Etika Penguasa Terhadap Rakyat

I.                   LATAR BELAKANG
Hadits adalah sumber hukum kedua setelah kitab Al-Qur’an. Barang tentu bagi orang muslim hendaknya juga paham atas segala yang disampaikan oleh Rasulullah saw. Setelah memahami diharapkan juga teraplikasi dalam kehidupan sehari-sehari. Sehingga apa yang dilakukan dan setiap mengambil keputusan selalu didasarkan atas dasa-dasar huku Islam yang sudah ditentukan.

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Setiap Pengurus Harus Bertanggungjawab Atas yang Diurusnya.
B.     Pemimpin Sebagai Pelayan Rakyat
C.     Kontrak Politik Sebagai Mekanisme Kontrol Terhadap Pemimpin

III.             PEMBAHASAN
A.                      Setiap Pengurus Harus Bertanggungjawab Atas yang Diurusnya.
1202) Abdullah ibn Umar menerangkan:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كُلُّكُمْ رَاعٍ فمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ, فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ, وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ, وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ, وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ, الا, فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Rasulullah bersabda: kamu semua adalah pengurus yang dipercaya, kelak kamu akan ditanya tentang apa yang kamu lakukan. Maka penguasa yang mengurus keadaan rakyat adalah pemelihara dan dia akan ditanyakan tentang rakyatnya. Seorang laki-laki adalah pengurus terhadap isi rumahnya dan dia akan ditanya tentang keadaan mereka. Seorang perempuan adalah pengurus rumah suaminya dan anak-anaknya dan dia akan ditanya tentang hal mereka. Seorang budak ialah pengurus harta tuannya, dan dia akan ditanya tentang hal harta tuannya itu. Ketahuilah, kamu semua adalah pengurus, semua kamu akan ditanya tentang pengurusannya.” (Al-Bukhary 49: 17: Muslim 33: 5: Al-Lu’lu’ wal Marjan 2: 284)

1203) Al-Hasan menerangkan:
انّ عُبَيْدَ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ, فقَالَ له مَعْقِلٌ: إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَمِعْتُ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدٍ اِسْتَرْعاه اللَّهُ رَعِيَّةً فلم يحطها بنصيحة الا لم يجد رائحة الْجَنَّةَ
“Ubaidallah ibn Ziyad mengunjungi Ma’qil ibn Yasar dalam sakit menjelang ajalnya. Ma’qil berkata keadanya: saya akan menceritaan kepada engkau sebuah hadits yang saya dengar dari Rasulullah. Saya mendengar Nabi bersabda: Tidak ada seorang hamba yang Allah tugaskan kepadanya untuk mengurus segolongan rakyat, namun tidak dilaksanakannya dengan jujur, dia tidak memperoleh bau surga.” (Al-Bukhary 93: 8: Muslim 30: 5: Al-Lu’lu’ wal Marjan 2: 285)

Nabi menandaskan , bahwasanya kita semua ini merupakan pengurus yang kelak akan dimintai pertanggugjawaban terhadap pelaksanaan urusan yang diserahkan kepada kita, baik kecil ataupun besar. Jika kita melaksanakan kewajiban dengan baik, kita pasti memperoleh pembalasan yang baik dan besar. Sebaliknya jika kita mengabaikan kewajiban tentulah kita mendapat celaan di dunia dan di akhirat. Rakyat akan menuntut di dunia ini dan Allah pun akan menuntut pula di akhirat kelak.

Siapa yang dinamakan ra’in itu?
Ra’in menurut ulama, ialah orang yang diberikan kepercayaan dan berjanji akan melaksanakan sesuatu tugas yang mendatangkan kemaslahatan kepada apa yang diserahkan kepadanya dan diletakkan di bawah kepengurusannya.

Sabda Nabi ini menegaskan, bahwa terhadap mereka yang diserahkan sesuatu urusan haruslah berlaku adil dan harus mendatangkan kemaslahatan terhadap orang yang diurusnya, baik dalam urusan dunia maupun dalam urusan akhirat.[1]

Tuhan menyamakan masing-masing kita ini dengan pengurus atau pengembala. Yang bertugas mengurus apa yang yang menjadi kewajiban kita. Masing-masing manusia di samping bertindak sebagai pengurus, dapat pula sebagai obyek (yang diurus)
Hadts pertama, menyatakan bahwa tiapa-tiap pribadi adalah pengurus dan diminta pertanggungjawaban terhadap tugasnya.[2]

Hadits kedua, mewajibkan para kepala negara atau pemimpin berlaku jujur terhadap rakyat atau bawahan serta harus berupaya untuk mendatangkan kemaslahatan kepada rakyat atau bawahannya, baik dalam urusan dunia ataupun urusan akhirat.[3]

B.                 Pemimpin Sebagai Pelayan Rakyat

حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الدِّمَشْقِيُّ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ حَمْزَةَ حَدَّثَنِي ابْنُ أَبِي مَرْيَمَ أَنَّ الْقَاسِمَ بْنَ مُخَيْمِرَةَ أَخْبَرَهُ أَنَّ أَبَا مَرْيَمَ الْأَزْدِيَّ أَخْبَرَهُ قَالَ دَخَلْتُ عَلَى مُعَاوِيَةَ فَقَالَ مَا أَنْعَمَنَا بِكَ أَبَا فُلَانٍ وَهِيَ كَلِمَةٌ تَقُولُهَا الْعَرَبُ فَقُلْتُ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ أُخْبِرُكَ بِهِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ وَلَّاهُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَيْئًا مِنْ أَمْرِ الْمُسْلِمِينَ فَاحْتَجَبَ دُونَ حَاجَتِهِمْ وَخَلَّتِهِمْ وَفَقْرِهِمْ احْتَجَبَ اللَّهُ عَنْهُ دُونَ حَاجَتِهِ وَخَلَّتِهِ وَفَقْرِهِ قَالَ فَجَعَلَ رَجُلًا عَلَى حَوَائِجِ النَّاسِ

Abu maryam al’ azdy r.a berkata kepada muawiyah: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: siapa yang diserahi oleh Allah mengatur kepentingan kaum muslimin, yang kemudian ia sembunyi dari hajat kepentingan mereka, maka Allah akan menolak hajat kepentingan dan kebutuhannya pada hari qiyamat. Maka kemudian muawiyah mengangkat seorang untuk melayani segala hajat kebutuhan orang-orang (rakyat). (abu dawud, attirmidzy)

Pemimpin sebagai pelayan dan rakyat sebagai tuan. Itulah kira-kira yang hendak disampaikan oleh hadis di atas. Meski tidak secara terang-terangan hadis di atas menyebutkan rakyat sebagai tuan dan pemimpin sebagai pelayan, namun setidaknya hadis ini hendak menegaskan bahwa islam memandang seorang pemimpin tidak lebih tinggi statusnya dari rakyat, karena hakekat pemimpin ialah melayani kepentingan rakyat. Sebagai seorang pelayan, ia tentu tidak beda dengan pelayan-pelayan lainnya yang bertugas melayani kebutuhan-kebutuhan majikannya. Seorang pelayan rumah tangga, misalkan, harus bertanggung jawab untuk melayani kebutuhan majikannya. Demikian juga seorang pelayan kepentingan rakyat harus bertanggung jawab untuk melayani seluruh kepentingan rakyatnya.

Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, Menteri, DPR, MPR dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.[4]

C.                 Kontrak Politik Sebagai Mekanisme Kontrol Terhadap Pemimpin
حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ فُرَاتٍ الْقَزَّازِ قَالَ سَمِعْتُ أَبَا حَازِمٍ قَالَ قَاعَدْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ خَمْسَ سِنِينَ فَسَمِعْتُهُ يُحَدِّثُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ

Abu hurairah r.a berkata : rasulullah saw bersabda : dahulu bani israil selalu dipimpin oleh nabi, tiap mati seorang nabi seorang nabi digantikan oleh nabi lainnya, dan sesudah aku ini tidak ada nabi, dan akan terangkat sepeninggalku beberapa khalifah. Bahkan akan bertambah banyak. Sahabat bertanya: ya rasulullah apakah pesanmu kepada kami? Jawab nabi: tepatilah baiatmu (kontrak politik) pada yang pertama, dan berikan kepada mereka haknya, dan  mohonlah kepada allah bagimu, maka allah akan menanya mereka dari hal apa yang diamanatkan dalam memelihara hambanya.

Pada umumnya, kata bai’at diartikan sebagai janji. Namun sebenarnya, kata bai’at berasal dari suku kata bahasa arab ba-ya-‘a yang bermakna transaksi. Bila transaksi ini konteksnya adalah ekonomi maka ia berarti jual beli yang kemudian dikenal dengan kata kerja bu yu’ yang berarti terjadinya transaksi antara penjual dan pembeli. Akan tetapi bila konteks kata tersebut adalah politik, maka yang dimaksud transaksi di sini adalah sebuah perjanjian antar rakyat dan pemimpin. Karena itu, tak heran bila rasul s.a.w senantiasa menekankan pentingnya bai’at dalam sebuah kepemimpinan, dengan bai’at seorang pemimpin telah melakukan transaksi politik yang menuntut pemenuhan atas point-poin yang menjadi ksepakatan dalam transaksi mereka (pemimpin dan rakyat).

Akan tetapi, dalam konteks belakangan ini, kata bai’at mengalami reduksi makna hanya sekedar sumpah jabatan yang biasanya bersifat pasif dan tidak memberikan ruang tawar menawar politik antara rakyat dan pemimpin. Bila kita melihat praktik sumpah jabatan di indonesia misalkan, sumpah jabatan presiden hanya dibacakan secara sepihak antara MPR dan Presiden namun tidak menyisakan ruang negoisasi antara rakyat dan prsiden. Padahal, rakyat sebagai pihak yang dipimpin seharusnya berhak membuat kesepakatan-kesepakatan politik tertentu dengan Presiden yang bila kesepakatan itu dilanggar maka jabatan Presiden dengan sendirinya  akan gugur. Oleh sebab itu, agar sumpah jabatan ini tidak sekedar menjadi ritual dalam setiap pemilihan Presiden atau pemimpin namun tidak memiliki dampak yang berarti dalam proses kepemimpinannnya, maka kemudian kita mengenal apa yang dalam istilah politik disebut sebagai “kontrak politik”.

Kontrak politik di sini mengandung pengertian sebuah ruang di mana antara pemimpin dan rakyat melakukan “transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang memilki resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik, dalam hal ini tidak berbeda dengan bai’at dalam istilah islam. Hanya saja, kontrak politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara dan diketahui secara publik, tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat, pemimpin dan di atas keduanya ada Tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu, bila kita memaknai hadis di atas secara dalam dan kontekstual, maka kita dapat menangkap pesan bahwa Rasul s.a.w menekankan betapa pentingnya sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem kepemimpinan yang islami.[5]

IV.             KESIMPULAN
A.    Setiap Pengurus Harus Bertanggungjawab Atas yang Diurusnya.
·         Hadits pertama, menyatakan bahwa tiapa-tiap pribadi adalah pengurus dan diminta pertanggungjawaban terhadap tugasnya.
·         Hadits kedua, mewajibkan para kepala negara atau pemimpin berlaku jujur terhadap rakyat atau bawahan serta harus berupaya untuk mendatangkan kemaslahatan kepada rakyat atau bawahannya, baik dalam urusan dunia ataupun urusan akhirat.

B.     Pemimpin Sebagai Pelayan Rakyat
·         Dalam konteks indoensia, sosok “pelayan” yang bertugas untuk memenuhi kepentingan “tuan” rakyat ini adalah presiden, Menteri, DPR, MPR dan semua birokrasi yang mendukungnya. Mereka ini adalah orang-orang yang kita beri kepercayaan (tentunya melalui pemilu) untuk mengurus segala kepentingan dan kebutuhan kita sebagai rakyat. Karena itu, bila mereka tidak melaksanakan tugasnya sebagai pelayan rakyat, maka kita sebagai “tuan” berhak untuk “memecat” mereka dari jabatannya.
C.     Kontrak Politik Sebagai Mekanisme Kontrol Terhadap Pemimpin

·         Kontrak politik di sini mengandung pengertian sebuah ruang di mana antara pemimpin dan rakyat melakukan “transaksi” dan membuat kesepakatan-kesepakatan tertentu yang memilki resiko-resiko bila kedua belah pihak melanggarnya. Kontrak politik, dalam hal ini tidak berbeda dengan bai’at dalam istilah islam. Hanya saja, kontrak politik terjadi antara rakyat dan pemimpin secara setara dan diketahui secara publik, tetapi bai’at dilakukan oleh rakyat, pemimpin dan di atas keduanya ada Tuhan sebagai saksi. Oleh sebab itu, bila kita memaknai hadis di atas secara dalam dan kontekstual, maka kita dapat menangkap pesan bahwa Rasul s.a.w menekankan betapa pentingnya sebuah kontrak politik dalam sebuah sistem kepemimpinan yang islami

D.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, mohon saran yang membangun dan semoga bermanfaat. Amin.






DAFTAR PUSTAKA
Al-‘Asqolani, Al-Hafidz Bin Hajar, Terjemah Bulughul Maram Lengkap dengan Penjelasan-Penjelasan, Wicaksana, Semarang.
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Mutiara Hadits, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang: 2003. Jilid 6
SATIRI, H.M,  Tuntunan Praktis Tata pergaulan Sehari-hari (Menurut Ayat Al-Qur’an dan Hadits), CV. Multi Yasa, Jakarta.




[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Mutiara Hadits, PT. Pustaka Rizki Putra, Semarang: 2003. Jilid 6, h. 15-16
[2] Ibid, h. 17
[3] An Nawawy 12: 213-214; Irsyadus Sari 4: 230: 10:233.
[5] Ibid.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan