I.
PENDAHULUAN
Manusia sebagai makhluk Tuhan yang selalu
terbatas sangatlah mengharapkan bantuan, khususnya dari sang Kholiq. Manusia
akan mengalami berbagai macam warna kehidupan yang mana keragaman itu
adakalanya baik dan adakalanya buruk. Wahyu merupakan hal standar yang menjadi
tolak ukur sebuah kebaikan dan keburukan, ini adalah salah satu kemurahan Tuhan
kepada makhluknya, yakni dalam memberikan pedoman melalui utusan Nya yang
terpilih berupa wahyu. Dimana ini memiliki fungsi sebagai sebuah aturan dalam
kehidupan seorang hamba.
Sebagai umat yang meyakini kerasulan Muhammad
kita mengenalnya dengan nama al-Qur’an. Mempelajari isi daripada al-Qur’an
sangatlah penting. Tafsir merupakan hal terpenting dalam menggali kandungan
Kitab. Tafsir juga merupakan ilmu
syari’at yang paling tinggi dan paling agung kedudukannya. Selain karena objek
pembahasannya yang mulia, tafsir adalah sebuah alat penting yang harus
dibutuhkan disetiap zaman. Ini dikarenakan untuk menggali fungsi al-Qur’an
dalam mengetahui petunjuk Ilahi yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu
atau Kitab.[1]
Memperoleh tujuan yang disebutkan di atas adalah
perjuangan yang telah lama dilakukan oleh berbagai kalangan. Dimulai dari
Rasulullah di dalam menjelaskan al-Qur’an melalui al-Hadits, dilanjutkan di
masa sahabat, tani’in dan bahkan sampai sekarang pun masih akan dilakukan
penafsiran terhadap Kalam Tuahan ini. Karena selain tafsir sebagai
produk tafsir juga sebagai proses.[2]
Mahmud az-Zamakhsyari dengan karyanya Tafsir
al-Kasyaf adalah salah satu tafsir yang mengungkap keagungan wahyu Ilahi yang
lahir di era ke dua (afirmatif dengan nalar ideologis).[3]
Mengenai bagaimana antara az-Zamakhsyari dan karyanya al-Kasyaaf akan menjadi
sangat bermanfaat dalam pembahasan makalah ini. Semoga ini menjadi sebuah
berita keilmuan yang bermanfaat. Amin
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimanakah profil
kehidupan al-Zamakhsyari?
B. Bagaimanakah
penafsiran Al-Qur’an dalam Tafsir Al-Kasyaf?
C. Apa metode dan corak Tafsir Al-Kasyaf?
III. PEMBAHASAN
A. Biografi
al-Zamakhsyari
i. Riwayat Hidup
al-Zamakhsyari
Abu
al-Qasim Jârullâh Mahmud bin Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Umar al-Khawarizmi
Az-Zamakhsyari yang lebih masyhur dengan nama Az-Zamakhsyari (467-538 H.)
adalah pengarang Kitab Tafsir al-Kasyaaf yang juga merupakan seorang golongan
madzhab mu’tazilah.. Dilahirkan di Zamakhsyar adalah suatu desa di Khawarizmi (terletak
di wilayah Turkistan, Rusia, yang sekarang masuk dalam
negara Uzbekistanbagian dari Uni Soviet)pada hari Rabu 27 Rajab 467 H atau
18 Maret 1075 M dari keluarga miskin tetapi alim dan taat beragama.
Mulai
remaja sudah merantau mencari ilmu ke Bukhara, kemudian pulang dan menjadi
salah satu murid Abu Mudaar al-Nahwi dan berhasil menguasai Bahasa Arab,
logika, filsafat dan ilmu kalam. Kemudian pernah di Baghdad menjadi murid Abu
al-Khottab al-Batr Abi Sya’idah al-Syafani, Abi Manshur al-Harisi dalam
pengajian hadits dan menjadi murid al-Damagani al-Syarif ibnu Syajari dalam
ilmu fiqih. Pernah pula merantau di Makkah selama dua tahun dan di sini beliau
mempelajari kitab Sibawaihi pakar gramatia Arab yang terkenal ((w. 518 H).
Setelah dua tahun kembali ke kampung halaman akhirnya berkesempatan lagi untuk
kembali ke Mekkah dan menetap selama tiga tahun di tahun 256-259 Hatau
1132-1135 M, dan bertempat tingal dekat dengan baitullah sehingga
mendapat gelar sebagai Jaarullah. Beliau wafat setelah kembali ke Negerinya di
Jurjaaniyyah pada malam ‘Arafah tahun 538 H. Az-Zamakhsyari membujang selama
hidupnya dan sebagian waktunya diabdikan untuk mencari ilmu dan menyebarkan
faham yang dianutnya. Oleh karena itu pencatat biografinya mencatat 50 karya
yang telah di tulisnya dan masih ada yang berbentuk manuskrip.[4]
ii. Karya-karya
al-Zamakhsyari
Di antara karya-karya az-Zamakhsyari yaitu :
a. Bidang tafsir : al-Kasyaaf
‘an Haqoiqut Tanzil wa Uyuun al-Aqaawil fi Wujuuh al-Ta’wil.
b. Bidang Hadits : al-Fa’iq
fi Ghoriib al-Hadits.
c. Bidang Fiqih : al-Ra’id
fi al-Fara’idl.
d. Bidang Ilmu Bumi : al-Jibaal
wa al-Amkinah
e. Bidang Akhlaq :
Mutasyabih Asma’ al-Ruwat.
f.
Bidan Nahwu dan Bahasa : al-Namuujaz fi al-Nahwi dan Asaas
al-Balaghoh.[5]
B. Tafsir Al-Kasyaf
a. Latar belakang
penulisan
Penulisan tafsir ini sebenarnya adalah sebuah
permintaan dari pada sahabat dan orang yang mengelilinginya. Ini dapat diketahui
di dalam mukaddimah tafsirnya yang pernah dikutip oleh Hamim Ilyas sebagai
berikut :
“Sungguh
telah datang kepadaku sahabat-sahabatku dari golongan orang-orang yang mulia,
selamat dan adil. Mereka menguasai ilmu bahasa Arab dan Tauhid. Sewaktu mereka
datang kepadaku untuk menafsirkan suatu ayat. Aku menjelaskan
kandungan-kandunan ayat tersebut yang masih ghaib/ tertutup, dan mereka pun
menyatakan kekagumannya atas diriku. Saat itu pula mereka meminta aku membuat
suatu karya yang berisi pokok-pokok penjelasan al-Qur`an, serta mengajarkannya
kepada mereka ‘sekumpulan tentang hakikat-hakikat turunnya al-Qur`an dan
pandangan-pandangan yang esensial dalam segi penta`wilan’. Pada mulanya aku
tidak bersedia, kemudian mereka tetap bersikeras meminta, bahkan mereka datang
kembali beserta tokoh-tokoh agama Ahl al-‘Adl wa al-Tauhîd. Dan yang
mendorongku bersedia, karena aku sadar bahwa mereka meminta sesuatu yang sesuatu
itu wajib aku turuti, karena melibatkan diri pada sesuatu (yang mereka minta)
itu hukumnya fardhu ‘ain. Dimana pada waktu itu situasi dan kondisi (negeri)
sedang kacau, dan lemahnya tokoh-tokoh ulama, serta jarangnya orang yang
menguasai bermacam-macam keilmuan, apalagi berbicara tentang penguasaan ilmu
Bayân dan ilmu Badi`”[6]
Az-Zamakhsyari menulis tafsirnya dimulai ketika
berada di Makkah pada tahun 526 H dan diselesaikan pasa Senin Rabi’ul Akhir 528
H. Penafsiran az-Zamkahsyari ini dipandang sangat menarik karena mempunyai
uraian yang singkat tetapi jelas.
b. Sumber Penulisan
Di dalam menyusun karyanya berupa Kitab Tafsir
yang ini az-Zamakhsyari juga mempunyai berbagai sumber untuk menyelesaikannya.
Di antaranya adalah yang dikutip oleh Hamim Ilyas dari Manhaj al-Zamakhsyari
sebagai berikut :
a. Tafsir al-Mujaahid
(w.104 H)
b. Tafsir ‘Amr ibn ‘As
ibn ‘Ubaid al-Mu’tazili (w. 144 H)
c. Tafsir Abi Bakr
al-Mu’tazili (w. 235 H)
d. Tafsir az-Zajaz
(w.311 H)
e. Tafsiral-Rumsni (w.
382 H)
f. Tafsir ‘Ali ibn Abi
Thalib dan Ja’far Saadiq.
g. Tafsir dari
kelompok Jabaariyyah dan Khawaarij.[7]
c. Metode dan cora
penafsiran
Al-Zamakhsyari di dalam menafsirkan Al-Qur’an,
disusun dengan tartib mushafi, yaitu menafsirkan berdasarkan urutan ayat
dan surat yang sesuai dengan Mushaf Utsmani.[8]
Dalam menafsirkan al-Zamakhsyari mendahulukan
untuk menulis ayat al-Qur’an yang akan ditafsirkan kemudian baru memulai
menafsirkannya dengan pemikiran rasional yang didukung dengan dalil-dalil ayat
al-Qur’an atau riwayt (hadits). Baik itu berhubungan dengan sabab nuzul suatu
ayat atau yang lainnya.[9]
Ia juga menggunakan riwayat para sahabat atau tabi’in dan kemudian mengambil
konklusi dengan pandangan atau pemikirannya sendiri. Ini dapat kita langsung
memnuktikannya di dalam penafsirannya dalam al-Kasyaaf.
Dari sedikit keterangan di atas maka dapat
diambil kesimpulan bahwasannya metode yang digunakan oleh al-Zamakhsyari adalah
metode tahlili. Selanjutnya sebagian besar dari penafsirannya
berorientasi kepada ra’yu (rasio), maka tafsir al-Kasyaf dikategorikan sebagai tafsir
bi al-ra’yi, meski terdapat beberapa penafsirannya yang tetap menggunakan
dalil naqli.
Corak dari penafsiran al-Zamakhsyari dapat
dijelaskan sebagai berikut :
a. Sebagai seorang
yang ahli dalam gramatika arab dan ahli balaghoh maka tafsirnya lebih
berorientasi kepada pengungkapan balaghoh atau dalam segi keindahan
bahasa al-Qur’an.
b. Tafsirnya lebih
bersifat theologis. Ini desebabkan karena ia adalah seorang tokoh mu’tazilah
dan lebih menekankan pada corak mu’tazilah.[10]
d. Contoh Penafsiran
Berikut adalah contoh penafsiran yang terdapat dalam Tafsir
al-kasyaf.
×nqã_ãr 7Í´tBöqt îouÅÑ$¯R ÇËËÈ 4n<Î) $pkÍh5u ×otÏß$tR ÇËÌÈ
Artinya : Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada
hari tiu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.
Terjemah di atas adalah terjemah dari Kementrian
Agama RI tahun 1999. Namun di dalam memberikan penafsiran terhadap ayat ini
al-Zamakhsyari mengesampingkan makna lahir kata nazhiroh (melihat),
sebab menurut mu’tazilah Allah SWT tidak dapat dilihat. Oleh karena itu kata nazhirah
diartikan dengan kata al-raja’ (menunggu, mengharap).
Dari penafsiran di atas tampak jelas
keberpihakan al-Zamakhsyari kepada mazhab yang dianutnya. Termasuk di dalam menentukan
antara ayat muhkamat dan ayat mutasyabih, apabila terdapat ayat yang mendukung
pemahaman daripada pemikiran mu’tazilah maka itu diklasifikasikan sebagai ayat
muhkamat. Akan tetapi apabila terdapa ayat yang tidak sesuai dengan pemikiran
atau pemahaman mu’tazilah maka masuk dalam klasifikasi ayat mutasyabihat, dan
kemudian ditafsirkan agar sesuai dengan pemikiran mu’tazilah. Seperti ayat
berikut.
w çmà2Íôè? ã»|Áö/F{$# uqèdur à8Íôã t»|Áö/F{$# ( uqèdur ß#Ïܯ=9$# çÎ6sø:$# ÇÊÉÌÈ
“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat
melihat segala yang kelihatan; dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha mengetahui.”
(al-An’am : 103)
Ayat ini
diklasifikasikan ke dalam ayat muhkamat. Sedangkan ayat dari surat al-Qiyamah
22-23 yang telah dituliskan di atas dimasukkan ke dalam ayat mutasyabihat.
C. Berbagai pendapat
tentang Tafsir al-Kasyaaf
Kelompok pertama bahwa Tafsir al-Kasyaf adalah
tafsir yang sudah dikenal keunikannya di dalam mengulas nash al-Qur’an dan
mampu menampakan keindahannya, khususnya dalam segi balaghoh atau bahasanya.
Bahkan ada yang mengatakan bahwa tafsir inilah yang pertama menyingkap
kemu’jizatan al-Qur’an.
Ke dua, tafsir ini dikatakan tidak layak untuk dijadikan rujukan.
Hal ini dikarenakan tafsir al-Kasyaf ini di dalam penyusunannya sangat fanatik
di dalam memihak faham mu’tazilah, dan apabila terdapat ayat yang tidak sejalan
dengan pemikiran mu’tazilah maka akan dibelokkan sehingga bisa disesuaikan
dengan doktrin-doktrin mu’tazila. Lontaran serangan tidak sopan kepada ulama’
yang tak sefaham dengannya ini juga dicurahkan dalam tafsirnya yang tidak
sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang ulama’.
Sedangkan pendapat yang ke tiga mengatakan bahwa
dalam beberapa bagian tafsir ini bisa dijadikan sebagai rujukan, khususnya di
dalam menyingkap kemu’jizatan al-Qur’an. Namun di beberapa hal yang lain, yaitu
dalam penyimpangan makna al-Qur’an harus ditinggalkan. Ini yang paling moderat
dan bisa dipedomani dalam membaca tafsir al-Kasyaf, sehingga dapat memetik
manfaatnya.[11]
IV. KESIMPULAN
Al-Zamakhsyari adalah seorang mufassir dari
tokoh mu’tazilah yang menguasai berbagai disiplin ilmu seperti nahwu,
balaghoh, fiqh dan hadits.Ia memulai menafsirkan al-Qur’an sejak diminta
oleh para sahabatnya dari golongan mu’tazilah yang meminta untuk memberikan
penjelasan mengenai ayat-ayat al-Qur’an.
Sebagai seorang tokoh mu’tazilah maka
al-Zamakhsyari menerapkan pemikiran theologinya ke dalam tafsir l-Kasyaf.
Sehingga tafsir ini mempunyai corak khusus yang lebih cenderung berpihak kepada
madzhab mu’tazilah.
Tafsirnya ini sngatlah unik di dalam menguak
kemu’jizatan al-Qur’an, namun keberpihakannya terhadap faham mu’tazilah harus
memaksanya untuk menuangkannya dalam tafsirnya, sehingga terdapat banyak ulama’
yang tidak menerima tafsir karyanya ini.
V. PENUTUP
Demikian adalah pemaparan makalah yang dapat
penyusun tulis. Semoga bisa memberikan manfa’at dalam keilmuan kita. Apabila
terdapat kekurangan atau kesalahan maka kritik dan saran sangat diharapkan guna
perbaikan.
DAFTAR PUSTAKA
Baidan, Nashiruddin, Metodologi Penafsiran al-Quran, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 1998.
Ilyas, Hamim, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta, Teras, 2004.
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta, Lkis, 2011.
Nasution, Harun, Akal dan Wahyu dalam Islam, Jakarta, UI Press.
Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Kajian Masalah Akidah dan Ibadat), Jakarta, Paramadina, 2002.
Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqoiqi al-Tanzil wa Uyuuni al-Aqowili fi al-wujuuh al-Takwil, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyyah, 1995.
[1] M. Quraish Shihab, dalam sebuah
pengantar buku Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Kajian Masalah Akidah dan
Ibadat) oleh Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA.
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis, 2011, hal 32.
[3] Ibid, h.47.
[4] Hamim
Ilyas, Studi Kitab Tafsir, Yogyakarta :Teras, 2004, hal 34-37.
[5] Harun Nasution, Akal dan
Wahyu dalam Islam, Jakarta: UI Press, hal 34.
[6] Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqoiqi
al-Tanzil wa Uyuuni al-Aqowili fi al-wujuuh al-Takwil, Beirut, Dar al-Kutub
al-Ilmiyyyah, 1995, hal 8. Dikutip dalam suatu makalah dari situs http://hitampolos.blogspot.com/2010/07/tafsir-al-kasysyaf.html diakses Jumat 22 Maret 2013.
[7] Op.cit,
Hamim Ilyas hal 50.
[8] Ibid, hal
51-52.
[9] Nashiruddin
Baidan, Metodologi Penafsiran al-Quran, Yogyakarta, Pustaka Pelajar,
1998, hal 50.
[10] Op.cit, Hamim
Ilyas, hal 54-56.
[11] Ibid, hal
60-61.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon