Pandangan Joseph Schacht Tentang Hadis

I.                   PENDAHULUAN
Spekulasi Goldzier dan rekan-rekannya tentang hadis kemudian ditelan dan diolah lagi oleh Joseph Schacht, orientalis Jerman yang juga keturunan Yahudi. Dalam bukunya yang cukup kontroversial, Schacht menyatakan bahwa tidak ada hadis yang benar-benar asli dari Nabi saw., dan kalaupun ada dan bisa dibuktikan, maka jumlahnya amat sangat sedikit sekali.

Senada dengan Goldzier, ia mengeklaim bahwa hadis baru muncul pada abad kedua Hijriah dan baru beredar luas setelah zaman Imam Syafi’i (w.204 H/ 820 M), yakni pada abad ketiga Hijriah. Lebih jauh Schacht seenaknya mengatakan bahwa bahkan hadis-hadis yang terdapat dalam al-kutub as-sittah sekalipun tidak dapat dijamin kesliaannya.

Masih menurut dia, sistem periwayatan berantai alias isnad merupakan alat justifikasi dan otorisasi yang baru mulai dipraktikkan pada abad kedua Hijriah.[1]

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Biografi Joseph Schacht
B.     Teori Schacht Mengenai Konsep Awal Sunnah
C.     Schacht dan Sistem Isnad

III.             PEMBAHASAN
A.    Biografi Joseph Schacht
Prof. Dr. Joseph Schacht lahir di Silisie Jerman pada 15 Maret 1902.Karirnya sebagai orientalis dimulai dengan belajar pilologi klasik, theologi, dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar Doktor dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika ia berusia 21 tahun.

Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar.

Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggris, dan menikah dengan wanita Inggris.

Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggris. Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Propesor-Doktor, di Inggeris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.

Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas laiden Negeri Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Di sini ia ikut menjadi supervisor atas cetakan kedua buku Dairah al-Ma’arif al-Islamiyah. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.

Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Fiqh Islam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti  Al Khoshaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.

Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Lau yang terbit pada tahun 1960.4 Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits  Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits  Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.[2]

B.     Teori Schacht Mengenai Konsep Awal Sunnah
Bagian sentral tesis Schacht bergantung pada penggunaan dan konsep kata sunnah. Secara ringkas, dia berpendapat:
        1.      Konsep awal sunnah adalah kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum, yang disebutnya “tradisi yang hidup”. Untuk sampai pada kesimpulan ini dia mengikuti D.S Margoliouth dan mengutip ibn Al Muqaffa, yang menurutnya, mendapat istilah itu digumakan pada awal abad ke 2 untuk kepentingan regulasi administratif kepemerintahan bani umayyah.
           2.      Konsep sunnah nabi pada asal usulnya relatif terlambat, dibuat oleh orang-orang Irak pad sekitar abad ke 2.
         3.      Bahkan pada penggunaan istilah “sunnah Nabi” tidak berarti suunah yang sebenarnya berasal dari Nabi saw, ia sekedar “tradisi yang hidup” dari madzhab yang ada yang di proyeksikan ke belakang hingga ke lisan Nabi saw.[3]

Untuk menopang argumentasinya bahwa konsep awal sunnah adalah praktek atau “tradisi yang hidup” , Schacht merujuk pada Margoliouth dan Ibn al Muqaffa. Dia menulis : Marguliouth menyimpulkan bahwa sunnah sebagai prinsip hukum pada awalnya berarti penggunaan ideal dan normatif dari masyarakat dan baru kemudian memperoleh arti terbatasnya sebagai preseden-preseden yang dibuat oleh Nabi saw.[4]

C.    Schacht dan Sistem Isnad
Schacht mencurahakan satu bab penuh dalam bukunya Origins of Muhammadan Jurisprudence  untuk membahas masalah isnad, dan temuan-temuanya dipuji banyak sarjana. Profesor J.Robson menganggapnya “kajian berharga yang membuka jalur penelitian baru”. Dia menulis:
Dr.Schacht telah mempelajari sumber-sumber yang digunkan untuk meriwayatkan Hadis dan telah mengemukakan teori yang paling menarik. Dia sering sekali mendapatkan bahwa, sementara eberapa Hadis hukum diriwayatkan melalui berbagai jalur sumber., Hadis –hadis itu bisa memiliki comon transmitter (periwayatan penghubung ) pada tataran tertentu dalam ratai periwayatan. Mungkin ada sejumlah periwayat dari common tranmitter ini untuk meneruskan generasi, dan hal  yang sama dapat tejadi antara dia dan nabi. Dr. Schacht telah menyimpulkan bahwa hadis itu diadakan baik oleh orang ini maupun seseorang atau beberapa pihak yang munggunakan namanya. Ini merupakan sumbangan yang sangat berharag bagi kajian perkembangan hadis, karena kajian itu bukan hanya memberikan waktu kapan hadis-hadis tertentu di nisbatkan kepada nabi, tapi juga memberikan nilai tertentu kepada rantai sumber priwayatan, mengungkapkan bahwa bagian belakang dari rantai itu asli, sedangkan bagian sebelumnya yang kembali kepada nabi adalah fiktif.

Dalam Pandangan Schacht secara keseluruhan adalah bahwa sistem isnad mungkin valid untuk melacak hadis-hadis sampai pada ulama-ulama abad ke 2, tapi rantai periwayatan yang merentang ke belakang sampai kepada nabi saw dan para sahabat adalah palsu. Argumennya dapat diriingkas dalam 6 poin:
1.      Sistem isnad dimulai paa awal abad ke 2 atau, paling awal , akhir abad pertama.
2.      Isnad-isnad itu diletakan secara sembarangan dan kesewenangan oleh mereka yang ingin memproyeksikan ke belakang doktrin-doktrin mereka sampai kepada sumber-sumber klasik.
3.      Isad-isnad itu secara bertahap meningkat, oleh pemalsuan; isand-isnad yang terdahulu tidak lengkap, tapi semua kesenjangan dilengkapi pada masa koleksi-koleksi klasik.
4.      Sumber-sumber tambahan diciptakan pada masa Syafii untuk menjawab penolakan-penolakan yang diibuat untuk hadis-hadis yag dilacak kebelakang sampai kepada satu sumber. “Isnad-isnad keluarga” adalah palsu, dan demikian pula materi yang disampaikan didalam isnad-isnad itu.
5.      Keberadaan common narrator dalam rantai periwayatan itu merupakan indikasi bahwa hadis itu berasal dari masa periwayat itu.[5]

Pembuatan Isnad yang Sewenang-wenang dan Sembarangan
Dalam pandanngan Schacht isnad sering diletakkan bersam-sama secara sembrangan. Representasi kelompok yang doktrinnya diproyeksikan ke belakang sampai pada sumber klasik dapat dipilih secara acak dan diletakan dalam isnad. Karenanya kita dapatkan sejumlah alternatif nama dalam isnad-isnad lain yang identik, dimana perimbangan-pertimbangan lain akan meniadakan kemungkinan periwayatan doktrin lama yang asli yang dilakukan oleh beberapa orang. Dia kemudian mengutip enam contoh penisbatan alterntif sebelum Malik, yaitu:
1.      Nafi’ dan Salim (passim)
2.      Nafi’ dan Abdullah bin Dinar (muw. iv,204 dan Ikh. 149f).
3.      Nafi’ dan Zuhri (muw. iii, 71 dan muw. Syaib. 258)
4.      Yahya bin Said dan Abdullah bin Umar Umari (muw. ii, 197 dan muw. syaib.207)
5.      Yahya bin Said dan Rabiah (muw. ii, 362 dan Tr. 42)
6.      Muhammad bin Amr bin Hazm dan Abu bakr (bin Amr) bin Hazm (muw. i, 259 dan Tr. 101).[6]

Mengenai anggapan Schacht di atas, Prof. Dr. M.M Azamai memberi tanggapan sebagai berikut:
Contoh 1; Nafi’ dan Salim
Schacht tidak mengutip hadis dari dua sumber ini. Karenanya kita hanya dapat membuktikan bahwa dua ulama itu benar-benar ada dan bahwa mereka memiliki kesempatan untuk belajar dari common source. Hubungan dengan Ibnu Umar telah di dokumentasikan dengan baik. Menurut Dzahabi. Nafi adalah budak yang dimerdekakan oleh Ibn Ummar ayng telah bekerja kepada pemiliknya selama lebih dari 30 tahun. Kita juga diberi tahu bahwa dia wafat di Madinah pada tahun 117 H. Salim adalh anak lelaki Ibn Ummar. Dia wafat pada tahun 106 H, 32 tahun setelah ayahnya wafat. Pada akhir abad pertama dia adalah salah satu ulama yang paling terkenal di Madinah, dan salah satu dari “tujuh ahli hukum” di kota itu. Hidup di kota yang sama, selama 30 atau 40 tahun, dua ulama tersebut memiliki kesempatan yang luas untuk belajar dari Ibnu Umar.[7]

IV.             PENUTUP
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Joseph Schacht dalam pandangannya terhadap hadis menyatakan bahwa hadis hanyalah merupakan tradisi yang hidup yang muncul pada abad kedua, dan bukan merupakan dari Nabi. Dia juga mengatakan, dalam sistem isnad hadis muncul abad kedua, dan nama-nama rawi yang ada hanyalah palsu.
Artinya, Schacht lebih tajam dari pada Goldzier, karena Goldzier hanya sampai pada peringkat meragukan otentitas hadis Nabi. Sedangkan Schacht meyakinkan bahwa tidak ada hadis yang otentik dari Nabi saw. Wallahu ‘Alam.

  
V.                DAFTAR PUSTAKA

Arif, Syamsuddin. Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008).
Azami, M.M. Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, terj. Asrofi Shodri ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004).



[1] Dr. Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), hal. 32.
[2] http://ushuluddin-uinsuska.blogspot.com/2011/11/pemikiran-hadits-joseph-schacht.html.
[3] Prof. Dr. M.M Azami, Menguji Keaslian Hadis-Hadis Hukum, terj. Asrofi Shodri ( Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), hal. 46.
[4] Ibid.
[5] Ibid., hal.231-133.
[6] Ibid., hal. 237.
[7] Ibid., hal. 238.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan