Rasa malu sebagian dari iman (sunan attirmidzi: bab
haya’)
حدثنا ابن أبي عمر و أحمد بن
منيع المعنى واحد قالا حدثنا سفيان بن عيينة عن الزهري عن سالم عن أبيه Y أن رسول الله صلى الله
عليه و سلم مر برجل وهو يعظ أخاه في الحياء فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم
الحياء من الإيمان
قال أحمد بن منيع في حديثه إن النبي صلى الله
عليه و سلم سمع رجلا يعظ أخاه في الحياء قال هذا حديث حسن صحيح وفي الباب عن أبي
هريرة و أبي بكرة و أبي أمامة
حدثنا عبد الله بن يوسف قال اخبرنا مالك
بن انس عن ابن شهاب عن سالم بن عبد الله عن ابيه ان رسول الله صلى الله عليه وسلم
مر على رجل من الانصار وهو يعظ اخاه في الحياء فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم
دعه فان الحياء من الايمان (خر جه البخاري ف كتاب لايمان باب الحياء من الايمان)[1]
artinya: “meriwayatkan
Abdullah bin Yusuf telah berkata, Malik bin Anas mengkhabarkan dari Ibnu Syihab
dari Salim bin Abdullah dari ayahnya, bahwasanya Rasulullah saw lewat pada
seorang Anshar yang sedang memberi nasehat saudaranya perihal
pemalu. Lalu Rasulullah saw bersabda: “Biarkan dia, karena malu itu sebagian
dari iman.”[2]
Keterangan hadits
Sifat malu ini telah dibahas sebelumnya dalam
masalah iman. Adapun pengulangannya disini bertujuan untuk membahasnya
secara terpisah dengan sanad yang berbeda, sehingga pembahasan sebelumnya
bukanlah pembahasan tersendiri yang tidak berhubungan dengan pembahasan dalam
bab ini.
ان ابيه (dari
ayahnya), yaitu Abdullah bin Umar bin Khattab.
مر على رجل (Nabi lewat dihadapan orang Anshar).
Dalah shahih
Muslim lafadznya adalah مر برجل marra berarti melewati, kata tersebut biasa digabungkan dengan “Ala” atau
”ba”, saya tidak mengetahui nama dua orang yang ada di atas tadi, baik
yang memberikan nasehat atau yang diberi nasehat.
يعظ berarti nasehat, menakut-nakuti atau mengingatkan. Demikianlah merekan
menerangkan kata tersebut. Keterangan yang lebih bagus adalah seperti yang
diterangkan oleh Imam Bukhari, dalam bab Adab melalui jalur Abdul Aziz bin Abu
Salamah dari Ibnu Shihab yang lafadznya يعاتب اخاه في
الحياء artinya “mencela sifat
malu yang dimiliki oleh saudaranya). Ia berkata,”Engkau sangat pemalu,” seakan-akan ia berkata,”sifat tersebut
sangat membahayakan.”[3]
Adab kemungkinan bahwa dua lafadz tersebut وعظ (menasehati) dan ‘itaab عتاب (mencela)
disebutkan secara bersamaan dalam satu hadits, akan tetapi sebagian periwayat
ada yang menyebutkan dan ada yang tidak. Hal tersebut dilakukan dengan
keyakinan bahwa salah satu dari dua lafadz tersebut dapat mewakili lafadz yang
lain.
في termasuk “fa sababiyah (yang mengindikasikan sebab) artinya
seakan-akan pria tersebut sangat pemalu sampai tidak ingin meminta haknya.
Karena itulah ia dicela oleh saudaranya. Rasulullag saw bersabda kepadanya, دعه artinya,
biarkan dia tetap berada dalam ahklak yang disunahkan itu, karena malu adalah
sebagian dari iman. Jika sifat
malu menghalangi seseorang menuntut haknya, maka dia akan diberi pahala sesuai
dengan hak yang ditinggalkannya itu. Ibnu Qutaibah berkata,”Maksudnya, bahwa
sifat malu dapat menghalangi dan menghindarkan seseorang untuk melakukan
kemaksiatan sebagaimana iman. Maka sifat malu disebut sebagai iman, seperti
sesuatu dapat diberi nama dengan lainnya yang menggantikan posisinya.”
Untuk itu, pernyataan bahwa sifat malu merupakan
sebagian dari iman termasuk kiasan. Dalam hadits tersebut, tampaknya orang yang
melarang itu tidak mengetahui bahwa malu termasuk salah satu kesempurnaan iman,
sehingga setelah itu ditegaskan kembali eksistensi dari sifat malu tersebut.
Penegasan itu juga disebabkan karena masalah itu adalah masalah yang harus
diperhatikan, meskipun tidak ada yang mengingkarinya.
Ar-Raghib berkata,”malu adalah menahan diri dari
perbuatan buruk (maksiat). Sifat terbut merupakan salah satu ciri khusus
manusia yang dapat mencegah dari perbuatan yang memalukan dan membedakannya
dari binatang. Sifat tersebut merupakan gabungan dari sifat takut dan iffah
(menjaga kesucian).
Imam Nawawi berkata,”Malu hakikatnya adalah
perangai yang dapat mendorong meninggalkan keburukan dan mencegah teledor dalam
menunaikan hak orang lain.
Qadhi Iyadh berkata,”Ungkapan malu sebagai kebaikan seluruhnya atau malu
tidak membawa kecuali kebaikan agaknya controversial bila diartikan secara umum
begitu saja. Karena pemikik sifat malu
tampak enggan menghadapi orang yang mengerjakan kemungkaran dengan alasan malu.
Malu juga kerap mendorong seseorang melakukan pelanggaran terhadap suatu hak.
Sesungguhnya yang dimaksudkan dengan malu dalam hadits di atas adalah malu yang
sesuai dengan syara’ (hukum agama). Sementara malu yang memicu pelanggaran
terhadap hak bukanlah malu yang sesuai dengan syara’ melainkan malu karena
serupa dengan malu secara syara’ yaitu perangai yang dapat mendorong
meninggalkan keburukan.
Ibnu hajar berkata,”bisa jadi makna malu adalah kebaikan yang sangat
dominan ada pada diri orang yang memiliki sifat malu, maka hilang lenyaplah
kemungkinan dia tergelincir dan kebaikan sebagai buah dan sifat malu pada
dirinya yang membawa kebaikan.[4]
Sahabat Ali bin Abu Thalib berkata,”Barang
siapa memakai baju malu niscaya masyarakat tidak akan melihat aibnya.”
Malu adalah akhlak yang menghiasi perilaku
manusia dengan cahaya dan keanggunan yang ada padanya. Inilah akhlak yang
terpuji yang ada pada diri seseorang lelaki dan fitrah yang mengkarakter pada
diri setiap wanita. Sehingga, sangat tidak masuk akal jika ada wanita yang
tidak ada rasa malu sedikitpun dalam dirinya. Rasa manis seorang wanita salah
satunya adalah buah dari adanya sifat malu dalam dirinya.
Wanita yang beriman adalah wanita yang memiliki
sifat malu. Sifat malu tampak pada cara dia berbusana. Ia menggunakan busana
takwa, yaitu busana yang menutupi auratnya. Para ulama sepakat bahwa aurat
seorang wanita di hadapan pria adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan tapak
tangan.
Ibnu Katsir berkata, “Pada zaman jahiliyah dahulu, sebagian kaum wanitanya
berjalan di tengah kaum lelaki dengan tidak kelihatan aurat. Dan mungkin saja mereka juga
memperlihatkan leher, rambut, dan telinga mereka. Maka Allah memerintahkan
wanita muslimah agar menutupi bagian-bagian tersebut.”
Menundukkan bagian juga bagian dari rasa malu.
Sebab mata memiliki sejuta bahasa. Tatapan sendu, dan isyarat lainnya yang
membuat berjuta rasa di dada lelaki. Setiap wanita memiliki pandangan mata yang
setajam anak panah dan setiap lelaki paham akan pesan yang dimaksud oleh
pandangan itu. Karena itu, Allah swt memerintahkan kepada lelaki dan wanita
untuk menundukkan pandangan mereka.
Memang realistis kekinian tidak bisa dipungkiri.
Kaum wanita saat ini beraktivitas di sektor publik, baik sebagai profesional
ataupun aktivis sosial politik. Ada yang dengan alas an untuk melayani
kepentingan sesama wanita yang fitri. Ada juga yang karena keterpaksaan.
Sehingga bercampur baur dengan lelaki tidak bisa dihindari.
Drs. Yusuf Qaradhawi berpendapat,”Saya ingin mengatakan di sinin bahwa
bercampur baur antara wanita dan lelaki adalah diadopsi ke dalam kamus Islam
yang tidak di kenal oleh warisana budaya kita pada sejarah berabad-abad
sebelumnya, dan tidak diketahui selain masa ini. Mungkin saja ia berasal dari bahasa asing, hal
itu memiliki isyarat yang tidak menenteramkan hati setiap muslim. Yang lebih
cocok mungkin bisa menggunakan kata liqa’ (pertemuan) atau keterlibatan
seorang lekaki dan wanita, dan sebagainya. Yang jelas, Islam tidak mengeluarkan
aturan dan hukum umum terkait dengan masalah ini. Namun hanya melihat tujuan
aktivitas tersebut atau maslahat yang mungkin terjadi dan bahaya yang dikhwatirkan,
gambaran yang utuh dengannya, dan syarat-syarat yang diperhatikan di dalamnya.”
Ada pula yang berpendapat bahwa malu tersebut
adalah menahan diri, karena takut melakukan sesuatu yang dibenci oleh syariat,
akal maupun adat kebiasaan. Orang yang melakukan sesuatu yang dibenci oleh
syariat, maka ia termasuk orang yang fasik. Jika ia melakukan hal yang dibenci
oleh akal, maka ia termasuk dalam kategori orang gila. Sedangkan jika ia
melakukan hal yang dibenci oleh adat, maka dia termasuk orang bodoh.[5]
Sifat malu terbagi menjadi tiga bagian yaitu:
1. Malu kepada
dirinya.
2. Malu kepada
manusia.
3. Malu kepada
Allah swt.
Tiga macam sifat malu tersebut merupakan sendi-sendi kebaaikan dan pokok
dasar yang uatama, sebagaimana yang telah disabdakan Rasulullah saw yang
artinnya:” mempunyai rasa malu adalah baik (HR. Bukhari dan Muslim).
Apabila isi hadits yang menyatakan bahwa rasa malu sebagian dari iman,
jelaslah bahwa pribadi yang mempunnyai rasa malu dalam arti yang benar, sangat
bertautan dengan masalah kadar keimanan seseorang. Apabila rasa malu itu telah
hilang, seperti hilangnya warna hijau pada buah yang segar karena matang, maka
akan lenyaplah warna hijau itu bersama-sama lenyapnya buah itu sendiri. Justru
itulah yang dikatakan Rasulullah saw dalam haditsnya, yang artinya:”Apabila
kalian tidak mempunyai rasa malu lagi, maka berbuatlah apa yang engkau
kehendaki.” (HR. Bukhari). bahwa rasa malu bisa menjadi tameng bagi manusia. Bisa mencegah seseorang
melakukan hal-hal yang tidak pantas apalagi maksiat dan dosa. Dan bila tidak
ada rasa malu, maka seseorang bisa melakukan apa saja sesukanya sesuai dengan
hadits di atas.
Malu melakukan hal yang sia-sia apalagi dosa
merupakan indikasi (tanda) baiknya seseorang. Karena malu seperti ini adalah
bagian dari iman. Bukan malu yang melakukan kebaikan. Karena malu melakukan
kebaikan adalah pertanda kelemahan, sebagaimana disampaikan oleh Syekh Bugha
dalam Kitab Al-Wafii ketika menerangkan hadits tersebut. Malu dalam hal ini
adalah malu yang tercela.
Dalam kehidupan sehari-hari kita, tentunya tidak
luput dari perasaan malu. Rasa malu itu timbul lantaran banyak hal. Apakah malu
lantaran status sosial yang rendah, malu lantaran kondisi ekonomi yang lemah,
malu lantaran wajah dan fisik yang buruk, dan sebagainya.
Apa yang harus kita sadari adalah, kita harus
lebih merasakan malu kealfaan kita dalam menjalankan perintah Allah swt dan
meninggalkan larangan-Nya. Kita harus merasakan malu lantaran melakukan hal
yang sia-sia. Malu lantaran melakukan maksiat dan dosa. Malu lantaran
menelantarkan kewajiban-kewajiban kita.
Jangan sampai kita malu lantaran kondisi ekonomi
kita, tetapi kita tidak malu dengan kondisi lemah keagamaan kita. Jangan sampai
kita malu lantaran rendahnya posisi sosial kita, namun kita tidak malu lantaran
rendahnya akhlak kita. Jangan sampai kita malu lantaran buruknya wajah dan
tubuh kita, namun kita tidak malu lantaran buruknya ketakwaan kita. Padahal
standar hakiki kemulian seorang hamba adalah takwa. Allah swt berfirman dalam
surat Al-Hujarat ayat 13 yang berbunyi:
إِنَّ
أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinnya: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujarat: 13)
Pada prinsipnya sebagaimana dijelaskan dalam
kitab Al-Wafii syarah Arbain Nawawi, rasa malu dalam diri manusia bisa dibagi
dari pertumbuhannya kepada dua: pertama, rasa malu yang ada secara
fitrah. Rasa ini timbul secara otomatis dalam diri manusia. Malu untuk
melakukan keburukan sebenarnya adalah fitrah manusia. Karena memang setiap anak
manusia itu lahir dalam keadaan fitrah. Namun rasa malu ini akan dipengaruhi
dalam proses selanjutnya.
Kedua, rasa malu yang ditimbulkan. Rasa malu ini bisa
ditumbuhkembangkan dalam jiwa seseorang. Karena rasa malu merupakan bagian dari
akhlak, dan akhlak adalah sesuatu yang bisa diupayakan dalam diri manusia.
ada satu langkah yang utama dan pertama untuk menumbuhkan rasa malu yang
terpuji, yaitu mengenal Allah swt, untuk selanjutnya akan menumbuhkan rasa
pengawasan-Nya. Mengenal
Allah swt kita bisa membaca dan merenungi Al-Qur’an untuk mengenal Allah swt.
Seorang muslim harus berhias dengan perilaku
malu yang utama tersebut sebab malu adalah kategori agama seluruhnya. Etika itu
termasuk cabang keimanan dan termasuk bagian dari Etika Islam. Setiap agama
memilki etiaka dan sesungguhnya etiaka Islam adalah malu.
Sifat malu termasuk kunci segala kebaikan, bila
sifat malunya kuat, maka kebaikan menjadi dominan dan keburukan menjadi
melemah. Bila sifat malunya lemah, maka kebaikan melemah dan perilaku buruk
dominan, Karena malu adalah penghalang antara seseorang dengan hl-hal yang
dilarang.[6]
KESIMPULAN
Diantara Pelajaran hadits
tentang malu sebagian dari iman tersebut sebagai berikut:
1. Kaum muslimin hendaknya selalu memiliki
semangat untuk menasehati saudaranya, mengingatkan dengan penuh kasih saying,
dan tidak berdiam diri dari kesalahan;
2. Salah satu sifat Rasulullah saw adalah
meluruskan ketika ada kekeliruan yang beliau ketahui dan membetulkan kesalahan
yang beliau dapati. Sehingga ketika Rasulullah saw diam terhadap sesuatu yang
diketahui beliau, maka itu berarti persetujuan (taqrir) dari beliau;
3. Malu adalah sebagian dari iman, yang
merupakan sifat untuk menyempurnakan iman kita bila kita mengaflikasikannya dan
sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002.
Fathul Baari Jilid 1, Jakarta: Pustaka Azzam.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. 2002.
Fathul Baari Jilid 10, Jakarta: Pustaka Azzam.
Baqi’ M. Fu’ad Abdul. 1993. Al-Lulu
Wal Marjan, Semarang: Al-Ridha.
Haqqi, Ahmad Muadz. 2003. 40
Hadits Akhlaq, Surabaya: As-Sunnah,.
Sunarto, achmad & dkk.
1992. Terjemah Shahih Bukhari, Semarang: Asy-Syifa.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon