Inovasi Baik Buruk

Inovasi Baik Buruk.
عَنْ جَرِيرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ: جَاءَ نَاسٌ مِنَ الأَعْرَابِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. عَلَيْهِمُ الصُّوفُ. فَرَأَى سُوءَ حَالِهِمْ. قَدْ أَصَابَتْهُمْ حَاجَةٌ. فَحَثَّ النَّاسَ عَلَى الصَّدَقَةِ. فَأَبْطَئُوا عَنْهُ حَتَّى رُئِيَ ذَلِكَ فِي وَجْهِهِ. قَالَ: ثُمَّ إِنَّ رَجُلاً مِنَ لأَنْصَارِ جَاءَ بِصُرَّةٍ مِنْ وَرِقٍ. ثُمَّ جَاءَ آخَرُ ثُمَّ تَتَابَعُوا حَتَّى عُرِفَ السُّرُورُ فِي وَجْهِهِ. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ. وَمَنْ سَنَّ فِي الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا وَلاَ يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
Terjemah:
“Dari Jarir bin ‘Abd Allah katanya: Datang sekumpulan Arab Baduwi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka memakai pakaian bulu. Baginda melihat buruknya keadaan mereka. Mereka ditimpa kesusahan. Baginda menganjurkan orang orang untuk bersedekah. Namun mereka lambat melakukannya sehingga kelihatan kemarahan pada wajah baginda. (Kata Jarir) Kemudian seorang lelaki dari golongan Ansar datang dengan sebuah perak (dan mensedekahkannya). Kemudian datang seorang yang lain pula, kemudian orang ramai datang (bersedekah) berturut-turut. Sehingga terlihat kegembiraan pada wajah baginda.(Melihat yang sedemikian) Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: siapa yang mengadakan (memulaikan) dalam Islam sunnah yang baik lalu ia diamalkan setelah itu, ditulis untuknya (pahala) seperti pahala orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi sedikitpun pahala mereka (para pengamal itu) sedikit pun. dan siapa yang mengadakan (memulaikan) dalam Islam sunnah yang jelek lalu ia diamalkan setelah itu, ditulis untuknya (dosa) seperti dosa orang yang mengamalkannya tanpa dikurangi dosa mereka (para pengamal itu) sedikit pun”. (HR. Muslim: 1017, kitab Zakat, Tirmidzi: 2675, dan An Nasa-i: 2554).

Penjelasan
Pertama, bahwasanya makna مَنْ سَنَّ ialah: Mengerjakan suatu amalan dengan cara melaksanakan atau mengikuti yang sudah ada sebelumnya, bukan mengerjakan suatu amalan dengan cara membuat syariat yang baru. Adapun maksud hadits diatas adalah melakukan amalan sesuai dengan yang ditetapkan oleh Rasulullah  SAW. Yang menunjukkan hal tersebut adalah penyebab disabdakannya hadits ini, yaitu tentang masalah shadaqah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah SAW.[1]
Kedua, bahwasanya Rasulullah bersabda مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً  “Barangsiapa yang mengerjakan dalam Islam Sunnah yang baik…” sementara itu beliau juga bersabda كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ “Semua bid’ah adalah sesat”, tidaklah mungkin muncul dari lisan Rasulullah –yang benar dan dibenarkan-, suatu perkataan yang mendustakan perkataan yang lain, tidak mungkin perkataan Rasulullah –صلّى الله عليه و سلّم- bertentangan selama-lamanya.
Ada juga yang memaknai مَنْ سَنَّ  sebagai orang yang menghidupkan kembali suatu sunnah setelah sunnah tersebut telah lama ditinggalkan. Suatu hadits yang menunjukkan hal ini adalah:
مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِي فَعَمِلَ بِهَا النَّاسُ كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً فَعُمِلَ بِهَا كَانَ عَلَيْهِ أَوْزَارُ مَنْ عَمِلَ بِهَا لَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِ مَنْ عَمِلَ بِهَا شَيْئًا.
“Barangsiapa yang menghidupkan sunnah dari sunnahku kemudian mengamalkannya, maka dia mendapat pahala seperti orang yang mengamalkan sunnah tersebut tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang mengadakan suatu kebid’ahan kemudian dikerjakan (bid’ah itu) maka dia mendapatkan dosa orang yang mengamalkan bid’ah tersebut tanpa mengurangi sedikitpun dosa orang yang mengamalkan bid’ah itu. (HR. Ibnu Majah no. 204)
Jadi, maksud dari hadits di atas adalah barangsiapa yang melakukan suatu ketaatan yang disyariatkan dalam Islam, lalu orang-orang mengikutinya, maka ia telah mencontohkan sebuah sunnah hasanah.
Dan kata سَنَّ maknanya bukan membuat-buat ibadah atau amalan baru yang tidak pernah disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya.[2] Berdasarkan sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam:
من عمل عملًا ليس عليه أمرنا فهو رد
barangsiapa yang mengamalkan amalan yang tidak ada dalam urusan kami, maka amalan tersebut tertolak”. (Shahih Muslim: 1718)
dalam riwayat lain:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد
barangsiapa mengada-ada dalam urusan kami, sesuatu yang tidak ada asalnya dari kami, maka ia tertolak”. (Shahih Bukhari: 2697)
Imam asy Syathibi rahimahullah (wafat tahun 790 H) berkata tentang hadits di atas. Perkataan Rasulullah SAW, barangsiapa merintis suatu sunnah (amalan) yang baik dan barangsiapa merintis sunnah (amalan) yang buruk, maka yang dimaksud bukan merintis perbuatan baik dan buruk menurut akal. dikatakan yang baik atau yang buruk  itu tidak diketahui kecuali melalui jalur syariat. Karena yang berhak menilai baik dan buruk sesuatu itu tidak lain hanyalah (Yang Membuat) syari’at dan tidak ada pintu akal untuk masuk ke dalam wilayah itu. Jadi kata sunnah (amalan) yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah amalan baik atau amalan buruk menurut syariat. Dan amalan baik yang dimaksudkan disini pun tidak lain adalah meliputi urusan shadaqah yang tersebut di dalam hadits di atas. (Ringkasan al-Ithisham, hal. 101-02).
Turut berpendapat Syaikh al-Albani ketika mentahqiq hadits tersebut. “Yakni membuka jalan (merintis) bagi kaum muslimin untuk melakukan perbuatan baik yang terdapat dasar umumnya dalam agama. Inilah makna yang benar menurut bahasa dan konteks hadits.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Mathar, Hammud Bin Abdullah, Ensiklopedi Bid’ah. Darul Haq, Jakarta, 2005.
Baqi, Muhammad Abdul, Shahih Muslim. Maktabah Ibadur Rahman, Mesir, 2008.
Rahimy, Abd Syukur, Terjemah Hadits Shahih muslim jilid 1,2,3,4. KBC, Malaysia, 2007.



[1] Dari Jabir bin Abdullah رضي الله عنه berkata: Rasulullah صلى الله عليه و سلم pernah berkhutbah kepada kami, lalu beliau member semangat kepada manusia untuk bersedekah, akan tetapi mereka berlambat-lambat untuk bersedekah sampai-sampai nampak kemarahan diwajah beliau kemudian datanglah seorang Anshar dengan sekantong (sedekah) lalu orang-orang (bersedekah) mengikutinya sehingga nampak keceriaan diwajah beliau, maka beliaupun bersabda: “Barang siapa…. dst.”. Lafazh hadits ini dari riwayat Ad Daarimiy, no. 514 (1/141) dan dalam riwayat Muslim lebih panjang dari ini
[2] Hammud Bin Abdullah Al-Mathar, Ensiklopedi Bid’ah. Darul Haq, Jakarta, 2005. Hal: 58-61
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan