Isim Nakirah yang berbentuk (nafy, nahy, syarath, istifham) maka menunjukkan pengertian umum

I.                   PENDAHULUDAN
Al-Qur’an Al-Karim adalah mu’jizat islam yang kekal dan kemu’jizatannya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Tujuan pokok diturunkan Al-Qur’an adalah petunjuk bagi manusia dan sebagai pembeda antara yang haq dan yang batil. Al-Qur’an memuat apa yang di butuhkan oleh manusia , baik dalam urusan agama maupun dunia meraka.. untuk memahami pesan Al-Qur’an tersebut diperlukan suatu upaya yang disebut dengan tafsir.

Menafsirkan Al-Qur’an bukan upaya mudah. Hal ini karena sejarah mencatat bahwa didalam Al-Qur’an terdapat banyak kosa kata yang tidak atau belum dipahami oleh sahabat nabi. Padahal mereka adalah orang Arab asli yang langsung menerima Al-Qur’an yang berbahasa Arab dari Nabi Muhammad saw, dan menyaksikan situasi serta kondisi yang melatar belakangi turunnya ayat-ayat Al-Qur’an tersebut.  Dalam menafsirkan Al-Qur’an, seorang mufassir dituntut menguasai beberapa cabang ilmu untuk dapat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Al-Qur’an. Ia tidak memiliki  kewenangan untuk menafsirkan, bila ia tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk menjadi seorang mufassir. Metodologi tafsir yang digunakan pun harus sesuai tuntunan Rasulullah saw, para sahabat, tabi’in serta para ulama yang mumpuni.

Dengan kata lain, merekalah rujukan utama kita. Karena itulah, Rasulullah mengancam dengan siksa neraka bagi siapa saja yang berani menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an tanpa penguasaan ilmunya. Agar fungsi-fungsi Al-Qur’an tersebut dapat terwujud, maka kita harus menemukan makna-makna firman Allah saat menafsirkan Al-Qur’an.Tidak semua orang boleh menafsirkan Al-Qur’an. Seseorang yang hendak menafsirkan Al-Qur’an mestilah terlebih dahulu menguasai’ulum al-qur’an (ilmu-ilmu Al-Qur’an). Salah satu ilmu yang harus dikuasai diantaranya adalah kaidah-kaidah tafsir. Kaidah ini sangat membantu para mufassir dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an[1].

II.                RUMUSAN MASALAH
A.    Isim Nakirah yang Dinafikan
B.     Isim Nakirah yang Berbentuk Nahi
C.     Isim Nakirah yang Berbentuk Istifham

III.             PEMBAHASAN
A. ISIM NAKIRAH YANG DINAFIKAN
Setiap kali kita menemukan kata berbentuk nakirah dalam konteks pembicaraan yang menafikan pengertian kata tersebut (an-nafy), maka kata itu menunjuk pengertian yang bersifat umum. Demikian juga bila kata nakirah yang mengandung larangan melakukan yang ditunjuknya (an-nahy), atau kata itu dipersyaratan (asy-syarth), atau pengertiannya dipertanyakan (istifham), maka semua pengertian kata nakirah tersebut menunjuk pada pengertian yang bersifat umum[2].
Contoh kata nakirah yang dinafikan ialah, ketika Al-Qur’an menyebutkan sifat hari kiamat, sebagaimana yang terdapat pada surah al-Infithar (82):19:
tPöqtƒ Ÿw à7Î=ôJs? Ó§øÿtR <§øÿuZÏj9 $\«øx© ( ãøBF{$#ur 7Í´tBöqtƒ °! ÇÊÒÈ  
19. (yaitu) hari (ketika) seseorang tidak berdaya sedikitpun untuk menolong orang lain. dan segala urusan pada hari itu dalam kekuasaan Allah.
Kata nafs dalam ayat di atas bersifat umum; siapa pun orangnya, berkedudukan sama ditinjau dari segi ketidakampuan membantu orang lain[3].
Demikian juga pengertian kata syay’a yang terdapat pada ayat di atas; nakirah yang dinafikan, maka ia menunjuk pengertian umum yaitu, pada hari kiamat apa pun tidak diberikan kepada orang lain, baik sesuatu yang berguna ataupun yang dapat menghindarkan bahaya siksa yang akan menimpa orang lain. Contoh lainnya ialah, firman Allah pada surah yunus (10): 107:
bÎ)ur y7ó¡|¡ôJtƒ ª!$# 9hŽÛØÎ/ Ÿxsù y#Ï©%Ÿ2 ÿ¼ã&s! žwÎ) uqèd ( cÎ)ur x8÷ŠÌãƒ 9Žösƒ¿2 Ÿxsù ¨Š!#u ¾Ï&Î#ôÒxÿÏ9 4 Ü=ŠÅÁム¾ÏmÎ/ `tB âä!$t±o ô`ÏB ¾ÍnÏŠ$t6Ïã 4 uqèdur âqàÿtóø9$# ÞOŠÏm§9$# ÇÊÉÐÈ  
107. jika Allah menimpakan sesuatu kemudharatan kepadamu, Maka tidak ada yang dapat menghilangkannya kecuali Dia. dan jika Allah menghendaki kebaikan bagi kamu, Maka tak ada yang dapat menolak kurniaNya. Dia memberikan kebaikan itu kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya dan Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Kata dharr dalam ayat ini merupakan nakirah yang dinafikan. Sehingga menunjuk pengertian umum, yaitu segala kemudharatan. Karena itu pengertiannya ialah, tidak ada yang sanggup menghilangkan kemudharatan yang ditimpa Allah terhadap hamba-Nya. Upaya maksimum yang dapat dilakukan seorang hampa untuk menghilangkan kemudharatan, hanyalah berbentuk sebab-sebab dan obat. Berbagai sebab dan obat yang diusahakan manusia itu sendiri, pada hakikatnya hanyalah salah satu dari sekian banyak segi yang termasuk ke dalam ketentuan umum Allah. Dengan kata lain, upaya menghilangkan kemadharatan itu sendiri tetap berada dalam ruang lingkup kehendadk dan ketentuan Allah. Sebagai bandingan, pada surah Fathir (35): 2:
$¨B ËxtGøÿtƒ ª!$# Ĩ$¨Y=Ï9 `ÏB 7puH÷q§ Ÿxsù y7Å¡ôJãB $ygs9 ( $tBur ô7Å¡ôJムŸxsù Ÿ@ÅöãB ¼çms9 .`ÏB ¾ÍnÏ÷èt/ 4 uqèdur âƒÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇËÈ  
2. apa saja yang Allah anugerahkan kepada manusia berupa rahmat, Maka tidak ada seorangpun yang dapat menahannya; dan apa saja yang ditahan oleh Allah Maka tidak seorangpun yang sanggup melepaskannya sesudah itu. dan Dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Demikian juga pada surah an-Nahl (16): 53:
$tBur Nä3Î/ `ÏiB 7pyJ÷èÏoR z`ÏJsù «!$# ( ¢OèO #sŒÎ) ãNä3¡¡tB ŽØ9$# Ïmøs9Î*sù tbrãt«øgrB ÇÎÌÈ  
53. dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, Maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, Maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.

Pengertian rahmat dan nikmat di dalam kedua ayat di atas meliputi semua yang diterima manusia. Demikian juga musibah yang menimpanya; semuanya berasal dari Allah semata.

B. ISIM NAKIRAH YANG BERBENTUK NAHI
Adapun contoh kata nakirah dalam konteks larangan, ialah firman Allah pada surah An-Nisa’ (4): 36:
* (#rßç6ôã$#ur ©!$# Ÿwur (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( È
36. sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.
Larangan mempersekutukan Allah dalam ayat ini mencakup segala sesuatu yang mengandung unsur syirik; baik berbentuk niat, perkataan, perbuatan maupun syirik besar kecil, nyata (al-jali), maupun tersembunyi (al-khafi). Tegasnya, orang tidak boleh dan tidak pantas mempersekutukan dan memperserikatan Allah dengan cara bagaimanapun juga[4].
Sebagai perbandingannya ialah surah al-Baqarah (2): 22:
Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ  
karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[30], Padahal kamu mengetahui

C.                 ISIM NAKIRAH YANG BERBENTUK ISTIFHAM
Adapun contoh nakirah yang diungkapkan dalam bentuk istifham (dipertanyakan) ialah, yang terdapat dalam surah Fathir (35): 3:

4 ö@yd ô`ÏB @,Î=»yz çŽöxî «!$# Nä3è%ãötƒ z`ÏiB Ïä!$yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur 4 Iw tm»s9Î) žwÎ) uqèd ( 4¯Tr'sù šcqä3sù÷sè? ÇÌÈ  
Adakah Pencipta selain Allah yang dapat memberikan rezki kepada kamu dari langit dan bumi ? tidak ada Tuhan selain dia; Maka Mengapakah kamu berpaling (dari ketauhidan)?
Dalam kaidah di atas dapat pula ditambahkan, jika kata sandang min (من)  dihubungkan dengan nakirah, maka kata itu merupakan petunjuk untuk menetapkan pengertian umum.
Sebagai contoh, pada surah al-Haqq (69): 47:
$yJsù Oä3ZÏB ô`ÏiB >tnr& çm÷Ztã tûïÌÉf»ym ÇÍÐÈ  
47. Maka sekali-kali tidak ada seorang pun dari kamu yang dapat menghalangi (Kami), dari pemotongan urat nadi itu.

Demikian juga kalimat yang dijumpai dalam surah at-Taubah (9): 116:

$tBur Nà6s9 `ÏiB Âcrߊ «!$# `ÏB <cÍ<ur Ÿwur 9ŽÅÁtR ÇÊÊÏÈ
Dan sekali-kali tidak ada pelindung dan penolong bagimu selain Allah.

IV.             KESIMPULAN
Jika isim nakirah dalam bentuk (nahy, nafy, istifham) maka menunjukkan pengertian umum. Seperti contoh-contoh sebelumnya.


V.                PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami buat, mohon saran yang membangun dan semoga bermanfaat. Amin.


DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an In Word.
Ichwan, Nor, Memahami bahasa Al-Qur’an-Refleksi atas pesoalan linguistik, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.
Rahman Dahlan, Abd, Kaidah-kaidah Tafsir, Sinar Grafika Offset, Jakarta, 2010.
Quraish Shihab, M, Membumikan Al-Qur’an-Fungsi dan peran wahyu dalam kehidupan masyarakat, PT Mizan Pustaka, Bandung, 2013.



[2] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-kaidah Tafsir, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2010, hlm 54-57.
[3] Bantuan yang diberikan seseoarang kepada orang lain di akhirat biasa disebut dengan syafa’at. Di kalangan ulama terjadi pro dan kontra tentang adanya syafa’at di akhirat, terutama syafa’at yang diberikan Nabi Muhammad kepada umat beliau. Akan tetapi jika diperhatikan ayat-ayat Al-qur’an yang berbicara tentang syafa’at di akhirat, semuanya berbicara dalam konteks kemahaagungan dan kemahaperkasaan Allah, dan membantah kepercayaan Ahlu alkitab dan orang-orang kafir bahwa para pendahulu mereka yang shaleh akan memberi syafa’at kepada mereka, sehingga mereka tak perlu bersesah payah melaksanakan perintah Allah. Jadi, ayat-ayat tersebut tidak berbicara tentang keberadaan syafa’at yang dimiliki oleh Nabi Muhammad itu sendiri. mereka yang berpendapat bahwa Nabi Muammad dapat memberi syafa’at, berpegang kepada beberapa hadist yang menjelaskan hal itu dan beberapa ayat Alqur’an yang menafikannya, tetapi mengecualikan orang-orang yang diberi Allah izin untuk memberi syafa’at.
[4] Uraian tentang cakupan syirik ini dapat dilihat, antara lain dalam Ahmad bin Taimiyah dan Muhammad Abdul Wahab, Majmu’ At-Tauhid, Dar al-Fikr, tt., hlm. 167 dst; Sayyid Qutb, Fii Zilal Al-Qur’an, Jilid 1, Beirut: Dar asy-Syauq, 1992,
[30] Ialah segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.


Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan