I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Laut
merupakan kenampakan alam yang menjadi salah satu sumber daya alam yang ada di
bumi. Allah swt menciptakan laut dengan segala kekayaan yang ada didalamnya
tidak lepas dari adanya manfaat yang dapat diambil oleh para manusia. Selain
menjadi sumber daya alam, laut menyimpan segala keajaiban-keajaiban yang sudah
diketahui maupun yang belum diketahui oleh manusia. Hal tersebut sebenarnya
sudah diberitakan oleh Allah swt lewat Al-qur’an, mulai dari penciptaan, manfaat,
serta keajaiban-keajaiban yang ada pada laut.
Oleh
karena itu, ada baiknya apabila kita kaji lebih mendalam ayat-ayat Al-Qur’an
yang berhubungan dengan ciptaan Allah yang satu ini agar kita lebih mengetahui
seluk beluk laut dan agar kita lebih mensyukuri nikmat Allah swt.
B.
Rumusan Masalah
1.
Fenomena Laut
2.
Ayat-ayat Al-qur’an yang
berhubungan dengan laut.
II.
PEMBAHASAN
1.
Laut
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, laut memiliki arti kumpulan air asin (dalam
jumlah yang banyak dan luas) yang menggenangi dan membagi daratan atas benua
dan pulau. Laut berbeda dengan pantai.
Sejak
seperempat abad ini sebagian peneliti telah mengkaji secara mendalam hakikat
jumlah kata dalam pembahasan Al-Qur’an yang berkenaan dengan dimasukkannya
pengertian “lautan” (al-bahr) kepada kata “daratan” (al-barr).
Telah muncul banyak pertanyaan mengenai kebenaran hal ini, sehingga mendorong
kita untuk mencoba mengkaji kembali, dan menghitung pengulangan jumlah kata al-bahr
(البحر) dan jumlah yang berulang kali pada kata al-birr
(البر) yang terdapat dalam Al-Qur’an.
Kata
bahr (بحر) dalam Al-Qur’an dengan bentuk tunggal
berjumlah 32 ayat, dan kata barr (بر)
dalam bentuk tunggal berjumlah 12 ayat, ditambah dengan 1 ayat yang menggunakan
kata yabasan (يبسا) yang bermakna sama dengan البر,
maka berjumlah 13.
Berdasarkan
data diatas, maka kita bisa simpulkan sebagai berikut:
1)
Jumlah ayat yang menyebutkan al-bahr
(البحر) dalam Al-qur’an sebanyak 32.
2)
Jumlah ayat yang menyebutkan al-barr
(البر) dalam Al-qur’an sebanyak 13.
3)
Total ayat yang menyebutkan
kata al-bahr (البحر) dan al-barr (البر)
adalah 32+13=45 ayat.
Jika kita menggunakan kalkulator dengan
menghitung perbandingan pengulangan kata lautan dalam ayat ini, maka kita harus
membagi jumlah yang berulang kali pada ayat al-bahr (البحر)
yang berjumlah 32 dengan total keseluruhan 45, maka menjadi perbandingan
sebagai berikut:
Lautan dan samudera saling membagi pada planet
bumi dengan perbandingan 71% yaitu:
32/45 x 100% = 71%
Ayat yang menggunakan kata al-barr (البر)
sebanyak 13 dengan total keseluruhan adalah 45, maka perbandingannya menjadi
sebagai berikut:
13/45 x 100% = 29%
Selanjutnya dapat kita simpulkan dengan hasil
bahwa perbandingan lautan dan daratan yang ada dalam Al-Qur’an adalah 71% dan
29%. NASA (Lembaga Antariksa Amerika Serikat) menelaah bahwa mereka membatasi
perbandingan lautan yang ada pada bumi dengan merujuk pada Al-qur’an, yaitu 71%
untuk lautan dan 29% untuk daratan.
Kehebatan ini menjadi saksi bahwa Allah swt
telah mengatur ayat-ayat dalam Al-Qur’an dan menjadikan ayat-ayat ini untuk
menjelaskan segala sesuatu.[1]
2.
Ayat-ayat al-qur’an yang
berhubungan dengan laut
·
Meluap ketika kiamat
QS. Al-Infithar: 3
وَإِذَا
الْبِحَارُ فُجِّرَتْ ﴿٣﴾
“Dan apabila lautan menjadikan meluap”
Firman
Allah tersebut yakni meluap satu dengan yang lainnya, maka lautan-lautan itupun
bersatu. Al-Hasan berkata, “maksud dari kata فُجِّرَتْ adalah airnya telah mengering, pada
mulanya air laut itu diam, tenang dan berkumpul, lalu ketika diluapkan terpecahlah
satu sama lain, dan airnya pun berhamburan, kejadian ini terjadi pada hari
kiamat.[2]
Hal ini
terbukti ketika terjadi tsunami di Aceh tahun 2004 silam. Proses meluapnya air
laut sesuai dengan yang telah dijelaskan oleh ayat-ayat Al-Qur’an. Meskipun itu
belum semua lautan yang meluap paling tidak sudah menjadi bukti kebenaran ayat
Al-qur’an dan juga sebagai peringatan kepada manusia bagaimana gambaran kiamat
nantinya.
·
Tawar dan asin
QS. Fathir: 12
وَمَا يَسْتَوِى
الْبَحْرَانِ هٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ سَآئِغٌ شَرَابُهُ وَهٰذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ ۖ
وَمِنْ كُلٍّ تَأْكُلُوْنَ لَحْمًا طَرِيًّا وَتَسْتَخْرِجُوْنَ حِلْيَةً تَلْبَسُوْنَهَا
ۖ وَتَرَى الْفُلْكَ فِيْهِ مَوَاخِرَ لِتَبْتَغُوْا
مِنْ فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ ﴿۱۲﴾
“dan tidak sama dua laut: yang ini tawar,
segar, sangat sedap diminum dan yang ini asin lagi pahit. Dan dari
masing-masing kamu dapat memakan daging yang segar dan kamu dapat mengeluarkan
perhiasan yang dapat kamu memakainya dan kamu melihat kapal berlayar membelah
supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur.”
Pada
ayat diatas menyatakan: Dan, diantara bukti kekuasaan Allah adalah
penciptaan dua laut yakni sungai dan laut. Tidak sama antara dua laut itu;
yang ini, yakni air sungai, tawar, segar, sangat sedap diminum dan
yang ini, yakni laut, asin lagi pahit. Kendati keduanya berdampingan
dan dari masing-masing laut dan sungai itu kamu dapat memakan daging
yang segar dari binatang yang hidup disana walau di air asin itu dan,
disamping makanan tersebut, kamu juga dapat secara bersungguh-sungguh mengeluarkan
perhiasan yang dapat kamu memakainya seperti mutiara dan marjan, dan pada
masing-masing laut dan sungai itu kamu dapat senantiasa melihat kapal
berlayar membelah lautan dengan cepat supaya kamu dengan
kemudahan-kemudahan yang dianugerahkan Allah itu dapat mencari karunia-Nya
dan supaya kamu bersyukur.
Kata (فرات) furat
terambil dari kata (فرت) farata yang bermakna menundukkan
dan mengalahkan. Bila kata tersebut menyifati air, ia diartikan air yang
sangat tawar sehingga kehausan peminumnya ditundukkan dan dikalahkan oleh segar
dan tawarnya air itu.
Kata
(عذب) ‘adzb jika menyifati air, ia
adalah yang sangat segar dan terasa nyaman di minum. Ayat diatas tidak
menggabung kata ‘adzb dan furat dengan kata penghubung dan; demikian
juga ketika melukiskan air laut yang bersifat (ملح
أجاج) milhun ujaj.
Kata
(ملح) milh berarti asin, sedang (أجاج) ujaj
ada yang memahaminya dalam arti panas, pahit, atau sangat asin.
Makna-makna itu melukiskan betapa air itu tidak nyaman diminum, berbeda dengan
air yang disebut sebelumnya.
Kata (تستخرجون) tastakhrijun
terambil dari kata (أخرج) akhraja yang berarti mengeluarkan.
Penambahan huruf sin dan ra’ pada kata itu mengisyaratkan supaya
sungguh-sungguh. Ini berarti untuk memperoleh perhiasan itu dibutuhkan upaya
melebihi upaya menangkap ikan, apalagi ikan-ikan yang mati yang telah mengapung
di lautan atau yang terdampar di daratan.
Kata
(حلية) hilyah/perhiasan yang dimaksud
adalah yang dapat diperoleh dari laut dan sungai. Dahulu, ulama-ulama membatasi
pengertian kata hilyah pada mutiara dan marjan, lalu menyatakan bahwa
kedua hiasan itu hanya ditemukan di laut. Atas dasar itu, mereka memahami QS.
Ar-rahman: 22 yang menyatakan:
يَخْرُجُ
مِنْهُمَا اللُّؤْلُؤُ وَالْمَرْجَانُ
“keluar
dari keduanya (yakni laut dan sungai) mutiara dan marjan,” dalam arti
mengeluarkan dari salah satunya yakni laut. Mereka menyatakan bahwa kata (منهما) minhuma/dari
keduanya yang dimaksud adalah dari salah satunya, yakni laut, atau
menyatakan bahwa di laut ada mata air-mata air yang airnya bercampur dengan
keasinan laut dan itulah yang dimaksud dengan keluarnya mutiara dari sungai.
Pendapat ini tidak sesuai lagi dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
penemuan manusia. Dahulu, ulama dan cendekiawan menduga bahwa mutiara hanya
dapat diperoleh di laut yang asin, tidak disungai yang tawar. Memang, beberapa
jenis tertentu dari mutiara dihasilkan oleh lautan yang asin, tetapi jenis
lainnya juga ditemukan dalam kerang-kerang sungai yang tawar. Dari itu, selain
pencarian mutiara di lautan, kita juga mendengar adanya pencarian mutiara air
tawar di beberapa negara, seperti Inggris, Skotlandia, Cekoslovakia, Jepang dan
lain-lain.
Di
sisi lain, jika bebicara tentang perhiasan, maka dalam konteks ini kita bisa
memasukkan batu-batu mulia yang dihasilkan oleh air tawar seperti berlian yang
terendap dalam lumpur sungai kering yang dikenal dengan lumut. Yakut, jenis
safir berwarna biru atau hijau, juga ditemukan di beberapa sungai di Burma,
Thailand, dan Srilangka.
Kata (مواخر) mawakhir
terambil dari kata (المخر) al-makhr, yaitu pelayaran bahtera
membelah lautan ke kiri dan ke kanan menghadapi angin sehingga memperdengarkan
suara yang menakjubkan. Kata (ترى) tara/engkau lihat ditujukan kepada
siapapun yang dapat melihat dengan mata dan atau nalar. Penggunaan kata ini
dimaksudkan sebagai anjuran untuk melihat dan merenung betapa indahnya objek
tersebut. Kalimat (لتبتغوا من فضله) li
tabtaghu min fadhlihi/supaya kamu dapat mencari karunia-Nya dipahami oleh
sementara ulama-seperti Ibnu ‘Asyur- dalam arti terbatas, yakni hanya pada perdagangan,
sambil merujuk pada firman Allah QS. Al-Baqarah: 198.
Demikian ayat diatas mengisyaratkan sekian banyak
hiasan itu sebagai anugerah nikmat Allah swt.[3]
·
Adanya pemisah dua laut
QS. Al-Furqon: 53
وَهُوَ
الَّذِيْنَ مَرَجَ الْبَحْرَيْنِ هٰذَا عَذْبٌ فُرَاتٌ وَهٰذَا مِلْحٌ أُجَاجٌ
وَجَعَلَ بَيْنَهُمَا بَرْزَخًا وَحِجْرًا مَحْجُوْرًا ﴿۵٣﴾
“Dan Dia (Allah) yang membiarkan dua laut
mengalir (berdampingan), ini tawar lagi segar, dan yang lain asin lagi pahit,
dan Dia jadikan di antara keduanya dinding dan batas yang menghalangi.”
Kata
(مرج) maraja dalam kamus-kamus bahasa
mempunyai dua arti: pertama berarti bercampur dan kedua berarti kepergian
dan kepulangan, keterombang-ambingan, dan kegelisahan.
Demikian Ibnu Paris dalam bukunya, Mu’jam Maqdyis Al-Lughah, dan Ar-Raghib
Al-Isfahani dalam Mufradat fi Gharib Al-Qur’an. Sedangkan kata (حجر) hijr
dalam kamus-kamus bahasa diartikan sebagai larangan, halangan,
atau penyempitan. Sementara kata (محجورا) mahjura
berarti sesuatu yang terhalang. Jika demikian, hijran mahjura adalah
suatu halangan yang menjadikan apa yang terdapat disana (makhluk hidup)
terhalang untuk dapat keluar dan hidup di dalam lokasi yang sempit (terhalang)
itu dibandingkan dengan luasnya samudera.
Pada
ayat ini disebutkan bahwa Allah swt telah menciptakan (برزخ) barzakh
artinya pemisah yang memelihara ciri masing-masing air laut dan air
sungai sehingga walaupun air sungai terjun dengan derasnya dari tempat yang
tinggi, ciri-ciri tersebut tetap terpelihara (‘adzbun furat dan milhun
ujaj). Barzakh ini berfungsi menghalangi keduanya yang dapat
menghapus sama sekali ciri-cirinya.
Pada 1873, para pakar ilmu kelautan dengan
menggunakan kapal “Challenger” menemukan perbedaan ciri-ciri laut dari segi
kadar garam, temperatur, jenis ikan/binatang, dan sebagainya. Namun, yang tetap
menjadi pertanyaan adalah mengapa air itu tidak menyampur dan menyatu?
Jawabannya
baru ditemukan pada 1948, setelah penelitian yang lebih seksama menyangkut
samudera. Rupanya perbedaan-perbedaan mendasar yang disebutkan itu menjadikan
setiap jenis air berkelompok dengan sendirinya dalam bentuk tertentu dan
terpisah dari jenis air yang lain, betapapun ia mengalir jauh. Gambar-gambar
dari luar angkasa pada akhir abad ke-20 ini menunjukkan dengan sangat jelas
adanya batas-batas air di Laut Tengah yang panas dan sangat asin, dan di
Samudera Atlantik yang temperatur airnya lebih dingin serta kadar garamnya
lebih rendah. Batas-batas itu juga terlihat di Laut Merah dan Teluk Aden.
Fakta
ilmiah yang lain yaitu, air Sungai Amazon yang mengalir deras ke Laut Atlantik
sampai batas 200 mil masih tetap tawar. Demikian juga mata air-mata air di
Teluk Persia. Ikan-ikannya sangat khas dan masing-masing tidak dapat hidup
kecuali di lokasinya. Agaknya itulah yang dimaksud Al-Qur’an dengan hijran
mahjura.[4]
III.
KESIMPULAN
Fenomena laut dalam al-Qur’an telah banyak diteliti oleh para
ilmuwan dan tidak diragukan lagi hasil kesesuaiannya dengan ayat-ayat
al-Qur’an. Diantara beberapa ayat yang membahas hal ihwal laut yaitu QS.
Al-Infithar: 3, QS. Ar-Rahman: 19-22, QS. Fathir: 12, QS. Al-Furqan: 53, serta
ada banyak lagi lainnya.
IV.
PENUTUP
Demikianlah makalah ini telah kami susun dengan sebaik-baiknya.
Apabila ada ketidaksempurnaan di dalamnya, kami mohon kritik dan saran yang
bersifat membangun untuk perbaikan makalah selanjutnya. Kami selaku penulis menyadari
akan keterbatasan makalah ini, karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT.
Harapan penulis, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya,
dan bagi pembaca umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qurthubi,Syaikh Imam. Tafsir
Al-Qurthubi, terj., 2008. Jakarta: Pustaka Azzam.
Shihab, Quraish. Tafsir
Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol. 11,. 2002. Jakarta:
Lentera Hati.
____________. Mukjizat Al-Qur’an;
Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah, dan Pemberitaan Ghaib.
2007. Bandung: Mizan Media Utama.
Thalbah, Hisham. Ensiklopedia
Mukjizat Al-qur’an dan Hadits. 2008. Bekasi: Sapta Sentosa.
[1] Hisham
Thalbah, Ensiklopedia Mukjizat Al-qur’an dan Hadits, Bekasi: Sapta
Sentosa, 2008, hlm. 164-165.
[2] Syaikh
Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, terj., Jakarta: Pustaka Azzam,
2008, hlm. 54.
[3] Quraish
Shihab, Tafsir Al-Mishbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Vol.
11, Jakarta: Lentera Hati, 2002, hlm. 31-33.
[4] Quraish
Shihab, Mukjizat Al-Qur’an; Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Isyarat Ilmiah,
dan Pemberitaan Ghaib, Bandung: Mizan Media Utama, 2007, hlm. 181-183.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon