I.
PENDAHULUAN
Pernikahan merupakan hak bagi setiap
orang, baik muslim maupun non-muslim. Dan dalam pelaksanaanya, setiap agama itu
pun memiliki perbedaan yang cukup signifikan dalam ritual pernikahannya. Semua
tergantung kepercayaan yang mereka anut. Jadi tidak dapat disalahkan apabila
antara agama yang satu dengan yang lain berbeda dalam tata cara pelaksaannya,
karena kita berada di dalam negeri yang plural, di mana perbedaan merupakan
keniscayaan.
Dewasa ini banyak kita temukan
seseorang yang menikah meskipun memiliki perbedaan kepercayaan atau agama.
Sebenarnya, hal itu muncul karena pengaruh Islam liberal. Meskipun
benih-benihnya sudah tumbuh pada era 1970-an, namun generasinya sekarang
semakin mekar. Dalam memahami nash (teks-teks al-Qur’an), kelompok liberalis
ini mengusung kebebasan dalam berfikir dan cenderung kepada pemahaman
pluralisme agama. Teks-teks agama mereka formalisasikan sesuai dengan selera
mereka, bukan pada pemahaman-pemahaman seperti yang dikembangkan para ulama
saat ini.
Berdasarkan fenomena tersebut,
pemakalah akan membahas secara lebih komprehensif tentang boleh-tidaknya
seorang yang berbeda agama untuk menikah. Dalam hal ini, pemakalah mengambil
pendapat dar para ilmuan serta beberapa literatur yang terdapat dalam kitab
tafsir klasik maupun modern dan kontemporer, agar pembahasan di dalamnya lebih
luas.
II.
PENGERTIAN MENIKAH
Secara bahasa (etimologi), nikah
berarti berhimpun. Sedangkan di dalam buku Wawasan al-Qur’an karya M. Quraish
Syihab dijelaskan bahwa menikah adalah perjanjian antara laki-laki dan
perempuan untuk bersuami istri (secara resmi), atau bisa diartikan pula dengan
perkawinan.
Di dalam al-Qur’an, istilah menikah
dijelaskan dengan menggunakan redaksi nakaha dan zawwaja, yang
berarti pasangan. Selain diartikan sebagaimana yang telah disebutkan, secara
majazi juga diartikan dengan “hubungan seks”. Sebab, secara umum kata tersebut
digunakan untuk menggambarkan terjalinnya hubungan suami istri secara sah.
Kata-kata tersebut juga memiliki implikasi hukum dalam kaitannya dengan ijab
kabul (serah terima) pernikahan.
Pernikahan, atau tepatnya berpasangan
merupakan ketetapan Ilahi atas segala makhluk. Berulang-ulang kali hakikat
tersebut dijelaskan oleh al-Qur’an, salah satu di antaranya adalah sebagai
berikut:
وَمِنْ
كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan segala sesuatu Kami
ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah.” (QS.
Al-Dzariyat : 49)[1]
III. AYAT
TENTANG MENIKAH BEDA AGAMA
Ayat-ayat yang menjelaskan tentang
boleh dan tidaknya menikah beda agama adalah sebagai berikut, yaitu Surat
al-Baqarah ayat 221:
وَلا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ وَلأمَةٌ مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ
مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ وَلا تُنْكِحُوا الْمُشْرِكِينَ حَتَّى
يُؤْمِنُوا وَلَعَبْدٌ مُؤْمِنٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكٍ وَلَوْ أَعْجَبَكُمْ
أُولَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى النَّارِ وَاللَّهُ يَدْعُو إِلَى الْجَنَّةِ
وَالْمَغْفِرَةِ بِإِذْنِهِ وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَذَكَّرُونَ
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang
mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang
musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.” (QS. Al-Baqarah : 221)
Dan yang kedua adalah surat
al-Mumtahanah ayat 10:
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا جَاءَكُمُ الْمُؤْمِنَاتُ مُهَاجِرَاتٍ
فَامْتَحِنُوهُنَّ اللَّهُ أَعْلَمُ بِإِيمَانِهِنَّ فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ
مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا
هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ وَآتُوهُمْ مَا أَنْفَقُوا وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ أَنْ
تَنْكِحُوهُنَّ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ وَلَا تُمْسِكُوا بِعِصَمِ
الْكَوَافِرِ وَاسْأَلُوا مَا أَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْأَلُوا مَا أَنْفَقُوا
ذَلِكُمْ حُكْمُ اللَّهِ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
Artinya: “Hai orang-orang yang
beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman,
maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar)
beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka)
orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan
orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada
(suami-suami) mereka mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu
mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu
tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di
antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS.
Al-Mumtahanah : 10)
Ayat-ayat di atas termasuk surat
Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa pesan khusus agar orang-orang
Muslim tidak menikahi perempuan musyrik atau sebaliknya. Imam Muhammad al-Razi
dalam al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib menyebut ayat tersebut
sebagai ayat-ayat permulaan yang secara eksplisit menjelaskan hal-hal yang
halal (ma yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (ma yuhramu). Dan,
menikahi orang musyrik merupakan salah satu perintah Tuhan dalam kategori
“haram” dan “dilarang”.
Memang, apabila membaca ayat ini secara
literal akan didapatkan kesimpulan yang bersifat serta-merta, bahwa menikahi
non-muslim hukumnya haram. Cara pandang seperti ini dikarenakan sebagian
masyarakat muslim masih beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik
adalah non-muslim, termasuk di antaranya Kristen dan Yahudi. Namun, pertanyaan
yang perlu dikemukakan adalah apakah non-muslim (Kristen dan Yahudi) masuk
dalam kategori musyrik? Kalau tidak, lalu apa yang dimaksud dengan “musyrik”
dalam al-Qur’an?[2]
Berikut akan dijelaskan secara lebih komprehensif pada pembahasan berikutnya.
IV. PENGERTIAN MUSYRIK DAN KAFIR (NON-MUSLIM)
Sebelum kita membahas penafsiran
ayat-ayat di atas, alangkah lebih baiknya apabila mengartikan terlebih dahulu
makna musyrik dan kafir itu sendiri. Hal ini digunakan untuk membantu memahami
ayat-ayat yang ada di atas.
Untuk memudahkan pembahasan, sebelumnya
kami klasifikasikan kategori non-muslim yang ada di negara kita. Dalam kajian
sosiologi, non-muslim adalah mereka yang berada di luar agama Islam. Termasuk
dalam kategori ini adalah mereka yang memluk agama Hindu, Katolik, Protestan,
Budha, Konghucu, Yahudi, dan agama-agama lainnya. Sedangkan dalam literatur
Islam, mereka yang berada di luar agama Islam (non-muslim) disebut sebagai
orang-orang kafir.
Khusus mereka yang memeluk agama
Nasrani (Kristen, baik Katolik maupun Protestan) dan Agama Yahudi, dalam
literatur Islam disebut sebagai Ahli Kitab. Hal ini perlu diketahui, karena
al-Qur’an sering menyebutkan terminologi Ahli Kitab sebagai penganut agama yang
memiliki kitab samawi. Selain Ahli Kitab, mereka disebut kaum musyrikin, baik
mereka yang beragama Majusi, Shabi’ah, Animisme, dan lain-lain.
Kelompok Ahli Kitab (penganut Yahudi
dan Nasrani) dan kelompok Musyrikin (penganut selain agama Yahudi dan Nasrani)
oleh al-Qur’an disebut orang kafir. Allah berfirman:
لَمْ
يَكُنِ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَالْمُشْرِكِينَ مُنْفَكِّينَ
حَتَّى تَأْتِيَهُمُ الْبَيِّنَةُ
Artinya: “Orang-orang yang kafir
dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik tidak akan meninggalkan (agama
mereka) sampai datang kepada mereka bukti yang nyata.” (QS. Al-Bayyinah :
1)
Oleh karena itu, tentu tidak salah
apabila orang Islam menyebut orang non-muslim itu sebagai orang kafir. Orang
Islam juga tidak perlu merasakan keberatan, apabila ia disebut sebagai kafir
(tidak beriman) terhadap ajaran-ajaran yang bertentangan dengan Islam.[3]
V.
KONOTASI AHLI KITAB
Term Ahli Kitab di dalam al-Qur’an
ditemukan sebanyak 31 kali yang tersebar dalam 9 surat. Secara umum semuanya
menunjuk pada dua komunitas, yaitu kaum Yahudi dan Nasrani. Begitu pula pada
masa awal perkembangan Islam, khususnya masa Rasulullah Saw dan para
sahabatnya, term Ahli Kitab ditujukan pada kaum Yahudi dan Nasrani. Selain
mereka tidak disebut sebagai Ahli Kitab, tetapi mereka tidak termasuk komunitas
Ahli Kitab.
Cakupan batasan Ahli Kitab mengalami
perkembangan pada masa Tabi’in. Abu al-Aliyah (w. 39 H) mengatakan bahwa kaum
Shabi’un adalah kelompok Ahli Kitab yang membaca kitab suci Zabur. Imam Abu
Hanifah (w. 150 H) dan ulama lain dari madzhab lain dari Madzhab Hanafi serta
sebagian Madzhab Hanbali berpendapat, siapapun yang mempercayai salah seorang
Nabi, atau kitab yang pernah diturunkan Allah, maka ia termasuk Ahli Kitab.
Terminologi Ahli Kitab, menurut mereka, tidak terbatas pada kelompok-kelompok
penganut agama Yahudi dan Nasrani saja.
Menurut Imam Syafi’i (w. 204 H),
istilah Ahli Kitab hanya menunjuk pada orang-orang Yahudi dan Nasrani dan
keturunan Bani Isra’il. Alasannya, Nabi Musa dan Nabi Isa hanya diutus kepada
Bani Israil dan bukan kepada bangsa-bangsa lain. Karenanya, dalam pandangan
ini, bangsa-bangsa lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, begitu pula
orang-orang Kristen Indonesia, tidak termasuk Ahli Kitab.
Selain itu al-Qur’an (al-Maidah : 5)
memaknai redaksi min qablikum (sebelum kamu). Dengan demikian, mereka
yang menganut agama Yahudi dan Nasrani selain dari keturunan Bani Israil tidak
dikatakan Ahli Kitab. Sedangkan al-Thabari (w. 310 H) memahami term Ahli Kitab
secara ideologis. Menurutnya, mereka adalah para pemeluk agama Yahudi dan
Nasrani dari keturunan siapapun mereka.
Dengan demikian, cakupan Ahli Kitab
hanya terbatas pada komunitas Yahudi dan Nasrani saja. Sekiranya Majusi
termasuk Ahli Kitab, Rasulullah Saw tidak akan memerintahkan para sahabat untuk
memperlakukan mereka seperti halnya Ahli Kitab. Begitu pula surat-surat dakwah
yang beliau kirimkan kepada sejumlah penguasa diluar Semenanjung Arabia,
memberikan petunjuk bahwa Ahli Kitab hanya sebatas kaum Yahudi dan Nasrani.
Surat-surat tersebut juga
mengindikasikan bahwa Islam adalah agama dakwah. Seandainya status mereka itu
sama dengan umat Islam di mana mereka kelak di akhirat bersama-sama orang
Islam, masuk di surga, niscaya Rasulullah Saw tidak mengirimkan surat-surat
dakwah itu kepada mereka.[4]
VI. TAFSIR
AYAT TENTANG MENIKAH BEDA AGAMA
Ayat-ayat di atas (QS.
Al-Baqarah ayat 221 dan al-Mumtahanah ayat 10) secara tegas menjelaskan tentang
hukum pernikahan muslim dengan non-muslim (musyrik) baik antara laki-laki
muslim dengan perempuan non-muslim maupun antara perempuan muslimah dengan laki-laki
non-muslim.
Kemudian mengenai
pernikahan kaum muslim dengan non-muslim (Ahli Kitab), terdapat dua kategori.
Pertama, pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan Ahli Kitab, dan kedua,
pernikahan laki-laki Ahli Kitab dengan perempuan muslimah. Kedua kategori ini
memiliki konsekuensi hukum yang berbeda. Hal ini sebagaimana yang dijelaskan
dalam beberapa surat, seperti dalam surat al-Baqarah ayat 221 serta surat
al-Mumtahanah ayat 10, serta ayat-ayat pendukung lainnya, berikut secara
detailnya:
1. Pernikahan
Laki-Laki Muslim dengan Perempuan Non-Muslimah
Kategori yang pertama
ini, para ulama sepakat bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan
non-muslimah (Ahli Kitab) diperbolehkan dalam syari’at Islam. Pendapat ini
sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat berikut, bahwa:
وَلا
تَنْكِحُوا الْمُشْرِكَاتِ حَتَّى يُؤْمِنَّ
Artinya: “Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Di
dalam tafsir al-Maraghi dijelaskan bahwa janganlah kalian menikahi
wanita-wanita musyrik yang tidak memiliki kitab, sehingga mereka mau beriman
kepada Allah dan membenarkan Nabi Muhammad Saw.[5]
Lafadz وَلا تَنْكِحُوا maksudnya
adalah “Dan janganlah kamu
menikahi” wanita-wanita, الْمُشْرِكَاتِ (musyrik) selama mereka
masih dalam kesyirikan mereka, حَتَّى يُؤْمِنَّ (hingga mereka beriman);
karena seorang wanita mukmin walaupun sangat jelek parasnya lebih baik daripada
seorang wanita musyrik walaupun sangat cantik parasnya. Dan Allah pun
mengatakan bahwa sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada
wanita musyrik walaupun dia menarik hati kamu. Syirik di sini dalam pandangan
ulama dijelaskan bahwa siapa saja yang percaya ada Tuhan bersama Allah. Atau
dengan kata lain, mereka memiliki tujuan utama ganda: selain kepada Allah juga
kepada selain-Nya.
Dalam al-Qur’an, kata
musyrik pun juga memiliki makna yang senada dengan surat al-Baqarah ayat 105,
berbunyi:
ما
يود الذين كفروا من أهل الكتاب ولا المشركين أن ينزل عليكم من خير من ربكم
Artinya: “Orang-orang
kafir dari ahlul kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya
suatu kebaikan sesuatu kebaikan kepadamu daru Tuhanmu”.[6]
ؤلا
تنكحوا “Dan
janganlah kamu menikahi”. Qiraah mayoritas ulama adalah dengan fathah huruf
ba’. Sedangkan qira’ah yang jarang adalah dengan menggunakan dhammah huruf ba’,
seolah orang yang menikahi wanita musyrik itu menikahkannya kepada dirinya.
Asal makna nakah adalah al- Jimaa’ (senggama). Namun digunakan untuk
menyebut perkawinan, karena majaz perluasan penggunaan bahasa.
Para
ulama berbeda pendapat tentang takwil ayat tersebut. Sekelompok mengatakan
bahwa Allah telah mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrik dalam surat
al-Baqarah, kemudian sebagian dari wanita-wanita musyrik tersebut—yaitu Ahl
al-kitab—dinasakh, dimana Allah telah menghalalkan mereka dalam surat
al-Maidah. Pendapat ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas. Pendapat ini pun
dikemukakan oleh Malik bin Anas, Sufyan bin Sa’id ats-Tsauri, dan Abdurrahman
bin Amru al Auza’i.
Qatadah
dan Sa’id bin Jubair berkata, “lafadz ayat ini bersifat umum (sehingga
mencakup) setiap wanita kafir, namun yang dimaksud adalah (makna yang) khusus,
yaitu wanita-wanita Ahl al-Kitab. Makna yang khusus ini dijelaskan oleh ayat
dalam surah al-Maidah. Sedangkan yang umum sama sekali tidak mencakup
wanita-wanita Ahl al-Kitab. Ini adalah salah satu dari dua qaul Imam
Syafi’i.
Jika
berdasarkan pendapat yang pertama, mereka
tercakup lafadz yang umum. Kemudian ayat surat al-Maidah itu menasakh
sebagian dari makna yang umum tersebut. Ini adalah Madzhab Imam Malik.
Demikianlah yang dikemukakan oleh Ibnu Habib. Ibnu Habib berkata: “Meskipun
menikahi wanita Yahudi dan Nasrani telah dihalalkan oleh Allah, namun hal itu
disertai dengan celaan.”
Ishak
bin Ibrahim al Harabi berkata: “Sekelompok berpendapat untuk menjadikan ayat
dalam surat al-Baqarah sebagai ayat menasakh (menghapus). Sedangkan ayat dalam
al-Maidah sebagai ayat yang dinasakh (dihapus). Mereka mengharamkan menikahi
setiap wanita musyrik, baik Ahl al-Kitab maupun selainnya.”[7]
An-Nuhas
berkata: “Di antara hujjah yang sah sanadnya, yang dikemukakan oleh orang-orang
yang mengumukakan pendapat ini adalah apa yang diceritakan kepada kami oleh
Muhammad bin Rayyan, dia berkata: ‘Muhammad bin Rumh menceritakan kepada kami,
dia berkata: ‘al-Laits menceritakan kepada kami dari nafi’, bahwa Abdullah bin
Umar jika ditanya tentang seseorang lelaki yang akan menikahi seorang wanita
Nasrani atau Yahudi, maka dia menjawab: ‘Allah telah mengharamkan wanita
musyrik kepada orang-orang beriman. Sementara aku tidak mengetahui suatu
kemusyrikan yang lebih besar daripada seorang wanita yang mengatakan bahwa
Tuhannya adalah Isa, atau salah satu dari hamba-hamba Allah’.”
An-Nuhas
berkata: “Pendapat ini berbeda dengan pendapat segolongan orang yang ditopang
hujjah. Sebab, ada golongan orang baik dari kalangan sahabat maupun tabi’in yang
menyatakan bahwa menikahi wanita Ahlul Kitab itu halal. Diantaranya adalah
Ustman, Thalhah, Ibnu Abbas, Thawa, dan masih banyak lainnya.
Selain
itu, ayat dalam surat al-Baqarah ini tidak dapat menasakh ayat dalam surat
al-Maidah. Sebab, ayat dalam surat al-Baqarah ini merupakan hal pertama yang
diturunkan di Madinah. Sedangkan dalam surah al-Maidah adalah hal terakhir yang
diturunkan (di sana). Ada juga yang terakhir menasakh yang pertama, (bukan
sebaliknya).[8]
Ibnu
al-Mundzir meriwayatkan boleh menikah dengan wanita ahlul kitab dari Umar bi
Khatab dan para sahabatnya serta tabi’in. Ibnu al-Mundzir berkata di akhir
ucapannya: “Tidak sah dari seorang sahabat pun dari generasi pertama bahwa
mereka mengharamkan hal itu.”
Sebagian
ulama berkata: “Adapun kedua ayat tersebut sesungguhnya tidak ada pertentangan
diantara keduanya. Sebab, dzahirnya lafadz syirik itu tidak mencakup ahlul
Kitab. Hal ini berdasarkan firman Allah:
“Hai
orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan
diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu (QS. Al-Baqarah: 105).
Allah juga berfirman: “Orang-orang kafir yakni ahlul kitab dan orang-orang
musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum
datang kepada mereka bukti yang nyata.” (Qs. al-Bayyinah: 1).
Dalam
ayat di atas, Allah membedakan lafadz di antara mereka. Sedangkan Athaf (kata
sambung wawu/dan) itu menunjukkan adanya perbedaan antara ma’thuf (yang
menyambung) dan ma’thuf alaih (yang disambung). Selain itu, kata syirik adalah
umum, dan bukan nash. Adapun firman Allah “Dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab,” (Qs. Al-Maidah: 5),
setelah firman Allah: (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman,“ (Qs. Al-Maidah: 5) merupakan
nash. Oleh karena itulah tidak ada pertentangan antara sesuatu yang muhtamal
(menghubungkan kemungkinan) dan yang tidak muhtamal.”
Dikatakan
bahwa yang dimaksud dari firman Allah: “Dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan diantara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu, “ (QS.
Al-Maidah: 5), adalah orang-orang yang diberikan al-Kitab sebelum kamu kemudian
mereka masuk Islam, seperti firman Allah “Dan sesungguhnya di antara ahli kitab
ada orang yang beriman kepada Allah, “ (Qs. Ali Imran: 199) dan firman-Nya:
“diantara ahli kitab itu ada golongan yang berlaku lurus, “ (Qs. Ali Imran:
113. Maka hal itu dijawab:
Hal
ini bersangkutan dengan nash ayat dalam firman Allah: “Dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-kitab sebelum kamu
(al-Maidah: 5). Juga berseberangan dengan apa yang dikatakan oleh mayoritas
ulama. Sebab, tidak samar bagi seseorang pun bahwa menikah dengan orang Islam
dan berada ditengah komunitas kaum muslim adalah suatu hal yang diperbolehkan.
Jika
mereka mengatakan bahwa firman Allah: “mereka menjaga neraka,“ dimana
ajakan ke neraka dijadikan alasan hukum untuk mengharamkan menikahi mereka,
maka jawabannya adalah hal tersebut (mengajak ke neraka) adalah alasan hukum
untuk firman Allah: “Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari
wanita yang musyrik.” Sebab, orang musyrik itu mengajak ke neraka. Alasan
hukum ini berlaku untuk orang-orang kafir. Dengan demikian, orang Islam itu
lebih baik daripada orang kafir secara absolut. Hal ini sangatlah jelas.[9]
Adapun
menikahi laki-laki Ahlul Kitab, jika mereka adalah orang-orang yang memerangi
kaum muslim, maka hal itu tidak dihalalkan. Hal ini dipertegas oleh Ibnu Abbas
ketika ditanga tentang hal itu, dia menjawab, “itu tidak halal”. Ibnu Abbas
membaca firman Allah:
قَٰتِلُوا۟
ٱلَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِٱللَّهِ وَلَا بِٱلْيَوْمِ ٱلْءَاخِرِ وَلَا
يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ ٱلْحَقِّ
مِنَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ حَتَّىٰ يُعْطُوا۟ ٱلْجِزْيَةَ عَن يَدٍۢ
وَهُمْ صَٰغِرُونَ.
“Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan
RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu
orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar
jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk” ( Qs. At-Taubah: 29).
Imam Malik menganggap makruh menikah dengan wanita
kafir harbi (yang tingga di luar kawasan Islam dan suka memusuhi Islam dan
umatnya). Alasannya adalah karena akan meninggalkan anak di masa perang. Juga
karena wanita tersebut umumnya mengkonsumsi khamr dan babi.[10]
Ayat
al-Baqarah 221 yang ada di atas secara umum menjelaskan pada seluruh wanita
musyrik, kemudian dikhususkan oleh ayat dalam potongan surat al-Maidah tentang
bolehnya menikahi wanita ahli Kitab, sebagaimana Allah berfirman:
لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ
مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ
أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ
Artinya: “(Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikan
gundik-gundik.”
(QS. Al-Maidah : 5)
Oleh karena potongan ayat
al-Baqarah ayat 221 di atas masih bersifat umum, kemudian Allah menyebutkan
hikmah dalam hukum haramnya seorang mukmin atau wanita mukmin menikah dengan
selain agama mereka dalam firmanNya:
أْوْلَئِكَ يَدْعُونَ إِلَى
النَّارِ “Mereka mengajak ke neraka” yaitu dalam
perkataan-perkataan, perbuatan-perbuatan, dan kondisi-kondisi mereka. Dengan
begitu, bergaul dengan mereka merupakan suatu yang bahaya, dan bahayanya
bukanlah bahaya duniawi, melainkan bahaya kesengsaraan yang abadi.[11]
وَلأمَةٌ
مُؤْمِنَةٌ خَيْرٌ مِنْ مُشْرِكَةٍ وَلَوْ أَعْجَبَتْكُمْ
Sedangkan kata
selanjutnya adalah sesungguhnya wanita hamba sahaya yang beriman, meskipun
tidak memiliki harta dan rendah, kedudukannya, lebih baik daripada seorang
wanita musyrik merdeka dengan segala kemuliaan kemerdekaan dan kemuliaan
nasibnya, meskipun ia sangat menarik. Hatimu dengan kecantikan dan harta yang
ia miliki serta hal-hal lain yang menyebabkan seorang lelaki terpikat
karenanya.
Dengan iman, seseorang
wanita akan mencapai kesempurnaan agamanya, dan dengan harta dan kedudukannya
ia memperoleh kesempurnaan dunianya. Memelihara agama lebih baik daripada
memelihara urusan duniawi, apabila tidak mampu memelihara keduanya. Hanya saja,
kesamaan dalam beragama lebih menjamin terwujudnya rasa kasing sayang dan
saling perhatian antara keduanya. Dengan demikian, maka akan sempurna pulalah
manfaat-manfaat duniawi hanya dengan tercapainya suatu kehidupan rumah tangga
yang harmonis, yang saling menjaga dan memelihara baik diri maupun harta, serta
mendidik anak-anaknya dengan pendidikan yang lebih baik dan menghiasi
anak-anaknya dengan pendidikan akhlak yang mulia. Maka, jadilah mereka contoh
yang baik bagi sesamanya.[12]
Ulama berbeda pendapat tentang
perempuan musyrik yang haram dinikahi itu, sebagian mengatakan bahwa yang haram
dinikahi itu mengatakan yang haram dinikahi hanyalah perempuan kafir menyembah
berhala, demikain keterangan qatadah dan selanjutnya ia mengatakan Ayat ini
diturunkan kepada abu marsyad al-ghinawi ketika dia diutus Rasulullah ke ekah,
di sana bertemu dengan seorang perempuan musyrik yang bernama inaq yang telah
berkenalan denganuya pada zaman jahiliyah . Perempuan itu memintanya supaya
menagwininya, tetapi abu marsad belulm mau mengabulkan permintaaan itu dan
berjanji untuk telebih dahulu nmenanyakan kepada rasulullah saw dimaninah,
sesampainya dimadinah ditanyakan nya kepada rasululllah. Mak beardasarkan kasus
tersebut turunlah surat al- baqarah ayat 221.[13]
Menurut
sementara ulama meskipun ada ayat yang membolehkan perkawinan laki-laki muslim
dengan wanita Ahl-Kitab (penganut agama Yahudi dan Kristen). Yaitu surat
Al-Maidah ayat 5, yang menyatakan:
وَاْلمُحْصَنَتُ مِنَ
اْلمُؤْمِنَتُ وَاْلمُحْصَنَتُ مِنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا اْلكِتَابَ
“Dan
(Dihalalkan pula) bagi kamu (mengawini) wanita-wanita terhormat di antara
wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang terhormat di antara
orang-orang yang dianugerahi kitab (suci).”
Tetapi izin tersebut telah digugurkan
oleh surat al-Baqarah ayat 221 di atas.[14]
2. Pernikahan
Laki-Laki Non-Muslim dengan Perempuan Muslimah
Mengenai pernikahan
laki-laki non-muslim (Ahli Kitab) dengan permpuan muslimah, para ulama pun
bersepakat mengharamkannya. Pendapat ini didasarkan pada potongan dalil
berikut:
فَإِنْ عَلِمْتُمُوهُنَّ
مُؤْمِنَاتٍ فَلَا تَرْجِعُوهُنَّ إِلَى الْكُفَّارِ لَا هُنَّ حِلٌّ لَهُمْ وَلَا
هُمْ يَحِلُّونَ لَهُنَّ
Artinya: “Maka jika
kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula
bagi mereka” (QS. Al-Mumtahanah : 10)
Ayat ini dengan tegas
mengharamkan pernikahan laki-laki non-muslim dengan perempuan muslimah. Demikian
penjelasan para ulama. Misalnya Imam Ibnu Katsir (w. 774 H) dalam kitabnya Tafsir
al-Qur’an al-‘Adzim, beliau mengatakan:
هذه
الاية هى التي حرمت المسلمات على المشركبن
Artinya: “Ayat inilah
yang mengharamkan (pernikahan) perempuan muslimah dengan laki-laki non-muslim
(musyrik).”
Imam Asy-Syaukani (w.
1250 H) dalam kitabnya al-Qadir juga menyatakan:
فيه
دلبل على أن المؤمنة لاتحل لكافر
Artinya: “Dalam firman
Allah ini terdapat dalil bahwa wanita mukminah tidak halal (dinikahi) orang
kafir.”[15]
Ayat ini berkaitan dengan
kaum muslimah yang hijrah ke madinah dan meninggalkan suami-suami mereka yang
musyrik di Makkah. Kendati suami-suami itu adalah kaum musyrikin di Makkah,
namun ayat ini menggunakan istilah kafir. Karenanya, ayat dapat menjadi dalil
keharaman pernikahan laki-laki musyrik dengan perempuan muslimah, seperti
dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir, dan juga menjadi dalil diharamkannya
pernikahan laki-laki kafir dengan perempuan muslimah, seperti dikatakan Imam
Asy-Syaukani.
Sebelum turunnya ayat
ini, pernikahan antara laki-laki non-muslim dengan perempuan muslimah memang
diperbolehkan. Puteri Nabi Muhammad Saw, Zainab juga bersuami Abdul Ash bin
al-Rabi seorang musyrik (non-muslim). Ketika terjadi perang badar (2 H), Abdul
Ash menjadi tawanan kaum muslimin. Zainab kemudian berupaya menebusnya dengan
memberikan sebuah kalung peninggalan ibunya, Khadijah. Melihat kejadian ini,
Nabi Muhammad Saw pun terenyuh hatinya. Akhirnya beliau menyuruh para sahabat
untuk membebaskan menantu beliau, Abul Ash.
Setelah Abul Ash
dibebaskan, ia kembali ke Makkah, sementara istrinya, Zainab masih tetap
bersama Nabi Saw dan tinggal di Madinah. Dua tahun kemudian, Abul Ash masuk
Islam. Maka Nabi Saw mengembalikan puteri beliau Zainab kepada suaminya yang
sudah muslim itu, tanpa pernikahan baru.[16]
Larangan tentang tidak
bolehnya laki-laki non-muslim menikah dengan perempuan muslimah tersebut juga
dijelaskan oleh Allah sendiri dengan melarang para wali agar tidak menikahkan
anak perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya dengan seorang
laki-laki musyrik. Berikut ayatnya:
وَلَا
تُنْكِحُوا اْلُمشْرِكِيْنَ حَتَّى يُؤْمِنُوْا
“Dan janganlah
kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum
mereka beriman”.
(QS Al-Baqarah: 221).
Dalam firmanNya,
وَلاَ تُنكِحُوا الْمُشْرِكِينَ “Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin)” terdapat dalil tentang harus adanya
wali dalam nikah. وَاللهُ يَدْعُوا إِلَى
الْجَنَّةِ وَالْمَغْفِرَةِ
“Sedang Allah
mengajak ke surga dan ampunan”, maksudnya, menyeru hamba-hambaNya untuk memperoleh surga
dan ampunan yang di antara akibatnya adalah menjauhkan diri dari segala
siksaan. Hal itu dengan cara mengajak untuk melakukan sebab-sebabnya berupa
amal shalih, bertaubat yang sungguh-sungguh, berilmu yang bermanfaat dan
mengamalkannya.
وَيُبَيِّنُ آيَاتِهِ “Dan
Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintahNya)” maksudnya, hukum-hukumNya, dan
hikmah-hikmahnya, لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ
يَتَذَكَّرُونَ “kepada
manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” Hal tersebut mewajibkan mereka untuk
mengingat apa yang telah mereka lupakan dan mengetahui apa yang tidak mereka
ketahui serta mengerjakan apa yang telah mereka lalaikan.[17]
الْمُشِرِكِينَ تُنكِحُواْ وَلاَ (Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik ),
yakni janganlah kalian menikahkan mereka dengan wanita-wanita yang beriman, يُؤْمِنُواْ حَتَّى ( sebelum mereka beriman). Al-qrthubi berkata “ Ummat islam
telah sependapat, bahwa laki-laki musyrik tidak boleh menggauli wanita beriman
dengan cara apapun, karena hal ini berarti menodai islam.”
Para ahli
qira’at sependapat men-dhammah-kan huruf ta pada kalimat تُنكِحُواْ (kamu nikahkan). مُّؤْمِنٌ وَلَعَبْدٌ (Sesungguhnya budak yang mukmin)
pembahasannya sama dengan pembahasan tentang firman-Nya : وَلأَمَةٌ (sesungguhnya budak wanita).
أُوْلَـئِكَ (mereka) adalah isyarat yang
menunjukkan kepada laki-laki musyrik dan para wanita musyrik. النَّارِ إِلَى
يَدْعُونَ
( mengajak ke
neraka), yakni mengajak ke perbuatan-perbuatan yang mengharuskan masuk neraka. الْجَنَّةِ إِلَى
يَدْعُوَ
وَاللّهُ (Sedangkan Allah mengajak ke surga ) ada yang
mengatakan, bahwa para wali Allah itu adalah orang yang beriman yang
mengajak ke surga.
بِإِذْنِهِ ( dengan izin-Nya) yakni : dengan perintah-Nya. Demikian
dikatakan oleh Az-Zujaj, ada juga yang mengatakan, bahwa maksudnya adalah
dengan dimudahkan-Nya dan atas petunjuk-Nya. Demikian menurut penulis
Al-Kasysyaf.[18]
Larangan
mengawinkan perempuan muslimah dengan laki-laki termasuk Ahl–Kitab diisyaratkan
oleh Al-Baqarah. Isyarat ini dipahami dari redaksi surat Al-Baqarah 221 di atas,
yang hanya berbicara tentang bolehnya perkawinan pria muslim dengan wanita
Ahl-Kitab, dan sedikit pun tidak menyinggung sebaliknya. Sehingga, seandainya
pernikahan macam itu dibolehkan, maka pasti ayat tersebut akan menegaskannya.[19]
VII.
KESIMPULAN
Larangan
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda itu agakanya dilatarbelakangi oleh
harapan akan lahirnya sakinah dalam keluarganya. Perkawinan baru akan langgeng
dan tentram apabila terdapat kesesuainan pandangan hidup antarsuami dan istri,
karena jangankan berbeda agama, perbedaan budaya, atau bahkan perbedaan tingkat
pendidikan antara perkawinan. Memang ayat itu membolehkan perkawinan antara
laki-laki muslim dengan wanita Ahl-Kitab, tetapi kebolehan itu bukan saja
sebagian jalan keluar dari kebutuhan mendesak ketika itu, tetapi juga karena
seorang muslim mengakui bahwa Isa AS adalah nabi Allah pembawa ajaran agama.
Sehingga, pria yang biasanya lebih kuat dari perempauan—jika beragama
islam—dapat mentoleransi dan mempersilakan Ahl-Kitab menganut dan melaksanakan
syariat agama.
لَكُمْ
دِيْنُكُمْ وَلِىَ دِيْنِ
“Bagi kamu
agamamu dan bagiku agamaku”.
(QS. Al-Kafirun: 6)
Ini berbeda
dengan Ahl-Kitab yang tidak mengakui Muhammad SAW sebagai nabi. Di sisi lain
harus pula dicatat bahwa para ulama yang membolehkan perkawinan laki-laki muslim
dengan Ahl-Kitab, juga berbeda pendapat tentang pendapat makna Ahl-Kitab dalam
ayat ini, serta keberlakuan hukum tersebut hingga kini.[20]
VIII.
PENUTUP
Demikianlah makalah tentang “Tafsir
Ayat Tentang Menikah Beda Agama” kami susun. Semoga pembahasan tentang tema
kali ini bermanfaat bagi kita semua. Sudah barang tentu, makalah ini masih
terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, baik dalam segi penulisan maupun
isinya. Maka dari itu, diperlukan kritik dan saran yang membangun agar dapat
memacu penulis untuk lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi,
Ahmad Musthafa. Tafsir al-Maraghi, Terj, Jilid II. Semarang: Karya Toha
Putra. 1992.
Al-Qurthubi,
Syaikh Imam. Tafsir al-Qurthuubi, Jilid III. Jakarta: Pustaka Azzam.
2010.
Asy-Syaukani, Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad. Tafsir
Fathul Qadir. Jakarta: Pustaka Azzam. 2008.
Madjid,
Nurcholish, dkk. Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis.
Jakarta: Paramadina. 2004.
Syihab,
M. Quraish. Tafsir Al-Misbah, Volume I. Jakarta: Lentera Hati. 2000.
________________.
Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan. Bandung:
Penerbit Mizan. 1998.
Yaqub,
Ali Mustafa. Nikah Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits. Jakarta:
Pustaka Firdaus. 2007.
[1] M.
Quraish Syihab, Wawasan al-Qur’an; Tafsir Maudhu’I atas Pelbagai Persoalan,
(Bandung: Penerbit Mizan, 1998), h. 191-192
[2] Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih
Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Paramadina,
2004), h. 154-155
[3] Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Nikah
Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h.
19-20
[4] Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Nikah
Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h.
21-24
[5]
Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Terj, Jil II, (Semarang:
Karya Toha Putra, 1992), h. 262
[11] Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir
Fathul Qadir, terj, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 862
[12] Ahmad Musthafa Al-Maraghi,
Tafsir al-Maraghi, Terj, Jil II, (Semarang:
Karya Toha Putra, 1992), h. 263
[14] M.
Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai Persoalan
Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), h. 195-196
[15] Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Nikah
Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h.
37-38
[16] Prof. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA, Nikah
Beda Agama dalam Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2007), h.
38-39
[18]
Al Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad Asy-Syaukani, Tafsir Fathul Qadir, (Jakarta ; Pustaka Azzam,2008), terj h. 864 – 865
[19]
M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), h. 197
[20]
M. Quraish Syihab, Wawasan Al-Qur’an; Tafsir Maudhu’i Atas Pelbagai
Persoalan Umat, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006), h. 198
1 comments:
Click here for commentsthank you, good references
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon