I.
PENDAHULUAN
Bumi adalah tempat tinggal manusia dan beragam
makhluk lainnya. Baik benda organik, seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan,
maupun anorganik (jamadat) seperti benda-benda padat, cair, dan gas,
semua berada di bumi sebagai tempat tinggal dan kehidupan yang nyaman.
Dalam al-Qur’an surat an-Nahl ayat 15
menjelaskan bahwa kenikmatan dan kenyamanan hidup yang diperoleh manusia
disebabkan Allah mencipta gunung-gunung. Kenikmatan dan kenyamanan seperti
apakah yang diberikan Allah kepada makhluknya melalui gunung-gunung yang
diciptakan-Nya? Bagaimanakah proses Allah menciptakan gunung-gunung? Dan
bagaimanakah al-Qur’an berbicara tentang gunung-gunung? Serta bagaimana para
mufassir menafsirkan ayat-ayat tentang gunung yang kemudian disinambungkan
dengan ilmu geologi? Dalam makalah kami akan memaparkan semua
pertanyaan-pertanyaan diatas. Semoga bermanfaat.
II.
PEMBAHASAN
A.
Proses
Pembuatan Gunung
Pegunungan
terbentuk akibat proses tumbukan antar lempeng yang mampu mengangkat material
yang diendapkan sebelumnya. Dalam proses pengangkatan tersebut sering disertai
pula oleh aktivitas magmatik seperti terbentuknya bantuan-bantuan beku seperti
granit maupun gunung api. Tumpukan material yang terangkat dan membentuk
pegunungan tersebut tersusun sepanjang batas antarlempeng. Pergeseran lempeng
menyebabkan getaran pada lempeng yang kita rasakan sebagai gempa. Massa gunung
dan pegunungan yang sangat besar dan memiliki akar yang sebanding dengan
tingginya bisa meredam getaran tersebut sehingga kulit bumi tidak bergoncang
hebat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa gunung-gunung terpancang
mengikuti kaidah keseimbangan hidrostatik (isostasi). Beban gunung-gunung
tersebut akan dikomparasikan oleh bagian bawah gunung yang bertindak seperti
akar. Semakin tinggi pegunungan, maka semakin dalam akarnya, dan menyebabkan
bagian kulit bumi tidak berguncang.[1]
Ilmuwan
Mesir Prof. Zaglul an-Najjar mengemukakan bahwa penghamparan bumi dan
pembentukan kulit bumi lalu pemecahannya serta pergerakan oasis dan pembentukan
benua-benua, gunung-gunung, serta sungai-sungai, dan lain-lain baru terjadi
pada periode kelima dari enam periode (sittati ayyam/enam hari)
penciptaan alam raya. Pada periode keenam barulah terjadi pembentukan kehidupan
dalam bentuknya yang paling sederhana hingga penciptaan manusia. Alam raya
diperkirakan berumur antara 10-15 billiun tahun. Sedang, batu-batuan bumi yang
tertua diperkirakan terbentuk sekitar 4,6 billiun tahun. Ini serupa dengan
hasil penelitian batu-batu bulan dan aneka benda angkasa yang terjatuh ke bumi.
Bekas-bekas kehidupan di bumi yang tertua diperkirakan sekitar 3.800 milliun
tahun. Jika demikian, masa penyiapan bumi untuk dapat dihuni makhluk hidup
sekitar 800 milliun tahun. Kehidupan makhluk yang bernama manusia diperkirakan
baru sekitar 100.000 tahun.[2]
B.
Ayat-Ayat
tentang Gunung
Al-Qur’an
menyebutkan, bahwa gunung dan bukit itu menjadi pasak bumi, supaya bumi menjadi
teguh kedudukannya. Juga menjadi pertahanan dan perlindungan dalam masa perang.
Bukit-bukit batu dapat dipahat untuk dijadikan bahan bangunan rumah,
gedung-gedung besar dan tinggi. Lebah diperintahkan Tuhan membuat sarang di
bukit-bukit untuk mengeluarkan madu yang amat berguna bagi kesehatan manusia.
Bukit
dan gunung itu mempunyai berbagai lapisan dan berbagai pula isi yang
dikandungnya. Manusia diperintahkan supaya memperhatikan bagaimana mula
terjadinya dataran bumi, bukit dan gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Bagaimana pula supaya dapat diambil manfa’atnya.
Selanjutnya
dinyatakan pula, bahwa bukit dan gunung itu berjalan sebagai awan yang berarak
dengan amat cepatnya. Nanti ketika goncangan kiamat terjadi, gunung dan bukit
yang kelihatannya teguh akan dihancurkan semua sampai datar.[3]
Ø
Gunung-gunung
Bergerak Cepat
وَتَرَى الْجِبَالَ تَحْسَبُهَا جَامِدَةً وَهِيَ تَمُرُّ مَرَّ
السَّحَابِ صُنْعَ اللَّهِ الَّذِي أَتْقَنَ كُلَّ شَيْءٍ إِنَّهُ خَبِيرٌ بِمَا
تَفْعَلُونَ ﴿٨٨﴾
“Dan engkau melihat
gunung-gunung, engkau menyangkanya tetap di tempatnya padahal ia berjalan
bagaikan jalannya awan. Perbuatan Allah yang membuat dengan sebaik-baiknya
setiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
An-Naml/27: 88
Jibalun جبال
adalah jamak taksir dari jabalun جبل (gunung). Jamada-yajmadu-jamdan-jumudan
جَمَدَ - يَجْمَدُ – جَمْدًا - جُمُوْدًا (beku,
kikir). Jumuudun جُمُوْدٌ
(tidak bergerak, kolot). Jaamidun-jaamidatun جامِدٌ
– جامِدةٌ
(yang beku, yang keras, yang kikir, yang tidak bergerak). Marra-yamurru-marran مرَّ
– يمرُّ - مرّاً
(berlalu, lewat, pergi). Sahaabun سَحَابٌdengan
jamak taksir suhubun سُحُبٌ
(awan).
Al-Biqa’i
memahami ayat ini berbicara tentang keadaan gunung pada saat manusia bangkit
dari kubur. Ayat ini menurutnya menyatakan: Dan engkau, wahai Nabi
Muhammad atau siapa pun, akan melihat gunung-gunung pada saat
kebangkitan dari kubur, engkau menyangkanya tetap di tempatnya tidak
bergerak, padahal ia berjalan sampai menjadi bagaikan kapas yang
beterbangan. Perjalanannya sebenarnya sangat cepat, tetapi karena tidak jelas
maka ia terlihat bagaikan jalannya awan. Begitulah perbuatan Allah
yang membuat dengan sebaik-baiknya setiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
Thabathaba’i
juga memahami ayat ini sebagai berbicara tentang keadaan gunung di hari
Kemudian, dengan alasan ayat ini berada di antara ayat-ayat yang berbicara
tentang hari Kemudian. Apalagi terdapat sekian ayat yang membicarakan
perjalanan gunung di hari Kemudian, seperti firman-Nya:
وَسُيِّرَتِ الْجِبَالُ فَكَانَتْ سَرَابًا
“Dan dijadikanlah
gunung-gunung maka menjadilah ia fatamorgana” (QS.
an-Naba’ [78]: 20). Ulama ini memahami kalimat engkau menyangkanya tetap di
tempatnya dalam arti engkau mengira ia—sekarang ini—sebelum Kiamat bahwa ia
tetap tidak bergerak.
Ibn ‘Asyur menegaskan bahwa
mayoritas ulama berpendapat, ayat ini berbicara tentang satu peistiwa yang
terjadi pada saat peniupan sangkakala yang disebut oleh ayat sebelum ini.
Mereka—tulisnya—memahami kata melihat dalam arti melihat dengan mata
kepala oleh siapa pun, sedang perjalanannya bagaikan awan mereka
pahami dalam arti perpindahannya secara cepat, dan mereka memahami
perumpamaannya dengan awan dalam arti keadaan gunung ketika itu bagaikan keadaan
awan yang terpencar bagian-bagiannya, bagaikan sesuatu yang dihambur-hamburkan.
Dan, dengan demikian, ayat ini serupa dengan firman-Nya:
وَتَكُونُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوشِ
“Dan menjadilah
gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan” (QS. al-Qari’ah [101]: 5). Demikian Ibn ‘Asyur menjelaskan
pendapat mayoritas ulama.
Ø
Gunung
yang Berdiri Teguh
وَالْأَرْضَ بَعْدَ ذَلِكَ
دَحَاهَا ﴿٣٠﴾ أَخْرَجَ مِنْهَا مَاءَهَا وَمَرْعَاهَا ﴿٣١﴾ وَالْجِبَالَ
أَرْسَاهَا ﴿٣٢﴾ مَتَاعًا لَكُمْ وَلِأَنْعَامِكُمْ ﴿٣٣﴾
“Dan bumi sesudah itu
dihamparkan-Nya. Dia mengeluarkan darinya airnya dan tempat gembalaannya. Dan
gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh untuk kesenangan kamu dan untuk
binatang-binatang ternak kamu.” An-Nazi’at/79: 30-33
Ayat-ayat
di atas masih merupakan lanjutan dari uraian ayat-ayat yang lalu tentang kuasa
Allah SWT., sekaligus menggambarkan betapa besar nikmat-Nya kepada manusia.
Allah berfirman: Dan bumi sesudah itu, yakni sesudah Allah menciptakan
langit dan bumi tetapi belum terhampar, yakni belum siap dihuni, dihamparan-Nya,
yakni menjadikannya siap untuk dihuni oleh manusia. Untuk itulah Dia
mengeluarkan darinya, yakni dari perut bumi, airnya dengan
mengalirkannya melalui sungai-sungai dan memancarkannya melalui mata air-mata
air dan tempat gembalaannya, yakni menumbuhkan rerumputan dan
tumbuh-tumbuhannya. Dan gunung-gunung dipancangkan-Nya dengan teguh
sehingga bumi tidak oleng akibat peredarannya, semua itu untuk kesenangan
kamu, wahai umat manusia, dan untuk binatang-binatang ternak kamu.
Ø
Lapisan-lapisan
Gunung
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ
أَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجْنَا بِهِ ثَمَرَاتٍ مُخْتَلِفًا
أَلْوَانُهَا وَمِنَ الْجِبَالِ جُدَدٌ بِيضٌ وَحُمْرٌ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهَا
وَغَرَابِيبُ سُودٌ ﴿٢۷﴾
“Tidakkah engkau melihat
bahwa Allah menurunkan dari langit air lalu Kami mengeluarkan dengannya
buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan di antara gunung-gunung ada
garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang
pekat hitam.” Fathir/35: 27
Kata (جدد) judad
adalah bentuk jamak dari kata (جدة) juddah,
yakni jalan. Kata (بيض) bidh
adalah bentuk jamak dari kata (أبيض) abyadh, kata (سود) sud adalah bentuk jamak dari kata
(أسود) aswad/hitam,
dan kata (حمر) humur
adalah bentuk jamak dari kata (أحمر) ahmar.
Adapun kata (غرابيب) gharabib
adalah bentuk jamak dari kata (غربيب) ghirbib
yaitu yang pekat (sangat) hitam. Sebenarnya istilah yang lumrah
dipakai adalah (سود غرابيب) sud
gharabib/hitam pekat, tetapi redaksi ayat ini membaliknya untuk
menggambarkan kerasnya kepekatan itu.
Allah berfirman: Wahai siapa pun yang mampu
melihat dan berpikir! Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan dari
langit air hujan lalu Kami dengan kuasa Kami dan melalui hukum-hukum
Allah yang Kami tetapkan mengeluarkan, yakni menghasilkan dan
memunculkan dengannya, yakni dengan hujan itu, berbagai jenis buah-buahan
yang beraneka macam warna, bentuk, rasa, dan aroma-nya. Seandainya
yang melakukan itu adalah nature/alam tentu hal-hal tersebut tidak akan beragam
dan bermacam-macam. Dan perbedaan serta keragaman serupa terjadi juga
pada yang lebih kukuh dari buah-buahan. Engkau dapat melihat di antara
gunung-gunung ada yang memiliki jalur dan garis-garis yang terlihat
berwarna putih dan ada juga yang merah yang kejelasan warna dan
keburamannya beraneka macam warnanya dan ada pula di samping yang merah
dan putih itu yang pekat hitam.[4]
Ø
Akan
Dihancurkan
وَيَسْأَلُونَكَ
عَنِ الْجِبَالِ فَقُلْ يَنْسِفُهَا رَبِّي نَسْفًا ﴿١٠٥﴾ فَيَذَرُهَا قَاعًا
صَفْصَفًا ﴿١٠٦﴾ لَا تَرَى فِيهَا عِوَجًا وَلَا أَمْتًا ﴿١٠۷﴾
“Dan mereka bertanya kepadamu
tentang gunung-gunung. Maka, katakanlah: “Tuhanku akan menghancurkannya
sehancur-hancurnya, lalu Dia akan menjadikannya datar dan rata. Engkau tidak
akan melihat di sana sedikit pun yang rendah dan yang tinggi.”
Thaha/20: 105-107
Dalam
al-Qur’an, ditemukan aneka pertanyaan yang dijawab dengan gaya yang
berbeda-beda. Salah satu yang berbeda adalah pada ayat ini, yaitu pada redaksi
ayat ini perintah menjawab disertai dengan huruf (ف) fa/maka
yaitu dengan firman-Nya: (فقل) fa
qul/maka katakanlah sedang pada ayat-ayat lain tanpa huruf fa’. Hal
ini diduga oleh penafsir al-Qurthubi disebabkan ayat ini bagaikan berkata: Jika
ada yang menanyakan kepadamu tentang gunung, katakanlah.
Allah
berfirman: Dan mereka, yakni pengingkar Hari Kiamat, bertanya
kepadamu, wahai Nabi Muhammad, tentang keadaan gunung-gunung
yang melihat sangat kukuh dan tegar. Bagaimana keadaannya ketika Kiamat tiba? Maka,
katakanlah kepada mereka: Jika Kiamat tiba, Tuhanku akan
menghancurkannya sehancur-hancurnya dengan mancabutnya dari akarnya
kemudian menghancurkannya sehingga menjadi bagaikan pasir-pasir halus dan
beterbangan dengan mudah bagai kapas yang ringan, lalu Dia Yang Maha Esa
itu akan menjadikannya, yakni lokasi gunung-gunung itu, datar dan
rata. Engkau—siapa pun engkau yang memiliki potensi melihat—tidak akan
melihat di sana, yakni di tempat bekas gunung-gunung itu, sedikit pun dataran
yang rendah dan tidak juga dataran yang tinggi.[5]
Ø
Gunung
Hancur menjadi Debu
إِذَا رُجَّتِ الْأَرْضُ رَجًّا ﴿٤﴾ وَبُسَّتِ الْجِبَالُ بَسًّا
﴿٥﴾ فَكَانَتْ هَبَاءً مُنْبَثًّا ﴿٦﴾
“Apabila bumi diguncangkan
sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancurluluhkan sehancur-hancurnya
sehingga jadilah ia debu yang berterbangan.” (Al-Waqi’ah:
4-6)
Kata (رجّت) rujjat
terambil dari kata (رجّ) rajja,
yakni mengguncang dengan keras. Ayat di atas menggunakan bentuk pasif
yang mengesankan terjadinya hal tersebut dengan sangat mudah. Guncangan
yang dimaksud adalah gempa dahsyat yang terjadi ketika itu.
Ayat-ayat
di atas menjelaskan sebagian perincian kejadian terjadinya Kiamat. Allah
berfirman: Apabila bumi yang demikan luas diguncangkan seluruh
kawasannya dengan guncangan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung yang
demikian tegar dihancurluluhkan sehancur-hancurnya sehingga jadilah ia debu
yang sangat kecil dan halus yang beterbangan.
Dalam
Tafsir al-Muntakhab, ayat di atas dikomentari lebih kurang sebagai berikut:
“Bumi yang kita huni ini pada hakikatnya tidak tetap dan tidak seimbang. Bumi
terdiri dari atas lapisan-lapisan batu yang bertumpuk-tumpuk dan tidak teratur.
Terkadang lapisannya tidak sama dengan sebelahnya sehingga membentuk apa yang
disebut dengan rongga geologi di banyak tempat. Rongga-rongga inilah yang sejak
dahulu, bahkan sampai sekarang, menjadi pusat terjadinya gempa berskala besar.
itu dimungkinkan karena rongga-rongga itu berada di bawah pengaruh daya
tarik-menarik yang sangat kuat yang terjadi saat lapisan-lapisan tanah itu
terbelah. Maka, apabila kekuatan ini tidak seimbang akibat pengaruh
faktor-faktor eksternal lainnya, akan terjadi hentakan yang sangat kuat dan mengakibatkan
guncangan bumi yang dapat menghancurkan permukaan bumi terdekat dari pusat
gempa.
Dari
situ, penafsiran ayat ini dengan menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan
berjalan seirama dengan ayat-ayat yang mengingatkan betapa besarnya bencana
yang akan terjadi itu. Semuanya akan terjadi bila Allah berkehendak
memusnahkan.[6]
Ø
Gunung
Berjalan
يَوْمَ تَمُورُ السَّمَاءُ مَوْرًا ﴿٩﴾ وَتَسِيرُ الْجِبَالُ سَيْرًا ﴿١٠﴾
“Pada hari berguncang langit
dengan guncangan besar dan berjalan gunung-gunung dengan gerakan dahsyat.”
At-Thur/52: 9-10
Kata (تمور) tamuuru
digunakan dalam arti pergerakan yang tidak teratur. Perahu yang
terombang-ambing oleh hempasan ombak dilukiskan dengan kata tamuuru. Ada
juga yang memahami kata tersebut dalam arti pergi berbolak-balik seperti halnya
asap yang mengepul di udara yang diombang-ambingkan oleh angin ke kiri dan ke
kanan. Penambahan kata (مورا) maur(an)
demikian juga (سيرا) sair(an)
pada ayat berikut, di samping untuk menggambarkan hebatnya guncangan dan
pergerakan itu, juga untuk menghilangkan kesan yang boleh muncul bahwa kedua
hal tersebut hanyalah dalam pengertian majazi dan bukan hakiki.
Allah
berfirman: Pada hari, yakni siksa itu datang, ketika berguncang,
yakni bergerak, langit, dan berputar ke atas dan ke bawah, ke kiri dan
ke kanan, dengan guncangan yang besar dan berjalan, yakni bergerak, gunung-gunung
dari tempatnya bagaikan gerakan awan yang dihalau oleh angin dengan gerakan
yang dahsyat. Maka, kecelakaanlah pada hari itu bagi para pendusta,
yakni yang mantap pengingkarannya terhadap kebenaran, dalam hal ini adalah
mereka yang mengingkari keesaan Allah dan keniscayaan Kiamat, yaitu mereka
yang di dalam wadah kebatilan ucapan dan perbuatan namun enggan
keluar dari wadah itu lagi terus-menerus bermain-main, yakni melakukan
aktivitas tanpa tujuan yang benar.[7]
وَيَوْمَ نُسَيِّرُ الْجِبَالَ وَتَرَى الْأَرْضَ بَارِزَةً
وَحَشَرْنَاهُمْ فَلَمْ نُغَادِرْ مِنْهُمْ أَحَدًا ﴿٤٧﴾
“Dan (ingatlah) akan hari
(yang ketika itu) Kami perjalankan gunung-gunung dan engkau akan melihat bumi
rata dan Kami telah kumpulkan mereka, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun
dari mereka.” Al-Kahfi: 47
Ayat di
atas menugaskan Nabi Muhammad saw. untuk memperingatkan manusia, setelah sebelum
ini beliau diperintahkan untuk memberi mereka tamsil tentang dunia. Ayat ini
menyatakan: Dan, ingat dan ingatkanlah, wahai Rasul semua manusia, akan
hari yang ketika itu Kami perjalankan gunung-gunung, yakni Kami hancurkan ia
sehingga menjadi bagaikan kapas yang berterbangan dan, dengan demikian, engkau
akan melihat bumi ini rata karena tidak ada lagi gunung, tumbuhan, atau
bangunan dan Kami telah yakni pasti akan kumpulkan mereka, yakni seluruh
manusia, dan tidak Kami tinggalkan seorang pun dari mereka di dalam kuburnya,
yakni di alam penantian, yaitu alam Barzakh.[8]
Gunung akan diruntuhkan
تَكَادُ السَّمَاوَاتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَتَنْشَقُّ الْأَرْضُ
وَتَخِرُّ الْجِبَالُ هَدًّا ﴿٩٠﴾
“Hampir-hampir langit pecah
karenanya, dan bumi terbelah, dan gunung-gunung runtuh karena mereka menyatakan
bahwa ar-Rahman mempunyai anak.” Maryam/19: 90
Ayat ini
menyatakan hampir-hampir saja terjadi bencana yang besar di alam raya,
yakni langit yang demikian kukuh dan berlapis-lapis itu, pecah
karenanya, yakni karena kepercayaan itu, dan hampir-hampir juga bumi
tempat berpijak menjadi terbelah dan gunung-gunung runtuh jatuh
berkeping-keping karena mereka menyatakan bahwa ar-Rahman Allah Yang
Maha Pemurah mempunyai anak.[9]
III.
KESIMPULAN
Jibalun جبال
adalah jamak taksir dari jabalun جبل (gunung). Jamada-yajmadu-jamdan-jumudan
جَمَدَ - يَجْمَدُ – جَمْدًا - جُمُوْدًا (beku,
kikir). Jumuudun جُمُوْدٌ
(tidak bergerak, kolot). Jaamidun-jaamidatun جامِدٌ
– جامِدةٌ
(yang beku, yang keras, yang kikir, yang tidak bergerak). Marra-yamurru-marran مرَّ
– يمرُّ - مرّاً
(berlalu, lewat, pergi). Sahaabun سَحَابٌdengan
jamak taksir suhubun سُحُبٌ
(awan).
Kata (تمور) tamuuru
digunakan dalam arti pergerakan yang tidak teratur. Perahu yang
terombang-ambing oleh hempasan ombak dilukiskan dengan kata tamuuru. Ada
juga yang memahami kata tersebut dalam arti pergi berbolak-balik seperti halnya
asap yang mengepul di udara yang diombang-ambingkan oleh angin ke kiri dan ke
kanan. Penambahan kata (مورا) maur(an)
demikian juga (سيرا) sair(an)
pada ayat berikut, di samping untuk menggambarkan hebatnya guncangan dan
pergerakan itu, juga untuk menghilangkan kesan yang boleh muncul bahwa kedua
hal tersebut hanyalah dalam pengertian majazi dan bukan hakiki.
IV.
PENUTUP
Demikian
makalah ini kami
susun. Kami menyadari bahwa makalah ini jauh dari
sempurna. Semoga
makalah ini bermanfaat bagi pembaca dan penulis khususnya. Terima kasih.
DAFTAR
PUSTAKA
Kementrian Agama RI. 2012. Penciptaan Bumi dalam
Perspektif Al-Qur’an dan Sains (Tafsir ‘Ilmi). Jakarta: Kementrian Agama RI
Fachruddin Hs. 1998. Ensiklopedia Al-Qur’an
– Jilid I (A - L), cet. II. Jakarta: PT Rineka Cipta
Shihab, M. Quraish. 2002. Tafsir Al-Mishbah:
Pesan, Kesan, dan Keserasian al-Qur’an, .Jakarta: Lentera Hati
[1] Kementrian Agama RI, Penciptaan Bumi dalam Perspektif Al-Qur’an
dan Sains (Tafsir ‘Ilmi), (Jakarta: Kementrian Agama RI, 2012), hlm. 16-17.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, Jilid 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 55-56
[3] H. Fachruddin Hs, Ensiklopedia Al-Qur’an – Jilid I (A - L), (Jakarta:
PT Rineka Cipta, 1998), hlm. 381-384
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, … , hlm. 58-59
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, … , hlm. 670
[6] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, … ,
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, … , hlm.
[8] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, … , hlm. 312-313
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan, dan
Keserasian al-Qur’an, … , hlm. 529
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon