I.
PENDAHULUAN
Perhatian
terhadap Al-Qur’an telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah SAW. Di zaman
rasullullah, Al-Qur’an disampaikan melalui Nabi Muhammad dan kemudian
disampaikan kepada para sahabat dan para sahabt menghafalnya. Bentuk
penghafalan ini merupakan salah satu perhatian dalam menjaga Al-Qur’an. Selain
itu Al-Qur’an juga ditulis oleh beberapa
sahabat, diantaranya di tulang-tulang unta, pelepah kurma, kulit binatang dan
sebagainya. Adapun dalam memahami Al-Qur’an para ummat dan sahabat bias bertanya
langsung mengenai ayat Al-Qur;an yang kurang difahami.
Perhatian di
masa sahabat Pada masa sahabat Al-Qur’an mulai dikodifikasi, sampai akhirnya
menjadi sebuah mushaf, dan Mushaf Utsmani lah yang sampai saat ini kita gunakan
dan menjadi mushaf standart. Selain itu, pemahaman terhadap Al-Qur’an mulai
berkembang dengan berbagai pemahaman-pemahaman baru. Seperti yang dilakukan
oleh Umar Bin Khattab RA dalam memberikan keputusan mengenai had seorang
pencuri dan ghonimah. Bentuk ini merupakan perhatian terhadap Al-Qur’an dalam
menempatkan Al-Qur;an sebagai pedoman dalam berbagai urusan kehidupan. Karena
memahami Al-Qur’an tidak hanya dilakukan secara tekstual, terlebih dari itu adalah kontekstual.
Perhatian terhadap AL-Qur’an
terus dilakukan sampai masa sekarang. Hal ini dilakukan karena mempelajari
Al-Qur’an, terlebih isi dan kandungannya sangatlah penting. Khususnya tafsir,
tafsir merupakan hal terpenting dalam menggali kandungan Kitab. Tafsir juga merupakan ilmu syari’at yang
paling tinggi dan paling agung kedudukannya. Selain karena objek pembahasannya
yang mulia, tafsir adalah sebuah alat penting yang harus dibutuhkan disetiap
zaman. Ini dikarenakan untuk menggali fungsi al-Qur’an dalam mengetahui
petunjuk Ilahi yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu atau Kitab.[1]
Maka perhatian
terhadap Al-Qur’an khususnya tafsir, akan selalu dilakukan sepanjang zaman
dalam mengkaji, menafsirkan dan mengambil hukum Al-Qur;an dalam menentukan
berbagai permasalahan kehidupan dan kemudian menjawabnya. Hal ini karena selain
tafsir sebagai produk tafsir juga sebagai proses.[2]
Perhatian
terhadap tafsir pada zaman modern ini juga dilakukan oleh berbagai Ulama’ atau
sarjana. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo merupakan bukti nyata perhatian yang
diberikan terhadap Al-Qur’an atau Studi Qur’an. Keduanya sangat berkompeten dalam
memberikan dedikasinya terhadap pemahaman Al-Qur’an. Pada kesempatan inilah
kita akan membahas bagaimana penafsiran yang telah dilakukan dalam penafsiran
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Bagaimanakah tafsirnya memberikan pemahaman
terhadap berbagai ayat dan khususnya dengan cara bagaimanakah tafsir ini
menjelasan berbagai persoalan dalam Al-Qur’an. Dalam makalah ini kita akan
membahas mengenai hal tersebut. Semoga bermanfaat. Amin.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Biografi
B.
Karakteristik Penafsiran Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha
C.
Penafsiran terhadap Surat Al-Fiil
III.
PEMBAHASAN
A.
Biografi
1.
Muhammad Abduh
a.
Kelahiran
Syaykh
Muhammad ‘Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan
Khairullah.Lahir di Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun
1849 M,
bertepatan dengan 1849 M. Ayahnya berasal dari desa Mahallat Nashr di
daerah Al-Bahîrah, sedangkan ibunya berasal dari daerah desa Hashat Syabsir di
al Gharibiyah, disebut-sebut berasal dari keluarga Usman, dari Bani ‘Adi salah
satu suku Arab terkemuka.[3]
b.
Pendidikan
Dimulai dengan
belajar tajuwid di Masji Al-Ahmadi Thantha (sekitar 80KM dari Kairo) selama dua
tahun, dan kemudian pulang lalu menikah. Kemudia pergi ke Syibral Khit dan
bertemu dengan pamannya Darwisy Khidr yang memahami Al-Qur’an dan berfaham
tashawwuf Asy-Syadziliyyah, dan kemudia minat belajarnya tumbuh kembali dan
memutuskan kembali ke Masjid Thantha.
Pada Februari
1866 menuju ke Kairo dan belajar di sana. Di sini Abduh bertemu dengan Syaykh
Hasan At-Tahwil yang mengajarkannya filsafat dan logika. Serta Muhammad
Al-Basyumi yang ahli dalam bidang sastra.
Pada tahun
1871 Abduh bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Pertemuannya dengan Al-Afghani
dalam berbagai kajian ini mampu memberikan banyak pemikiran yang kemudian
menjadi pola piker Abduh dalam berbagai pemahaman. Khususnya Abduh dalam
bertashawwuf memiliki pamahaman (arti baru) yaitu perjuangan untuk perbaikan
keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju dan membela ajaran agama
Islam.
Di Al Azhar
Abduh lulus pada tahun 1877, dan kemudian mengabdikan diri di Al-Azhar untuk
mengajar manthiq dan Ilmu Kalam. Abduh sempat ke Paris menyusul
Al-Afghani dan di sana menerbitkan surat kabar al-“urwatul wutsqa, yang
bertujuan untuk mendirikan Pan Islam untuk menentang penjajahan Barat. Muhammad
Abduh mulai berkembang dan mampu menciptakan banyak karya ilmiah. [4]
c.
Fokus Pemikiran
Ada dua
persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana
diakuinya. Kedua persoalan itu adalah:
i. Membebaskan
akal fikiran dari belenggu-belenggutaqlîd yang menghambat
perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al ummah (ulama
sebelum abad III H). sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari
sumber-sumber pokoknya yaitu alQur’ân.
ii. Memerbaiki
gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor
pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau
korespondensi.[5]
d.
Karya Muhammad Abduh
Beberapa karya Muhammad Abduh adalah sebagai
berikut :
Ø Salah
al-‘Aridah
Ø Risalah
al-Tauhid
Ø Syarah Nahjul
Balaghah
Ø Hasiyah Syarh
al-Jalal ad-Dawwani li al-Aqaaid adh Adhudhiyah
2.
Rashid Ridha
Muhammad
Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida
ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali
Khalifah al-Bagdadi.[6] Ia
dilahirkan pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865
M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar tiga mil
jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon.[7] Ayah
dan ibunya berasal dari keturunan al-Husayn, putera Ali ibn Abi al-Thalib
dengan Fatimah, puteri Rasulallah Saw. Itulah sebabnya ia menyandang gelar
al-Sayyid di depan namanya.
Sayyid Muhammad
Rasyid Ridha dilahirkan ditengah-tengah masyarakat yang akrab dengan
gerakan-gerakan tarekat. Kondisi masyarakat yang semacam ini membuatnya turut
menyesuaikan diri, dimana ia sempat menjadi anggota tarikat Naqsyabandiyah
meskipun ia akhirnya keluar, karena menurutnya praktik-praktik tarekat tersebut
tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Pengalaman ini yang mengilhami
gerakan reformasi yang dilakukannya untuk memperbaiki kondisi umat Islam dari
pengaruh negatif tasawuf dan membersihkan Islam dari berbagai praktik yang
menyimpang.
Dalam aspek pendidikan,
disamping belajar kepada orang tuanya, ia juga belajar dari banyak guru. Pada
masa kecilnya ia belajar di suatu taman kanak-kanak yang bernama al-Kuttab,
kemudian ia menempuh pendidikan pada sekolah formal yang didirikan oleh Syaikh
Husain al-Jisr pada tahun 1314 H / 1897 M. Selain kepada Syaikh Husain al-Jisr,
Ridha juga belajar kepada guru-guru lain, seperti Syaikh ‘Abd al-Gani al-Rafi’,
al-Ustadz Muhammad Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil al-Rafi.[8]
Disamping tafsir al-Manar Muhammad
Rasyid Ridha berhasil menulis banyak karya ilmiah. Beberapa karyanya yang patut
dicatat antara lain: Al-Hikmah Asy-Syar’iyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah
wa ar-Rifa’iyyah (buku ini adalah awal kitab yang disusunnya ketika
beliau masih pelajar di Tripoli negeri Syam), Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh (terdiri 3 jilid), Nida al-Jins al-Latif (Huqûq an-Nisâ fi al-Islâm), Al-Wahyu al-Muhammady, Al-Manâr
wa al-Azhar, Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy,Al-Wihdatu al-Islâmiyyah, Yusru al-Islâm wa ushûl al-Tasyri’ al-Âm, Al-Khilafatu
au al-Imamah al ‘Udma, Al-Wahabiyyun wa al-Hijaz, Haqiqatu
ar-Riba, Muswatu ar-Rajul bi al-Mar’ah, As-Sunnah
wa asy-Syi’ah, Manasik al-Haj, Ahkamuhu
wa Hukmuhu, Risalah fi Hujjati al-Islam al-Ghazali, Al-Maqshuratu
ar-Rasyidiyyah, Syubhatu an-Nashara wa Hujjaju al-Islam,‘Aqidatu ash-Shulbi wa al-Fida, Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar al- Mashry, Muhawaratu
al-Mushallih wa al-Muqallid.
B.
Karakteristik Penafsiran Al-Qur’an
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha merupakan mujaddid Islam yang sangat masyhur dikalangan
pemikir-pemikir dan sarjana muslim. Kitab Tafsir Al-Manar merupakan salah satu karya
dalam bentuk tafsir yang ditulis yang mampu memberikan banyak kontribusi
terhadap pembaharuan Islam.
Dalam
menafsirkan al Qurân, Muhammad Abduh dan Ridha menjadikan tafsir sebagai dasar
(asas) bagi pembaruan masyarakat dan media untuk membersihkan agama dari segala
bentuk bid’ah dan kurafat, menempuh metode (manhaj) tersendiri, berbeda
dari metode tafsir yang ditempuh oleh para ahli tafsir kalangan salaf al
shalih (kaum salaf yang shaleh).[9]
Dengan metode
penafsiran tahlili, kitab tafsir ini berorientasi sosial, budaya dan
kemasyarakatan (Adaby Ijtima’iy). Suatu corak penafsiran
yang menitikberatkan penjelasan ayta Al-Qur’an pada segi ketelitian
redaksionalnya, kemudian menyusun menyusun redaksi ayat-ayatnya dalam suatu
redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-Qur’an, yakni
membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan perkembangan
dunia.[10]
Kitab Tafsir Al-Manar lebih dikenal ditulis oleh Rasyid Ridha, murid
terdekat dari Syekh Muhammad Abduh. Pada mulanya Tafsir ini mulai dari Surat
l-Fatihah sampai Surat Al-Nisa’ ayat 125 merupakan saduran dari kuliah tafsir
gurunya, Syekh Muhammad Abduh, dan selebihnya adalah karya tunggal Rasyid
Ridha. Tafsir yang berjumlah 12 jilid ini memang lebih tepat dinisbahkan kepada
Rasyid Ridha, sebab lebih banyak pendapat-pendapat dan keterangan yang
ditulisnya.[11]
Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha memiliki kesamaan pemikiran dalam menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur’an. Selain Ridha adalah murid Abduh, dia adalah yang meneruskan
perjuangan Abduh dalam mengungkapkan berbagai gagasan dan pemikiran terhadap
Islam. Bahkan dalam Abduh sendiri mengatakan:
Tidak ada seorangpun di antara kalian yang
mampu mengambilalih tugasnya.
Bawalah orang
lain yang seperti dia kepadaku, aku akan meninggalkannya. Ia tidak mengatakan padaku seperti apa yang
telah kalian katakana itu. Sekarang aku tegaskan pada kalian bahwa Tuhan telah
mengirim pemuda tersebut kepadaku untuk memperpanjang usianku dan menambah
jatah hidupku. Banyak hal di dalam benakku yang ingin aku tulis dan sampaikan
kepada ummat, namun aku tidak dapat melakukannya, karena berbagai kesibukan
yang membelitku. Karena itu, hanya ia kemudian yang dapat melakukannya seperti
yang ingin aku sampaikan.[12]
Dari sinilah
kita akan menemukan kesimpulan bahwa bagaimana pemikiran Rashid Ridha adalah
sama dengan Muhammad Abduh. Karena Ridha merupakan penerus daripada Abduh. Maka
dalam Berbagai penafsiran Ridha mempunyai kesamaan baik dalam corak pemikiran
dan bagaimana metodenya menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam
menafsirkan ayat, Abduh dan Ridha memiliki ciri-ciri penafsiran sebagai berikut
:
a.
Memandang setiap surah sebagai satu
kesatuan ayat-ayat yang serasi.
b.
Ayat Al-Qur’an bersifat umum.
c.
Penggunaan akal secara luas dalam
memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
d.
Menentang dan memberantas taqlid
e.
Tidak merinci persoalan-persoalan
yang disinggung secara mubham (tidak jelas) atau sepintas lalu oleh
Al-Qur’an.
f.
Sangat kritis dalam menerima
hadits-hadits Nabi SAW
g.
Sangat kritis terhadap
pendapat-pendapat sahabat dan menolak isra’illiyyat.
C.
Contoh Penafsiran Muhammad Abduh
dan Rasyid Ridha
a.
Surat Al-Fiil
Surat Al-Fiil
adalah surat yang menghadirkan banyak penafsiran oleh para mufassir. Salah
satunya adalah Muhammad Abduh. Dalam menafsirkan surat ini, khususnya pada ayat
ke 3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :
وَأَرْسَلَ
عَلَيْهِمْ طَيْراً أَبَابِيلَ ﴿٣﴾ تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ ﴿٤﴾
Artinya : Dan
Dia (Tuhan) mengirim kepada mereka (tentara bergajah) burung Ababil
(berbondong-bondong), melempar mereka dengan batu-batu dan sijjil.
Abduh
menyatakan bahwa burung-burung tersebut adalah sejenis lalat atau nyamuk yang
membawa bakteri-bakteri yang mengakibatkan penyakit cacar dan campak.[14]
Dalam
hal itu, Muhammad Abduh menafsiri “Thair Ababil” dalam
Surat al-Fil berbeda dengan ulama lain yang lebih suprarasional. Bahkan banyak
para ulama yang kontroversial terhadap penafsiran Abduh. Seperti Sayyid Quthub,
lebih cenderung menafsirkan dalam kawasan “Khawariqul Adah” kejadian
yang luar biasa.[15]
Sayyid
Quthub lebih mengedepankan peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa,
karena hal itu memberi kesan bahwa serangan burung-burung tersebut adalah “Perbuatan
Tuhan” yang mengesankan peristiwa itu diluar kebiasaan, menjadikan peristiwa
itu sebagai contoh bagaimana Ia menjaga dan memelihara tempat-tempat-Nya yang
suci.[16] Apalagi
riwayat-riwayat yang mengungkap peristiwa tersebut tidak ada yang mendukung
penafsirannya sebagai wabah campak atau lepra.
b.
Surat Al-Baqarah Ayat 102
Dalam
menafsirkan sihir Muhammad Abduh, begitu pula Rasyid Ridha, terhadap ayat ke
102 Surat Al-Baqarah yang berbunyi :
وَاتَّبَعُواْ مَا تَتْلُواْ
الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَـكِنَّ
الشَّيْاطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ
السِّحْرَ. . . . . . ﴿١٠٢﴾
Artinya : “Dan mereka mengikuti apa yang
dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan
bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak
mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan
sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia . . . “
Dalam
menafsirkan ayat ini dia berkata: “Ayat ini menunjukan bahwasannya sihir dapat
dipelajari,” sehingga disimpulkannya bahwa sihir tidak lain dari: “Tipu daya
atau ilmu-ilmu yang dapat dipelajari dan diketahui oleh sementara orang,
kemudihan anak tersebut dinamakan penyihir, karena apa yang dilakukaan itu
tidak diketahui rahasianya oleh orang lain.”
Adapun
sihir-sihir yang dilakukan oleh penyihir-penyihir pada masa Nabi Musa as., maka
itu adalah dengan jalan meletakan air raksa (Hg) pada tongkat dan tali-tali
mereka, sehingga tongkat dan tali tersebut dapat bergerak.[17]
c.
Surat Al-A’raf ayat 27
Surat ini
berbunyi :
يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ
الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا
لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ
مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء
لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿٢٧﴾
Artinya : “Hai
anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia
telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya
pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia
dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa
melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu
pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”
Mengenai ayat
yang menerangkan tentang jin ini, Rasyid Ridha meenolak pendapat yang
mengecualikan beberapa kasus/hal, sehingga memungkinkan terkadang manusia dapat
melihatnya.[18]
Menurut Ridha,
orang yang mengaku melihat jin, maka hal tersebut adalah akibat khayalannya
atau dia melihat sesuatu binatang yang aneh sehingga diduganya jin. Semua
hadits yang memberitakan tentang penglihatan manusia terhadap jin adalah dhaif,
karena tidak ada hadits satupun menyangkut dapatnya manusia melihat jin yang
termasuk di dalam kategori shohih.[19]
IV.
KESIMPULAN
Penafsiran
Al-Qur’an yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha merupakan tafsir
yang bercorak adaby ‘ijtima’iy (sosial kemasyarakatan). Khususnya Tafsir
Al-Manar, adalah karyanya yang tercipta dalam berbagai kuliyahnya dan dari
majalah Al-Manar, merupakan pemahaman Abduh dan Ridha terhadap AL-Qur’an dengan
melihat keadaan dan perkembangan zaman, sehingga kehadiran Al-Qur’an mampu
diterima dengan mudah di masyarakat. Penafsiran yang banyak mengedepankan akal
ini lebih menekankan bagaimana masyarakat bias maju dan berpegang teguh pada
AL-Qur’an. Karena Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk kehidupan.
V.
PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami
paparkan. Semoga tulisan ini mampu memberikan wawasan dan pengetahuan bagi
pembaca. Adapun kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan selalu kami
harapkan guna dalam perbaikan setelahnya. Demikian terimakasih.
DAFTAR PUSTAKA
Athaillah, A., Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar, Jakarta, Erlangga, 2006
Faiz, Fachruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta, Qalam, 2002
M.Quraisy Shihab. Tafsir al-Misbah Juz ‘Amma ,Jakarta,Lentera Hati, 2007
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis, 2011
Quthub, Sayyid. Tafsir fi Dzilal al- Qur’an, terj. As’ad dkk, Jilid II, Jakarta, Gema Insani, 2001
Shihab, Quraish, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, Jakarta, Lentera Hati, 2006
Syauqi, Rif’at, Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Akidah dan Ibadat, Jakarta, Paramadina, 2002
http://kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-manar.html diakses 9 Mei 2013
http://th.sunan-ampel.ac.id/?p=346 diakses 9 Mei 2013
http://th.sunan-ampel.ac.id/?p=346 diakses 9 Mei 2013
[1] M. Quraish Shihab, dalam sebuah pengantar
buku Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Kajian Masalah Akidah dan Ibadat) oleh
Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA.
[2]
Abdul Mustaqim, Epistemologi
Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis, 2011, hal 32.
[3] Muhammad Rasyid
Ridha, Tarîkh al Ustâz al Imâm Syekh Muhammad Abduh,
Mesir: Dâr al Imân, 1367 H, J. III, h. 237 kutipan dari http://kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-manar.html
diakses pada 7 Mei 2013.
[4]
Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir
Al-Manar, Jakarta, Lentera Hati, 2006, h. 7-13.
[7]
A. Athaillah, Rasyid Ridha;
Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar,
Jakarta, Erlangga, 2006, h. 26
[9] Rif’at Syauqi
Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Akidah dan Ibadat, Jakarta,
Paramadina, 2002, h. 109.
[12]
Ibid, A. Athaillah, h. 2, dari Rasyid Ridha, Taarikh al-Ustadz
al-Imam al-Syaykh Muhammad ‘Abduh, Kairo, Maktabah Al-Manar, 1931 M, h. 1018.
[15]
M.Quraisy Shihab. Tafsir al-Misbah Juz ‘Amma ,Jakarta,Lentera
Hati,2007, h. 352,
dikuti dalam situs http://th.sunan-ampel.ac.id/?p=346
diakses 9 Mei 2013.
[16] Sayyid
Quthub. Tafsir fi Dzilal al- Qur’an, terj. As’ad dkk, Jilid II,
Jakarta, Gema Insani, 2001, 351. Dikutip dalam situs http://th.sunan-ampel.ac.id/?p=346
diakses 9 Mei 2013.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon