Tafsir al-Qurthubi

I.                   PENDAHULUAN
Tafsir biasa diartikan dengan al-idah wa al-tabyin, menjelaskan dan menerangkan, atau lebih lengkapnya adalah suatu ilmu yang dengannya kitab ihukum serta hikmah-hikmahnya. Dapat juga diartikan dengan ilmu yang membahas al-Qur’an al-Karim dari segi dalalahnya sejalan dengan apa yang dikehendaki Allah, dalam batas kemampuan manusia. Dengan demikian, tafsir secara sederhana dapat dipahami sebagai usaha manusia dalam memahami al-Qur’an.
Terkait dengan hasil karya para ulama yang berupa tafsir-tafsir tersebut, kalangan peminat studi al-Qur’an (tafsir) mengenal adanya istilah-istilah Tartib (sistematika), Manhaj (metode), Laun (corak) dan Tariqah (aliran). Istilah-istilah tersebut digunakan untuk membantu memahami para pengkaji dan peminat studi ini ketika akan menetapkan kategori tertentu terhadap suatu hasil karya tafsir.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Biografi al-Qurthubi
B.     Kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
1.      Seputar Nama Kitab
2.      Manhaj (Metode)
3.      Laun (Corak)
4.      Contoh Penafsirannya

III.             PEMBAHASAN
A.    Biografi al-Qurthubi
Penulis tafsir al-Qurthubi bernama Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farakh al-Anshari al-Khadraji al-Andalusi al-Qurthubi. Para penulis biografi tidak ada yang menginformasikan mengenai tahun kelahirannya, mereka hanya menyebutkan tahun kematiannya yaitu 671 H di kota Maniyyah Ibn Hasib Andalusia.[1]

Ia adalah seorang sarjana yang bermadzhab Maliki. Ia memiliki banyak karya dan yang paling terkenal ialah Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an. Al-Qurthubi dalam tafsirnya tidak hanya membatasi pembahasannya mengenai hukum (ahkam), tetapi juga menyelaraskan penafsirannya antara satu ayat dengan ayat yang lain. Ia menyebutkan asbab al-nuzul (peristiwa yang berhubungan dengan turunnya wahyu), mengungkapkan qiro’at (bacaan) dan I’rab (perubahan kata) dan menjelaskan al-gharib (keganjilan-keganjilan) kalimat atau kata-kata dalam al-Qur’an. Ia juga menambahkan pandangan-pandangan lain di samping pendapatnya sendiri, namun mengabaikan sejumlah riwayat dari para mufassir dan informasi dari sejarawan. Ia cenderung mengambil riwayat dari para ulama klasik terpercaya, khususnya ulama-ulama yang menyusun kitab-kitab tentang hukum (ahkam) seperti periwayatan yang berasal dari Ibnu al-Thabari, Ibnu ‘Athiyah, Ibnu al-Arabi dan Abu Bakar al-Jashash.[2]

Aktivitasnya dalam mencari ilmu ia jalani dengan serius di bawah bimbingan ulama yang ternama pada saat itu, diantaranya adalah al-Syaikh Abu al-Abbas Ibn Umar al-Qurthubi dan Abu Ali al-Hasan Ibn Muhammad al-Bakri. Beberapa karya penting yang dihasilkan oleh al-Qurthubi adalah al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, al-Asna fi Syarh Asma Allah al-Husna, Kitab al-Tazkirah bi Umar al-Akhirah, Syarh al-Taqassi, Kitab al-Tizkar fi Afdal al-Azkar, Qamh al-Hars bi al-Zuhd wa al-Qana’ah dan Arjuzah Jumi’a Fiha Asma al-Nabi.[3]

B.     Kitab al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an
1.      Seputar Nama Kitab
Kitab tafsir ini sering disebut dengan tafsir al-Qurthubi, hal ini dapat dipahami karena tafsir ini adalah karya seorang yang mempunyai nisbah nama al-Qurthubi atau bisa juga karena dalam halaman sampul kitabnya sendiri tertulis judul, tafsir al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an. Jadi, tidak sepenuhnya salah apabila seseorang menyebut tafsir ini dengan sebutan tafsir al-Qurthubi bila yang dimaksud adalah tafsir karya al-Qurthubi tersebut. Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan yang berarti ini berisi kumpulan hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah. Didahului dengan kalimat Sammaitu bi...(aku namakan). Dengan demikian dapat dipahami bahwa judul tafsir ini adalah asli pengarangnya sendiri.[4]

2.      Manhaj (Metode)
Metode yang dipergunakan oleh para mufasir, menurut al-Farmawi, dapat diklasifikasikan menjadi empat: pertama, Metode Tahlili, di mana dengan menggunakan metode ini mufasir berusaha menjelaskan seluruh aspek yang dikandung oleh ayat-ayat al-Qur’an dan mengungkapkan segenap pengertian yang dituju. Keuntungan metode ini adalah peminat tafsir dapat menemukan pengertian secara luas dari ayat-ayat al-Qur’an. Kedua, Metode Ijmali, yaitu ayat-ayat al-Qur’an dijelaskan dengan pengertian-pengertian garis besarnya saja, contoh yang sangat terkenal adalah Tafsir Jalalain. Ketiga, Metode Muqaran, yaitu menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan apa yang pernah ditulis oleh Mufasir sebelumnya dengan cara membandingkannya. Keempat, Metode Maudu’i, yaitu di mana seorang mufasir mengumpulkan ayat-ayat di bawah suatu topik tertentu kemudian ditafsirkan.[5]

Berbeda dengan tafsir al-Qur’an karya para ulama sedunia. Tafsir al-jami’ li Ahkam al-Quran lebih menekankan pada pemahaman hukum Islam dari segi fungsinya sebagai petunjuk bagi umat Islam untuk mencapai kebahagian hidup di dunia dan akhirat, karena inilah tujuan utama menafsirkan al-Qur’an. Metode yang digunakan al-Qurthubi dalam menyusun tafsirnya dapat di golongkan sebagai tafsir Tahlili atau Analitik. Karena dalam penyusunannya dengan menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan runtutan dalam mushaf al-Qur’an. Sedangkan dalam rangka menerangkan maknanya yang terkandung dalam ayat dilakukan melalui beberapa ciri yaitu ciri kebahasan, munasabah ayat, hubungan ayat dengan hadis, hubungannya dengan sosial histori kultural.

3.      Laun (Corak)
Al-Farmawi membagi corak tafsir menjadi tujuh corak tafsir, yaitu corak tafsir al-Ma’sur, al-Ra’yu, Sufi, Fiqhi, Falsafi, Ilmi dan Adabi Ijtima’i. Para pengkaji tafsir memasukkan tafsir karya al-Qurthubi ke dalam tafsir yang mempunyai corak (laun) Fiqhi, sehingga sering disebut tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.[6]

4.      Contoh Penafsirannya
Al-Qurthubi memberikan penjelasan panjang lebar mengenai persoalan-persoalan Fiqh dapat diketemukan ketika ia membahas ayat Q.S. al-Baqarah (2): 43 :
(#qßJŠÏ%r&ur no4qn=¢Á9$# (#qè?#uäur no4qx.¨9$# (#qãèx.ö$#ur yìtB tûüÏèÏ.º§9$# ÇÍÌÈ  
“Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'...”(QS. al-Baqarah (2): 43)

Ia membagi pembahasan ayat ini menjadi 34 masalah. Di antara pembahasan yang menarik adalah pada masalah ke-16. Ia mendiskusikan berbagai pendapat tentang status anak kecil yang menjadi imam shalat. Di antara tokoh yang mengatakan tidak boleh adalah al-Sauri, Malik dan Ashab al-Ra’y. Dalam masalah ini, al-Qurthubi berbeda pendapat dengan mazhab yang dianutnya, dengan menyatakan :
إمامة الصغير جائزة إذا كان قارئا
(Anak kecil boleh menjadi imam jika memiliki bacaan yang baik)

Begitupun ketika ia menafsirkan Q.S. al-Baqarah (2): 185 :
ãöky­ tb$ŸÒtBu üÏ%©!$# tAÌRé& ÏmŠÏù ãb#uäöà)ø9$# Wèd Ĩ$¨Y=Ïj9 ;M»oYÉit/ur z`ÏiB 3yßgø9$#
Èb$s%öàÿø9$#ur .....4 ÇÊÑÎÈ  
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil).....”(QS. al-Baqarah (2): 185)

Pembahasan ayat ini dibaginya menjadi 21 masalah. Ketika memasuki pembahasan ke-17, ia mendiskusikan persoalan shalat ‘Idul Fitri yang dilaksanakan pada hari kedua. Ia berpendapat tetap boleh dilaksanakan, berbeda dengan pendapat Malik sebagai imam mazhabnya yang tak membolehkan.[7]

IV.             KESIMPULAN
Penulis tafsir al-Qurthubi bernama Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farakh al-Anshari al-Khadraji al-Andalusi al-Qurthubi. Ia adalah seorang sarjana yang bermadzhab Maliki. Ia memiliki banyak karya dan yang paling terkenal ialah Tafsir al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an.
Judul lengkap tafsir ini adalah al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an wa al-Mubayyin lima Tadammanah min al-Sunnah wa Ay al-Furqan yang berarti ini berisi kumpulan hukum dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Metode yang digunakan al-Qurthubi dalam menyusun tafsirnya dapat di golongkan sebagai tafsir Tahlili atau Analitik. Karena dalam penyusunannya dengan menafsirkan ayat-ayat sesuai dengan runtutan dalam mushaf al-Qur’an.
Tafsir karya al-Qurthubi ke dalam tafsir yang mempunyai corak (laun) Fiqhi, sehingga sering disebut tafsir ahkam. Karena dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an lebih banyak dikaitkan dengan persoalan-persoalan hukum.

V.                PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami sajikan, tentunya masih banyak kesalahan dan kekurangan dalam penyusunannya. Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dalam penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Amin...

  



DAFTAR PUSTAKA


Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta: Teras, 2004, Cet. I
Ushama, Thameem, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, Jakarta: Riora Cipta, 2000, Cet. I



                [1] Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta: Teras, 2004) Cet. I, Hlm. 65
                [2] Thameem Ushama, Metodologi Tafsir Al-Qur’an, (Jakarta: Riora Cipta, 2000) Cet. I, Hlm. 74
                [3] Op. Cit. Hamim Ilyas, Hlm. 66
                [4] Ibid. Hlm. 67
                [5] Ibib. Hlm. 69
                [6] Ibid. Hlm. 71
                [7] Ibid. Hlm. 72
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
Silakan berkomentar dengan sopan