I.Pendahuluan
Salah
satu metode yang digunakan oleh para ulama dalam mengistinbatkan hukum adalah
kaidah istishlah, ini merupakan penamaan yang disebut oleh ulama Hanabilah,
sedangkan ulama lain mengatakannya dengan kaidah mashlahah mursalah[1].
Dikarenakan
konsep istishlah dalam mengistinbatkan suatu hukum, juga membahas masalah
mashlahah, maka juga perlu dibahas hakikat mashlahah itu sendiri, yang nantinya
InsyaAllah kami tuturkan didalamnya.
II.Rumusan masalah
A.Pengertian Istishlah
B.Macam-macam Mashlahah
C.Kehujjahan Istishlah
D.Perbedaan Istishlah dengan
Istihsan.
E. Kesimpulan
F. Penutup
III. Pembahasan
A.Pengertian Istishlah
Menurut
bahasa yaitu perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia baik
dalam arti menarik atau menghasilakan keuntungan atau kesenangan atau dalam
arti menolak/menghindarkan kemadharatan atau kesusahan. Pengertian yang lain
menyatakan Istishlah adalah logika yang baik tentu baik untuk dipergunakan.[2]
Jadi apabila dikatakan bahwa perdagangan itu suatu kemaslahatan dan
menuntut ilmu itu suatu kemaslahatan, maka hal tersebut berarti bahwa
perdagangan dan menuntut ilmu itu penyebab diperolehnya manfaat lahir dan batin.[3]
Menurut istilah yaitu suatu kemashlahatan
yang tidak ada nash juz’i (rinci) yang mendukungnya, dan tidak ada pula yang
menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukunganya, tetapi kemashlahatan
ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’ (induksi dari sejumlah
nash).
Imam
Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya masalah itu berarti sesuatu yang
mendatangkan keuntungan (manfaat) dan menjauhkan madharat (kesusahan).
ﺃﻠﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮ ﺍﻟﺷﺮﻉ
“Memelihara tujuan syara’ (dalam
menetapkan hukum)”.[4]
Imam
al-Ghazali memandang bahwa suatu kemaslahatan harus sejalan dengan tujuan
syara’, sekalipun bertentangan dengan tujuan-tujuan manusia, karena
kemaslahatan manusia tidak selamanya didasarkan kepada kehendak syara’, tetapi
sering didasarkan kepada kehendak hawa nafsu. Misalnya, di zaman jahiliyah
wanita tidak mendapatkan bagian harta warisan yang menurut mereka sesuai dengan
adat-istiadat mereka, tetapi pandangan ini tidak sejalan dengan kehendak
syara’, karenanya tidak dinamakan mashlahah.[5]
Tujuan
syara’ yang harus dipelihara lanjut al-Ghazali, ada lima bentuk yaitu :
terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Apabila seseorang
melakukan perbuatan yang pada intinya untuk memelihara kelima aspek tujuan
syara’ diatas maka dinamakan mashlahah. Disampig itu, upaya untuk menolak
segala bentuk kemudharatan yang berkaitan dengan kelima aspek tujuan syara’
tersebut, juga dinamakan mashlahah[6].
Dalam kaitan dengan ini, Imam al-Syatibi, mengatakan bahwa kemaslahatan
tersebut tidak dibedakan antara kemaslahatan dunia maupun kemaslahatan akhirat,
karena kedua kemaslahatan tersebut apabila bertujuan untuk memelihara kelima
tujuan syara’ di atas termasuk ke dalam konsep mashlahah. Dengan
demikian,menurut al-Syathibi, kemaslahatan dunia yang dicapai seorang hamba
Allah harus bertujuan untuk kemaslahtan di akhirat.[7]
Al-Khawarizmi menyatakan :
ﺍﻟﻣﺣﺎﻓﻆﺔ ﻋﻟﻰ ﻣﻗﺻﻮﺩ ﺍﻟﺷﺭﻉ ﺑﺩ ﻓﻊ ﺍﻟﻓﺎﺳﺩ ﻋﻥ
ﺍﻟﺧﻟﻕ
“memelihara tujuan syara’ (dalam
menetapkan hukum ) dengan cara menghindarkan kesusahan dari manusia.[8]
B. Macam-macam Mashlahah
Dalam
kajian para ahli Ijtihad mengemukakan terdapat tiga jenis mashlahah,
yaitu :
a. Mashlahah
yang diakui ajaran syari’ah. Yang terdiri atas tiga macam tingkat kebutuhan
manusia, yaitu :.
- Mashlahah al-Dharuriyyah,
yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di
dunia dan diakhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu (1)
memelihara agama, (2) memelihara jiwa, (3) memelihara akal, (4) memelihara
keturunan, (5) memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih
al-khamsah.[9]
Dharuriyyah,
(bersifat mutlak) karena menyangkut komponen kehidupannya
sendiri sebagai manusia, yakni hal-hal yang menyangkut terpelihara dirinya
(jiwa, raga, dan kehormatan) akal pikirannya, harta bendanya, nasab
keturunannya dan kepercayaan agamanya. Permasalahan diataslah yang merupakan
dasar mashlahah.[10]
2. Mashlahah al-Hajiyah, yaitu
kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kebutuhan pokok, untuk
menghindarkan kesulitan dan kemadharatan dalam kehidupannya.[11]
Hajiyah,
merupakan kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok
(mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan
memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah di beri
keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang
sedang musafir; dalam bidang mu’amalah dibolehkan berburu binatang dan memakan
makanan yang baik-baik, di bolehkan jual beli pesanan (bay’ al-salam),
kerjasama dalam pertanian (muzara’ah) dan perkebunan (musaqqah).
Semua ini disyari’atkan Allah untuk mendukung kebutuhan mendasar al-mashalih
al-khamsah diatas.[12]
3. Mashlahah al-Tahsiniyyah, yaitu
kemaslahatan yang merupakan kebutuhan pelengkap dalam rangka memelihara sopan
santun dan tata-krama dalam kehidupan.[13]
Tahsiniyyah,
merupakan kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat
melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan memakan makanan yang
bergizi, berpakaian yang bagus-bagus, melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai
amal tambahan, dan berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.[14]
Ketiga
kemaslahatan ini perlu dibedakan, sehingga dapat ditentukan prioritas dalam
mengambil suatu kemaslahatan sebelumnya. Kemaslahatan dharuriyyah harus
lebih didahulukan dari kemaslahatan hajiyyah, dan kemaslahatan hajiyyah
lebih didahulukan dari kemaslahatan tahsiniyyah.[15]
b. Mashlahah
yang tidak diakui ajaran syari’ah yaitu kepentingan yang bertentangan dengan mashlahah
yang diakui terutama pada tigkat pertama. Mashlahah ini disebut Mashlahah
al-Mulghah.[16]
Mashlahah
al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak
oleh syara’, karena bertentangan dengan ketentuan syara’. Misalnya, syara’
menentukan bahwa orang yang melakukan hubungan seksual di siang hari bulan
Ramadhan dikenakan hukuman dengan memerdekakan budak, atau puasa dua bulan
berturut-turut, atau memberikan makan 60 orang fakir miskin (H.R. al-Bukhari
dan Muslim). Al-Laits ibn Sa’ad (94-175 H/ahli fiqh Maliki di Spanyol),
menetapkan hukuman puasa dua bulan berturut-turut bagi seseorang (penguasa Spanyol)
yang melakukan hubungan seksual dengan istrinya di siang hari Ramadhan. Para
ulama memandang hukum ini bertentangan dengan hadits Rasullah diatas, karena
bentuk-bentuk hukuman itu harus ditetapkan secara berurut. Kemaslahatan seperti
ini, menurut kesepakatan para ulama, disebut dengan mashlahah al-mulghah dan
tidak bisa dijadikan landasan hukum.[17]
c. Mashlahah
yang tidak terikat pada jenis pertama dan kedua. Mashlahah ini disebut dengan Mashlahah
al-Mursalah.[18]
Mashlahah
al-Mursalah, yaitu kemaslahatanyang
keberadaannya tidak didukung syara’ dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara’
melalui dalil yang rinci.[19] Kemashlahatan
dalam bentuk ini terbagi kedalam dua macam yaitu :
- Mashlahah al-gharibah,
yaitu kemashlahatan yang asing, atau kemashlahatan yang sama sekali tidak
ada dukungan dari syara’, baik secara rinci maupun secara umum. Para ulama
ushul fiqh tidak dapat mengemukakan contoh pastinya. Bahkan Imam Syathibi
mengatakan kemaslahatan seperti ini tidak ditemukan dalam praktek,
sekalipun ada dalam teori.[20]
- Mashlahah al-Mursalah,
yaitu kemaslahatan yang tidak didukung oleh sekumpulan makna nash
yang rinci, tetapi didukung oleh sekumpulan makna nash (ayat atau
hadist).[21]
Najm al-Din al Thufi (675-716
H/1276-1316 M, ahli ushul fiqh Hambali), tidak membagi mashlahah tersebut,
sebagaimana yang dikemukakan para ahli ushul fiqh diatas. Menurutnya, mashlahah
merupakan dalil yang bersifat mandiri dan menempati posisi yang kuat dalam
menetapkan hukum syara’, baik mashlahah itu mendapat dukungan
dari syara’ maupun tidak. [22]
Al-Mashlahah al-‘ammah.
Hukum
Islam mengenal mashlahah ‘ainiyah (kepentingan perorang dari setiap
manusia, yang sifatnya umum yakni yang merupakan kepentingan setiap manusia
dalam hidupnya, seperti yang digambarkan dalam uraian terdahulu tentang al-mashalih
al-khamsah. Hal-hal ini terkait dengan taklif yang membentuk fardhu ‘ain.
Seperti misalnya menyangkut mashlahah harta benda (untuk makan, pakaian,
dan tempat tinggalnya), dan mashlahah akal pikiran (kewajiban menuntut
ilmu bagi semua orang islam).[23]
Mashlahah ini terbagi atas dua macam mashlahah.
1. Mashlahah al-‘Ammah, yaitu
kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak.[24]
Kemaslahatan
umum itu tidak berarti untuk kepentingan semua orang, tetapi bisa berbentuk
kepentingan mayoritas umat atau kebanyakan umat. Misalnya, para ulama membolehkan
membunuh penyebar bid’ah yang dapat merusak ‘aqidah uamat, karena menyangkut
kepentingan orang banyak.
2. Mashlahah al-Khasanah, yaitu
kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali.[25]
Dalam
hal ini Mashlahah al-Khasanah adalah merupakan kemaslahatan yang
sifatnya pribadi dan sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan
dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud).[26]
Pentingnya
pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana yang harus didahulukan
apabila antara kemaslahatan umum bertentangan dengan kemaslahatan pribadi.
Dalam pertentangan kedua kemaslahatan ini, Islam mendahulukan kemaslahatan umum
daripada kemaslahatan pribadi.[27]
C. Kehujjahan Istishlah.
Ulama
Hanafiyah mengatakan bahwa untuk menjadikan mashlahah al-mursalah
sebagai dalil disyaratkan mashlahah tersebut berpengaruh pada hukum.
Artinya, ada ayat, hadist, atau ijma’ yang menunjukkan bahwa sifat yang
dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan ‘illat (motivasi hukum)
dalam penetapan suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum
tersebut dipergunakan oleh nash sebagai motivasi sebagai hukum. Misal,
sifat yang berpengaruh pada hukum tersebut adalah, Rasullah pernah ditanya
tentang status sisa makanan kucing, apakah termasuk najis atau tidak.[28]
Dalam sebuah hadist yang diriwayatkan Imam Malik dari Abi Qatadah dinyatakan :
ﺇﻦ ﺭﺳﻭﻝ ﺍﷲ ﺼﻟﻰ ﺍﷲ ﻋﻟﻳﻪ ﻭﺳﻟﻡ ﻗﺎﻝ ﻋﻦ ﺍﻟﻬﺭﺓ
: ﺇﻧﻬﺎ ﻟﻳﺳﺕ ﺒﻧﺟﺱ ﺇﻧﻣﺎ ﻫﻲ ﻣﻥ ﺍﻟﻂﻭﺍﻔﻳﻥ ﻋﻟﻳﻛﻡ ﻭﺍﻟﻂﻭﺍﻔﺎﺕ
Bahwa Rasullah saw. Bersabda tentang
kucing; bahwa kucing itu bukan najis, karena sesungguhnya kucing itu termasuk
binatang rumah yang senantiasa mengelilingi kamu, tidak (menjadi najis) bagi
kamu .
Keberadaan
kucing yang senantiasa berada di rumah merupakan sifat yang membuat mereka
bersih atau suci. Sifat yang menjadi motivasi hukum dalam hadist ini jelas,
yaitu Thawwaf (hewan yang senantiasa berada di rumah, tidur di rumah dan
sulit memisahkannya). Berdasarkan sifat ini maka hukum sisa makanan kucing itu
tidak najis (suci). Oleh sebab itu, thawwaf merupakan motivasi dari
hukum thaharah (suci) untuk menghindari kesulitan dari orang-orang yang
memelihara kucing di rumahnya.[29]
Ulama
Malikiyah dan Hanabilah menerima mashlahah al-mursalah sebagai dalil
dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh yang paling
banyak dan luas menerapkannya. Menurut mereka mashlahah al-mursalah
merupakan induksi dari logika sekumpulan nash, bukan dari nash
yang rinci seperti yang berlaku dalam qiyas. Bahkan Imam Syathibi
mengatakan bahwa keberadaan dan kualitas mashlahah al-mursalah itu
bersifat pasti (qath’i), sekalipun dalam penerapannya bisa bersifat zhanni
(relatif).[30]
Untuk
bisa menjadikan mashlahah al-mursalah sebagai dalil dalam menetapkan
hukum, ulama Malikiyah dan Hanabilah mensyaratkan tiga syarat, yaitu :
- Kemaslahatan itu haruslah merupakan suatu kemaslahatn
yang hakiki,dan bukan suatu kemaslahatan yang bersifat dugaan saja. Yang
dimaksud persyaratan ini ialah membuktikan bahwa pembentukan hukum pada
suatu kasus mendatangkan kemanfaatan dan menolak kemudaratan.[31]
- Bahwa kemaslahatan ini adalah kemaslahatan umum, dan
bukan kemaslahatan pribadi. Yang dimaksud dengan persyaratan ini ialah
untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus adalah
mendatangkan manfaat bagi mayoritas ummat manusia, atau menolak bahaya
dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan individu atau sejumlah
perseorangan yang merupakan minoritas ummat manusia.[32]
- Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini
tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash
atau ijma’. Oleh karena itu, tidak syah mengakui kemaslahatan yang
menurut perasaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam kegiatan
warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena bertentangan dengan
nash Al-Qur’an.[33]
Ulama
golongan Syafi’iyah, pada dasarnya, juga menjadikan mashlahah sebagai
salah satu dalil syara’. Akan tetapi, Imam Syafi’i, memasukannya kedalam qiyas.
Misalnya,ia meng-qiyas-kan hukuman bagi peminum minuman keras kepada
hukuman orang yang menuduh zina, yaitu dera sebanyak 80 kali, karena orang
mabuk akan mengigau dan dalam pengigauannya diduga keras akan menuduh orang
lain berbuat zina.[34]
Al-Ghazali, bahkan secara luas dalam kitab-kitab ushul fiqhnya membahas
permasalahan mashlahah al-mursalah. Ada beberapa syarat yang dikemukakan
al-Ghazali terhadap kemaslahatan yang dapat dijadikan hujjah dalam
mengistinbatkan hukum, yaitu :
- Mashalahah
itu sejalan dengan jenis tindakan-tindakan Syara’.[35]
- Mashlahah itu
tidak meninggalkan atau beetentangan dengan nash syara’.[36]
- Mashlahah
itu termasuk kedalam kategori mashlahah yang dharuri, baik
menyangkut kemaslahatan pribadi maupun kemaslahatan orang banyak dan
universal, yaitu berlaku sama untuk semua orang.[37]
Untuk
yang terakhir ini al-Ghazali juga mengatakan bahwa yang hajjiyah, apabila
menyangkut kemaslahatan orang banyak bisa menjadi dharuriyyah.[38]
Jumhur
ulama uamat Islam berpendapat, bahwasannya mashlahah al-mursalah adalah
hujjah syar’iyyah yang dijadikan dasar pembentukan hukum, dan bahwasannya
kejadiaan yang tidak ada hukumnya dalam nash, atau ijma, atau
qiyas, ataupun istihsan, disyariatkan padanya hukum yang dikehendaki
oleh kemaslahatan umum.[39]
Alasan
Jumhur Ulama dalam menetapkan mashlahah dapat dijadikan hujjah dalam
menetapkan hukum, antara lain adalah :
- Hasil induksi terhadap ayat atau hadist menunjukkan
bahwa setiap hukum mengandung kemaslahatan bagi umat manusia. Dalam
hubungan ini Allah berfirman :
ﻭﻣﺎ ﺍﺭﺳﻟﻧﺎﻙ ﺇﻻ ﺭﺣﻣﺔ ﻟﻟﻌﺎﻟﻣﻳﻥ
Kami tidak mengutus engkau
(Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh manusia. (Q.S.
al-Anbiya’, 21 : 107).
Menurut
Jumhur Ulama, Rasullah itu tidak akan menjadi rahmat apabila bukan dalam rangka
memenuhi kemaslahatan umat manusia. Selanjutnya, ketentuan dalam ayat-ayat
al-Qur’an dan Sunnah Rasullah, seluruhnya dimaksudkan untuk mencapai kemaslahatan
umat manusia, di dunia dan di akhirat.[40]
- Bahwasannya kemaslahatan umat manusia selalu baru dan
tidak ada habis-habisnya. Maka sekiranya hukum tidak disyariatkan untuk
mengantisipasi kemaslahatan umat manusia yang terus bermunculan dan apa
yang dituntut oleh perkembangan mereka, serta pembentukan hukum hanya
berkisar pada berbagai kemaslahatan yang diakui oleh Syar’i saja, niscaya
akan banyak kemaslahatn manusia yang tertinggal di berbagai tempat dan
zaman, dan pembentukan hukum tidak mengikuti roda perkembangan manusia dan
kemaslahatan mereka.[41]
- Bahwa pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan ini
tidak bertentangan dengan hukum atau prinsip yang telah berdasarkan nash
atau ijma. Oleh karena itu tidak syah mengakui kemaslahatan
yang menuntut persamaan antara anak laki-laki dan anak perempuan dalam
bagian warisan, karena kemaslahatan ini dibatalkan, karena ia bertentangan
dengan nash Al-Qur’an.[42]
- Jumhur ulama juga beralasan dengan merujuk kepada
beberapa perbuatan sahabat, seperti Umar ibn al-Khaththab tidak memberi
bagian zakat kepada para mu’allaf (orang yang baru masuk Islam),
karena menurut Umar, kemaslahatan orang banyak menuntut untuk hal itu. Abu
Bakar mengumpulkan al-Qur’an atas saran Umar ibn al-Khaththab, sebagai
salah satu kemaslahatan untuk melestarikan al-Qur’an dan menuliskan
al-Qur’an pada satu logat bahasa di zaman Utsman ibn Affan demi memelihara
tidak terjadi perbedaan bacaan al-Qur’an itu sendiri.[43]
D.Perbedaan dan Persamaan Istihsan
dengan Istishlah
Diantara
perbedaannya adalah bahwa istihsan merupakan hasil dari mentarjih qiyas khafi
dari pada qiyas jaly, karena ada dalil yang mendukungnya, dan memberlakukan
pengecualian hukum juz’i dari hukuk kulli atau kaidah umum, didasarkan kepada
dalil khusus yang mendukungnya. Sedangkan istishlah adalah mengambil suatu
kemashlahatan yang mana tidak ada nash juz’i yang mendukungnya dan tidak ada
pula yang menolaknya dan tidak ada pula ijma’ yang mendukungnya, tetapi
kemashlahatan ini didukung oleh sejumlah nash melalui cara istiqra’.
Dan
diantara persamaannya adalah keduanya sama-sama timbul dikarenakan
pengistinbatan hukum secara qiyas terkadang tidak dapat mengatasi
masalah-masalah yang mana menurut ulama’ yang memperbolehkan menggunakan metode
istihsan dan istishlah harus diselesaikan dengan metode tersebut.
E. Kesimpulan
Istislah adalah suatu jalan pemecah permasalahan di
kehidupan manusia yang semakin berkembang ke arah yang lebih modern. Sifatnya
bertumpu untuk mencari kemaslahatan dan untuk memenuhi tujuan syara’. Walaupun
beberapa orang tetap menampik Istislah karena tidak adanya ijma’ atau nash
terhadapnya, namun istislah merupakan suatu produk yang sangat membantu manusia
dalam permasalahanya.
F. Penutup
Demikian
keterbatasan pengetahuan yang saya ketahui mengenai .permasalahan Istislah ini.
Begitu banyaknya hal yang masih saya kurang pahami sepenuhnya, semoga tetapa
masih bisa mendatangkan manfaat buat kita semua. Kritik untuk menyempurnakan
atau melengkapi makalah ini tentu saja sangat di butuhkan pemakalah. Pemakalah
yang sadar akan adanya kesalahan-kesalahan yang berbau teknis maupun nonteknis
meminta maaf setulus-tulusnya. Sekian dari pemakalah.
WAllahu
a’lam bisshoab
Daftar Pustaka
Yafie, Ali, Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
: Kosep-konsep Istihsan, Istishlah, Dan Mashlahat Al-Ammah (Edit.)
Budhy Munawar-Rachman, Jakarta : Yayasan paramadina, 1994.
Wahab
Khallaf, Abdul, Mashodirut Tasy’ri’il Islami, Darul Qolam, Quwait 1972.
Bisyri,
Muhlisin, Diktat Sederhana Ushul Fiqh II, Semarang : SETIA WS, tt.
Wahab Khallaf, Abdul, Ilmu Ushul
Fiqh, (pen.), Moh. Zuhri, Drs, H, Dipl. TAFL, dan Ahmad Qarib, Drs, MA,
Semarang : Dina Utama, 1994.
[1] Abdul Wahab Khallaf, Mashodirut Tasy’ri’il Islami,
Darul Qolam, Quwait 1972. Hal 82.
[2] Drs.H. Muhlisin Bisyri,, SE., M.Ag., Diktat
Sederhana Ushul Fiqh II, Semarang : SETIA WS, hlm. 24.
[4] Muhlisin Bisyri., Op., Cit., hlm 25
[5] Nasrun Haroen., Op., Cit., hlm 114
[6] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Muhlisin Bisyri., Op., Cit., hlm 25
[10] Ali Yafie., Op., Cit., hlm 366
[11] Ibid.
[12]Nasrun Haroen., Op., Cit., hlm 116
[13] Ali Yafie., Op., Cit., hlm 366
[14] Nasrun Haroen., Op., Cit., hlm 116
[15] Ibid.
[16] Ali Yafie., Op., Cit., hlm 366 dan Nasrun Haroen.,
Op., Cit., hlm 119
[17] Nasrun Haroen., Op., Cit., hlm 119
[18] Ali Yafie., Op., Cit., hlm 366 dan Nasrun Haroen.,
Op., Cit., hlm 119
[19] Ibid.
[20] Nasrun Haroen., Op., Cit., hlm 119
[21] Ibid.
[22] Ibid.
[23] Ali Yafie., Op., Cit., hlm 367
[24] Nasrun Haroen., Op., Cit., hlm 116
[25] Ibid.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Nasrun Haroen., Op., Cit., hlm 120
[29] Ibid.
[30] Ibid.
[31] Abdul Wahhab Khallaf, Prof, Ilmu Ushul Fiqh, (pen.),
Moh. Zuhri, Drs, H, Dipl. TAFL, dan Ahmad Qarib, Drs, MA, Semarang : Dina
Utama, 1994, hlm.119
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon