Cara Melakukan Jarh dan Ta’dil
Disadari
sepenuhnya oleh para ulama bahwa jalan utama untuk mengetahui hukum syari’at
adalah melalui penukilan dan periwayatan. Oleh karena itu ditetapkanlah
beberapa ketentuan dalam Jarh dan ta’dil para perawi yang pada pokoknya
meliputi:
- Bersikap jujur dan
proporsional, yaitu mengemukakan keadaan perawi secara apa adanya.
Muhammad Sirin seperti dikutip Ajaz al-Khatib mengatakan:“Anda
mencelakai saudaramu apabila kamu menyebutkan kejelekannya tanpa
menyebut-nyebut kebaikannya”
- Cermat dalam melakukan penelitian. Ulama misalnya
secara cermat dapat membedakan antara dha’ifnya suatu hadits karena
lemahnya agama perawi dan dha’ifnya suatu hadits karena perawinya tidak
kuat hafalannya.
- Tetap menjaga batas-batas
kesopanan dalam melakukan Jarh dan Ta’dil. Ulama senantiasa dalam etik
ilmiah dan santun yang tinggi dalam mengungkapkan hasil Jarh dan
ta’dilnya. Bahkan untuk mengungkapkan kelemahan para perawi seorang ulama
cukup mengatakan:
لم يكن تستقيم اللسان
“
Tidak adanya keteguhan dalam berbicara”
- Bersifat Global dalam
menta’dil dan terperinci dalam mentajrih. Lazimnya para ulama tidak
menyebutkan sebab-sebab dalam menta’dil, misalnya tidak pernah disebutkan
bahwa si fulantsiqah atau‘adil karena shalat, puasa, dan tidak menyakiti
orang. Cukup mereka mengatakan “ si fulan tsiqah atau‘adil”. Alasannya
tidak disebutkan karena terlalu banyak.lain halnya dengan al-Jarh, umumnya
sebab-sebab al-Jarhnya disebutkan misalnya si “ fulan itu tidak bisa
diterima haditsnya karena dia sering teledor, ceroboh, leboh
banyak ragu, atau tidak dhabit atau pendusta atau fasik dan
lain sebagainya.
Untuk mengetahui ‘adilnya’ seorang
perawi menurut Ajaz al-Khatib ada dua jalan[1]:
- Melalui popularitas
keadilan perawi dikalangan para ulama. Jadi bila seorang perawi sudah
dikenal sebagai orang yang ‘adil seperti Malik bin Annas, Sufyan Tsauri,
maka tidak perlu lagi diadakan penelitian lebih jauh lagi.
- Melalui tazkiyah, yaitu
adanya seorang yang adil menyatakan keadilan seorang perawi yang
semula belum dikenal keadilannya.
Adapun
untuk mengetahui kecacatan juga dapat ditempuh seperi pada cara mengetahui
keadilan seorang perawi yang disebutkan di atas.
Tingkatan dan Lafadz-lafazd
Jarh dan Ta’dil
Melalui cara al- Jarh dan Ta’dil seperti yang
dikemukakan di atas, akan terungkap kualitas perawi yang sepintas menggambarkan
tingkatan atau klasifikasi mereka, oleh para ulama ahli hadits diungkapkan
dengan lafadz-lafadz tertentu baik untuk al-Jarh maupun ta’dil. Dalam melakukan jarh dan
ta’dil para ulama Hadits merumuskan beberapa lafal yang dipergunakan sesuai
dengan tingkat ke jarah-an dan keadilan yang dimiliki oleh seorang perawi.
Masing-masing jarh dan ta’dil, sebagaimana yang dikutip oleh Ajaz al-Khatib,
mempunyai 6 (enam) tingkatan, yaitu:
Tingkatan lafadz ta’dil, secara berurutan dari yang tertinggi tingkat
keadilannya sampai kepada yang terendah, adalah dengan menggunakan lafal-lafal
sebagai berikut[2].
Pertama, أو ثق النَّاس , أ ضبط
النَّاسِ, ليس لَهُ نَظِيْرٌ
(orang yang paling
tsiqat/terpercaya, paling dabit, tiada bandingan baginya),
Kedua, فُلاَنٌ لاَ يَسْألُ عَنْهُ
أَوْ عَنْ مِثْلِهِ
(si fulan tidak perlu
dipertanyakan tentang dirinya, atau diragukan lagi keadilannya),
Ketiga, ثِقَةٌ ثِقَةٌ, ثِقَةٌ
مَأْمُوْنٌ, ثِقَةٌ حَفِظٌ
(terpercaya lagi terpercaya,
terpercaya lagi jujur, terpercaya lagi mempunyai kekuatan hafalan yang baik),
Keempat, , متقن, حجة, إمام, عدل حافظ, عدل
ضابطثبت
(kokoh, sempurna, hujjah,
iman, adil lagi hafiz, adil lagi dabit)
Kelima, , مأمون, لا بأس به قصدو
(benar, jujur, tidak ada
masalah). Lafal-lafal tersebut hanya menunjukkan keadilan seseorang, tetapi
tidak menunjukkan ke dabitannya.
Keenam, شيخ, ليس ببعيد من الصواب,
صويلح, صدوق إن شاء الله
(syeikh, tidak jauh dari
benar, gak baik, semoga benar). Lafal-lafal ini menunjukkan seseorang perawi
itu sudah mendakati jarh.
Namun,
skema perbandingan lafadz ta’dil yang diungkapkan oleh ulama sangat beragam,
begitu uga dengan lafadz yang digunakan, meskipun secara peringkat sama, namun
secara lafadz berbeda. Keragaman tersebut sangat nampak diantara tokoh-tokoh
berikut ini. Pertama, yaitu yang membagi tingkatan lafadz ta’dil hanya 4
tingkatan, (Ibn Abi Hatim Al-Raziy, Ibn Al-shalah, Al-nawawiy). Kedua, yaitu
yang memebagi tingkatan lafadz ta’dil menjadi 5 tingkatan, (Al-dzahabiy,
Al-‘iraqiy, Al-harawiy). Ketiga, yaitu yang memebagi tingkatanlafadz ta’dil
menjadi 6 tingkatan, (Ibn Hajar Al-‘asqalaniy dan Al-suyuthiy)[3],
dengan perbandingan lafdz sebagai berikut:
اوثق الناس، ثقة ثقة، ثقة، صدوق، لابأس به، شيخ، صالح
الحديث، أرجو ان لابأس به
Akan tetapi, Para ulama Hadits menyatakan keshahihan sanad dengan
empat pertama dari tingkatan lafal ta’dil di atas. Sementara
untuk tingkatan kelima dan keenam yang tidak menunjukkan kedabitan seorang
perawi, baru dapat diterima Hadisnya apabila ada sanad lain
sebagai penguatnya[4].
DAFTAR PUSTAKA
Al-Khatib, Ajaz, “Ulum
al-Hadits Ulumuhu wa Musthalahuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1975).
Rahman, Fatchur, Ikhtisar Mushthalahul Hadits, (Bandung: PT
Al-ma’arif, 1991).
Yuslem, Nawir, Sembilan
Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri Pustaka Utama, 2006)
Ismail, Syuhudi, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1995).
[2]
Dr. Nawir Yuslem, M.A., Sembilan Kitab Induk Hadis, (Jakarta: Hijri
Pustaka Utama, 2006), h. 173
[3]
Bagan dan Penjelasan lebih lanjut dapat dibaca di buku Prof. Dr. H.M. Syuhudi
Ismail, Kaidah Keshahihan Sanad Hadits, (Jakarta: Bulan Bintang, 1995),
h. 196-100, dan Drs. Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahul Hadits,
(Bandung: PT Al-ma’arif, 1991), h. 273-276
[4]
Opcit, h. 174
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon