PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam sebagai agama samawai dijadikan Allah sebagai agama
yang tidak membebani bagi pemeluknya. Dalam Islam terdapat hukum syara’ yang
wajib diketahui dan ditaati oleh setiap muslim. Hukum syara’ yang diturunkan
Allah merupakan rahmat bagi semua hamba-Nya. Dan dalam syara’ yang ditentukan
tidak ada paksaan dalam melaksanakannya. (Al-baqarah: 256)
Kedatangan hukum Islam merupakan tuntunan untuk menjalani
keseimbangan hidup baik dalam berhubungan dengan Allah maupun dengan sesama makhluk-Nya.
Dan dalam prakteknya, Islam tidak menghendaki kesulitan dalam mengamalkannya
(Al-Mukminun: 78).
Islam merupakan agama yang mempunyai toleransi tinggi
pada semua pemeluknya. Setiap muslim tentunya memiliki kemampuan yang berbeda
dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Untuk itu, Islam tidak
membebani seorang muslim dalam beribadah melainkan sesuai dengan kesanggupannya
(Al-Baqarah: 286). Dalam kondisi dan situasi tertentu, Islam memberikan
keringanan pada setiap muslim dalam menjalankan ibadah. Inilah indahnya Islam,
toleransi diberikan untuk menjadikan setiap muslim tetap menjalankan ibadah
dalam keadaan apapun dengan memberikan keringanan agar ibadah tidak dinafikan.
Dalam setiap ibadah, ada tata cara yang harus dipahami.
Begitu pula dalam keringanan ibadah (rukhshah) yang merupakan bentuk sikap
toleransi Islam. Berikut adalah hal-hal yang berhubungan dengan rukhshah.
B. Rumusan masalah
- Apa pengertian ‘Azimah?
- Apa pengertian rukhshah?
- Apa batasan-batasan menggunakan rukhshah?
- Apa macam-macam rukhshah?
- Bagaimana hukum menggunakan Rukhshah?
PEMBAHASAN
A. Pengertian
‘Azimah
Azimah atau
hukum azimah ialah:
العزىمة : ما شرع من الا حكام العامة ابتداء لا يختص
ببعض المكلفين من حيث هم مكلفين ولا ببعض الاحوال
“sesuatu hukum yang dituntut syara’dan bersifat umum. Tidak
ditentukan terhadap suatu golongan yang diistimewakan atau suatu
keadaan yang dikecualikan”[1]
Hukum ‘azimah
bersifat umum (kuliyah), hal ini mengandung arti berlaku untuk semua mukallaf,
bukan untuk golongan tertentu maupun sebagian kelompok. Misalnya, sholat lima
waktu. Sholat lima waktu diwajibkan bagi semua orang Islam, yang mampu, dan
kuasa mengerjakannya. Hukum mengerjakan shalat lima waktu, dinamakan ‘azimah.
B. Pengertian
Rukhshah
Rukhshah atau hukum rukhshah adalah
ما استثنى من اصل كلى لعذر شاق
”sesuatu hukum yang diatur oleh syara’karena ada suatu
keúdzuran yang berat yang menyukarkan”[2]
Hukum rukhshah memudahkan hukum
bagi seorang mukallaf karena sebuah alasan. Namun ada juga yang berpendapat selain
itu. Karena, rukhshah itu tiada lain menolak kesombongan dalam bentuk hal yang
dibolehkan oleh syariat. Barang siapa yang menolak hal yang dibolehkan oleh
syariat dan merasa benar, agamanya telah rusak. Dengan demikian, Allah
memerintahkan melaksanakan rukhshah untuk menolak kesombongan yang ada dalam
diri seseorang.
Al-Ghazali
berkata, “rukhshah tiada lain adalah kebaikan bagi hati yang lemah. Sehingga
kelemahan tersebut menjadi
putus asa. Akhirnya, orang-orang pun meninggalkan kebaikan yang dimudahkan
untuk mereka dengan sebab kelemahan mereka.
Rasulullah tidak diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh semesta alam
dengan golongan dan derajat mereka yang berbeda.”
Sesunggunya,
Allah mencintai ketika rukhshah-Nya dilakukan sebagaimana kewajiban-Nya
dilakukan. Perintah Allah dalam
rukhshah dan azimah adalah satu. Perintah untuk wudlu bukan berarti lebih utama
dari tayammum, sedangkan perintah untuk menyempurnakan shalat bukan berarti lebih utama dari
meringkas shalat. [3]
Rukhshah
termasuk dalam kaidah keenam belas pada
kaidah kulliyah fiqh Islam yang berbunyi الضرورات تبيح المحضورات
(keadaan darurat membolehkan hal-hal yang dilarang).[4]
Rukhshah
atau darurat merupakan keringanan ibadah yang diberikan kepada seseorang untuk
melakukan sesuatu yang terlarang dan meninggalkan sesuatu yang diperintahkan.
Diperbolehkannya melakukan rukhshah adalah ketika dalam keadaan terpaksa.
C. Batasan-batasan
Rukhshah
Dalam menjalankan
hukum rukhshah, tidak bisa dilakukan begitu saja. Terdapat aturan dan batasan
untuk dapat menjalankan rukhshah[5]. Diantara
batasan-batasannya, yaitu;
1.
Rukhshah harus sudah ada dan bukan
ditunggu. Keadaan yang mengharuskan rukhshah memang benar adanya dan merupakan
kenyataan. Jika seseorang merasa yakin akan adanya bahaya yang hakiki terhadap
lima kebutuhan yang sangat mendasar yang juga dipelihara oleh syariat langit,
yaitu agama, jiwa, kehormatan, akal, dan harta. Maka orang tersebut boleh
berpegang pada ketentuan hukum rukhshah.
2.
Orang yang terpaksa tersebut tidak
mempunyai pilihan lain selain melanggar
perintah atau larangan syara’.
3.
Rukhshah tidak dibenarkan dapat
melanggar prinsip-prinsip syara’ yang pokok,
berupa memelihara hak-hak orang lain, menciptakan keadilan, menunaikan amanah,
menghindari kemudharatan, dan memelihara prinsip keberagaman, serta pokok-pokok
akidah Islam. Misalnya diharamkan zina, pembunuhan, dan merampas dalam keadaan
apapun. Karena ini adalah mafsadat yang dikarenakan oleh esensinya.
4.
Dalam keadaan darurat berobat,
hendaknya yang haram itu dipakai berdasarkan resep dokter yang adil dan dipercaya
baik dalam masalah agama maupun ilmunya
D. Macam-macam
Rukhshah
Ada beberapa macam keringanan dari Allah (Rukhshah) yang terbagi dalam beberapa
segi sebagai berikut;
1. Rukhshah dilihat dari segi
bentuk hukum asalnya, terbagi atas rukhshah memperbuat dan rukhshah meninggalkan.[6]
a. Rukhshah memperbuat ialah
keringanan untuk melakukan sesuatu perbuatan yang menurut asalnya harus
ditinggalkan. Hukum azimah-nya adalah
haram dan terlarang. Dalam keadaan darurat atau hajat, perbuatan yang terlarang
tersebut boleh dilakukan. Contohnya, memakan bangkai dalam keadaan darurat,
karena dikhawatirkan jika tidak memakan dapat menyebabkan kematian. Sebagaimana
firman Allah:
إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ
وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ
اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ
رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Dia hanya mengharamkan atasmu
bangkai, darah, daging
babi, dan binatang yang disembelih dengan (menyebut) nama selain Allah.
Tetapi barangsiapa terpaksa (memakannya, sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.(QS.
al-Baqarah: 173)
b. Rukhshah meninggalkan yaitu
keringanan untuk meninggalkan perbuatan yang menurut hukum azimah-nya adalah wajib. Dalam keadaan asalnya, hukumnya adalah
wajib atau sunnah. Tetapi dalam keadaan tertentu seseorang tidak dapat
melakukannya dikarenakan membahayakan dirinya atau merasa berat untuk
melakukannya. Maka dari itu orang tersebut diperbolehkan melakukan rukhshah. Firman Allah dalam (QS.al-Baqarah:
184) tentang kebolehan meninggalkan puasa ramadlan bagi orang yang skait atau
dalam perjalanan.
أَيَّامًا مَّعْدُودَاتٍ
فَمَن كَانَ مِنكُم مَّرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ
وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةُ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَن تَطَوَّعَ
خَيْرًا فَهُوَ خَيْرُ لَّهُ وَأَن تَصُومُوا خَيْرُ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ
”(Yaitu) dalam
beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu ada yang sakit
atau dalam perjalanan (lalu dia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa)
sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi
orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar
fidyah, (yaitu), memberi makan seorang miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan
hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa
lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.
c. Rukhshah dalam meninggalkan
hukum-hukum yang berlaku terhadap umat sebelum ialam yang dinilai terlalu berat
bagi umat Muhammad. Contohnya, keharusan melakukan sembahyang di masjid yang
berlaku pada masa syariat Nabi Musa. Hukum tersebut lebih tepat disebut nasakh, meskipun demikian dalam arti
luas disebut rukhshah. Allah
berfirman dalam QS al-Baqarah: 286.
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ
نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ
رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا
تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ
رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا
وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ
الْكَافِرِينَ
“Allah tidak
membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala
(dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang
dikerjakannya. (Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum
kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau
bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada
orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami
apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami; ampunilah kami; dan
rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum
yang kafir".
d. Rukhshah dalam bentuk melegalisasikan beberapa bentuk
akad yang tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Adanya rukhshah ini
disebabkan oleh kebutuhan umum. Misalnya jual beli salam.
2.
Rukhshah ditinjau dari segi
keringanan yang diberikan. Terdapat tujuh bentuk keringanan, diantaranya:
a. Keringanan
dalam bentuk meninggalkan kewajiban, seperti bolehnya meninggalkan shalat jum’at, berjihad, haji, dan umrah dalam
keadaan udzur.
b. Keringanan
dalam bentuk mengurangi kewajiban, seperti mengqasar shalat bagi yang memenuhi persyaratan.
c. Keringanan
dalam bentuk mengganti kewajiban, seperi mengganti wudlu dengan tayammum karena tidak ada air,
mengganti kewajiban berdiri dalam
shalat dengan duduk karena sedang sakit.
d. Keringanan
dalam bentuk penangguhan pelaksanaan kewajiban, seperti pelaksannan shalat dzuhur pada waktu ashar dengan jama’
ta’khir karena sedang dalam
perjalanan.
e. Keringanan
dalam bentuk mendahulukan pelaksanaan kewajiban, misalnya membayar zakat fitrah pada awal ramadlan, padahal
waktu wajibnya adalah akhir
ramadlan.
f.Keringanan
dalam bentuk mengubah kewajiban, misalnya melakukan shalat khauf
ketika dalam keadaan genting. Tentu saja tata cara pelaksanaannya berbeda dengan tata cara
shalat dalam keadaan normal.
g. Keringanan
dalam bentuk meninggalkan perbuatan wajib dan membolehkan
mengerjakan perbuatan haram karena adanya udzur, sebagaimana dijelaskan diatas.
3.
Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah
berlaku padanya rukhshah, apakah
masih berlaku pada waktu itu atau tidak. Menurut ulama Hanafiyah, rukhshah ini
terbagi atas dua macam, yaitu rukhshah
tarfih dan rukhshah isqath.
a. Rukhshah tarfih ialah yang
meringankan dari pelaksanaan hukum ‘azimah tetapi huum azimah tetap berlaku
hanya pada waktu itu mukallaf dibolehkan meninggalkan atau mengerjakannya
sebagai keringanan baginya. Misalnya mengucapkan ucapan yang mengkafirkan,
merupakan bentuk hukum azimah yang terlarng, Namun dalam keadaan terpaksa,
diperbolehkan selama hatinya tetap dalam keimanan dan pelakunya tidak
mendapatkan kemurkaan dari Allah. Sebagaimana
firman Allah dalam QS al-Nahl: 106.
b. Rukhshah isqath ialah rukhshah yang
menggugurkan hukum azimah terhadap pelakunya saat keadaan rukhshah itu
berlangsung. Misalnya, orang yang dalam perjalanan berlaku padanya
hukum qasar shalat dan hilanglah kewajiban
menyempurnakan bilangan shalat yang empat rakaat. Sebagaimana firman Allah
dalam QS an-Nisa: 101.
Dalam hal ini ulama
hanafiyah tidak menganggap hukum azimah gugur, Karena orang dalam perjalanan
itu dapat memilih antara qasar atau tidak meskipun memilih qashar lebih utama
dari menyempurnakannya.
E.
Hukum Menggunakan
Rukhshah
Jumhur ulama
berpendapat bahwa hukum menggunakan rukhshah tergantung kepada bentuk udzur
yang menyebabkan adanya rukhshah tersebut. Dengan demikian, menggunakan hukum
rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai pada situasi terpaksa bagi
yang tidak mendapat makanan yang halal. Sedangkan hukum rukhshah menjadi sunah
ketika seseorang berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam
perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibahah seperti jal beli salam.
Imam al-syathibi
berpendapat, bahwa hukum rukhshah adalah ibahah atau boleh. Pendapat al-syatibi
ini menimbulkan polemik diantara jumhur ulama, pertama, rukhshah
dihukumi mubah, karena pada aslnya rukhshah hanyalah keringanan atau mengangkat
kesulitan sehingga mukallaf mempunyai kelapangan pilihan antara memilih azimah
atau rukhshah. Kedua, kalau menggunakan rukhshah itu diperintahkan, baik
dalam bentuk sunah atau wajib, maka hukumnya akan berubah menjadi ‘azimah,
bukan lagi rukhshah. Karena hukum wajib itu merupakan keharusan pasti yang
tidak mengandung pilihan lain.
Perbedaan pendapat
antara al-Syathibi dan jumhur ulama sangat terlihat pengaruhnya. Misalnya,
dalam hal memakan makanan haram dalam keadaan darurat. Al-Syathibi menghukumi
mubah, namun jumhur ulama menyatakan lebih baik mati kelaparan daripada memakan
makanan haram.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Azimah ialah sesuatu hukum yang
dituntut syara’dan bersifat umum. Tidak ditentukan terhadap suatu golongan yang
diistimewakan atau suatu keadaan yang dikecualikan
Rukhshah ialah
sesuatu hukum yang diatur oleh syara’karena ada suatu keúdzuran yang berat yang
menyukarkan
Macam-macam
rukhshah, diantaranya; Rukhshah dilihat dari segi bentuk hukum asalnya, terbagi atas rukhshah memperbuat dan
rukhshah meninggalkan. Rukhshah ditinjau dari segi keadaan hukum asal sesudah
berlaku padanya rukhshah, apakah masih berlaku pada waktu itu atau tidak.
Menurut ulama Hanafiyah, rukhshah ini terbagi atas dua macam, yaitu rukhshah
tarfih dan rukhshah isqath.
Hukum menggunakan
rukhshah dapat menjadi wajib seperti memakan bangkai pada situasi terpaksa bagi
yang tidak mendapat makanan yang halal. Sedangkan hukum rukhshah menjadi sunah
ketika seseorang berbuka puasa Ramadhan bagi orang yang sakit atau dalam
perjalanan. Ada pula yang semata-mata ibahah seperti jal beli salam.
Daftar Pustaka
Az-Zuhali,
Wahab. Konsep Darurat dalam Hukum Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
1997
Hasbi
ash shiddieqy, Muhammad. Pengantar Hukum Islam. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra. 1987
Karim
Zaidan, Abdul. Pengantar Studi Syariah, Mengenal Syariah Lebih Dalam. Jakarta:
Robbani Press. 2008
Pesan
indah dari makkah dan madinah, google-book.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqi. Jakarta: Kencana. 2009
[1] Teungku
Muhammad hasbi ash shiddieqy, Pengantar Hukum Islam, (Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 1987), hlm 478
[4] Prof.Dr. Abdul Karim
Zaidan, Pengantar Studi Syariah, Mengenal Syariah Lebih Dalam (Jakarta: Robbani
Press, 2008)
[5] Prof. Dr.
Wahbah Az-Zuhali, Konsep Darurat dalam Hukum Islam, (Jakarta: Gaya Media
Pratama,1997), hlm 74
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon