIAN KESAMARAN PARA PENOLAK
QIYAS.
D.
RUKUN-RUKUN QIYAS.
III.
Pembahasan
A.
DEFINISI QIYAS.
Qiyas
menurut bahasa adalah: mengukurkan, menyamakan, atau memperbandingkan.[1]
Qiyas
menurut istilah adalah: menyamakan hukum sesuatu yang tidak ada dalil nashnya/furu’,
kepada hukum sesuatu yang ditemukan dalil nashnya/ashal, karena ada kesamaan
‘illat (penyebab)[2].
Pembagian
qiyas ada tiga yaitu: qiyas ‘illat, qiyas dalalah, dan qiyas syabah.
a.
Qiyas 'illat
Qiyas 'illat, ialah qiyas yang
mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat.
Qiyas 'illat terbagi:
1. Qiyas jali
Ialah qiyas yang 'illatnya
berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat
yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:
o
Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat
larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam nash.
o
Qiyas aulawiy. Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih
utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum
mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman
Allah SWT:
xsù @à)s? !$yJçl°; 7e$é&
Artinya : “Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan
kepada keduanya Perkataan "ah"
'Illatnya
ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari
kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya
dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena
itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum
yang ditetapkan pada ashal.
o Qiyas musawi
Ialah hukum yang
ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal,
seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim.
'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak
yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT :
¨bÎ) tûïÏ%©!$# tbqè=à2ù't tAºuqøBr& 4yJ»tGuø9$# $¸Jù=àß $yJ¯RÎ) tbqè=à2ù't Îû öNÎgÏRqäÜç/ #Y$tR ( cöqn=óÁuyur #ZÏèy ÇÊÉÈ
Artinya : "Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah
menelan api neraka ke dalam perutnya."(an-Nisâ':10)
Karena itu ditetapkan pulalah haram
hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum
yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada
fara'.
2. Qiyas khafi
Ialah qiyas
yang 'ilIatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan
'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas.
"illatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya,
sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'Illat ini mungkin
dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut
burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari
tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut
binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun
kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah
keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.
b.
Qiyas dalalah
Qiyas
dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk
yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu
peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan
zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada
harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya,
yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab
Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada
ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada
orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak
diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil
tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.
c.
Qiyas syibih
Qiyas syibih
ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi
diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum
merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena
kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena
sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta
benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang
merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang
lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.
B.
KEHUJJAHAN QIYAS.
Sebagian
besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa
qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum
dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan
qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum,
ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka
itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak
diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.
Hanya
sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar
hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah.
Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah
al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:
a.
Al-Qur'an
Allah SWT
berfirman:
Artinya:
"Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil
amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan
hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (an-Nisâ': 59)
Dari ayat di
atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin
agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak
ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika
tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya
kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau
memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits.
b.
Al-Hadits
Setelah
Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau
bertanya kepadanya, artinya:
"Bagaimana
(cara) kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak
memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah
Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz
menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha
sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata:
Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat
Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan
Rasul-Nya." (HR. Ahmad
Abu Daud dan at-Tirmidzi)
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.
c.
Perbuatan sahabat
Para sahabat
Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang
tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para
sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding
sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau
sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu
Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu
Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.
Khalifah
Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang
memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil
keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah: "kemudian
pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang
tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam
keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya,
kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan
yang paling sesuai dengan kebenaran…"
C.
SEBAGIAN
KESAMARAN PARA PENOLAK QIYAS.
Telah
diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah.
Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah:
a.
Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan
keras), dan 'illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah
SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah
SWT, artinya: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan
tentang itu…" (al-Isrâ': 36)
b.
Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang
menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan
Umar bin Khattab:
"Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."
"Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."
Golongan
ra'yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang
menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga
kedudukan al-Qur'an bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah
dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan
ra'yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara
Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari
subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada
Mu'adz membolehkan untuk melakukan qiyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan
dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.
Perselisihan
Ulama’ Tentang Sebab
Dan
ada
ulama’-ulama’ yang berselisih dari hal sebab-sebab, adkah berlaku padanya qiyas
atau tidak. Menurut pendapat sahabat-sahabat Abu Hanifah dan satu jama’ah dari
ulama’ syafi’iyyah dan golongan terbesar pula dari ahli usul, bahwa tiadalah
berlaku qiyas pada sebab. Dan menurut satu jama’ah pula dari pengikut syafi’iyy
berlaku pula qiyas pada sebab. Arti qiyas pada sebab ialah bahwa menjadikan
syari’ akan satu sifat menjadi sebab bagi hukum. Qiyaskanlah padanya sifat yang
lain, maka hukum yang demikianh dengan keadaannya menjadi sebab pula, Misalnya,
menjadikan zina sebab bagi jatuhnya hukuman dera atau rajam. Maka qiyaskanlah
kepadanya liwath; bahwa liwath itu menjadi sebab jatuhnya hukuman(hadd)[3].
D.
RUKUN-RUKUN
QIYAS
Ada empat rukun giyas, yaitu:
a. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga
maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan),
atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan)
b. Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu
peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat
dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah
(yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan)
c. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar
nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada
persamaan 'illatnya; dan.
d. 'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu
yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan
sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.
Syarat-Syarat
Ashal
Syarat-syarat
yang ada pada asal dan pada hukum yang akan ditetapkan adalah 12 macam.
Pertama, hendaklah
hukum yang akan ditetapkan pada furu’, terlebih dahulu telah tetap pada asal.
Kedua, hendaklah
ketetapan hukum itu hukum syara’, bukan hukum akal, supaya dia menjadi hujjah
pada syara’. Dan bukan pula hukum lughat (bahasa).
Ketiga, mengetahuinya
itu secara sam’iyah, yang itu yang didengar langsung daripada keterangan
syara’, bukan tilikan semata, dll[4].
Syarat Mengenai
Furu’
Syarat yang
ditentukan pada furu’ dengan ringkas adalah lima:
Pertama, hendaklah
sempurna persamaan furu’ itu dengan asal padai’llat, ataupun berlebih, seperti
yang ter dapat pada qiyas aulawiy. Maka tidaklah sah suatu qiyas yang ada
perbedaan ( fariq )
Kedua, hendaklaah
disamakan pula hukum furu’ dengan hukum asal. Jika illat itu wajib sama wajibnya,
jika haram sama haromnya dan lain – lain.
Ketiga, tiada
terdapt dalil yang dapat menimbulkan yaqin atas menyalahinya. Karena petunjuk
dari qiyas hanyalah dzonn, dan yang dzon tertolak sendirinya jika datang yang
yaqin[5].
Pembagian 'Illat
Ditinjau dari
segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak
dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:
a.
Munasib mu'tsir
Yaitu
persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan
lain bahwa pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat
itu, seperti firman Allah SWT, artinya:
"Mereka
bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh
sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah:222)
Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.
b. Munasib
mulaim
Yaitu
persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah
persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang
sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash
pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya,
ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya
tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan
harta anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai
'illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada
di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan
kecil dapat pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain,
seperti penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di
bawah perwaliannya.
c. Munasib
mursal
Ialah
munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib
mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas
dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa
syara' membolehkan atau tidak membolehkannya.
d. Munasib
mulghaa
Yaitu
munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang
menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan.
Dalam pada itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat
tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut[6].
Jalan ‘Illat
Setelah
nyata bahwa tidaklah memadai qiyas karena semata-mata ada ‘illat yang
menghimpunkan diantara furu’ dengan asal melainkan mesti ada pula dalil yang
menunjukan atasnya, dan dalil-dalil itu ada kalanya nash atau ijma’ atau
istnbath. Ketahuilah kiranya bahwa telah berselisih pula ulama’-ulama’ tentang
berapa banyaknya jalan yang menunjukan ‘illat, ar-Rozy mengatakan di dalam
kitab al Mahshul, bahawa jalan itu ada sepuluh perkara, sedangkan menurut
pengarang Ushul al Ma’mul semuanya ada sebelas perkara.
Pertama,
al Ijma’. Dan Ijma’ ini adalah dua macam salah satu diantaranya menunjukan illat yang tertentu. Kedua
menunjukan atas asal ilat, meskipun berkhilaf para ulama’ tentang apa
sebenarnya illat.
Kedua, Nash atas
‘illat, yaitu apa yang ditunjukan oleh nash hendaknya nyata atas ‘illat.
Ketiga, Isyarat
dan peringatan yaitu isyarat dan peringatan kepada ‘illat, dan lain-lain[7].
IV.
Kesimpulan
Qiyas
itu ada tiga: qiyas ‘illat, dalalah, syabah. Qiyas pula juga dibagi menjadi
dua: qiyas jaliy, dan khafiy. Sebagian besar ulama’ sepakat bahwa qiyas bisa
dijadikan sebuah hujjah, waulaupun pasti ada pula yang tidak sependapat. Rukun
ada empat: ashal, furu’, hukum ashal, dan ‘illat, dan masih banyak lagi
pembahasan mengenai qiyas.
V.
Penutup
Demikian
makalah yang dapat kami buwat, kami sadar bahwa kami juga masih belajar, dari
pada itu marilah kita saling mensuport satu sama lain. Dan kami mohon ma’af
yang sebesar-besarnya atas segala kekurangan kami, dan semoga kita mendapatkan
manfa’at dan berkah dari Allah. Amiin..
DAFTAR
PUSTAKA
Karim,
Abdul. 1966. Pengantar Ushul Fiqih. Jakarta: Jajamurni
Wahab,
Abdul. 1994. , ilmu ushul fiqih. Semarang: Dimas
Abdullah, Abi. Syarah
latha’iful ‘isyarah.
[1]
Abdul Karim, Pengantar Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984,
hlm.97.
[2]
Abi Abdullah, Syarah Latha’iful ‘Isyarah
[3]
Abdul Karim, pengantar ushul fiqih, Jakarta:
Jajamurni, 1966, hlm. 98.
[4]
Ibid. Hlm. 87-89
[5]
Ibid. Hlm.89
[6]
Abdul Wahab, ilmu ushul fiqih, Semarang: Dimas, 1994, hlm. 95-101
[7]
Abdul Karim, pengantar ushul fiqih, Jakarta:
Jajamurni, 1966, hlm. 94-98
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon