Al-Mannar

Oleh: Zaimuddin Ahya'




I.                   BIOGRAFI PENULIS
Al-Mannar adalah salah satu kitab tafsir yang berorientasi sosial, budaya, dan kemasyarakatan; suatu corak penafsiran yang menitik beratkan penjelasan ayat al-qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah. Dengan penonjolan tujuan utama turunnya al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan perkembangan dunia.
Tokoh utama corak penafsiran ini, serta yang berjasa meletakkan dasar-dasarnya adalah Syaikh Muhammad Abduh, yang kemudian dikembangkan oleh murid sekaligus sahabatnya, Sayyid Muhammad Rasyid Ridlo, dan dilanjutkan oleh ulama’-ulama’ lain. Berikut adalah biografi dari beliau berdua:

A.    Biografi Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad Bin Abduh Bin Hasan Khairullah. Dia dilahirkan di desa Mahallat Nashr di Kabupaten al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M. dia berasal dari keluarga yang tidak tergolong kaya, bukan pula keturunan bangsawan. Namun, ayahnya dikenal sebagai orang terhormat yang suka member pertolongan.[1]
Muhammad Abduh hidup dalam lingkungan keluarga petani di pedesaan. Semua saudaranya membantu ayahnya mengolah pertanian, kecuali Muhammad Abduh yang oleh ayahnya ditugaskan untuk menuntut ilmu pengetahuan.
Mula-mula Muhammad Abduh dikirim ayahnya ke Masjid al-Ahmadi Thantha (sekitar 80 km dari Kairo) untuk mempelajari tajwid al-Qur’an. Namun, sistem pengajaran di sana dirasakan sangat menjengkelkannya sehingga setelah dua tahun (tahun 1864) di sana, Muhammad Abduh memutuskan untuk kembali ke desanya dan bertani seperti saudara-saudara serta kerabatnya dan kemudian dia menikah pada umur 16 tahun.
Walaupun sudah menikah ayahnya tetap memaksanya untuk kembali belajar. Namun, Muhammad Abduh sudah bertekat untuk tidak kembali. Maka, dia lari ke desa Syibral Khit. Di kota inilah dia bertemu dengan Syaikh Darwisy Khidr, salah seorang pamannya yang mempunyai pengetahuan mengenai al-Qur’an dan menganut paham tasawuf asy-Syadziliyah. Sang paman berhasil mengubah pandangan pemuda Muhammad Abduh dari seorang yang membenci ilmu pengetahuan menjadi orang yang menggemarinya. Dari sini, Muhammad abduh kembali ke Masjid Ahmadi Tantha. Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada periode ini, Muhammad Abduh sangat dipengaruhi cara dan paham sufistik yang ditanamkan oleh Syaikh Darwisyi Khidr.
Dari Tantha, Muhammad Abduh menuju ke Kairo untuk belajar di al-Azhar. Namun, system pengajaran ketika itu tidak berkenaan dengan hatinya. Pada tahun 1871, jamaluddin al-Afgani tiba di Mesir. Kehadirannya disambut oleh Muhammad abduh dengan menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan oleh al-Afgani. Hubungan keduanya memungkinkan Jamaluddin al-Afgani mengalihkan kecenderungan Muhammad abduh dari Tasawuf-dalam arti yang sempit dan dalam bentuk tata cata berpakaian dan dzikir-kepada tasawuf dalam arti yang lain, yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju serta membela ajaran-ajaran islam.
Setelah lulus dari tingkat Alamiyah (sekarang L.C.), dia mengabdikan diri pada al-azhar. pada 1879, Jamaluddin al-Afgani diusir oleh pemerintah Mesir atas hasutan Inggris. Sedangkan abduh pada tahun yang sama juga diberhentikan. Tapi dengan terjadinya perubahan kabinet pada 1880, Abduh dibebaskan kembali dan diserai tugas memimpin surat kabar resmi pemerintah. Setelah revolusi urobi 1882 Muhammad Abduh, diasingkan oleh pemerintah mesir di Suriah. Di negara ini, Muhammad abduh menetap selama setahun. Kemudian dia menyusul gurunya, Jamaluddin al-Afgani yang ketika itu berada di Paris tahun 1885, Muhammad Abduh meninggalkan Paris menuju Bairot (Lebanon), dan mengajar di sana, sambil mengarang kitab-kitab. Di bairut, aktivitas Muhammad Abduh tidak terbatas pada mengarang saja, tetapi bersama beberapa tokoh agama lain, dia juga mendirikan suatu organisasi yang bertujuan menggalang kerukunan antar umat beragama. Namun, organisasi ini dan aktivitas anggotanya dinilai oleh penguasa Turki di bairut mempuyai tujuan-tujuan politik, sehingga mereka mengusulkan kepada pemerintah mesir untuk mencabut hukuman pengasingan Muhammad Abduh agar dia segera kembali ke Mesir.
Pada 1905 Muhammad abduh mencetuskan ide pembentukan Universitas Mesir. Namun, saying pula Universitas yang dicita-citakan ini, baru berdiri setelah Muhammad Abduh berpulang ke Rahmatullah (11 Juli 1905), dan universitas inilah yang kemudian menjadi “Universitas Kairo”[2].

B.     Sayyid Muhammad Rasyid Ridlo
Sayyid Muhammad Rasyid Ridlo dilahirkan di Kalmon, sebuah kampung 4 km dari Tripoli, Libanon, pada 27 Jumadil awal 1282 H. dia adalah seorang bangsawan Arab yang mempunyai garis keturunan langsung dari Sayyidina Husain.
Disamping menimba ilmu kepada orang orang tuanya sendiri, rasyid Ridho belajar juga kepada sekian banyak guru. Dimasa kecil dia belajar di al-Kuttab. Setelah tamat, dia dikirim ke Tripoli( Lebanon) untuk belajar dimadrasah Ibtidaiyah yang mengajarkan nahwu, sharaf, akidah, fiqih, berhitung, dan ilmu bumi. Setahun kemudian, dia pindah kesekolah Islam Negeri, yang merupakan sekolah terbaik pada saat itu dengan bahasa arab sebagai bahasa pengantar, disamping juga diajarkan pula bahsa Turki dan Perancis. Sekolah ini di dirikan dan dipimpin oleh Syekh Husain al-Jisr. Ulama’ inilah yang kelak mempunyai andil sangat besar terhadap perkembangan pemikiran Rasyid Ridho.
Selama masa pendidikan ini, sayyid Muhammad Rasyid Ridha membagi waktunya antara ilmu dan ibadah. Masjid tempat kakeknya berkhalwat dijadikan oleh rasyid Ridha sebagai tempat belajar dan ibadah. Dia juga berusaha menyucikan jiwa dengan cara menghindari makanan yang lezat-lezat, atau tidur di atas kasur, mengikuti tata cara yang dilakukan oleh para sufi.
Pada saat Rasyid Ridha memulai perjuanagn dikampung halamannya, Muhammad Abduh memimpin pula pembaruan di Mesir. Majalah al-Urwah al-Wutsqa yang diterbitkan oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh di Paris dibaca juga oleh Rasyid Ridha dan memberi pengaruh besar pada jiwanya, sehingga mengubah sikap pemuda yang berjiwa sufi ini menjadi seorang pemuda yang penuh semangat.
Kekaguman pada Muhammad Abduh bertambah sejak Abduh kembali ke Bairut untuk kedua kalinya. Pertemuan antara keduanya terjadi ketika Abduh berkunjung ke Tripoli. Pertemuan kedua juga terjadi di Tripoli. Kali ini asyid Ridha menemani Abduh sepanjang hari, sehingga banyak kesempatan untuk berdiskusi. Sedangkan pertemuan ketiga terjadi di Kairo Mesir. Sebulan setelah pertemuan ke tiga ini, Rasyid Ridha mengemukakan keinginannya untuk menerbitkan suatu surat kabar yang mengolah masalah-masalah sosial, budaya, dan agama.
Pada mulanya Abduh tidak menyetujui gagasan ini, karena pada saat itu di Mesir sudah cukup banyak media massa, apalagi persoalan yang diolah diduga kurang menarik perhatian umum. Namun, rasyid Ridha menyatakan tekadnya, walaupun harus menaggung kerugian material. Akhirnya abduh merestui dan memilih nama al-Manar dari sekian banyak nama yang diusulkan oleh Rasyid Ridha.
Al-manar terbit perdana pada tanggal 22 Syawal 1315 H/17 Maret 1898 M, berupa media mingguan sebanyak delapan halaman, dan mendapat sambutan hangat, bukan hanya di Mesir atau negara-negara sekitar saja, tetapi juga sampai ke Eropa, bahkan ke Indonesia. Rasyid Ridho juga menggagas sekolah dai yang bernama madrasah Dar ad-Da’wah wa al-Irsyad.
Kemudian, dalam suatu perjalanan dari kota suez mesir, setelah mengantar pangeran Sa’ud al-faisal, mobil yang dikendarainya mengalami kecelakaan dan dia mengalami gegar otak. Selama dalam perjalanan, rasyid Ridha hanya membaca al-Qur’an, walua dia telah sekali muntah. Setelah memeperbaikai posisinya, tanpa disadari oleh orang-orang ynag menyertainya, tokoh ini wafat dengan wajah yang sangat cerahdisertai senyuman pada tanggal 23 Jumadil Awal 1354, bertepatan dengan 22 agustus 1935 M[3].

II.             TAFSIR AL-MANAR
Tafsir al-Manar yang bernama tafsir al-Qur’an al hakim memperkenalakan dirinya sebagai “kitab tafsir satu-satunya yang menghimpun riwayat-riwayat yang shahih dan pandangan akal yang tegas, yang menjelaskan hikmah-hikmah Syari’ah serta sunnatullah terhadap manusia, dan menjelaskan fungsi al-Qur’an sebagai petunjuk untuk seluruh manusia, disetiap waktu dan tempat, serta membandingkan petunjuknya dengan keadaan kaum muslimin dewasa ini(pada waktu terbitnya) yang telah berpaling dari petunjuk itu serta dengan keadaan para salaf yang berpegang teguh degan tali hidayah itu. Tafsir ini disusun dengan redaksi yang mudah sambil menghindari istilah-istilah ilmu dan teknis sehingga dapat dimengerti oleh orang awam tetapi tidak dapat diabaikan oleh orang-orang khusus. Itulah cara yang ditempuh oleh filosof Islam al-Ustadz Syaikh Muhammad Abduh dalam pengajaran al-Azhar.”

A.    Cikal Bakal Tafsir al-Manar
Tafsir al-Manar pada dasarnya merupakan hasil karya tiga orang tokoh Islam, yaitu Sayyid Jamaluddin al-Afghani, Syaikh Muhammad Abduh, dan Sayyid Muhammad Rasyid ridha.
Tokoh pertama menanamkan gagasan-gagasan perbaikan masyarakat kepada sahabat dan muridnya, Abduh, oleh tokoh kedua ini gagasan-gagasan itu dicerna, diterima, dan diolah, kemudian disampaikan melalui ayat-ayat al-qur’andan diterima oleh, antara lain, tokoh ketiga yang kemudian menulis semua yang disampaikan oleh sahabat dan gurunya itu dalam bentuk ringkasan dan penjelasan.
Ringkasan dan penjelasan itu kemudian dimulai secara berturut-turut dalam majalah al-Manar, yang dipimpin dan dimilikinya itu dengan judul Tafsir al-Qur’an al-hakim—diasadur dari kuliah al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh[4].
Abduh sempat menyampaikan kuliah-kuliah tafsirnya dari surah al-fatihah sampai dengan surat an-Nisa’ ayat 125. Kemudian tokoh ketiga (Rasyid Ridha) menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an secara “sendirian” yang pada garis besarnya mengikuti “metode dan cirri-ciri pokok” yang digunakan oleh gurunya sampai dengan ayat 52 surat Yusuf.
Pada dasarnya, kehadiran tafsir al-Manar tidak bisa dilepaskan adari majalah al-Manar. Karena, tafsir al-Manar adalah himpunan dari majalah dengan nama yang sama. Jadi, visi misinya pun sama. Majalah al-Manar sengaja dipersiapkan untuk menjadi corong bagi gerakan pembaharuan Islam dalam memajukan umat Islam dan membebaskan mereka dari belenggu penjajah. Pada nomer perdananya dijelaskan bahwa tujuan majalah tersebut antara lain melaksanakan pembaharuan dibidang agama, sosial, dan ekonomi; menjalaskan bukti-bukti kebenaran Islam dan keserasiannya dengan kemajuan zaman; meneruskan cita-cita al-Urwah al-Wutsqa, memberantas bid’ah, khurafat, takhayul, kepercayaan jabariyyah dan fatalis, praktik-praktik bidah dalam tarekat-tarekat sufi; meningkatkan mutu pendidikan Islam; dan memacu umat Islam agar bisa mengejar umat lain dalam berbagai bidang yang diperlukan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan umat. Ridha juga mengatakan bahwa salah satu kemunduran umat Islam adalah sudah membudayanya paham Jabariyyah. Sebaliknya sebab-sebab kemajuan bangsa Eropa adalah sudah membudayanya paham ikhtiyar (dinamis). Padahal, Islam sendiri sebenarnya berisiajaran yang mendorong umatnya agar bersifat dinamis.
Ridha juga berpendapat bahwa ilmu pengetahuan modern tidak bertentangan dengan Islam. Kerena ilmu pengetahuan itu merupakan dasar kemajuan bagi peradapan barat, sudah sepantasnya umat Islam diseluruh dunia yang mendambakan kemajuan, siap mempelajarinya.
Menerut Ridha selanjutnya, Ilam iti sederhana saja, baika dalam masalh ibadah maupun muamalah. Ibadah kelihatan ruwet, karena hal-hal yang sunnah dan tidak wajib dijadikan wajib. Demikaian pula maslah muamalah, islam hanya menetapkan dasar-dasarnya saja, seperti persamaan dan keadilan. Untuk perinciannya diserahkan kepada umat Islam.
Dalam masalah politik, Ridha mengatakan bahwa kemunduran umat Islam dibidang ini adalah karena perpecahan yang terjadi diantara mereka. Karena itu jika mereka ingin maju, mereka harus mewujudkan persatuan.[5]

B.     Metode Penafsiran
Seperti yang telah disinggung diatas, walaupun Ridha lebih banyak dalam menafsirkan, tetapi dia mengikuti metode yang digunakan Muhammad Abduh yaitu:
a.      Dalam menafsirkan al-Qur’an Abduh menggunakan perspektif sosiologis, yang dapat menjelaskan bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks urusan keagamaan dan urusan duniawi dalam setiap masa.
b.      Muhammad Abduh dalam konteks tertentu menghindari pola konsepsiaonal dari berbagai permasalahan ini, meskipun hal itu akan membawa kepada keindahan al-Qur’an. Pada saat-saat tertentu para ahli tafsir klasik menuturkan sekian banyak sebab-sebab turunnya ayat secara beragam, agar menjadi dasar bagi ayat-ayat yang mengiringinya secara langsng, serta melakukan klasifikasi atas sebagian ayat yang lain sesuai dengan kronologi sejarah turunnya ayat. Muhammad Abduh lalu berkonsentrasi menetapkan sebuah pola kesatuan di antara sekian ragam tema-tema al-Qur’an sampai batas maksimal.[6]

C.    Corak Pemikiran Dalam tafsir al-Manar
Karena Tafsir al-manar ditulis olah dua pengarang, pastinya ada persamaan dan perbedaan corak pemikiran, diantara persamaan-persamaannya adalah:
1.      Menganggap satu surah sebagai satu kesatuan ayat yang serasi
            Ketika menafsirkan firman Allah dalam surah Ali Imran ayat 37.
“ Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.”
            Muhammad Abduh menolak pendapat yang menyatakan bahwa rizqi yang dimaksud adalah buah-buahan musim dingin yang didapatnya di musim panas atau sebaliknya, dengan alasan bahwa pengertian rizqi tidak harus dikaitkan dengan suatu hal yang luar biasa. Pendapat Abduh kemudian dijelaskan oleh Rasyid Ridha secara rinci dengan mengemukakan sebab dicantumkannya kisah maryam dalam surat al-Imran. Rasyid Ridha mengatakan bahwa tujuan utama turunnya al-Qur’an adalah untuk menjelaskan akidah ketuhanan, kebangkitan, dan pembalasan, serta wahyu dan kenabian  

2.      Ayat-ayat al-Qur’an bersifat umum
            Ketika menafsirkan arti ya’muru dalam firman Allah pada surat at-Taubah ayat 17:
“Tidaklah wajar (bukan menjadi sifat) orang-orang musyrik memakmurkan masjid-masjid Allah”
            Rasyid Ridha tidak sependapat dengan para mufassir yang membatasi arti “memakmurkan” dengan ibadah murni (mahdhah) semata-mata atau dalam arti umroh ke masjid al-Haram dan sebagainya, tetapi memakmurkan masjid menurutnya adalah beribadah kepada Allah. Imam Syafi’I dan Ibnu Jarir berpendapat bahwa satu kata yang bersifat umum dapat dipahami dalam keseluruhan artinya walaupun kata itu bersifat musytarak (ambigu), selama arti-arti tersebut dapat diterapkan. Memang, ada kata yang ambigu tetapi tidak dapat diterapkan kedua artinya, seperti kata quru’[7].   

3.      Al-Qur’an adalah sumber Akidah dan Hukum
            Menurut Abduh, al-Qur’an adalah sumber akidah dan hukum Islam. Apa yang telah dinyatakan oleh Abduh tersebut telah pula menjadi pegangan Ridha dalam mengemukakan pemikirannnya tentang masalah akidah dan hukum. Dalam salah satu penegasannya Ridho menyatakan bahwa pegangan yang sudah baku dari Rasulullah dan para Khalifah adalah al-Qur’an merupakan sumber utama ajaran-ajaran Islam. Karena itu, akidah dan hukum-hukum Allah terlebih dahulu harus diketahui di dalam kitab suci. Kalau sudah diketahui di dalamnya, harus diambil atau dijadikan dasar, dan tidak perlu lagi dicari pada sumber lain. Namun, jika tidak dijumpai dalam kitab suci tersebut, harus dicari dalam sunah rasulullah SAW. Selanjutnya Ridho juga menjelaskan bahwa untuk masalah-masalah yang murni agama, seperti akidah dan ibadah harus diambil dari nash-nash al-Qur’an, penjelasan dari sunah rosulullah SAW, dan keterangan dari para sahabat. Jika keteranagan itu mereka sepakati, tidak ada alasan bagi seseorang untuk menentang dan meninggalkannya. Karena itu, kata Ridha dalam hal apapun tidak dibenarkan orang membuat ibadah yang tidak dipraktikkan oleh rasulullah dan mayoritas shahabat. Demikian pula tidak dibenarkan kalau ibadah itu hanya didasarkan pada qiyas atau ijma’ orang-orang sesuadah mereka, kemashlahatan, dan ilat-ilat atau teori-teori hukum[8].

4.      Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat
            Syaikh Muhammad Abduh mengatakan bahwa ada dua dasar dari islam yang perlu diperhatikan. Dasar yang pertama untuk memperleh ilmu pengetahuan adalah pertimbangan makna. Pertimbangan akal itu menurutnya, merupakan pendekatan untuk keimanan yang benar. Untuk itu, islam sudah membimbing anda kepada keimanan yang benar dengan berbagai argumentasi dan membuat anda menyerah pada keputusan akal. Dasar yang kedua, adalah mendahulukan dalil akal atas dalil naqol (arti lahir nash-nash yang terdapat di dalam al-Qur’an dan sunnah) jika antara keduanya terdapat pertentangan. Selanjutnya, terhadap dalil naqol (nash) tersebut dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, kita terima dalil naqol itu adalah dalil yang abash dan tidak bercacat, namun kita akui bahw akita tidak mampu memahaminya. Kedua, kita takwilkan nash-nash itu sesuai dengan pengertian yang biasa dipakai dalam bahasa sehingga pengertiannyapun bisa sesuai dengan pemahaman akal[9].  

5.      Bersikap hati-hati terhadap hadits Nabi saw.
            Sebagaiman gurunya-Syaikh Muhammad abduh-rasyid Ridha juga tidak menerima semua hadis-hadis nabi SAW. Walaupun hadis tersebut ditemukan dalam shahih bukhari atau muslim yang banyak ulama dinilai merupakan kitab-kitan hadis yang dapat dipertanggungjawabkan. Namun, patut digaris bawahi bahwa Rasyid Ridha sering kali serusaha menolak suatu hadis dengan menggunakn alas an-alasan disiplin ilmu hadis, berbeda halnya dengan Muhammad abduh[10].

6.      Bersikap Hati-hati terhadap pendapat sahabat
            Rasyid Ridha-sebagaiman halnya Muhammad abduh-sangat berhati-hati terhadap riwayat-riwayat yang mengemukakan pendapat-pendapat nabi SAW. Kehati-hatian tersebut disebabkan oleh apa yang telah diuraikan ketika dikemukakan pendapat Muhammad abduh dalam hal yang sama.
Ulama-ulama tafsir mengakui bahwa banyak sekali riwayat-riwayat yang mengemukakan pendapat-pendapat sahabat yang nilainya jauh dari predikat shahih, khususnya yang mengatas namakan ali bin abi thalib dan ibnu abbas[11].
            Setelah kita mengetahui persamana-persamaan kedua pemikir tersebut, di bawah ini beberapa perbedaan pemikiran antara keduanya.

1.      Keluasan pembahasan menyangkut ayat-ayat yang ditafsirkan dengan hadis-hadis nabi SAW.
            Dalam menafsirkan al-Qur’an ridha banyak sekali memaparkan hadis-hadis nabi SAW. Riwayat para sahabt dan tabi’in yang dinilainya shahih penilaiannya lebih ketat dari sekian banyak tokoh tafsir dan hadis, dan penilaiaan tersebut tidak hanya terbatas pada sisi kandungan riwayat, tapi juga sisi transmisi perowi-perowinya[12]. Sedangkan Abduh-menurut Ridha-pengetahuannya tentang ulum al-Hadis sangat terbatas., terutama yang berkenaan dengan periwayatan, penghafalan, dan al-jarh wa al-ta’dil[13].

2.      Penyisipan pembahasan yang luas menyangkut permasalahan yang dibutuhkan masyarakat
      Penyisipan pembahasan tersebut meliputi: bidang hukum, perbandingan agama, sunnatullah, dan perkembangan ilmu pengetahuan.

3.      Keluasan pembahasan tentang penafsiran ayat dengan ayat
         Salah satu pengaruh ibnu katsir terhadap Muhammad rasyid ridho adalah usahanya mengikuti jejak ibnu katsir dalam menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an dengan ayat-ayat lainnya, suatu cara penafsiran, yang dinilai oleh ulama, paling tepat untuk memahami arti ayat-ayat al-Qur’an.

4.      Keluasan pembahasan kosa kata dan ketelitian susunan redaksi
            Dalam banyak ayat, Rasyid Ridha berusaha untuk menjelaskan pengertian-pengertian yang dikandung oleh setiap suatu kata, atau rahasia-rahasia yang dapat ditarik dari susunan suatu redaksi, khususnya yang berbeda dengan redaksi ayat lain yang juga berbicara tentang persoalan yang sama.
            Apa yang ditempuh ridha ini dan ulama’-ulama tafsir sebelumnya, dikenal dewini dengan istilah tafsir muqaran, yang salah satu bagiannya adalah “membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang berbeda redaksinya padahal masing-masing ayat tersebut berbicara tentang masalah yang sama, atau membandingkan ayat-ayat al-Qur’an yang redaksinya sama/mirip sedang konteks masing-masing berbeda”[14].


III.          DAFTAR PUSTAKA
M. Quraish shihab, Rasionalitas al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2006)
Rasyid Ridha, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar (PT Gelora Aksara Pratama, 2006)
Ignaz Goldiziher MAZHAB TAFSIR Dari Aliran Klasik Hingga Modern ( Elsaq Press, 2003)




[1] Sayyid Muhammad Rasyid Ridho, Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh, Juz 1, percetakan al-Mannar, 1931, hal. 14
[2] M. Quraish shihab, Rasionalitas al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2006) hal. 7-13
[3] Ibid. hal. 71-81
[4] Ibid. hal. 83-84
[5] Ridha, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar (PT Gelora Aksara Pratama, 2006) hal. 33-36
[6] MAZHAB TAFSIR Dari Aliran Klasik Hingga Modern, Ignaz Goldiziher, Elsaq Press, 2003, hal. 422
[7] M. Quraish shihab, Rasionalitas al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2006) hal. 87-91
[8] Rasyid Ridha, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar (PT Gelora Aksara Pratama, 2006) hal. 44-45
[9] Ibid. hal. 62
[10] M. Quraish shihab, Rasionalitas al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2006) hal. 105-106
[11] Ibid. hal. 108
[12] Ibid hal. 118
[13] Rasyid Ridha, Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar (PT Gelora Aksara Pratama, 2006) hal. 53
[14] M. Quraish shihab, Rasionalitas al-Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2006) hal. 137-138
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan