A.
Latar
Belakang
Usaha untuk keluar dari krisis pemikiran dan sakit mental yang traumatik
terhadap dunia luar, dilakukan dengan mengarahkan dunia akademik di era
kontemporer lebih berorientasi kepada usaha menemukan metode-metode ilmiah yang
dapat dipertanggung jawabkan. ilmu-ilmu
al-Qur`an sudah saatnya dikembangkan sehingga dapat menjadi dasar-dasar ilmiah
bagi usaha penafsiran terhadap al-Qur`an.Menurut Nasr
Hamid Abu Zayd, usaha membangun sebuah metodologi yang ilmiah dalam studi
al-Qur`an merupakan jalan satu-satunya untuk mencapai obyektifitas pemahaman
terhadap al-Qur`an dan Islam secara keseluruhan. Ungkapan Abu Zayd tersebut
didasarkan pada kenyataan kuatnya tarikan-tarikan ideologis dalam pemikiran
Islam yang sulit dihindarkan oleh para pengkaji dan peneliti ketika memasuki
wilayah kajian Islam.
Melalui bukunya Mafhum
al-Nash, Dirosah fi Ulum al-Qur`an, Nasr Hamid, Dosen Universitas Kairo dan
Universitas Leiden telah melakukan kritik terhadap rancang bangun ilmu-ilmu
al-Qur`an yang selama ini menjadi ilmu yang seolah baku dan sakral. Kritik
tersebut dijadikannya sebagai langkah awal untuk membangun sebuah metodologi
tafsir yang aktual untuk masa kontemporer saat ini.
B. Rumusan Masalah
1.
Biografi Nasr Hamid Abu
Zaid
2.
Pemikiran Nasr Hamid Abu
Zaid
3.
Contoh Interpretasi Abu
Zaid
C. Pembahasan
Hermeneutika Nashr Hamid Abu Zaid
1.
Biografi
Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr
Hamid Abu Zaid dilahirkan di desa Qahafah, Mesir pada tanggal 19 Juli
1943. Sejak kecil,[1]
Nasr dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang sangat religius. Beliau
hidup di Mesir dimana atmosfer kebebasan berpikir berkembang pesat. Negeri
tersebut juga merupakan pusat sumber khazanah Islam. Kondisi tersebut tidak
dipungkiri secara dinamis berpengaruh pada pertumbuhan intelektualitas Nasr.
Pemikiran
brilian Nasr sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya. Pada usia
delapan tahun Nasr mampu menghafal Al-Qur’an 30 juz, di luar pendidikan formal.[2] Nasr
menempuh pendidikan Madrasah Ibtidaiyah di kampung halaman pada tahun 1951.
Kemudian, beliau melanjutkan pendidikan di Sekolah Tekhnologi di distrik Kafru
Zayyad, propinsi Gharbiyah. Sesungguhnya sejak muda, ia sangat tertarik dengan
kajian bahasa dan filsafat. Nasr bahkan fokus pada perangkat metodologi analisa
wacana dan dinamika teori teks dalam semiotika. Tak heran, untuk memperkuat
minatnya itu, ia masuk ke Fakultas Sastra Universitas Kairo, dan kemudian
mengabdi di sana. Ia menyelesaikan S1 pada tahun 1972 pada Studi Bahasa
Arab (Arabic Studies), dan kemudian S2 pada tahun
1977. Pada tahun1978 sampai 1980, ia melanjutkan studi S3-nya di Universitas
Pennsylvania, Philadelphia. Nasr menyelesaikan disertasi pada tahun 1980/1981
dalam konsentrasi Islamic Studies.[3]
Nasr
Hamid merupakan pemikir Mesir yang sangat kontroversial karena karya-karyanya
telah mengundang perdebatan di dunia Islam sejak tahun 1970-an. Di satu sisi,
banyak kalangan mengapresiasi karya-karyanya yang mempromosikan pencerahan
dalam studi Islam. Namun, di sisi lain, ia dikafirkan kaum konservatif dan
pengadilan Mesir (tahun 1995) karena pemikirannya dituduh
menyeleweng. Vonis pengkafiran ini memaksa Nasr hijrah ke Leiden kemudian
menjadi guru besar studi Islam di Universitas Leiden dan profesor pada Universitas
for Humanistics di Utrecth.
Beliau
adalah penulis yang telah menyumbangkan karya-karya kritis sepertiMafhûm al-Nash: Dirâsah fi `Ulûm al-Qur’ân (Konsep
Teks: Studi Ilmu-ilmu Alqur’an), Isykâliyyât al-Qirâ’ah wa
Aliyât al-Ta’wîl (Problem Pembacaan dan Metode
Interpretasi), Falsafah al-Ta’wîl: Dirâsah fi Ta’wîl
al-Qur’ân `inda Ibn `Arabî (Filsafat Hermeneutika: Studi
Hermeneutika Alqur’an menurut Ibn Arabi), al-Imâm al-Syâfi’i wa Ta`sîs
al-Aidiulujiyyah al-Wasathiyyah (Imam Syafi’i dan Pembasisan Ideologi
Moderatisme), al-Ittijâh al-`Aqli fi at-Tafsîr (Rasionalisme
dalam Tafsir), Naqd al-Khithâb al-Dînî (Kritik
Wacana Agama), dan lain-lain. Karya-karyanya juga terbit dalam bahasa Inggris
seperti Reformation of Islamic Thought: a Critical Historical Analysis;
Rethinking the Qur’an: Towards a Humanistic Hermeneutics; dan Voice of an Exile: Reflections on Islam.
2.
Pemikiran
Nasr Hamid Abu Zaid
Nasr
Hamid Abu Zaid (l. 1942) merupakan generasi al-Khuli yang produktif dan bahkan
gigih mengembangkan metode adabi dalam kajian al-Qur’an. Dalam
beberapa paragraph buku autobiografi yang di tulis sahabtnya yang berkebangsaan
Jerman, Navid Kermani, Abu Zaid berujar: (Al-Qur’an adalah “karya keagamaan”,
kitab petunjuk, seperti yang pernah dikatakan Abduh. Tetapi, bagaimana kita
bisa mencari petunjuk itu? Bagaimana seharusnya kita memahami teks, agar
petunjuk tersebut bisa diraih? Kita harus “menafsirkannya”. Al-Qur’an adalah
pesan Tuhan yang memiliki kode dan “saluran”, yakni berupa bahasa Arab. Untuk
meretas kode yang digunakan, saya membutuhkan analisis teks yang lebih dari
sekedar disiplin filologi. Analisis ini menempatkan al-Qur’an sebagai teks
poetik yang terstruktur. Oleh karenanya, al-Qur’an tidak masuk kategori teks puisi,
sebaliknya ia tetap sebagai teks keagamaan yang memiliki banyak fungsi).[4]
Al-Qur’an
adalah teks yang memiliki pesan-pesan etik, moral spiritual, dan juristik, dan
pada saat yang sama, ia juga merupakan “untaian musik” yang sangat menakjubkan
sekaligus sebagai pengemas pesan-pesan religius spiritual tersebut. Dalam
tataran ini, Abu Zaid terpengaruhi oleh teori sastra Romantik yang memusatkan
kajian al-Qur’an pada pengaruh psikologis.[5]
Abu
Zaid mengawali dengan penetapan hubungan atau relasi antara teks dan
interpretasi. Keduanya ibarat dua sisi mata koin yang tidak bisa dipisahkan.
Dengan demikian, teori interpretasi tidak bisa dari teori teks. Dalam diskursus
interpretasi klasik yang keduanya dipisahkan, mengingat teks diyakini sebagai
sesuatu yang tidak berguna. Ia menempatkan al-Qur’an sebagai teks dalam
pengertian aslinya dengan menolak teori tradisional tentangnya sebagai teks
tertutup, sebaliknya, menjadikannya sebagai teks terbuka yang menuntut adanya
interpretasi. Penggunaan metode susastra dengan analisis
linguistik diharapkan mampu meminimalisir subyektivitas dan tarikan
kepentingan.
“Ta’wil
merupakan sisi lain dari teks.” Statement Abu Zaid ini berada pada level
epistimologis, seperti di ungkapkan Abu Zaid di beberapa kesempatan: “Teks
memiliki eksistensi, bebas dari interpretasi dan komentari.” Statement ini
selayaknya di pahami bahwa teks menggiring kepada aktivitas interpretasi untuk
menemukan dunianya. Dua sisi dari koin sebagai gambaran teks dan interpretasi
ini mengingatkan akan statement yang pernah dilontarkan J.L. Kugel dan Geer,
yakni: “text and interpretation are like twin brothers; one can scarcely tell
the one from the other. What emerges is unbroken dialogue or discourse
between a book and a people, between scripture and tradition, between the
letter and the spirit, between word and the experience of those hearing it.”
Teks
al-Qur’an sejatinya telah menjadi obyek interpretasi semenjak ia diturunkan.
Dalam hal ini Abu Zaid membedakan dalam dua model. Model pertama adalah
literal, yang di anggap sebagai a historis, sedangkan yang kedua adalah
penafsiran metaforis dan alegoris yang historis.[6]
Abu
Zaid cenderung menggunakan istilah ta’wil ketimbang tafsir. Meski dalam
khazanah Ulumul Qur’an ada beberapa sarjana yang menyamakan
pengertian tafsir dan ta’wil, namun ada pula yang membedakannya. Menurut Abu
Zaid, tafsir lebih diartikan sebagai upaya memahami teks dari sisi zahir
(outer), sedangkan ta’wil diartikan sebagai upaya penemuan makna teks dari sisi
batin atau “inner”-nya.
Penggunaan
ta’wil dalam hal ini, menurut Abu Zaid, disebabkan istilah tersebut berkenaan
dengan proses penemuan (istimbath), yang tidak dapat dicapai melalui
analisis literal. Dalam ta’wil, peran pembaca dalam memahami (verstehen)
dan menemukan makna teks lebih signifikan ketimbang dalam tafsir. Meskipun
demikian, peran pembaca di sini juga tidak secara absolut bisa terlepas dari
tarikan kecenderungan serta kepentingan ideologis yang subyektif. Untuk itu,
problemanya menurut Abu Zaid adalah bukan diversitas penafsiran yang memang tidak
bisa dielakkan, melainkan posibilitas mis-interpretasi. Dari sinilah kemudian
muncul pembahasan tentang validitas interpretasi.
Abu
Zaid banyak berbicara tentang “interpretasi obyektif”, meski dalam kenyataannya
sangat sulit, yang ia sebut dengan ta’wil sebagai pembanding interpretasi
ideologis atau yang ia sebut dengan talwin. Ia sangat kritis
terhadap penafsiran yang ideologis terhadap teks, mengingat dalam khazanah
keislaman model seperti ini paling banyak ditemukan, baik di kalangan
konservatif maupun liberal. Diskusi tentang interpretasi obyektif sebagai
cita-cita, sejatinya tidak bisa dari dua madzhab besar teori interpretasi,
yakni hermeneutik. Yang pertama adalah madzhab obyektif, yang diusulkan oleh
beberapa sarjana seperti Friedrich Schleiermacher, Willhelm Dithey, Emilio
Betti, dan E.D. Hirsch, sedangkan yang kedua adalah madzhab subyektif yang
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran Marti Heidegger dan Hans Georg Gadamer.
Abu Zaid menggabungkan dua model hermeneutik ini, meski terlihat pengaruh obyektif
lebih besar ketimbang subyektik. Dari Hirsch, misalnya, Abu Zaid mendapatkan
pembeda antara makna dengan signifikansi, meaning and significance,
atau ma’nadan maghza. Sedangkan dari Gadamer ia
mendapatkan argument bahwa pembaca haruslah sadar akan subyektivitasnya
sehingga mampu mengontrol hasil pembacaannya.[7]
Berkenaan
dengan dua madzhab tersebut, Abu Zaid membedakan antara ta’wildengan talwin.
Tidak seperti takwil yang merupakan proses pembacaan kreatif terhadap teks dan
melahirkan horison pemahaman atasnya karena didasarkan pada konsiderasi
objektif, talwin merupakan ideologisasi serta subyektivikasi
dalam pembacaab teks. Meski Abu Zaid juga menyadari sepenuhnya bahwa
membaca tidak mungkin tanpa pra konsepsi, artinya, setiap pembacaan
senantiasa dibayang-bayangi oleh pelbagai setting pembaca. Namun dalam kerangka
takwil ini diharapkan pembaca mampu mengarahkan setting emosional serta
individualistiknya untuk mampu menghasilkan pemahaman yang obyektif.
Berkaitan
dengan takwil sebagai pembacaan kreatif atas teks yang diharapkan mampu
melahirkan pemahaman obyektif, Abu Zaid memisahkan antara “makna” (al-ma’na)
dengan “signifikansi” (al-maghza). Pemisahan keduanya tidak pula bisa
dipisahkan dari pengaruh pemikiran Hirsch, yang pernah menyatakan: “Bukan makna
yang berubah, tapi signifikansinya.” Perbedaan ini seringkali diabaikan. Makna
adalah sesuatu yang terpresentasikan oleh teks, ia adalah sesuatu yang
dikehendaki oleh penulis (pengujar) dengan menggunkan simbol-simbol bahasa
tertentu; ia adalah sesuatu yang digambarkan oleh tanda tersebut. Sementara
itu, signifikansi senantiasa menyebutkan hubungan antara makna dengan person
atau persespi, situasi, atau sesuatu yang dapat terbayangkan.”
Dengan
demikian, makna adalah sesuatu yang dipresentasikan oleh teks dan signifikansi
adalah hubungan antara makna dengan pembaca. Makna merupakan “makna asli
kontekstual” yang hamper ajeg karena historitasnya, sedangkan
signifikansi senantiasa berubah. Seperti Hirsch, Abu Zaid juga membedakan
antara makna yang dikehendaki oleh penulis (pengujar) dengan makna yang
dipresentasikan oleh teks, dengan penekanan lebih kepada makna yang
dipresentasikan oleh teks. Dengan kerangka berpikir seperti ini, Abu Zaid
kemudian menggunakannya untuk menganalisis teks keagamaan dengan mengalihkan
“perhatian penulis” kepada makna al-Qur’an sebagaimana dipahami oleh generasi
awal islam.[8]
Untuk
menghidari “dualisme” makna dan signifikansi yang menjadi bahan kritikan teori
hermeneutika modern, Abu Zaid menentukan tiga peringkat makna dari sebuah pesan
yang inheren dalam teks-teks keagamaan. Level makna yang pertama mengacu
sepenuhnya pada “bukti-bukti historis” (syawahid tarikhiyyah) yang tidak
bisa diinterpretasikan secara metaforis. Level yang kedua mengacu pada
bukti-bukti historis yang bisa diinterpretasikan secara metaforis. Sedangkan
level ketiga mengarah kepada ekstensimakna berdasarkan signifikansi yang bisa
ditemukan dari konteks sosio-kultural seperti yang dikembangkan oleh teks.
Signifikansi tidak boleh mengacaukan makna. Makna bergantung pada teks,
sedangkan signifikansi bergantung kepada pembaca. Signifikansi
memberikan ruang subyektivitas terhadap pembaca yang kemudian dibimbing oleh
makna yang obyektif.
Teorisasi
yang melibatkan pembeda antara makna dengan signifikansi dibawa oleh Abu Zaid
untuk masuk lebih mendetail tentang prinsip-prinsip penafsiran. Untuk
menafsirkan al-Qur’an secara “obyektif”, Abu Zaid menawarkan dua premis, yakni
premis mayor dan minor, yang berkaitan erat dengan bahasa keagamaan al-Qur’an.
Premis mayor menyatakan bahwa bahasa al-Qur’an secara umum merupakan
bahasa Arab yang tidak terlepas dari kerangka linguistik dan budaya Arab
sebelum datangnya Islam. Sedangkan premis minor menyatakan bahwa teks al-Qur’an
telah merubah makna beberapa terminologis pra Islam dan memberinya makna-makna
keagamaan, seperti kata shalat, zakat, sawm,
yangdalam konsepsi al-Qur’an memiliki makna religious dibandingkan dengan makna
sebelum dipakai al-Qur’an dalam khazanah keseharian Arab.
Berdasarkan
dua premis tersebut Abu Zaid menetapkan hipotesis bahwa teks al-Qur’an, karena
berasal dari bahasa Arab, tentunya memiliki sistem kebahasaan yang spesifik
yang tidak saja mengubah makna beberapa terminologi pra Islam, melainkan juga
mampu melewati batas-batas linguistik bahasa Arab pra Islam, bahkan mampu
menciptakan karakter kebahasaannya sendiri.[9]
Dalam
struktur teks al-Qur’an, semua tradisi kebahasaan terdahulu berubah menjadi
tanda (ayat) yang menunjukkan dengan satu dan lain cara pada Realitas
Tunggal yang absolut dan universal. Ketika kami mengatakan “semua tradisi
kebahasaan” maka yang kami maksud adalah bahasa sebagai sistem tanda yang di
dalamnya terkandung unsur “penanda” dan “petanda” sebagai dua segi dari satu
kenyataan. Di sini, semua tradisi kebahasaan merupakan “penanda” di dalam
struktur budaya yang merupakan “petandanya”-yaitu sistem yang terdiri atas
sejarah yang berasal dari dongeng dan kisah-kisah, juga kepercayaan, perilaku,
simbol, ritus, dan konsepsi tertentu tentang dunia fisik dan metafisik. Semua
unsur sistem budaya (“petanda”) yang bercermin secara linguistic dalam sistem
bahasa (“penanda”) ini kini beranjak menjadi tanda-tanda semiotik.
Transformasi
sistem bahasa menjadi tanda-tanda semiotic dalam sistem lain yang lebih tinggi
ini adalah proses yang disebut dengan istilah semiosis. Proses ini
dapat dipahami lebih mudah melalui uraian Abdul Qahir al-Jurjani tentang proses
transformasi makna yang terjadi dalam berbagai model retorika, khususnya
metafora (isti’arah), analogi (tamtsil), dan alusi (kinayah).
Di sini makna tidak semata-mata dihasilkan dari kata-kata/tanda-tanda, juga
tidak dari komposisi/gramatika belaka, namun melalui transformasi “makna umum”
(yang lahir dari interaksi kata-kata dengan relasi-relasi komposisi) ke dalam
“tanda umum” yang mengarah kepada pengertian lain. Tanda umum yang dihasilkan
dari semiosis ini merupakan citra indrawi berupa pengliatan, pendengaran,
perabaan, penciuman, dan sebagainya yang serupa dengan ikon. Di dalam proses
semiosis ini “kata menunjukkan arti lahiriyahnya, lalu pendengar pendengar
dengan cara deduksi mempercanggih arti lahiriah ini kepada tingkatan makna kedua.
Prosesi
semiosis tersebut memindahkan bahasa dari wilayah konvensi ke wilayah deduksi
logis, artinya mentransformasikannya kepada sistem non linguistic. Sebab,
prinsip dalam tanda linguistic adalah pengertiannya didasarkan atas kebiasaan
dan konvensi, sementara dalam tanda-tanda semiotic tidak harus selalu demikian.
Pembedaa yang dibuat Abdul Qahir antara “makna” dan “maknanya makna” menambah
jelas persoalan di sini. Makna adalah produk bahasa yang beralih kepada
“gambaran mental” yang bisa menjadi tanda tanda yang mengacu pada tingkatan
yang lebih tinggi (yaitu “makna daripada makna”), ialah apa yang digambarkan
Abdul Qahir sebagai: “Anda menalarkan suatu makna dari kata, kemudian makna itu
mendorong Anda pada makna berikutnya yang lebih tinggi, menurut cara yang telah
saya jelaskan kepada Anda”.
Tepatnya
hal semacam inilah yang diperbuat oleh bahasa teks Al-Qur’an terhadap bahasa
Arab. Ia berdialektika dengan bahasa Arab secara literer, lalu
mentransformasikannya dari fungsi semantic-komunikatifya kepada tanda-tanda
yang mengacu pada makna dan pengertian baru yang ternalarkan. Dalam melakukan
ini, bahasa teks terus memotivasi pembaca untuk melakukan penalaran (ta’qul),
refleksi (tadzakkur), pemikiran (tafakkur), dan perenungan (tadabbur).
Di dalam dorongan semacam ini terdapat penegasan kuat atas proses transformasi
sistem linguistik menjadi sistem semiotic yang ia lakukan.[10]
3.
Contoh
Interpretasi Abu Zaid
Disamping
pola rima di atas, terdapat rima internal yang dihasilkan oleh bentuk kata
kerja yang dipakai, yakni bentuk jamak orang pertama, yang berakhir dengan
sufiks na dalam bahasa Arab (yang tampak sebagai kami dalam
padanan bahasa Indonesianya). Akhirnya, ada pola kalimat yang berulang tujuh
kali, yang menciptakan pola rima internal kedua yang spesifik yang
komponen-komponennya adalah subjek, kata kerja, objek pertama, dan objek kedua.
Tujuh kalimat ini disambungkan satu sama lainnya dengan partikel “kemudian”-summa dan fa dalam
bahasa Arab- sebuah pola sintaksis yang menghasilkan efek visual yang berkaitan
dengan terbentuknya manusia. Pemaparan linguistik ini dan berbagai tahap
perlahan dari penciptaan manusia bisa dibandingkan dengan proses menciptakan
karya seni.
Dalam
kedua kasus itu, suatu penciptaan yang indah dibuat dari tanah lempung, boleh
dikatakan, secara perlahan setahap demi setahap. Namun dalam kasus Tuhan,
penciptaan bukanlah hal yang dibuat-buat; ini sebenarnya merupakan manusia yang
hidup. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban makhluk manusia untuk
mengagungkan sang Pencipta, “Pencipta yang sebaik-baiknya.” Hal itu tepatnya
merupakan reaksi yang berbarengan (simultan) yang diciptakan dalam diri manusia
dalam kisah ini, dan ini merupakan cara al-Qur’an menyatakan cara yang
sebaiknya.[11]
DAFTAR PUSTAKA
Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi Al-Qur’an, Gema
Insani, 2005, Subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika
Al-Qur’an.
Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari
Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi. Jakarta: PT Mizan Publika, 2003
Joon Cooper, dkk. Pemikiran Islam
dari Sayyid Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, judul Asli:Islam and Modernity:Muslim
Intellectuals Respond, diterjemahkan oleh: Wakhid Nur Effendi 2002 Erlangga:
Jakarta. hal. 208-210
M. Nur Kholis Setiawan. Al-Qur’an Kitab
Sastra Terbesar. 2005. eLSAQ Press: Yogyakarta
Nashr Hamid Abu Zaid, Teks
Otoritas Kebenaran.terjemahan (An-Nashsh, as-Sulthah,
al-Hakikah).2012.Lkis:Yogyakarta
[1] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam dari
Abu Bakr hingga Nasr dan Qardhawi. Jakarta: PT Mizan Publika, 2003,
hlm. 348.
[3] Adnin Armas, Metodologi Bibel dalam Studi
Al-Qur’an, Gema Insani, 2005, Subbab: Nashr Hamid dan Hermeneutika Al-Qur’an.
[4] Nashr Hamid Abu Zaid. Hermeneutika Inklusif.
Judul asli: Iskaliyatul Qira’ah wa Aliyyatul Ta’wil.Penerjemah:
Muhammad Mansur dan Khorian Nahdliyin. 2004. ICIP:Jakarta.hal.xiv
[7] M. Nur Kholis Setiawan. Al-Qur’an Kitab Sastra
Terbesar. 2005. eLSAQ Press: Yogyakarta.hal.45-46
[9] M. Nur Kholis Setiawan. Al-Qur’an Kitab Sastra
Terbesar. 2005. eLSAQ Press: Yogyakarta.hal.48-49
[10] Nashr Hamid Abu Zaid, Teks Otoritas Kebenaran.terjemahan (An-Nashsh,
as-Sulthah, al-Hakikah).Lkis:Yogyakarta.hal.260-262
[11] Joon Cooper, dkk. Pemikiran Islam dari Sayyid
Ahmad Khan hingga Nasr Hamid Abu Zayd, judul Asli:Islam and
Modernity:Muslim Intellectuals Respond, diterjemahkan oleh: Wakhid Nur
Effendi.2002.Erlangga:Jakarta.hal.208-210
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon