Penafsiran Muhammad ‘Abduh Dan Rasyid Ridha

I.       PENDAHULUAN
Perhatian terhadap Al-Qur’an telah dilakukan semenjak zaman Rasulullah SAW. Di zaman rasullullah, Al-Qur’an disampaikan melalui Nabi Muhammad dan kemudian disampaikan kepada para sahabat dan para sahabt menghafalnya. Bentuk penghafalan ini merupakan salah satu perhatian dalam menjaga Al-Qur’an. Selain itu  Al-Qur’an juga ditulis oleh beberapa sahabat, diantaranya di tulang-tulang unta, pelepah kurma, kulit binatang dan sebagainya. Adapun dalam memahami Al-Qur’an para ummat dan sahabat bias bertanya langsung mengenai ayat Al-Qur;an yang kurang difahami.
Perhatian di masa sahabat Pada masa sahabat Al-Qur’an mulai dikodifikasi, sampai akhirnya menjadi sebuah mushaf, dan Mushaf Utsmani lah yang sampai saat ini kita gunakan dan menjadi mushaf standart. Selain itu, pemahaman terhadap Al-Qur’an mulai berkembang dengan berbagai pemahaman-pemahaman baru. Seperti yang dilakukan oleh Umar Bin Khattab RA dalam memberikan keputusan mengenai had seorang pencuri dan ghonimah. Bentuk ini merupakan perhatian terhadap Al-Qur’an dalam menempatkan Al-Qur;an sebagai pedoman dalam berbagai urusan kehidupan. Karena memahami Al-Qur’an tidak hanya dilakukan secara tekstual, terlebih dari  itu adalah kontekstual.
Perhatian terhadap AL-Qur’an terus dilakukan sampai masa sekarang. Hal ini dilakukan karena mempelajari Al-Qur’an, terlebih isi dan kandungannya sangatlah penting. Khususnya tafsir, tafsir merupakan hal terpenting dalam menggali kandungan Kitab.  Tafsir juga merupakan ilmu syari’at yang paling tinggi dan paling agung kedudukannya. Selain karena objek pembahasannya yang mulia, tafsir adalah sebuah alat penting yang harus dibutuhkan disetiap zaman. Ini dikarenakan untuk menggali fungsi al-Qur’an dalam mengetahui petunjuk Ilahi yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu atau Kitab.[1]
Maka perhatian terhadap Al-Qur’an khususnya tafsir, akan selalu dilakukan sepanjang zaman dalam mengkaji, menafsirkan dan mengambil hukum Al-Qur;an dalam menentukan berbagai permasalahan kehidupan dan kemudian menjawabnya. Hal ini karena selain tafsir sebagai produk tafsir juga sebagai proses.[2]
Perhatian terhadap tafsir pada zaman modern ini juga dilakukan oleh berbagai Ulama’ atau sarjana. Muhammad Abduh dan Rasyid Ridlo merupakan bukti nyata perhatian yang diberikan terhadap Al-Qur’an atau Studi Qur’an. Keduanya sangat berkompeten dalam memberikan dedikasinya terhadap pemahaman Al-Qur’an. Pada kesempatan inilah kita akan membahas bagaimana penafsiran yang telah dilakukan dalam penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha. Bagaimanakah tafsirnya memberikan pemahaman terhadap berbagai ayat dan khususnya dengan cara bagaimanakah tafsir ini menjelasan berbagai persoalan dalam Al-Qur’an. Dalam makalah ini kita akan membahas mengenai hal tersebut. Semoga bermanfaat. Amin.

II.    RUMUSAN MASALAH
           A.    Biografi
           B.     Karakteristik Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
            C.     Penafsiran terhadap Surat Al-Fiil

III. PEMBAHASAN
           A.    Biografi
1.      Muhammad Abduh
a.       Kelahiran
Syaykh Muhammad ‘Abduh nama lengkapnya adalah Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah.Lahir di Mahallat Nashr di Kabupaten Al-Buhairah, Mesir pada tahun 1849 M, bertepatan dengan 1849 M. Ayahnya berasal dari desa Mahallat Nashr di daerah Al-Bahîrah, sedangkan ibunya berasal dari daerah desa Hashat Syabsir di al Gharibiyah, disebut-sebut berasal dari keluarga Usman, dari Bani ‘Adi salah satu suku Arab terkemuka.[3]

b.      Pendidikan
Dimulai dengan belajar tajuwid di Masji Al-Ahmadi Thantha (sekitar 80KM dari Kairo) selama dua tahun, dan kemudian pulang lalu menikah. Kemudia pergi ke Syibral Khit dan bertemu dengan pamannya Darwisy Khidr yang memahami Al-Qur’an dan berfaham tashawwuf Asy-Syadziliyyah, dan kemudia minat belajarnya tumbuh kembali dan memutuskan kembali ke Masjid Thantha.
Pada Februari 1866 menuju ke Kairo dan belajar di sana. Di sini Abduh bertemu dengan Syaykh Hasan At-Tahwil yang mengajarkannya filsafat dan logika. Serta Muhammad Al-Basyumi yang ahli dalam bidang sastra.
Pada tahun 1871 Abduh bertemu dengan Jamaluddin Al-Afghani. Pertemuannya dengan Al-Afghani dalam berbagai kajian ini mampu memberikan banyak pemikiran yang kemudian menjadi pola piker Abduh dalam berbagai pemahaman. Khususnya Abduh dalam bertashawwuf memiliki pamahaman (arti baru) yaitu perjuangan untuk perbaikan keadaan masyarakat dan membimbing mereka untuk maju dan membela ajaran agama Islam.
Di Al Azhar Abduh lulus pada tahun 1877, dan kemudian mengabdikan diri di Al-Azhar untuk mengajar manthiq dan Ilmu Kalam. Abduh sempat ke Paris menyusul Al-Afghani dan di sana menerbitkan surat kabar al-“urwatul wutsqa, yang bertujuan untuk mendirikan Pan Islam untuk menentang penjajahan Barat. Muhammad Abduh mulai berkembang dan mampu menciptakan banyak karya ilmiah. [4]
c.       Fokus Pemikiran
Ada dua persoalan pokok yang menjadi fokus pemikiran Muhammad Abduh, sebagaimana diakuinya. Kedua persoalan itu adalah:
i.      Membebaskan akal fikiran dari belenggu-belenggutaqlîd yang menghambat perkembangan pengetahuan agama sebagaimana halnya salaf al ummah (ulama sebelum abad III H). sebelum timbulnya perpecahan, yakni memahami langsung dari sumber-sumber pokoknya yaitu alQur’ân.
ii.    Memerbaiki gaya bahasa Arab, baik yang digunakan dalam percakapan resmi di kantor-kantor pemerintahan, maupun dalam tulisan-tulisan di media massa, penerjemahan atau korespondensi.[5]

d.      Karya Muhammad Abduh
Beberapa karya Muhammad Abduh adalah sebagai berikut :
Ø  Salah al-‘Aridah
Ø  Risalah al-Tauhid
Ø  Syarah Nahjul Balaghah
Ø  Hasiyah Syarh al-Jalal ad-Dawwani li al-Aqaaid adh Adhudhiyah

2.      Rashid Ridha
Muhammad Rasyid Ridha memiliki nama lengkap Sayyid Muhammad Rasyid Ridha ibn ‘Ali Rida ibn Muhammad Syamsuddin ibn al-Sayyid Baha’uddin ibn al-Sayyid Manlan ‘Ali Khalifah al-Bagdadi.[6] Ia dilahirkan pada hari rabu, tanggal 27 Jumadi al-Ula 1282 H atau 18 Oktober 1865 M di Qalamun, sebuah desa yang terletak di pantau Laut Tengah, sekitar tiga mil jauhnya di sebelah selatan kota Tripoli, Libanon.[7] Ayah dan ibunya berasal dari keturunan al-Husayn, putera Ali ibn Abi al-Thalib dengan Fatimah, puteri Rasulallah Saw. Itulah sebabnya ia menyandang gelar al-Sayyid di depan namanya.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha dilahirkan ditengah-tengah masyarakat yang akrab dengan gerakan-gerakan tarekat. Kondisi masyarakat yang semacam ini membuatnya turut menyesuaikan diri, dimana ia sempat menjadi anggota tarikat Naqsyabandiyah meskipun ia akhirnya keluar, karena menurutnya praktik-praktik tarekat tersebut tidak sesuai dengan ajaran Islam yang benar. Pengalaman ini yang mengilhami gerakan reformasi yang dilakukannya untuk memperbaiki kondisi umat Islam dari pengaruh negatif tasawuf dan membersihkan Islam dari berbagai praktik yang menyimpang.
Dalam aspek pendidikan, disamping belajar kepada orang tuanya, ia juga belajar dari banyak guru. Pada masa kecilnya ia belajar di suatu taman kanak-kanak yang bernama al-Kuttab, kemudian ia menempuh pendidikan pada sekolah formal yang didirikan oleh Syaikh Husain al-Jisr pada tahun 1314 H / 1897 M. Selain kepada Syaikh Husain al-Jisr, Ridha juga belajar kepada guru-guru lain, seperti Syaikh ‘Abd al-Gani al-Rafi’, al-Ustadz Muhammad Husaini dan Syaikh Muhammad Kamil al-Rafi.[8]
Disamping tafsir al-Manar Muhammad Rasyid Ridha berhasil menulis banyak karya ilmiah. Beberapa karyanya yang patut dicatat antara lain: Al-Hikmah Asy-Syar’iyyah fi Muhakamati Al-Qadariyyah wa ar-Rifa’iyyah (buku ini adalah awal kitab yang disusunnya ketika beliau masih pelajar di Tripoli negeri Syam), Tarikh al-Ustadz al-Imam Muhammad Abduh (terdiri 3 jilid), Nida al-Jins al-Latif (Huqûq an-Nisâ fi al-Islâm), Al-Wahyu al-Muhammady, Al-Manâr wa al-Azhar, Dzikrâ al-Maulid an-Nabawy,Al-Wihdatu al-Islâmiyyah, Yusru al-Islâm wa ushûl al-Tasyri’ al-Âm, Al-Khilafatu au al-Imamah al ‘Udma, Al-Wahabiyyun wa al-Hijaz, Haqiqatu ar-Riba, Muswatu ar-Rajul bi al-Mar’ah, As-Sunnah wa asy-Syi’ah, Manasik al-Haj, Ahkamuhu wa Hukmuhu, Risalah fi Hujjati al-Islam al-Ghazali, Al-Maqshuratu ar-Rasyidiyyah, Syubhatu an-Nashara wa Hujjaju al-Islam,‘Aqidatu ash-Shulbi wa al-Fida, Al-Muslimun wa al-Qibti wa al-Muktamar al- Mashry, Muhawaratu al-Mushallih wa al-Muqallid.

        B.     Karakteristik Penafsiran Al-Qur’an Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha merupakan mujaddid Islam yang sangat masyhur dikalangan pemikir-pemikir dan sarjana muslim. Kitab Tafsir Al-Manar merupakan salah satu karya dalam bentuk tafsir yang ditulis yang mampu memberikan banyak kontribusi terhadap pembaharuan Islam.
Dalam menafsirkan al Qurân, Muhammad Abduh dan Ridha menjadikan tafsir sebagai dasar (asas) bagi pembaruan masyarakat dan media untuk membersihkan agama dari segala bentuk bid’ah dan kurafat, menempuh metode (manhaj) tersendiri, berbeda dari metode tafsir yang ditempuh oleh para ahli tafsir kalangan salaf al shalih (kaum salaf yang shaleh).[9]
Dengan metode penafsiran tahlili, kitab tafsir ini berorientasi sosial, budaya dan kemasyarakatan (Adaby Ijtima’iy). Suatu corak penafsiran yang menitikberatkan penjelasan ayta Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksionalnya, kemudian menyusun menyusun redaksi ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan penonjolan tujuan utama turunnya Al-Qur’an, yakni membawa petunjuk dalam kehidupan, kemudian merangkaikan pengertian ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan perkembangan dunia.[10]
Kitab Tafsir Al-Manar lebih dikenal ditulis oleh Rasyid Ridha, murid terdekat dari Syekh Muhammad Abduh. Pada mulanya Tafsir ini mulai dari Surat l-Fatihah sampai Surat Al-Nisa’ ayat 125 merupakan saduran dari kuliah tafsir gurunya, Syekh Muhammad Abduh, dan selebihnya adalah karya tunggal Rasyid Ridha. Tafsir yang berjumlah 12 jilid ini memang lebih tepat dinisbahkan kepada Rasyid Ridha, sebab lebih banyak pendapat-pendapat dan keterangan yang ditulisnya.[11]
Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha memiliki kesamaan pemikiran dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Selain Ridha adalah murid Abduh, dia adalah yang meneruskan perjuangan Abduh dalam mengungkapkan berbagai gagasan dan pemikiran terhadap Islam. Bahkan dalam Abduh sendiri mengatakan:
Tidak ada seorangpun di antara kalian yang mampu mengambilalih tugasnya.

Bawalah orang lain yang seperti dia kepadaku, aku akan meninggalkannya.  Ia tidak mengatakan padaku seperti apa yang telah kalian katakana itu. Sekarang aku tegaskan pada kalian bahwa Tuhan telah mengirim pemuda tersebut kepadaku untuk memperpanjang usianku dan menambah jatah hidupku. Banyak hal di dalam benakku yang ingin aku tulis dan sampaikan kepada ummat, namun aku tidak dapat melakukannya, karena berbagai kesibukan yang membelitku. Karena itu, hanya ia kemudian yang dapat melakukannya seperti yang ingin aku sampaikan.[12]

Dari sinilah kita akan menemukan kesimpulan bahwa bagaimana pemikiran Rashid Ridha adalah sama dengan Muhammad Abduh. Karena Ridha merupakan penerus daripada Abduh. Maka dalam Berbagai penafsiran Ridha mempunyai kesamaan baik dalam corak pemikiran dan bagaimana metodenya menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an.
Dalam menafsirkan ayat, Abduh dan Ridha memiliki ciri-ciri penafsiran sebagai berikut :
a.       Memandang setiap surah sebagai satu kesatuan ayat-ayat yang serasi.
b.      Ayat Al-Qur’an bersifat umum.
c.       Penggunaan akal secara luas dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
d.      Menentang dan memberantas taqlid
e.       Tidak merinci persoalan-persoalan yang disinggung secara mubham (tidak jelas) atau sepintas lalu oleh Al-Qur’an.
f.       Sangat kritis dalam menerima hadits-hadits Nabi SAW
g.      Sangat kritis terhadap pendapat-pendapat sahabat dan menolak isra’illiyyat.
h.      Mengaitkan penafsiran Al-Qur’an dengan kehidupan sosial.[13]

        C.    Contoh Penafsiran Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha
a.      Surat Al-Fiil
Surat Al-Fiil adalah surat yang menghadirkan banyak penafsiran oleh para mufassir. Salah satunya adalah Muhammad Abduh. Dalam menafsirkan surat ini, khususnya pada ayat ke 3 dan 4 yang berbunyi sebagai berikut :
وَأَرْسَلَ عَلَيْهِمْ طَيْراً أَبَابِيلَ ﴿٣﴾ تَرْمِيهِم بِحِجَارَةٍ مِّن سِجِّيلٍ ﴿٤﴾
Artinya : Dan Dia (Tuhan) mengirim kepada mereka (tentara bergajah) burung Ababil (berbondong-bondong), melempar mereka dengan batu-batu dan sijjil.
Abduh menyatakan bahwa burung-burung tersebut adalah sejenis lalat atau nyamuk yang membawa bakteri-bakteri yang mengakibatkan penyakit cacar dan campak.[14]
Dalam hal itu, Muhammad Abduh menafsiri “Thair Ababil” dalam Surat al-Fil berbeda dengan ulama lain yang lebih suprarasional. Bahkan banyak para ulama yang kontroversial terhadap penafsiran Abduh. Seperti Sayyid Quthub, lebih cenderung menafsirkan dalam kawasan “Khawariqul Adah” kejadian yang luar biasa.[15]
Sayyid Quthub lebih mengedepankan peristiwa tersebut sebagai sesuatu yang luar biasa, karena hal itu memberi kesan bahwa serangan burung-burung tersebut adalah “Perbuatan Tuhan” yang mengesankan peristiwa itu diluar kebiasaan, menjadikan peristiwa itu sebagai contoh bagaimana Ia menjaga dan memelihara tempat-tempat-Nya yang suci.[16] Apalagi riwayat-riwayat yang mengungkap peristiwa tersebut tidak ada yang mendukung penafsirannya sebagai wabah campak atau lepra.
b.      Surat Al-Baqarah Ayat 102
Dalam menafsirkan sihir Muhammad Abduh, begitu pula Rasyid Ridha, terhadap ayat ke 102 Surat Al-Baqarah yang berbunyi :
وَاتَّبَعُواْ مَا تَتْلُواْ الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَـكِنَّ الشَّيْاطِينَ كَفَرُواْ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ. . . . . . ﴿١٠٢﴾
Artinya : “Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir). Mereka mengajarkan sihir kepada manusia . . . “
Dalam menafsirkan ayat ini dia berkata: “Ayat ini menunjukan bahwasannya sihir dapat dipelajari,” sehingga disimpulkannya bahwa sihir tidak lain dari: “Tipu daya atau ilmu-ilmu yang dapat dipelajari dan diketahui oleh sementara orang, kemudihan anak tersebut dinamakan penyihir, karena apa yang dilakukaan itu tidak diketahui rahasianya oleh orang lain.”
Adapun sihir-sihir yang dilakukan oleh penyihir-penyihir pada masa Nabi Musa as., maka itu adalah dengan jalan meletakan air raksa (Hg) pada tongkat dan tali-tali mereka, sehingga tongkat dan tali tersebut dapat bergerak.[17]


c.       Surat Al-A’raf ayat 27
Surat ini berbunyi :
يَا بَنِي آدَمَ لاَ يَفْتِنَنَّكُمُ الشَّيْطَانُ كَمَا أَخْرَجَ أَبَوَيْكُم مِّنَ الْجَنَّةِ يَنزِعُ عَنْهُمَا لِبَاسَهُمَا لِيُرِيَهُمَا سَوْءَاتِهِمَا إِنَّهُ يَرَاكُمْ هُوَ وَقَبِيلُهُ مِنْ حَيْثُ لاَ تَرَوْنَهُمْ إِنَّا جَعَلْنَا الشَّيَاطِينَ أَوْلِيَاء لِلَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ ﴿٢٧﴾
Artinya : “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada keduanya `auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.”

Mengenai ayat yang menerangkan tentang jin ini, Rasyid Ridha meenolak pendapat yang mengecualikan beberapa kasus/hal, sehingga memungkinkan terkadang manusia dapat melihatnya.[18]
Menurut Ridha, orang yang mengaku melihat jin, maka hal tersebut adalah akibat khayalannya atau dia melihat sesuatu binatang yang aneh sehingga diduganya jin. Semua hadits yang memberitakan tentang penglihatan manusia terhadap jin adalah dhaif, karena tidak ada hadits satupun menyangkut dapatnya manusia melihat jin yang termasuk di dalam kategori shohih.[19]

IV. KESIMPULAN
Penafsiran Al-Qur’an yang dilakukan oleh Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha merupakan tafsir yang bercorak adaby ‘ijtima’iy (sosial kemasyarakatan). Khususnya Tafsir Al-Manar, adalah karyanya yang tercipta dalam berbagai kuliyahnya dan dari majalah Al-Manar, merupakan pemahaman Abduh dan Ridha terhadap AL-Qur’an dengan melihat keadaan dan perkembangan zaman, sehingga kehadiran Al-Qur’an mampu diterima dengan mudah di masyarakat. Penafsiran yang banyak mengedepankan akal ini lebih menekankan bagaimana masyarakat bias maju dan berpegang teguh pada AL-Qur’an. Karena Al-Qur’an merupakan sumber petunjuk kehidupan.

V.    PENUTUP
Demikian makalah yang dapat kami paparkan. Semoga tulisan ini mampu memberikan wawasan dan pengetahuan bagi pembaca. Adapun kritik dan saran yang membangun dari pembaca akan selalu kami harapkan guna dalam perbaikan setelahnya. Demikian terimakasih.



DAFTAR PUSTAKA

Athaillah, A., Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar, Jakarta, Erlangga, 2006
Faiz, Fachruddin, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta, Qalam, 2002
M.Quraisy Shihab. Tafsir al-Misbah Juz ‘Amma ,Jakarta,Lentera Hati, 2007
Mustaqim, Abdul, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis, 2011
Quthub, Sayyid. Tafsir fi Dzilal al- Qur’an, terj. As’ad dkk, Jilid II,  Jakarta, Gema Insani, 2001
Shihab, Quraish, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, Jakarta, Lentera Hati, 2006
Syauqi, Rif’at, Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh: Kajian Akidah dan Ibadat,  Jakarta, Paramadina, 2002



[1] M. Quraish Shihab, dalam sebuah pengantar buku Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh (Kajian Masalah Akidah dan Ibadat) oleh Prof. Dr. Rif’at Syauqi Nawawi, MA.
[2] Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, Yogyakarta: Lkis, 2011, hal 32.
[3] Muhammad Rasyid Ridha, Tarîkh al Ustâz al Imâm Syekh Muhammad Abduh, Mesir: Dâr al Imân, 1367 H, J. III, h. 237 kutipan dari http://kajianbersama.blogspot.com/2012/12/tafsir-al-manar.html diakses pada 7 Mei 2013.
[4]  Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, Studi Kritis atas Tafsir Al-Manar, Jakarta, Lentera Hati, 2006, h. 7-13.
[5] Ibid, h. 15-16.
[6] Fachruddin Faiz, Hermeneutika Qur’an, Yogyakarta, Qalam, 2002, h. 61.
[7] A. Athaillah, Rasyid Ridha; Konsep Teologi Rasional Dalam Tafsir al-Manar, Jakarta, Erlangga, 2006, h. 26
[8] Op.cit, Fachruddin Faiz, h. 62.
[9] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh:Kajian Akidah dan Ibadat,  Jakarta, Paramadina, 2002, h. 109.
[10] Op.Cit, Quraish Shihab, h. 5.
[11] Op.Cit, A. Athaillah, Kata Pengantar, h. Iv.
[12] Ibid, A. Athaillah, h. 2, dari Rasyid Ridha, Taarikh al-Ustadz al-Imam al-Syaykh Muhammad ‘Abduh, Kairo, Maktabah Al-Manar, 1931 M, h. 1018.
[13] Op.Cit, Quraish Shihab,  h. 26-69.
[14] Ibid. h.57-58, sebuah kutipan dari Syaykh Muhammad ‘Abduh,Tafsir Juz ‘Amma, h. 26.
[15] M.Quraisy Shihab. Tafsir al-Misbah Juz ‘Amma ,Jakarta,Lentera Hati,2007, h. 352, dikuti dalam situs http://th.sunan-ampel.ac.id/?p=346 diakses 9 Mei 2013.
[16] Sayyid Quthub. Tafsir fi Dzilal al- Qur’an, terj. As’ad dkk, Jilid II,  Jakarta, Gema Insani, 2001, 351. Dikutip dalam situs http://th.sunan-ampel.ac.id/?p=346 diakses 9 Mei 2013.
[17] Op.Cit, Quraish Shihab, Rasionalitas Al-Qur’an, h. 44-45.
[18] Ibid. h. 97. (Al-Manaar, Juz VII, h. 516)
[19] Ibid. h.97.




Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan