I.
Pendahuluan
Al-qur’an sebagai kitab yang selalu
menjadi rujukan umat islam tidak bisa diartikan dan dipahami secara
sembarangan. Bisa jadi orang yang telah pandai berbahasa arab, mengerti artinya
serta qawaid bahasa, bisa dengan mudah menganggap dirinya layak untuk menjadi mufassir
atau menafsirkan ayat-ayat al-qur’an. Kemukjizatan al-qur’an dari segi bahasa
membuat atau menuntut orang yang akan menafsirkannya untuk mengerti secara
benar cara mengungkap makna yang terkandung di dalamnya.
Di dalam beberapa ayat yang terdapat dalam
al-qur’an, memang Allah SWT telah bersumpah “mempermudah al-qur’an untuk
menjadi pelajaran” (QS. Al-Qamar: 17). Akan tetapi redaksi tersebut tidak dapat
secara sepihak dipahami atau dijadikan dasar menafsirkan al-qur’an dengan mudah
dan dapat dilakukan oleh sembarang orang. Hal tersebut senada dengan firman-Nya
di ayat yang lain (QS. Ali-imran: 7) yang mengingatkan siapa saja yang ingin
menafsirkan al-quran supaya berhati-hati dan mempersiapka diri, karena di dalam
al-qur’an terdapat ayat yang muhkam dan juga terdapat ayat yang mutasyabihat
yang di dalam al-qur’an hal tersebut tidak dijelaskan. Sehingga memerlukan alat
bantu untuk memahami semua itu.
Di dalam makalah ini, penulis ingin
sekedar mengajak untuk membahas hal-hal yang termasuk alat bantu dalam memahami
teks al-qur’an yang kaya akan makna di dalamnya. Salah satunya dengan memahami
kaidah-kaidah yang telah dirumuskan para ulama kebanyakan, terkait permasalahan
tafsir.
II.
Rumusan Maslah
1. Pengertian kaidah dan tafsir
2. Sejarah singkat kaidah-kaidah tafsir
dan ragam kaidah tafsir
3. Pengertian dan maksud kaidah tafsir
satu العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب serta yang berkaitan dengannya
III.
Pembahasan
a. Pengertian kaidah dan tafsir
Kata “kaidah” oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia
diartikan dengan “Rumusan asas-asas yang menjadi hukum; aturan tertentu;
patokan; dalil (dalam matematika)”. Dalam bahasa Arab, قاعدة /kaidah diartikan “asas/ fondasi” jika ia
dikaitkan dengan bangunan, dan ia bermakna “tiang” jika dikaitkan dengan
kemah.
Dalam pengertian istilah, ditemukan beberapa
penjelasan. Syarif al-Jurjâny (1339- 1413) dalam bukunya “at Ta’rifât “
menulis bahwa: Kaidah adalah قضية كلية
منطبقة على جميع جزئيتها Rumusan yang
bersifat kully (umum) mencakup semua bagian-bagiannya.”
Khâlid bin Usman as-Sabt, salah seorang ulama
kontemporer, dalam bukunya “Qawâ’id at-Tafsîr Jam’(an) Wa Dirâsat(an),
mendifiniskan kaidah sebagai حكم كلي يتعرف بها على احكام جزئية yakni
“Ketentuan umum yang dengannya diketahui ketentuan menyangkut
rincian”.[1]
Sedangkan definisi tafsir dapat dipahamai dari Salah
satu difinisi yang singkat tapi cukup mencakup adalah: Penjelasan tentang
maksud firman-firman Allah sesuai dengan kemampuan manusia.
Tafsir/penjelasan itu lahir dari upaya sang penafsir untuk beristinbath/
menarik –sesuai kemampuan dan kecenderungannya– makna-makna yang ditemukannya
pada teks ayat-ayat Al-Qur’an.[2]
b. Sejarah singkat kaidah-kaidah tafsir
dan ragam kaidah tafsir
Para pakar Al-Qur’an sejak dahulu
memberi perhatian menyangkut apa yang kemudian dinamai Kaidah-kaidah Tafsir,
bahkan lahirnya aneka disiplin ilmu
agama pada hakikatnya dipicu oleh dorongan memahami yat-ayat
Al-Qur’an.
Dalam penulisan kitab-kitab Tafsir
dan Ilmu-Ilmu Al-Qur’an, sementara ulama masa lampau menguraikan kaidah-kaidah
tafsir. Antara lain Badruddîn Muhammad bin Abdillah Az-Zarkasyi (w. 794
H/1392 M) dalam kitabnya “Al-Burhân
Fî ‘Ulûm al-Qur’an”, Jalâluddin Abdurrahman as-Sayuthy (w. 911 H
/11505 M) dalam al-Itqân.
Namun demikian, penulisan
kaidah-kaidah itu secara berdiri sendiri baru dikenal jauh setelah generasi
umat yang pertama. Ahmad bin Abdul Halim yang lebih dikenal dengan nama Ibnu
Taimiyah (w. 728 H/1328 M) dapat dicatat sebagai salah seorang perintis
penulisan kaidah tafsir secara berdiri sendiri. Tokoh ini menulis buku yang
bernama “Muqaddimah Ushûl
al-Tafsîr”. Di sana Ibnu Taimiyah mengemukakan sekian persoalan
yang dapat dinilai sebagai kaidah seperti: Sifat perbedaan pendapat ulama masa
lampau, cara penafsiran yang terbaik, persoalan Sebab Nuzûl, Israiliyât
dan sebagainya. Setelah Ibnu Taimiyah menyusul Muhammad Bin Sulaiman al-Kâfîjiy
(w. 879 H) yang menulis “al-Taisîr
Fi Qawa’id ‘Ilm al-Tafsir”.
Penulisan kaidah-kaidah Tafsir
secara berdiri sendiri, seakan-akan sejak itu mandek dan baru mulai segar
kembali akhir-akhir ini. Buku-buku yang relatif baru dalam bidang ini antara
lain “Ushŭl al-Tafsîr wa
Qawâ’iduhu” karya Syekh Khalid Abdurrahman al-‘Ak, “Qawâ’id al-Tarjîh ‘Inda
al-Mufassirîn” karya Husain bin Ali bin al-Husain al-Harby, “Qawâ’id al-Tafsir jam’(an) wa
Dirâsat(an)” karya Khalid bin Usman as-Sabt. Buku “al-Qawâ’id al-Hisân Li Tafsîr
Al-Qur’an karya Syekh Abdurrahman al-Sa’dy merupakan juga salah
satu kitab yang cukup baik dalam bidang ini. Kitab ini memaparkan tujuh puluh
masalah yang dinamainya kaidah.
Ragam kaidah-kaidah
Kaidah-kaidah
Tafsir, pada dasarnya dapat dibagi dalam tiga bagian pokok.
Pertama bersumber dari displin ilmu tertentu
seperti Ilmu Bahasa dan Ushul Fiqh. Keragamam sumber itu menjadikan kaidah
dimaksud dapat diterapkan juga dalam bidang ilmu yang berkaitan, misalnya
yang dari segi bahasa tentang fungsi-fungsi huruf wauw dan perbedaannya dengan tsumma dan fa’. Demikian juga makna-makna yang
dikandung oleh setiap kata, atau bentuk kata itu seperti kala kini/mendatang (mudhâri’) kala
lalu (Mâdhi) atau perbedaan kandungan makna antara kalimat yang
berbentuk verbal
sentence dengan
nominal sentence.
Seorang penafsir mestinya dapat menghayati –misalnya— mengapa Nabi Ibrahim as.
menjawab para malaikat yang berkunjung ke rumah beliau sambil berucap “salamă” lalu
beliau menjawabanya dengan “salămun”
(QS. Hud [11]: 69) dengan menghayati perbedaan yang dikemukakan
pakar-pakar bahasa antara bentuk kata salama,
dan salămun yakni
yang pertama mereka namai Jumlah
Fi’liyah. Ucapan malaikat salam(an)
beerbentuk Jumlah
Fi’liyah sehingga ia dipahami sebagai bermakna Kami mengucapkan salam
(Kata salam(an)
di sini berkedudukan sebagai objek ucapan), sedang ucapan Nabi Ibrahim
as. berbentuk Jumlah
Ismiyah sehingga maknanya adalah keselamatan mantap dan terus menerus menyertai kalian.
Demikian beliau menjawab sambutan damai dengan yang lebih baik.
Kalimat ambigu/ bertimbal misalnya ditetapkan oleh
kaidah Tafsir bahwa kedua maknanya dapat digunakan bila memungkinkan untuk
ditampung. Kata يُضَارَّ
dalam
firman Allah وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ
وَلَا شَهِيدٌ
( QS. al-Baqarah [2]: 282 , asalnya dapat merupakan Yudhârir/memberi
mudharrat, sehingga kata-kata Kâtib
dan Syahid berkedudukan
sebagai pelaku dan dengan demikian ayat ini berpesan kepada penulis utang
piutang dan saksi agar tidak memberi mudharat kepada salah seorang yang
bertransaksi. Di sisi lain, kalau kata yudhârra
asalnya adalah yudhârar,
maka ia berbentuk passif
voice (mabny
li al-majhûl) dan dengan demikian, penggalan ayat ini berpesan
kepada siapa pun yang bertransaksi agar tidak merugikan/ mengakibatkan
mudharrat bagi penulis/notaris maupun saksi. Kedua makna di atas dapat digabung
sehingga berdasar kaidah tersebut ayat di atas dapat difahami dengan kedua
pemahaman itu.
Kaidah-kaidah Usuh Fiqh banyak
sekali diadopsi oleh Tafsir. Misalnya “Perintah pada dasarnya mengandung makna
wajib, kecuali jika ada yang mengalihkannya”. Di sini sangat diperlukan
keluasan ilmu, agar dapat menemukan dalil-dalil yang mengalihkannya itu.
Demikian juga kaidah yang berbunyi “Teks keagamaan yang memerintahkan sedang
sebelumnya ada larangan, maka perintah itu sekadar mengandung makna boleh
dilakukan”.
Kedua: Kaidah yang khusus dibutuhkan oleh
penafsir sebelum melangkah masuk ke dalam penafsiran dan ini antara lain
bersumber dari pengamatan terhadap kesalahan-kesalahan sementara penafsir atau
dari kesadaran tentang perlunya mengikat diri agar tidak terjerumus dalam
kesalahan. Misalnya kaidah-kaidah yang berkaitan dengan penerapan metode Tahlily, Maudhu’iy, atau Muqaran.
Demikian juga menyangkut sistematika penyusunan urutan uraian – misalnya
kapan uraian Asbab
an-Nuzûl didahulukan atas uraian tentang Hubungan ayat dan kapan
sebaliknya. Bagaimana sikap terhadap sinonim yang terdapat dalam al-Qur’an
apakah maknanya sama atau berbeda. Demikian juga apakah dalam al-Qur’an ada
kata atau huruf yang tidak bermakna (zâidah)
dan lain-lain.
Ketiga: Kaidah yang
ditarik dari dan bersumber langsung dari pengamatan terhadap al-Qur’an dan yang
bisa jadi ia tidak sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin ilmu lain.
Kaidah kelompok ketiga ini cukup
banyak. Ambillah sebagai contoh penggunaan bentuk kata Mudhări’ (Kala kini) untuk suatu
peristiwa yang lalu. Ini bila digunakan al-Qur’an, maka ia mengisyaratkan
keindahan atau keburukan peristiwa itu. Firman Allah yang menyinggung
pembunuhan orang-orang Yahudi terhadap nabi-nabi dilukiskan al-Qur’an dengan kata
يقتلون الأنبياء Yaqtuluna
al-Anbiya’
yakni dalam bentuk kata kerja masa kini dan datang, padahal pembunuhan itu
telah berlalu sekian lama. Sebaliknya firman Allah melukiskan pembaiatan
sahabat-sahabat dilukiskan oleh QS. al-Fath [48]: 10 dalam bentuk kata kerja
masa kini, padahal ayat tersebut turun setelah pembaiatan itu. Ini guna
mengisyaratkan betapa indah pemabaiatan itu.
Sebaliknya bila bentuk Mădhy (Kala lampau)
digunakan untuk peristiwa yang belum terjadi, maka itu antara lain untuk
menunjukkan kepastian terjadinya peristiwa itu. Firman Allah dalam QS. an-Nahl
[16]: 1 yang melukiskan kepastian datangnya hari Kiamat menggunakan bentuk kata
masa lampau أتى امر الله فلا تستعجلوه /Telah
datang ketetapan Allah (Kiamat) maka janganlah meminta disegerakan
kedatangannya . Maksudnya Kiamat pasti datang.
Demikian juga kata Kami yang menunjuk Allah
Tuhan Yang Maha Esa. Penggunaan kata tersebut di samping bertujuan menunjukkan
keagungan-Nya juga dapat berarti adanya keterlibatan makhluk dalam aktivitas yang
ditunjuknya. Firman Allah إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا
الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
Sesungguhnya Kami
yang menurunkan al-Qur’an, dan sesungguhnya Kami benar-benar adalah
Pemelihara(nya).
(QS. al-Hijr [15]: 9). Ini karena yang membawa “turun” al-Qur’an
adalah malaikat Jibril as. atas perintah Allah dan yang mememeliharanya bersama
Allah antara lain adalah umat Islam. Sedangkan kalau Allah menunjuk diri-Nya
dengan kata Aku, maka itu antara lain
mengisyaratkan bahwa tidak ada selain-Nya yang boleh /dapat terlibat di
dalamnya, seperti firman-Nya dalam QS. Yâsîn [36]: 61 وَأَنِ اعْبُدُونِي هَذَا صِرَاطٌ مُسْتَقِيمٌ dan hendaklah kamu menyembah-Ku.
Inilah jalan yang lurus.
Bisa juga kata Aku menunjukkan bahwa
keterlibatan selainnya sedemikian sedikit/kecil tidak berarti sehingga dinilai
“tidak ada” seperti dalam firman-Nya ذَرْنِي
وَمَنْ خَلَقْتُ وَحِيدًا
Biarkanlah Aku (bertindak)
terhadap orang yang Aku telah menciptakannya sendirian (QS.
al-Muddaststir [74]: 11).
Demikian sekelumit pengantar. Sekali
lagi ditegaskan bahwa kaidah-kaidah Tafsir adalah patokan umum bagi para
pengkaji al-Qur’an untuk memahami pesan-pesan Kitab Suci itu dan yang dapat
membantunya memahami al-Qur’an dalam waktu yang tidak terlalu lama.[3]
c. Kaidah العبرة
بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Menurut Istilah Al –Ibratu Bi umumi Lafdzi la Bikhususi
Sabab العبرة بعموم اللفظ لابخصوص السبب
merupakan kaedah tafsir yang digunakan dalam konteks
pemahaman mengenai ayat-ayat dikenal luas kaidah yang
maksudnya adalah patokan dalam memahami makna ayat ialah
Lafazhnya yang bersifat umum, bukan sebabnya.
Kaedah di atas menjadikan ayat tidak terbatas berlaku terhadap pelaku,
tetapi berlaku terhadap siapapun itu selama redaksi yang digunakan ayat
bersifat umum. Untuk itu perlu digaris bawahi bahwa yang dimaksud dengan Khususu
as-Sabab adalah sang pelaku saja, sedang yang dimaksud dengan redaksinya
bersifat umum harus dikaitkan dengan peristiwa yang terjadi, bukannya terlepas
dari peritiwanya.
Dari penjelasan diatas dapat dipahami jika terdapat ayat turun karena
sebab yang khusus, sedangkan lafat yang terdapat dalam ayat tersebut bersifat
umum, maka hukum yang diambil adalah mengacu pada keumuman lafat bukan
pada kekhususan sebab. Atau dengan kata lain bahwa dalil al-Qur’an
yang menjadi acuan hukum adalah bukan mengacu pada kekhususan sebab atau
kejadian yang menjadi penyebab diturunkannya ayat itu tetapi mengacu pada
keumuman lafazh ayat tersebut. Hal itu disebabkan karena kejadian yang menjadi
penyebab diturunkannya ayat itu hanyalah sekedar isyarat (petujuk)
saja bukan sebuah kekhususan.
Adapun contoh dari kaedah diatas diantaranya: ayat tentang saling mengutuk
(li’an) yang menjadi acuan hukum syar’i yang bersifat umum bagi setiap suami
yang menuduh istrinya telah berkhianat meskipun sebanarnya ayat tersebut
turun untuk menjelaskan kejadian yang khusus yaitu kejadian Hilal Bin
Umayyah.[4]
(QS.An-Nur: 5-6)
Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, (berbuat zina)
dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, Maka deralah mereka (yang
menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian
mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.
Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka
tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian
orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah
Termasuk orang-orang yang benar.
Maksud dari wanita-wanita yang baik-baik adalah wanita-wanita yang Suci,
akil balig dan muslimah.
Dalam Shahih Al-Bukhari dari hadits Ibnu ‘Abbas r adliyallaahu
‘anhuma :
أن هلال بن أمية
قذف امرأته عند النبي صلى الله عليه وسلم بشريك بن سحماء فقال النبي صلى الله عليه
وسلم : البينة أو حد في ظهرك ، فقال هلال: والذي بعثك بالحق إني لصادق فلينزلن
الله ما يبرء ظهري من الحد ، فنزل جبريل ، وأنزل عليه : (وَالَّذِينَ يَرْمُونَ
أَزْوَاجَهُمْ) (النورالآية:6) فقرأ حتى بلغ (إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ) (النور:
الآية:9)
“Bahwasannya
Hilal bin ‘Umayyah menuduh istrinya berzina dengan Syarik bin Sahmaa’. Maka
Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam berkata : ‘Al-Bayyinah (hendaklah
kamu mendatangkan bukti) atau kamu akan dirajam’. Maka Hilal berkata :
‘Demi Dzat yang mengutusmu dengan kebenaran, sungguh aku benar. Semoga Allah
menurunkan ayat yang dapat membebaskan punggungku dari hukuman (hadd)’.
Kemudian Jibril turun dan membawa wahyu kepada beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam : ”Dan orang-orang yang menuduh istrinya (berzina)”. Beliau
shallallaahu ‘alaihi wasallam membaca hingga sampai kepada ayat : ”Jika
suaminya itu termasuk orang-orang yang benar” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari
no. 2671].
Jadi, ayat ini turun dengan sebab tuduhan Hilal bin Umayah kepada istrinya.
Akan tetapi kandungan hukumnya berlaku umum, baik untuk dirinya maupun untuk
orang lain. Hal ini berdasarkan dalil yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari
hadits Sahl bin Sa’ad radliyallaahu ‘anhu bahwa ‘Uwaimir Al-‘Ajlaani
datang kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, kemudian dia berkata :
“Wahai Rasulullah, seorang laki-laki mendapati istrinya bersama laki-laki lain.
Apakah dia membunuhnya (laki-laki yang bersama istrinya tersebut) maka kalian
semua akan membunuhnya, atau apa yang harus dia lakukan?”. Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam menjawab : “Allah telah menurunkan Al-Qur’an tentangmu dan
tentang istrimu”. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan atas keduanya dengan mula’anah (melaknat) sesuai dengan
apa yang disebutkan Allah dalam kitab-Nya. Maka dia me-li’an istrinya
(Al-Hadits).[5]
Oleh sebab itu Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam menjadikan hukum
dalam ayat-ayat ini mencakup masalah Hilal bin ‘Umayyah dan juga bagi yang
lainnya.
Sebagai contoh juga riwayat yang menyatakan bahwa firman Allah dalm
QS. al-Ma’idah [5]: 33;Artinya:
Tidak lain balasan orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya serta melakukan perusakan di bumi, kculai mereka dibunuh tanpa ampun, atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka bersilang.
atau diasingkan dari bumi (temap tinggalnya).
Salah satu riwayat menyatakan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan hukuman
diterapkan oleh beberapa Sahabat Nabi Saw. dalam kasus suku al-Urainiyin.
Imam bukhari meriwayatkan bahwa seeklompok suku ‘Ukal dan Urainah datang
menemui Nabi Saw. setelah menyatak keisalmanan mereka. Mereka mengadu
tentang kesulitannya dalam kehidupan. Maka beliau memberi mereka unta agar
mereka manfaatkan. dan Ternyata di tengah jalan mereka membunuh pengembala unta
itu, bahkan mereka murtad. Setelah mendengar Rasulullah pun mengutus pasukan
berkuda yang berhasil menangkap sebelum tiba di perkampungan mereka.
Pasukan itu memotong tangan dan kaki mereka serta mencungkil mata dengan
besi yang dipanaskan, hingga mereka meninggal.
Jika kita memahami makna memerangi Allah dan Rasul-Nya dan
melakukan perusakan di bumi dalam pengertian umum, terlepas dari Sabab
an-Nuzul, maka banyak sekali kedurhakaan yang dapat dicakup oleh redaksi
tersebut, Nah apakah kaedah diatas mencakup semuanya ? Jawabannya:
Tidak! Keumuman lafazh itu terikat dengan bentuk peristiwa yang menjadi
Sabab an-Nuzul sehingga ayat ini hanya berbicara tentang sanksi hukum bagi
pelaku yang melakukan perampokan yang disebut oleh sebab di atas, yang
sekelompok orang dari dua suku Serta semua yang melakukan apa yang
dilakukan oleh rombongan kedua suku itu (perampokan).
Sementara ulama masa lampau tidak menerima kaedah tersebut.
Dengan menyatakan bahwa: العبرة بخصوص
السبب لابعموم اللفظ
Pemahaman ayat adalah berdasar pada ” sebabnya” bukan redaksinya bersifat
umum. Jadi, menurut mereka ayat di atas hanya berlaku pada kedua suku
‘Ukail dan Urainah.
Para ulama membahas maksud kata yang bersifat umum, dalam ayat هtu adalah kalimat (yuharibuna Allah wa Rasulahu) memerangi Allah dan
Rasul-Nya). Adapun Imam Malik memahami ayat diatas dalam arti “ mengangkat
senjata untuk merampas harta orang lain yang pada dasarnya tidak ada permusuhan
antara yang merampas dan yang dirampas hartanya,” sebagaimana kasus di atas,
baik perampasan tersebut terjadi di dalam kota maupun di tempat
terpencil. Dengan demikian Imam malik tidak sepenuhnya mempertimbangkan tempat
dan situasinya. ini berbeda dengan Imam Abu Hanifah yang menilai bahwa
perampasan tersebut terjadi di tempat terpencil, seperti halnya kasus turunnya
ayat ini, sehingga jika terjadi di kota atau tempat keramaian, maka ia tidak
termasuk dalam kategori.
Kekuatan kaedah pertama karena:
1.
Jumhur ulama
berpendapat: bahwa yang menjadi pegangan adalah lafal yang umum dan bukan sebab
yang khusus, sehingga hukum/pelajaran yang diambil adalah umum berlaku pada
semua orang.Misalnya : ayat Li’an (prosesi sumpah antara suami istri untuk
menolak dari tuduhan zina) yang turun mengenai tuduhan Hilal bin Umaah kepada
isterinya:
2.
Inilah pendapat
yang kuat dan paling sahih. Pendapat ini sesuai dengan keumuman ( universalitas
) hukum-hukum syariat. Dan ini pulalah jalan yang ditempuh para sahabat dan
para mujtahid umat ini. Mereka menerapkan hukum ayat tertentu kepada
peristiwa-peristiwa lain yang bukan merupakan sebab turunnya ayat-ayat
tersebut. Misalnya ayat zihar dalam kasus Aus bin Samit, atau Salamah bin Sakhr
sesuai dengan riwayat mengenai hal itu berbeda- beda. Berdalil dengan keumuman
redaksi ayat-ayat yang diturunkan untuk sebab-sebab khusus sudah populer
dikalangan ahli.
DAFTAR PUSTAKA
Az-Zarkasyi, Badr
Ad-Din Muhammad bin Abdillah, Al-Burhan
fi-Ulum Al-Quran. (Kairo : Darul
Hadits, 2006, Tt).
Hakim, M. Baqir,
Ulumul Qur’an. (Jakarta: Al-Huda, 2006).
Shihab, Quraish, Artikel
kaidah tafsir 1. Web Pusat Studi Al-qur’an
Shihab, Quraish, Kaidah
Tafsir. (Tanggerang: Lentera Hati, 2013).
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon