Oleh: Zaimuddin Ahya'
I. PENDAHULUAN
I. PENDAHULUAN
Fazlur Rahman adalah tokoh pemikir Islam, yang
setidaknya mempunyai sumbangan besar terhadap waca pemikiran Islam. Dia, dalam
menafsirkan al-qur’an terkenal dengan menggunakan teori doble movement.
Ternyata, bukan hanya al-Qur’an yang menjadi
perhatiaannya. Sunnah atau hadits Nabi juga tak luput dari perhatiannya.
Sebagaimana kita ketahuai bahwa Imam al-Syafi’I adalah seorang pendekar hadits
dan mempunyai andil besar daalm perjalanan pemikiran Islam, banyak yang memuji
dan mengagguminya. Berbeda dengan Fazlur Rahman, dia mengkritik al-Syafi’i.
Maka, dalam makalah ini dibahas sedikit pemikiran
Rahman terkait Sunnah atau Hadits Nabi.
II.
RUMUSAN MASALAH
A. Beografi
Fazlur Rahman
B. Pandangan
fazlur Rahman Terhadap Sunnah dan Hadits
C. Kritik
Fazlur Rahman
III.
PEMBAHASAN
A. Beografi
Fazlur Rahman
Rahman lahir pada tanggal 21 September 1919 di daerah
Hazara, (anak benua India) yang sekarang terletak disebelah barat laut
Pakistan. Pada usia sepuluh tahun Rahman
telah hafal al-Qur’an. Rahman dididik dalam keluarga yang bermazdhab Hanafi;
sebuah mazdhab Sunni yang lebih banyak menggunakan rasio (ra’yu) dibandingkan
dengan mazdhab sunni lainnya.
Kemudian, pada tahun 1933, rahman melanjutkan studinya
ke Lahore dan memasuki sekolah modern. Pada tahun 1940, dia menyelesaikan
B.A.-nya dalam bidang bahsa Arab pada Universitas Punjab. Kemudian, dua tahun
berikutnya (1942), ia berhasil menyelesaikan Masternya dalam bidang yang sama
pada universitas yang sama pula.
Empat tahun kemudian, tahun 1946, Rahman berangkat ke
Inggris untuk melanjutkan studinya di Universitas Oxford. Rahamn menyelesaikan
progam Ph.D.-nya pada tahun 1949, dengan disertasi tentang Ibnu Sina. Rahman
kemudian mengajar selama beberapa tahun di Durham University, Inggris, dan
selanjutnya di Institute of Islamic Studies, McGill University, Canada.
Pada awal tahun 1960-an, rahman pulang ke negerinya,
Pakistan. Kemudian dia ditunjuk sebagai Direktur Lembaga Riset Islam. Dan
kemudian juga ditunjuk sebagai anggota dewan Penasehat Ideologi Islam
Pemerintah Pakistan. Akan tetapi, pada tahun 1969, ia melepas posisinya.
Kemudian dia hijrah ke Barat. Dan, di Universitas Chicago, ia menjadi salah
satu guru besar yang dihormati. Disamping memberikan kuliah, Rahman aktif
memimpin berbagai proyek penelitian universitas tersebut.[1]
B. Pandangan
fazlur Rahman Terhadap Sunnah dan Hadits
Fazlur Rahman menyatakan bahwa ”sunnah adalah sebuah
konsep perilaku baik yang diterapkan kepada aksi-aksi fisik maupun kepada
aksi-aksi mental. Dengan perkataan lain Sunnah adalah sebuah hukum tingkah
laku, baik terjadi sekali saja maupun yang terjadi berulang kali. Menurut
Fazlur Rahman sebuah Sunnah tidak hanya merupakan sebuah hukum tingkah laku
tetapi juga merupakan sebuah hukum moral yang bersifat normatif: ”Keharusan”
moral adalah sebuah unsur yang tak dapat dipisahkan dari pengertian konsep
Sunnah[2]. Sunnah adalah sebuah
konsep perilaku, maka sesuatu yang secara aktual dipraktekkan masyarakat untuk
waktu yang cukup lama tidak hanya dipandang sebagai praktek aktual tetapi juga
sebagai ”praktek yang normatif” dari masyarakat tersebut.[3] Fazlur Rahman menyatakan bahwa
konsep ”tingkah laku normatif” atau teladan tersebut lahirlah konsep tingkah
laku standar atau benar sebagai sebuah pelengkap yang perlu. Maka menurutnya
unsur yang ada dalam pengertian yang melengkapi ”sunnah” tersebut termasuk unsur ”kelurusan” dan
”kebenaran”
Pada
dasarnya sunnah berarti “tingkah laku yang merupakan teladan” dan bahwa
kepatuhan yang actual pada “teladan” tersebut bukanlah sebagian dari pada arti
sunnah (walaupun untuk menyempurnakannya sunnah tersebut perlu dipatuhi).
Didalam karyanya yang berjudul jamharah Ibnu Durayd memberikan arti yang
orisinal kepada perkataan sunnah sebagai “membuat sesuatu menjadi sebuah
teladan”. Kemudian perkataan ini dikenakan kepada tingkah laku yang dianggap
sebagai teladan.[4]
Secara
garis besarnya Sunnah Nabi lebih tepat jika dikatakan sebagai sebuah konsep pengayoman
dari pada ia mempunyai sebuah kandungan khusus yang bersifat mutlak. Hal ini
secara teoritis dapat disimpulkan lansung dari kenyataaan bahwa sunnah adalah
sebuah terma perilaku (behaviorial): karena di dalam prateknya tidak ada dua
buah kasus yang benar-benar sama latar belakang situasionalnya—secara moral,
psikologis dan material—maka sunnah tersebut harus dapat di interpretasikan dan
diadabtasikan. Tetapi disamping analisis teoritis ini banyak bukti-bukti
sejarah yang menunjukkan bahwa memang demikianlah yang seharusnya. Surat Hasan
al-Basri kepada Abdul malik bin Marwan merupakan salah satu bukti yang sangat
jelas. Hasan dengan sngat jelas menyatakan bahawa Sunnah Nabi lebih merupakan
petunjuk arah dari pada serangkaian peraturan-peraturan yang telah ditetapkan,
bahwa pengertian “Sunnah ideal” yang seperti inilah yang dijadikan landasan
pemikiran kaum muslimin dimasa itu, dan bahwa ijtihad dan ijma’ adalah pelengkap-pelengkapnya
yang perlu sehingga Sunnah itu semakin dapat disempurnakan.[5]
Dari
keterangan di atas, Rahman mencoba menggarisbawahi bahwa Sunnah Nabi adalah
sebuah ideal yang hendak dicontoh persis oleh generasi-generasi muislim pada
masa lampau, dengan menafsirkan teladan-teladan Nabi berdasarkan
kebutuhan-kebutuhan mereka yang baru dan materi-materi baru yang mereka
peroleh, dan bahwa penafsiran yang kontinu dan progesif ini, walaupun berbeda
bagi daerah-daerah yang berbeda, disebut juga sebagai “Sunnah”.
Di
dalam karyannya yang berjudul al-radd ‘ala Siyar al awza’i abu yusuf menyatakan
pendapat Abu Hanifah bahwa jika seseorang menjadi muslim di negeri non-muslim
meninggalkan kampung halamannya untuk bergabung dengan muslim-muslim lainnya
sedang negeri itu kemudian jatuh ketangan kaum muslimin, maka harta kekayaannya
yang berada di negeri tersebut tidak dikembaklikan kepadanya dengan begitu saja
tetapi dimasukkan kedalam mal al-ghanimah. Seorang tokoh Syiria yang bernama
Awza’I menentang pendapat Abu Hanifah diatas dengan mengemukakan bahwa ketika
kota makkah jatuh ketangan kaum muslimin nabi telah mengembalikan harta
kekayaan orang-orang yang telah meninggalkan kota itu untuk bergabung dengan
kaum muslimin di madinah. Menurut Abu Yusuf, al-Awza’I berkata:
“Manusia
yang pantas untuk di ikuti dan Sunnnahnya paling patut untuk di ikuti adalah
nabi”
Di
dalam membela Abu Hanifah, Abu yusuf mengatakan bahwa praktrk kaum muslimin
adalah sesuai dengan pendapat Abu Hanifah sedang perlakuan nabi Muhammad terhadap
oramg-orang Makkah di atas merupakan sebuah kekecualian:
“demikianlah
Sunnah dan praktek Islam (walaupun) Nabi sendiri tidak melakukannya(ketika di
Makkah).”
Hal
yang pertama kali harus kita perhatikan di dalam keterangan di atas adalah
pernyataan al-awza’i. pernyataannya mengandung pengertian-pengertian bahwa
sunnah dapat bersumber dari orang yang kompeten, dan bahwa sunnah Nabi jauh
lebih tinggi dan memiliki prioritas di atas preseden-preseden tersebut. Hal
kedua yang perlu diperhatikan, adalah penggunaan istilah sunnah oleh Abu Yusuf
di dalam keterangan di atas. Abu Yusuf membedakan Sunnah sebagai praktek yang
diterima kaum muslimin dengan sunnah sebagai tindakan Nabi Muhammad, mislanya
yang dilakukannya setelah merebut kota Mekkah. Abu Yusuf memandang tindakan
Nabi Muhammmad tersebut sebagai kekecualian dan oleh karena itu tidak
dianggapnya sebagai sunnah. Sebaliknya menurut al-Awza’I tindakan Nabi tersebut
merupakan sebuah Sunnah. Disini kita menyaksikan betapa kontrasnya perbedaan di
antara kebebasan didalam menafsirkan Sunnah nabi—untuk merumuskan Sunnah yang
konkrit menurut pengertian, yaitu secara actual dipraktetkkan oleh kaaum
muslimin—dengan doktrin Sunnah yang kaku serta tidak luwes, doktrin yang
ditanamkan oleh ahli hukum di belakang hari. Di satu pihak aktiitas Nabi
ditafsirkan secara bebas menurut keadaan-keadaaan yang berubah, sedang dipihak
lain dikemukakan peraturan-peraturan yang tidak dapat diubah; dilain pihak
secara terus menerus dilakukan usaha pencarian apa sebenarnya yang diperjuangkan
Nabi, sedang dipihak lain yang diajukan adalah sebuah system yang kaku, tegas
dan tetap, sebuah system yang ditempa sebagai sebuah kerangka yang kokoh.[6]
C.
Kritik Fazlur Rahman
Menurut
Fazlur Rahman, Al-Syafi’I telah merubah konsep Sunnah-Ijtihad-Ijma’ manjadi
Sunnah-Ijma’-Ijtihad. Peranan Sunnah-Ijtihad-Ijma’ diberikannya kepada Sunnah
Nabi sedangkan menurut dia Sunnah Nabi bukanlah suatau petunjuk yang bersifat
umum tetapi bersifat tegas dan harus ditafsirkan secara literal dan penyiaran
Sunnah Nabi ini hanya dapat dilakukan dengan menyiarkan Hadits.
Jadi,
dengan membalikkan urutan ijtihad-ijma’ yang wajar menjadi ijma’-ijtihad,
hubungan organis di antara ijma’ dengan ijtihad menjadi rusak. Ijma’ tidak lagi
merupakan sebuah proses yang menghadap ke masa depan—sebagai produk dari
ijtihad secara bebas. Ijma’ menjadi statis dan menghadap ke mas lampau. Dengan
demikian segala sesuatu yang harus dilaksanakan pada saat ini seolah-olah telah
terlaksana di msa lampau. Kegeniusan al-Syafi’I memang berhasil menciptakan
suatu mekanisme yang menjamin kestabilan kepada struktur sosial-religius kaum
muslimin pada zaman pertengahan, tetapi dalam jangka panjang akan
menghilangakan kreatifitas dan original mereka. Memang tak dapat disangkal
bahwa pada masa-mas sesudah al-syafi’i islam masih dapat menyerap aliran-aliran
baru dari kehidupan spiritual dan intelektual—karena sustu masyarakat yang
hidup tidak dapat benar-benar berdiam diri—tetapi Islam yang seperti ini tidak
merupakan sebuah kekuatan yang aktif, dan menguasai dirinya sendiri; ia adalah
sebuah entitas pasif yang diombang-ambingkan oleh aliran-aliran kehidupan ini.[7]
IV.
KESIMPULAN
Menurut Fazlur Rahman kemandekan interpretasi umat
Islam berawal dari adanya pengkodifisian Sunnah menjadi Hadits, walaupun itu
mengurangi kepalsuan Hadits, tapi itu menjadikan umat Islam kehilangan
kreatifnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sutrisno.,
Fazlur Rahman,
Fazlur Rahman, Membuka Pintu
Ijtihad Diterjemahkan Dari Islamic
Methodology in History oleh Anas Mahyuddin, Pustaka, Bandung, Cet. II,
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon