Tafsir Ayat tentang Gunung

I.                   PENDAHULUAN
Bumi adalah tempat tinggal manusia dan beragam makhluk lainnya. Baik benda organik, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan, maupun anorganik (jamadat) seperti benda-benda padat, cair, dan gas, semua berada di bumi sebagai tempat tinggal dan kehidupan yang nyaman.
Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 15 menjelaskan bahwa kenikmatan dan kenyamanan hidup yang diperoleh manusia disebabkan Allah mencipta gunung-gunung. Kenikmatan dan kenyamanan seperti apakah yang diberikan Allah kepada makhluknya melalui gunung-gunung yang diciptakan-Nya? Bagaimanakah proses Allah menciptakan gunung-gunung? Dan bagaimanakah al-Qur’an berbicara tentang gunung-gunung? Serta bagaimana para mufassir menafsirkan ayat-ayat tentang gunung yang kemudian disinambungkan dengan ilmu geologi? Dalam makalah kami akan memaparkan semua pertanyaan-pertanyaan diatas. Semoga bermanfaat.

II.                PEMBAHASAN
A.    Proses Pembuatan Gunung
Pegunungan terbentuk akibat proses tumbukan antar lempeng yang mampu mengangkat material yang diendapkan sebelumnya. Dalam proses pengangkatan tersebut sering disertai pula oleh aktivitas magmatik seperti terbentuknya bantuan-bantuan beku seperti granit maupun gunung api. Tumpukan material yang terangkat dan membentuk pegunungan tersebut tersusun sepanjang batas antarlempeng. Pergeseran lempeng menyebabkan getaran pada lempeng yang kita rasakan sebagai gempa. Massa gunung dan pegunungan yang sangat besar dan memiliki akar yang sebanding dengan tingginya bisa meredam getaran tersebut sehingga kulit bumi tidak bergoncang hebat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa gunung-gunung terpancang mengikuti kaidah keseimbangan hidrostatik (isostasi). Beban gunung-gunung tersebut akan dikomparasikan oleh bagian bawah gunung yang bertindak seperti akar. Semakin tinggi pegunungan, maka semakin dalam akarnya, dan menyebabkan bagian kulit bumi tidak berguncang.[1]
Ilmuwan Mesir Prof. Zaglul an-Najjar mengemukakan bahwa penghamparan bumi dan pembentukan kulit bumi lalu pemecahannya serta pergerakan oasis dan pembentukan benua-benua, gunung-gunung, serta sungai-sungai, dan lain-lain baru terjadi pada periode kelima dari enam periode (sittati ayyam/enam hari) penciptaan alam raya. Pada periode keenam barulah terjadi pembentukan kehidupan dalam bentuknya yang paling sederhana hingga penciptaan manusia. Alam raya diperkirakan berumur antara 10-15 billiun tahun. Sedang, batu-batuan bumi yang tertua diperkirakan terbentuk sekitar 4,6 billiun tahun. Ini serupa dengan hasil penelitian batu-batu bulan dan aneka benda angkasa yang terjatuh ke bumi. Bekas-bekas kehidupan di bumi yang tertua diperkirakan sekitar 3.800 milliun tahun. Jika demikian, masa penyiapan bumi untuk dapat dihuni makhluk hidup sekitar 800 milliun tahun. Kehidupan makhluk yang bernama manusia diperkirakan baru sekitar 100.000 tahun.[2]
B.     Ayat-Ayat tentang Gunung
Al-Qur’an menyebutkan, bahwa gunung dan bukit itu menjadi pasak bumi, supaya bumi menjadi teguh kedudukannya. Juga menjadi pertahanan dan perlindungan dalam masa perang. Bukit-bukit batu dapat dipahat untuk dijadikan bahan bangunan rumah, gedung-gedung besar dan tinggi. Lebah diperintahkan Tuhan membuat sarang di bukit-bukit untuk mengeluarkan madu yang amat berguna bagi kesehatan manusia.
Bukit dan gunung itu mempunyai berbagai lapisan dan berbagai pula isi yang dikandungnya. Manusia diperintahkan supaya memperhatikan bagaimana mula terjadinya dataran bumi, bukit dan gunung-gunung yang menjulang tinggi. Bagaimana pula supaya dapat diambil manfa’atnya.
Selanjutnya dinyatakan pula, bahwa bukit dan gunung itu berjalan sebagai awan yang berarak dengan amat cepatnya. Nanti ketika goncangan kiamat terjadi, gunung dan bukit yang kelihatannya teguh akan dihancurkan semua sampai datar.[3]
Ø  Gunung-gunung Bergerak Cepat
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا تَفْعَلُونَ ﴿٨٨﴾
“Dan engkau melihat gunung-gunung, engkau menyangkanya tetap di tempatnya padahal ia berjalan bagaikan jalannya awan. Perbuatan Allah yang membuat dengan sebaik-baiknya setiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” An-Naml/27: 88
Jibalun جبال adalah jamak taksir dari jabalun جبل (gunung). Jamada-yajmadu-jamdan-jumudan جَمَدَ - يَجْمَدُ – جَمْدًا - جُمُوْدًا (beku, kikir). Jumuudun جُمُوْدٌ (tidak bergerak, kolot). Jaamidun-jaamidatun جامِدٌ – جامِدةٌ (yang beku, yang keras, yang kikir, yang tidak bergerak). Marra-yamurru-marran مرَّ – يمرُّ - مرّاً (berlalu, lewat, pergi). Sahaabun  سَحَابٌdengan jamak taksir suhubun سُحُبٌ (awan).
Al-Biqa’i memahami ayat ini berbicara tentang keadaan gunung pada saat manusia bangkit dari kubur. Ayat ini menurutnya menyatakan: Dan engkau, wahai Nabi Muhammad atau siapa pun, akan melihat gunung-gunung pada saat kebangkitan dari kubur, engkau menyangkanya tetap di tempatnya tidak bergerak, padahal ia berjalan sampai menjadi bagaikan kapas yang beterbangan. Perjalanannya sebenarnya sangat cepat, tetapi karena tidak jelas maka ia terlihat bagaikan jalannya awan. Begitulah perbuatan Allah yang membuat dengan sebaik-baiknya setiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Thabathaba’i juga memahami ayat ini sebagai berbicara tentang keadaan gunung di hari Kemudian, dengan alasan ayat ini berada di antara ayat-ayat yang berbicara tentang hari Kemudian. Apalagi terdapat sekian ayat yang membicarakan perjalanan gunung di hari Kemudian, seperti firman-Nya:
وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا
“Dan dijadikanlah gunung-gunung maka menjadilah ia fatamorgana” (QS. an-Naba’ [78]: 20). Ulama ini memahami kalimat engkau menyangkanya tetap di tempatnya dalam arti engkau mengira ia—sekarang ini—sebelum Kiamat bahwa ia tetap tidak bergerak.
 Ibn ‘Asyur menegaskan bahwa mayoritas ulama berpendapat, ayat ini berbicara tentang satu peistiwa yang terjadi pada saat peniupan sangkakala yang disebut oleh ayat sebelum ini. Mereka—tulisnya—memahami kata melihat dalam arti melihat dengan mata kepala oleh siapa pun, sedang perjalanannya bagaikan awan mereka pahami dalam arti perpindahannya secara cepat, dan mereka memahami perumpamaannya dengan awan dalam arti keadaan gunung ketika itu bagaikan keadaan awan yang terpencar bagian-bagiannya, bagaikan sesuatu yang dihambur-hamburkan. Dan, dengan demikian, ayat ini serupa dengan firman-Nya:
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
“Dan menjadilah gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan (QS. al-Qari’ah [101]: 5). Demikian Ibn ‘Asyur menjelaskan pendapat mayoritas ulama.
Ø  Gunung yang Berdiri Teguh
وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ دَحَاهَا ﴿٣٠﴾ أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا ﴿٣١﴾ وَالْجِبَالَ أَرْسَاهَا ﴿٣٢﴾ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ ﴿٣٣﴾
“Dan bumi sesudah itu dihamparkan-Nya. Dia mengeluarkan darinya airnya dan tempat gembalaannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh untuk kesenangan kamu dan untuk binatang-binatang ternak kamu.” An-Nazi’at/79: 30-33
Ayat-ayat di atas masih merupakan lanjutan dari uraian ayat-ayat yang lalu tentang kuasa Allah SWT., sekaligus menggambarkan betapa besar nikmat-Nya kepada manusia. Allah berfirman: Dan bumi sesudah itu, yakni sesudah Allah menciptakan langit dan bumi tetapi belum terhampar, yakni belum siap dihuni, dihamparan-Nya, yakni menjadikannya siap untuk dihuni oleh manusia. Untuk itulah Dia mengeluarkan darinya, yakni dari perut bumi, airnya dengan mengalirkannya melalui sungai-sungai dan memancarkannya melalui mata air-mata air dan tempat gembalaannya, yakni menumbuhkan rerumputan dan tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh sehingga bumi tidak oleng akibat peredarannya, semua itu untuk kesenangan kamu, wahai umat manusia, dan untuk binatang-binatang ternak kamu.
Ø  Lapisan-lapisan Gunung
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا وَغَرَابِيبُ سُودٌ ﴿٢۷﴾
“Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan dari langit air lalu Kami mengeluarkan dengannya buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan di antara gunung-gunung ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang pekat hitam.” Fathir/35: 27
Kata (جدد) judad adalah bentuk jamak dari kata (جدة) juddah, yakni jalan. Kata (بيض) bidh adalah bentuk jamak dari kata (أبيض) abyadh, kata (سود) sud adalah bentuk jamak dari kata (أسود) aswad/hitam, dan kata (حمر) humur adalah bentuk jamak dari kata (أحمر) ahmar. Adapun kata (غرابيب) gharabib adalah bentuk jamak dari kata (غربيب) ghirbib yaitu yang pekat (sangat) hitam. Sebenarnya istilah yang lumrah dipakai adalah (سود غرابيب) sud gharabib/hitam pekat, tetapi redaksi ayat ini membaliknya untuk menggambarkan kerasnya kepekatan itu.
Allah berfirman: Wahai siapa pun yang mampu melihat dan berpikir! Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan dari langit air hujan lalu Kami dengan kuasa Kami dan melalui hukum-hukum Allah yang Kami tetapkan mengeluarkan, yakni menghasilkan dan memunculkan dengannya, yakni dengan hujan itu, berbagai jenis buah-buahan yang beraneka macam warna, bentuk, rasa, dan aroma-nya. Seandainya yang melakukan itu adalah nature/alam tentu hal-hal tersebut tidak akan beragam dan bermacam-macam. Dan perbedaan serta keragaman serupa terjadi juga pada yang lebih kukuh dari buah-buahan. Engkau dapat melihat di antara gunung-gunung ada yang memiliki jalur dan garis-garis yang terlihat berwarna putih dan ada juga yang merah yang kejelasan warna dan keburamannya beraneka macam warnanya dan ada pula di samping yang merah dan putih itu yang pekat hitam.[4]
Ø  Akan Dihancurkan
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا ﴿١٠٥﴾ فَيَذَرُهَا قَاعًا صَفْصَفًا ﴿١٠٦﴾ لَا تَرَى فِيهَا عِوَجًا وَلَا أَمْتًا ﴿١٠۷﴾
“Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung. Maka, katakanlah: “Tuhanku akan menghancurkannya sehancur-hancurnya, lalu Dia akan menjadikannya datar dan rata. Engkau tidak akan melihat di sana sedikit pun yang rendah dan yang tinggi.”
Thaha/20: 105-107
Dalam al-Qur’an, ditemukan aneka pertanyaan yang dijawab dengan gaya yang berbeda-beda. Salah satu yang berbeda adalah pada ayat ini, yaitu pada redaksi ayat ini perintah menjawab disertai dengan huruf (ف) fa/maka yaitu dengan firman-Nya: (فقل) fa qul/maka katakanlah sedang pada ayat-ayat lain tanpa huruf fa’. Hal ini diduga oleh penafsir al-Qurthubi disebabkan ayat ini bagaikan berkata: Jika ada yang menanyakan kepadamu tentang gunung, katakanlah.
Allah berfirman: Dan mereka, yakni pengingkar Hari Kiamat, bertanya kepadamu, wahai Nabi Muhammad, tentang keadaan gunung-gunung yang melihat sangat kukuh dan tegar. Bagaimana keadaannya ketika Kiamat tiba? Maka, katakanlah kepada mereka: Jika Kiamat tiba, Tuhanku akan menghancurkannya sehancur-hancurnya dengan mancabutnya dari akarnya kemudian menghancurkannya sehingga menjadi bagaikan pasir-pasir halus dan beterbangan dengan mudah bagai kapas yang ringan, lalu Dia Yang Maha Esa itu akan menjadikannya, yakni lokasi gunung-gunung itu, datar dan rata. Engkau—siapa pun engkau yang memiliki potensi melihat—tidak akan melihat di sana, yakni di tempat bekas gunung-gunung itu, sedikit pun dataran yang rendah dan tidak juga dataran yang tinggi.[5]
Ø  Gunung Hancur menjadi Debu
إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا ﴿٤﴾ وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا ﴿٥﴾ فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا ﴿٦﴾
“Apabila bumi diguncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya sehingga jadilah ia debu yang berterbangan.” (Al-Waqi’ah: 4-6)
Kata (رجّت) rujjat terambil dari kata (رجّ) rajja, yakni mengguncang dengan keras. Ayat di atas menggunakan bentuk pasif yang mengesankan terjadinya hal tersebut dengan sangat mudah. Guncangan yang dimaksud adalah gempa dahsyat yang terjadi ketika itu.
Ayat-ayat di atas menjelaskan sebagian perincian kejadian terjadinya Kiamat. Allah berfirman: Apabila bumi yang demikan luas diguncangkan seluruh kawasannya dengan guncangan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung yang demikian tegar dihancurluluhkan sehancur-hancurnya sehingga jadilah ia debu yang sangat kecil dan halus yang beterbangan.
Dalam Tafsir al-Muntakhab, ayat di atas dikomentari lebih kurang sebagai berikut: “Bumi yang kita huni ini pada hakikatnya tidak tetap dan tidak seimbang. Bumi terdiri dari atas lapisan-lapisan batu yang bertumpuk-tumpuk dan tidak teratur. Terkadang lapisannya tidak sama dengan sebelahnya sehingga membentuk apa yang disebut dengan rongga geologi di banyak tempat. Rongga-rongga inilah yang sejak dahulu, bahkan sampai sekarang, menjadi pusat terjadinya gempa berskala besar. itu dimungkinkan karena rongga-rongga itu berada di bawah pengaruh daya tarik-menarik yang sangat kuat yang terjadi saat lapisan-lapisan tanah itu terbelah. Maka, apabila kekuatan ini tidak seimbang akibat pengaruh faktor-faktor eksternal lainnya, akan terjadi hentakan yang sangat kuat dan mengakibatkan guncangan bumi yang dapat menghancurkan permukaan bumi terdekat dari pusat gempa.
Dari situ, penafsiran ayat ini dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan berjalan seirama dengan ayat-ayat yang mengingatkan betapa besarnya bencana yang akan terjadi itu. Semuanya akan terjadi bila Allah berkehendak memusnahkan.[6]
Ø  Gunung Berjalan
يَوْمَ تَمُورُ السَّمَاءُ مَوْرًا ﴿٩﴾ وَتَسِيرُ الْجِبَالُ سَيْرًا ﴿١٠﴾
“Pada hari berguncang langit dengan guncangan besar dan berjalan gunung-gunung dengan gerakan dahsyat.” At-Thur/52: 9-10
Kata (تمور) tamuuru digunakan dalam arti pergerakan yang tidak teratur. Perahu yang terombang-ambing oleh hempasan ombak dilukiskan dengan kata tamuuru. Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti pergi berbolak-balik seperti halnya asap yang mengepul di udara yang diombang-ambingkan oleh angin ke kiri dan ke kanan. Penambahan kata (مورا) maur(an) demikian juga (سيرا) sair(an) pada ayat berikut, di samping untuk menggambarkan hebatnya guncangan dan pergerakan itu, juga untuk menghilangkan kesan yang boleh muncul bahwa kedua hal tersebut hanyalah dalam pengertian majazi dan bukan hakiki.
Allah berfirman: Pada hari, yakni siksa itu datang, ketika berguncang, yakni bergerak, langit, dan berputar ke atas dan ke bawah, ke kiri dan ke kanan, dengan guncangan yang besar dan berjalan, yakni bergerak, gunung-gunung dari tempatnya bagaikan gerakan awan yang dihalau oleh angin dengan gerakan yang dahsyat. Maka, kecelakaanlah pada hari itu bagi para pendusta, yakni yang mantap pengingkarannya terhadap kebenaran, dalam hal ini adalah mereka yang mengingkari keesaan Allah dan keniscayaan Kiamat, yaitu mereka yang di dalam wadah kebatilan ucapan dan perbuatan namun enggan keluar dari wadah itu lagi terus-menerus bermain-main, yakni melakukan aktivitas tanpa tujuan yang benar.[7]
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا ﴿٤٧﴾
“Dan (ingatlah) akan hari (yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan engkau akan melihat bumi rata dan Kami telah kumpulkan mereka, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka.” Al-Kahfi: 47
Ayat di atas menugaskan Nabi Muhammad saw. untuk memperingatkan manusia, setelah sebelum ini beliau diperintahkan untuk memberi mereka tamsil tentang dunia. Ayat ini menyatakan: Dan, ingat dan ingatkanlah, wahai Rasul semua manusia, akan hari yang ketika itu Kami perjalankan gunung-gunung, yakni Kami hancurkan ia sehingga menjadi bagaikan kapas yang berterbangan dan, dengan demikian, engkau akan melihat bumi ini rata karena tidak ada lagi gunung, tumbuhan, atau bangunan dan Kami telah yakni pasti akan kumpulkan mereka, yakni seluruh manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka di dalam kuburnya, yakni di alam penantian, yaitu alam Barzakh.[8]
Gunung akan diruntuhkan
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾
“Hampir-hampir langit pecah karenanya, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh karena mereka menyatakan bahwa ar-Rahman mempunyai anak.” Maryam/19: 90
Ayat ini menyatakan hampir-hampir saja terjadi bencana yang besar di alam raya, yakni langit yang demikian kukuh dan berlapis-lapis itu, pecah karenanya, yakni karena kepercayaan itu, dan hampir-hampir juga bumi tempat berpijak menjadi terbelah dan gunung-gunung runtuh jatuh berkeping-keping karena mereka menyatakan bahwa ar-Rahman Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak.[9]

III.             KESIMPULAN
Jibalun جبال adalah jamak taksir dari jabalun جبل (gunung). Jamada-yajmadu-jamdan-jumudan جَمَدَ - يَجْمَدُ – جَمْدًا - جُمُوْدًا (beku, kikir). Jumuudun جُمُوْدٌ (tidak bergerak, kolot). Jaamidun-jaamidatun جامِدٌ – جامِدةٌ (yang beku, yang keras, yang kikir, yang tidak bergerak). Marra-yamurru-marran مرَّ – يمرُّ - مرّاً (berlalu, lewat, pergi). Sahaabun  سَحَابٌdengan jamak taksir suhubun سُحُبٌ (awan).
Kata (تمور) tamuuru digunakan dalam arti pergerakan yang tidak teratur. Perahu yang terombang-ambing oleh hempasan ombak dilukiskan dengan kata tamuuru. Ada juga yang memahami kata tersebut dalam arti pergi berbolak-balik seperti halnya asap yang mengepul di udara yang diombang-ambingkan oleh angin ke kiri dan ke kanan. Penambahan kata (مورا) maur(an) demikian juga (سيرا) sair(an) pada ayat berikut, di samping untuk menggambarkan hebatnya guncangan dan pergerakan itu, juga untuk menghilangkan kesan yang boleh muncul bahwa kedua hal tersebut hanyalah dalam pengertian majazi dan bukan hakiki.


IV.             PENUTUP
Demikian makalah ini kami susun. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Semoga makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya. Terima kasih.






DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Agama RI. 2012. Penciptaan Bumi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains (Tafsir ‘Ilmi). Jakarta: Kementrian Agama RI
Fachruddin Hs. 1998. Ensiklopedia Al-Qur’an – Jilid I (A - L), cet. II. Jakarta: PT Rineka Cipta
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, .Jakarta: Lentera Hati



[1] Kementrian Agama RI, Penciptaan Bumi dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains (Tafsir ‘Ilmi), (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), hlm. 16-17.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, Jilid 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 55-56
[3] H. Fachruddin Hs, Ensiklopedia Al-Qur’an – Jilid I (A - L), (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1998), hlm. 381-384
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, … , hlm. 58-59
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, … , hlm. 670
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, … ,
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, … , hlm.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, … , hlm. 312-313
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, … , hlm. 529
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan