Pendahuluan
Menurut
al Khaliq, orang yang pertama kali meletakkan aturan tarekat ialah seorang sufi
Iran yang bernama Muhammad Ahmad al Maihimi (w.430H) yang terkenal dengan nama
Abu Abi Said. Di negaranya dia membuat aturan bagi para darwis, dia juga
membangun khanaqah disamping rumahnya untuk tempat latihan mensucikan
diri. Dan dialah yang membuat silsilah tarekat yang diturunkan dengan cara
pewarisan. Pada abad kelima dan keenam Hijriyah tarekat mulai menyebar dan
berpindah dari Iran menuju ke arh barat. Maka muncullah tarekat al Rifa’iyah
dan al Qadiriyah di Irak, al Ahmadiyah dan al Syadzaliyah di Mesir dan diikuti
munculnya tarekat al Dasuqiyqh juga di Mesir. Setelah itu semakin berkembang yang
dari tarekat lama melahirkan cabang-cabang yang banyak yang lama kelamaan
menjadi ribuan jumlahnya,[1]
termasuk yang kita bicarakan nanti yaitu tarekat Khalwatiyah.
I.
Sejarah muncul dan
berkembangnya
Tarekat khalwatiyah adalah cabang dari tarekat
aqidah suhrawiyah, yang didirikan dibaghdad oleh Abdul Qadir Suhrawardi(mgl.1167)
dan oleh Umar Suhrawardi(mgl.1234), yang menamakan dirinya sebagai golongan
siddiqiyah, karena mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan Khalifah
Abu Bakar. Bidang usahanya yang terbesar terdapat di Afganistan dan India.
Diantara cabang-cabang yang terkenal adalah Jalaliyah, Jamaliyah, Zainiyah,
Safawiyah, Rawshaniyah, dan Khalwatiyah. Cabang Khalwatiyah didirikan di
Khurasan oleh Zahirudin(mgl.1397), dan pesat sekali meluasnya di daerah Turki,
sehingga bercabang pula sangat banyaknya, seperti di Anatolia Jarrahiyah,
Ighitbashiyah, Usysyaqiyah, Niyaziyah, Sunbuliyah, Syamsiyah, Gulsaniyah,
Syujaiyah, di Mesir Dhaifiyah, Hafwaniyah, Sabaiyah, Sawiyah-Dardiyah, dan
Maghaziyah, di Nubia, di Hijjaz dan di Somali salihiyah, di Kabilia Rahmaniyah.[2]
Tarekat khalwatiyah di Indonesia banyak
dianut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, atau tempattempat lain
dimana suku itu berada seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan
Irian Barat.
Nama khalwatiah diambil dari nama seorang sufi ulama
dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk
terhadap Muhammad Nur Al Khalwati Al Khawa Rizmi (w.751/1350)), yang sampai
sekarang masih dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat
ini yang hadir bersama. Keduanya keduanya dikenal dengan nama Tarekat
Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Pengikut kedua cabang tarekat ini
secara keseluruhan mencakup 5% dari penduduk provinsi yang berumur diatas 15
tahun, pengikut yang berada di Maros mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk
dewasa di daerah tersebut.
Tarekat Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada nama
Syaikh Yusuf Al Makassari dan Tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari nama
seorang sufi Madinah abad ke-18 Muhammad Al Samman. Kedua cabang tarekat ini
muncul sebagai tarekat yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri sendiri,
tidak terdapat banyak kesamaan selain kesamaan nama. Terdapat berbagai
perbedaan dalam hal amalan, organisasi, dan komposisi social pengikutnya.
Tarekat Khalwatiyah Yusuf dalam berdzikir mewiridkan nama-nama Tuhan dan
kalimat-kalimat singkat lainnya secara sirr dalam hati, sedangkan
Tarekat Khalwatiyah Samman melakukan dzikir dan wiridnya dengan suara keras dan
ekstatik.
Tarekat
Khalwatiyah Samman sangat terpusat, semua gurunya tundnk kepada pimpinan puat
di Maros, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat. Cabang-cabang lokal Tarekat Khalwatiyah Samman sering
kali memiliki tempat ibadah sendiri (musholla, langgar) dan cenderung
mengisolasi diri dari pengikut Tarekat lain, sementara pengikut Khalwatiyah
Yusuf tidak mempunyai tempat ibadah khusus dan bebas bercampur dengan
masyarakat yang tidak menjadi anggota Tarekat. Anggota Tarekat Khalwatiyah
Yusuf banyak berasal dari kalangan bangsawan Makassar termasuk penguasa kerjaan
Gowa terakhir Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul Qadir Aidid (berkuasa 1940-1960).
Tarekat Khalwatiyah Samman lebih merakyat baik dalam hal gaya maupun komposisi sosial,
sebagian besar pengikutnya orang desa.[3]
II. Tokoh-tokoh Tarekat Khalwatiyah
a. Syaikh Abul Futuh Suhrawardi
Memang keluarga Suhrawardi ini termasuk keluarga sufi
yang ternama. Abul Futuh Suhrawardi terkenal dengan nama Syeikh Maqtul atau
seorang tokoh sufi, yang dijuluki oleh kawan-kawannya diberi gelar ulama
berdasarkan paham malakut, dilahirkan di Zinjan, dekat Irak dalam tahun 549 H.
Sesudah belajar beberapa waktu dalam ilmu hikmah dan ushul fiqih pada imam
Majdudin Al Jili, dan dalam ilmu yang lain-lain pada beberapa guru besar, ia
lalu terkenal sebagai seorang yang sangat ahli tentang ketuhanan dan penafsiran
Al Qur’an. Ialah yang mendirikan suatu aliran sufi yang disebut madzhab
Israqiyah, aliran ini yang menerangkan, bahwa Tuhan itu merupakan pokok dari
pada cahaya.
Namanya
mengagumkan tatkala ia menafsirkan ayat Al Qur’an mengenai Nurullah, yang
disrbut dalam Surat Nur, demikian jelasnya, sehingga orang menuduh dia memberi
bentuk jisim dan jauhar kepada Tuhan, yang dianggap bertentangan dengan ajaran
Ahlussunah wal Jamaah, bahwa Tuhan itu tidak dapat diumpamakan dengan suatu
dzat apapun juga yang baharu. Salahuddin Al Ayyubi
menangkap Abul Futuh dan menyerahkan kepada anaknya Az Zahir, raja halab, untuk
dihukum bunuh, tetapi hukuman ini diubah atas permintaannya sendiri menjadi
hukuman penjara dalam sebuah kamar yang gelap gulita dengan tidak diberi makan
dan minum sampai ia mati dalam tahun 587 H.
b. Syaikh Abu Hafas Umar Suhrawardi
Suhrawardi yang lain bernama Abu Hafas Umar
Suhrawardi, juga seorang tokoh sufi terbesar di Baghdad, pengarang kitab
“Awariful Ma’arif”, sebuah karangan yang mengagumkan dan sangat menarik
perhatatian Imam Ghazali, sehingga selurah kitab itu dimuat pada akhir karya
“Ihya’ Ulumuddin” yang oleh tarekat Suhrawardiyah serta cabang-cabangnya
dijadikan pokok pegangan dalam suluknya, dan Suhrawardi ini meninggal dalam
tahun 638 H. sebelum ada kitab Ihya’ Ulumuddin, Awariful Ma’arif karangan
Suhrawardi ini adalah kitab tasawuf terlengkap, yang membahas hampir semua
masalah dalam bidang ilmu batin ini.
Karangan
ini terdiri dari lebih kurang enam puluh bab, dimulai dengan menguraikan
sejarah nama dan terjadinya serta fadhilahnya ilmu tasawuf, sampai kepada
membicarakan dengan mendalam ilmu tarekat mengenai riyadhah bermacam-macam
ibadah, sembayang, puasa, dan amal-amal yang lain, sampai kepada
kewajiban-kewajiban dalam suluk, mengenai syeikh, murid, ikhwan, mengenai
ibadah dan adab, mengenai akhlak, mengenai khirqah, mengenai ma’rifat dan
mukasyafah sufi, mengenai hal dan makam, dan persoalan-persoalan lain yang
bersangkut paut dengan tarekat.
Kitab
ini adalah tuntunan yang terlengkap untuk tarekat-tarekat yang tergabung dalam
madzhab Suhrawardiyah, dan oleh karena itu apapun nama yang digunakan untuk
cabang-cabang itu, semuanya berpedoman kepada karangan Suhrawardi Sufi ini,
meskipun disana-sini ditambah dan dikurangi menurut keperluan yang dianggap
perlu oleh syeikh tarekat mursyid, dalam menjalankan tugasnya. Dalam bab ke-enam puluh dua dimuat uraian
istilah-istilah sufi yang sudah disaring menurut pendapat Suhrawardi, mengenai
persoalan jama’ dan tafarruk, mengenai tajalli dan istitar, mengenai tajrid dan
tafriq, mengenai ghulbah, mengenai musamarah, mengenai sakar dan sahu, mengenai
ilmu yaqin, ainulyaqin dan haqqul yaqin, mengenai waktu, mengenai ghaibah dan
syuhud, mengenaizauq dan syarab, mengenai muhadharab, mukasyafah dan
musyahadah, mengenai talwin dan tamkin, dan lain-lain persoalan yang bertalian
dengan masalah bidayah dan nihayah, yang semuanya dapat menunjukkan kepada kita
suatu tarekat berasal dari ajaran Suhrawardi itu.[4]
c. Syaikh Yusuf al Makassari
Untuk mengetahui segala sesuatu tentang Tarekat
Khalwatiyah, perlu diketahui sejarah singkat Syaikh Yusuf al Makassari, karena
beliaulah yang pertama kali membawa dan menyebarkan tarekat ini ke Indonesia pada
tahun 1670 M. Al makassari berguru dan mendapatkan ijazah dari syaikh Abu al
Barakah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al Khalwati al Quraisyi serta mendapat gelar Taj
al Khalwati sehingga namanya menjadi Syaikh Yusuf Taj al Khalwati. Di
Sulawesi Selatan beliau digelari Tuanta Salamakari Gowa (guru kami yang agung
dari Gowa). Nama lengkapnya Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin al Taj al
Khalwati al Makassari.[5]
Menurut sejarah Gowa, al Makassari dilahirkan 1037 H/ 1627
M di Tallo wilayah kerajaan Gowa dan meninggal di Tanjung Harapan Afrika
Selatan pada 22 Dzulqa’dah 1111 H/ 22 mei 1699 M, dikuburkan di Faure di
perbukitan pasir False Bay tidak jauh dari tanah pertanian Zandvleit. Pusaranya
dikenal sebagai keramat tempat beribu-ribu peziarah yang menghormati tokoh yang
mulia ini. Pada tahun 1699 keturunan dan pengikutnya kembali ke nusantara. Pada
tahun 1705 kerangka jenazah al Makassari tiba di Gowa di mankamkan di Lakiung.
Pusara al Makassari kedua ini pun menjadi tempat ziarah di Sulawesi Selatan.
Ibunya bernama Aminah putri Galiarang Moncongloe,
sepupu Raja Gowa yang pertama masuk Islam. Raja Gowa ke 14 bernama Mangorangi
Daeng Maurabbiya (1598-1639). Dengan demikian ada pertalian darah dengan
keluarga raja dan nanti pada usia muda al Makassari menikah dengan putrid
Sultan Gowa Ala’al Din yang dikenal sebagai Mangorangi Daeng Maurabbiya ini.
Riwayat pendidikannya dimulai di daerahnya sendiri
karena secara tradisional wilayahnya telah didatangi oleh para da’i
kelana yang kebanyakan para sufi berasal dari Aceh, Minangkabau, Kalimantan
Selatan, Jawa, Semenanjung Melayu dan timur tengah. Di antara yang datang itu
adalah Datuk ri Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau. Mula-mula belajar
menghafal Al Qur’an dengan guru bernama Daeng ri Tasammang, selanjutnya belajar
bahasa arab, fiqih, tauhid, dan tasawuf dengan Sayyid Ba ‘Alawi bin Abdullah al
Allamah al Thahir, kemudian melanjutklan pelajaran di Cikoang dengan guru
bernama Jalaluddin Aydid. Sesudah itu ia melanjutkan belajar ke Timur Tengah
meninggalkan Makassar tahun 1644 M.[6]
Kota Makasar sejak abad ke 15 sering didatangi
pedagang asing, dihubungkan dengan mata rantai jaringan perdagangan
internasional dengan Banten dan pelabuhan lain di pantai utara Jawa serta
dengan Malaka dan Aceh. Al Makassari memanfaatkan jaringan perdagangan ini,
mula-mula ia ke Banten, dilanjutkan ke Aceh, Gujarat, Yaman, Makkah, Madinah,
terakhir ke Damaskus.
Ketika di Banten al Makassari mendapati Sultan Banten
Abu al Mafakhir Abd. Al Qadir (1037-1063 M/ 1626-1651 H) yang mendapat gelar
Sultan dari Syarif Makkah menjalani hubungan mengenai masalah-masalah keagamaan
dengan ulama-ulama diantaranya dengan al Raniri dan ulama Haramain sehingga
Banten dikenal sebagai salah satu pusat penting tentang Islam. Maka al
Makassari belajar di Banten dan menjalani persahabatan dengan putera mahkota,
Pangeran Surya, yang kelak menggantikan ayahnya dengan nama resmi Abdul Fatah,
atau lebih dikenal dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan mengikuti rute jaringan perdagangan, al
Makassari melanjutkan perjalanannya menuju Aceh karena beliau telah mendengar
tentang al Raniri dan ingin berguru kepadanya. Aceh saat itu dipimpin oleh
Sultanah Sofiyatu al Din binti Iskandar Muda (1641-1675 M). Sayang al Raniri
telah meninggalkan Aceh pada tahun 1644. Ada kemungkinan al Makassari mengikuti
al Raniri ke India karena diketahui al Makassari juga berguru kepada Umar bin
Abdullah Ba Syayban, guru al Raniri. Dari al Raniri ini al Makassari menerima
ijazah Tarekat Qadiriyah sebagaimana dituliskan dalam Risalah Safinah an Najah.
Dari India, al Makassari melanjutkan perjalanan menuju
Yaman, belajar kepada Muhammad bin Abd. al Baqi al Mizjaji al Naqsyabandi
(w.1074 H/ 1664 M). dari guru ini al Makassari mendapat Tarekat Naqsyabandiyah.
Perjalanan dilanjutkan ke Zabin (masih wilayah Yaman),
berguru kepada Syaikh Maulana Sayyid Ali al Zabidi dan dari gurunya ini diduga
al Makassari mendapat ijazah Tarekat Ba’alawiyah.
Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke pusat
jaringan ulama di Haramain, Makkah Madinah. Masa belajarnya bersamaan dengan
masa belajar al Singkili, oleh karena itu diduga al Makassari berguru juga
kepada guru-guru al Singkili. Yang paling utama diantara guru-guru di Haramain
adalah Ahmad al Qusyasyi, Ibrahim al Kurani, dan Hasan al Ajami. Syaikh Ibrahim
al Kurani, nama lengkapnya Ibrahim bin Hasan bin Syihab al Din al Khudri al
Kurabi, terkenal dengan nama Mullah Ibrahim yang juga merupakan guru dari Abdul
Rauf Singkel. Dari guru ini al Makassari menerima ijazah Tarekat Syattariyah.
Terakhir al Makassari menuju Damaskus berguru kepada
Syaikh Abu al Barakah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al Khalwati al Quraisyi, yang
menggelari al Makassari dengan Taj al Khalwati dan ia menerima ijazah Tarekat
Khalwatiyah.
Perjuangannya
Syaikh
Yusuf al Makassari, sesudah selesai belajar yang dijalani selama 26 tahun,
mulai berjuang sebagai pengajar , ulama, pengarang, pembimbing tarekat,
pemimpin perlawanan terhadap belanda, pembimbing pengikutnya di pembuangan,
pengembang islam di Afrika Selatan, menyebabkan beliau harus melewati wilayah
yang sangat luas mulai dari Sulawesi Selatan, Banten, pulau Ceylon dan Tanjung
Harapan Afrika Selatan.
Pekerjaan
mengajar sudah di mulai al Makassari suwaktu masih di Makkah dalam rangkaian
pembelajaranya. Kebanyakan muridnya berasal dari wilayah Melayu-Indonesia, baik
dari kalangan jamaah haji maupun dari komunitas jawa di Haramain. Di antara
muridnya di Makkah adalah Abd. al Basyir al Dharir al Rapani (dari Rappang
Sulawesi Selatan) yang kemudian diserahi tugas sebagai penyebar Tarekat
Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah di Sulawesi Selatan.[7]
Setelah
kepulangan dari tanah Arab sekitar tahun 1670 M al Makassari menetap
pertama-tama di Banten. Semula al Makassari hanya ingin singgah di Banten (pada
waktu itu untuk pulang dari Arab ke Makassar harus melewati Banten) tetapi
kondisi kerajaan Goa yang telah di tundukkan oleh kerajaan Bugis Bone yang
bekerja sama dengan Belanda pada tahun 1669 telah mengubah rencananya. Al
Makassari yang sejak sebelum berangkat ke Arab telah bersahabat dengan Pangeran
Surya telah menjadi Sultan Ageng Tirtayasa dan al Makassari telah menjadi
seorang ulama persahabatan itu tetap ingin dipertahankan, terutama oleh Sultan
Ageng demi kebesaran Banten sekaligus untuk menghadapi Belanda yang merupakan
musuh utamanya. Salah satu cara Sultan Ageng mengikat persahabatan dengan al
Makassari adalah mengawinkan al Makassari dengan putrinya.[8]
Kehadiran
al Makassari menyebabkan nama Banten menjadi lebih terkenal sebagai pusat
pendidikan Islam yang menarik para pelajar untuk berdatangan kesana dari segala
penjuru nusantara. Di Banten ini al Makassari menulis kebanyakan karyanya
sehingga menambah kebesaran Banten dan kekhawatiran VOC di Batavia.
Ketika
Sultan Ageng berperang melawan putranya sendiri, Sultan Haji, pada tahun 1682
yang dibantu VOC, al Makassari memihak kepada Sultan Ageng. Ketika Sultan
kemudian ditawan, al Makassari melanjutkan perlawanan selama dua tahun,
memimpin sekelompok pengikutnya yang dikejar-kejar Belanda melewati pegunungan
di Jawa Barat. Pada tahun 1683 mereka tertawan, Belanda mengasingkan al
Makassari ke pulau Ceylon. Setelah satu dasawarsa di Ceylon Belanda memindahkan
al Makassari ke Afrika Selatan. Disana ia wafat pada tahun 1699 dan pegikutnya
orang Bugis dan Makassar kembali ke Sulawesi Selatan. Beberpa tahun kemudian
kerangka jenazahnya dipulangkan ke Sulawesi Selatan dan dimakamkan di Lakiung.
Selama
di Banten, ketika bertindak sebagai ulama besar, al Makassari juga mengajarkan
Tarekat Khalwatiyah. Walaupun demikian, tarekat yang berhubungan dengan namanya
hanya diikuti orang-orang Makassar dan Bugis saja. Memang ketika al Makassari
di Banten Sultan Gowa memanggilnya pulang ke tanah kelahirannya untuk mengajar
keluarga kerajaan tentang Islam namun al Makassari menolak sampai upayanya
untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam mencapai kesempurnaan. Sebagai gantinya al
Makassari mengirim muridnya bernama Abd. al Basyri al Dharir “si buta” yang
telah mengikutinya dari Makkah ke Banten sebagai khalifahnya dari Tarekat
Khalwatiyah dan Naqsyabandiyah. Al Makassari terus mengajar dan menulis karya-karyanya
di Banten. Dikemudian hari, ketika al Makassari di kejar-kejar Belanda sesudah
Sultan di tawan, ia mundur ke desa Karang tempat tinggal Abd.al Muhyi murid al
Singkili. Abd. al Muhyi yang disebut Hajee Karang oleh Belanda, memanfaatkan
belajar kepada al Makassari dan meminta al Makassari memberikan silsilah
tarekat-tarekat yang diterimanya di Haramain.[9]
Setelah
tertawan oleh Belanda al Makassari dibuang ke Ceylon (orang Arab menyebutnya
Sarandib, sekarang bernama Srilanka) selama hampir satu dasawarsa, sebenarnya
dimaksudkan untuk memisahkannya dari kaum muslimin di Indonesia namun disana al
Makassari banyak nenghasilkan karya-karya (sebagian besar memakai judul
Saylaniyah) diantaranya karena permintaan kawan-kawan, murid-murid, dan kaum
muslimin lainnya. Dengan demikian Srilanka justru menjadi tempat transit jamaah
haji Indonesia. Para haji inilah yang membawa dan menyebarkan tulisan-tulisan
al Makassari di nusantara sehingga sampai ke zaman kita sekarang. Karena
peranan al Makassari di Srilanka itu menimbulkan kekhawatiran Belanda, maka
mereka memindahkan al Makassari ke tempat yang lebih jauh yaitu Tanjung
Harapan, tiba disana tahun 1694 M ketika itu al Makassari berusia 68 tahun.
Di
Tanjung Harapan Afrika Selatan bersama dengan orang-orang buangan lainnya al
Makassari berusaha untuk mempersatukan dan memperkuat kepercayaan orang
buangan, menyelenggarakan kegiatan pengajaran secara diam-diam di pondok-pondok
mereka sekaligus mendapatkan mualaf-mualaf baru. Dengan kata lain lebih
memerhatikan dan memberi pengajaran langsung kepada komunitas nusantara. Hal
ini disebabkan Belanda selain melarang kaum muslimin menjalankan ibadahnya juga
mengadakan kristenisasi terhadap budak-budak muslimin di Tanjung Harapan.
Bahkan ada usaha dari pendeta bernama Petrus Kalden untuk mengkristenkan al
Makassari tetapi gagal, padahal al Makassari tinggal di tanah milik sang pendeta.[10]
Karya-karya
al Makassari
Para
ahli berbeda pendapat tentang kitab (karya) karangan al Makassari. Sebagian ada
yang menyebutkan 19 buah, sementara Martin van Bruinessen menyebutkan 17 buah,
antara lain adalah sebagai berikut:
1. Al
Risalah al Naqsyabandiyah
2. Safinah
al Najah
3. Tuhfah
al Amr fi Fadhilah al Dzikr
4. Al
Nafhah al Saylaniyah
5. Zubdat
al Asrar
6. Al
Barakat al Saylaniyah
7. Asrar al
Ashalah
8. Bidayat
al Mubtadi
9. Al
Futuhat al Rabbani
10. Habl al
Warid
11. Kaifiah
al Mughni
12. Maktub
13. Mathlab
al Salikin
14. Qurrat
al Ain
15. Sirr al
Asrar
16. Taj al
Asrar
17. Fath al
Kaifiyat al Dzikr
Menurut
Azyumi Azra ada delapan diantara karya tulis al Makassari yang ditulis di
Ceylon, yaitu:
1. Al
Barakat al Saylaniyah
2. Al
Nafahat al Saylaniyah
3. Al
Manhat al Saylaniyah fi Manhat al Rahmaniyah
4. Kayfiyah
al Mughni fi al Itsbat fi al Hadits al Qudsi
5. Habl al
Warid li Sa’adat al Murid
6. Safinah
al Najah
7. Mathalib
al Salikin
8. Risalah
al Ghayat al Ikhtisar wa al Nihayat al Intizhar.[11]
III.
Ajaran-ajaran Dasar Tarekat
Khalwatiyah
Tarekat
Khalwati mempunyai ajaran-ajaran dasar sebagai berikut:
1. Yaqza:
kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina dihadapan Allah SWT Yang Maha
Agung
2. Taubah:
mohon ampun atas segala dosa.
3. Muhasabah:
menghitung-hitung atau intropeksi diri
4. Inabah:
berhasrat kembali kepada Allah
5. Tafakkur:
merenung tentang kebesaran Allah
6. I’tisam:
selalu bertindak sebagai khalifah Allah di bumi
7. Firar:
lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna
8. Riyadah:
melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya
9. Tasyakur:
selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi danmemujiNya
10. Sima’:
mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah
terutama pendengaran.[12]
Murid
harus tawajjuh, yaitu bertemu dan menerima pelajaran-pelajaran dasar khusus
dari guru secara berhadap-hadapan. Disini mursyid
mengajarkan juga dzikir-dzikir tertentu, silsilah diberikan, sesudah itu
diadakan baiat, talkin. Tahap awal yang harus dilakukan oleh seorang calon
murid menjelang pembaiatan adalah harus mengadakan penyucian batin, sikap dan
perilaku yang tidak baik seperti:
·
Hasad:
sikap dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain,
·
Riya’:
mempertontonkan kekayaan dan atau amal supaya mendapat pujian dari orang lain,
·
Ghibah:
membicarakan orang lain yang bersifat celaan dan hinaan.[13]
Sesudah suci batinnya diisi dengan sikap dan perilaku
terpuji seperti:
·
Husn
al Zhan: berbaik sangka kepada Allah dan manusia sebagai makhluk ciptaaNya,
·
Husn
al Khuluq: berakhlak baik terhadap Allah dan segala ciptaanNya,
·
Husn
al Adab: bersopan santun terhadap Allah sebagai bukti taslim, menyerahkan semua
urusan kepada Allah dan ridha dengan apa yang diberiNya, demikian pula terhadap
sesama manusia.[14]
IV. Silsilah Syaikh Tarekat Khalwatiyah[15]
Allah SWT. Menurunkan kepada:
1. Nabi Muhammad SAW.
2. Ali bin Abi Thalib ra.
3. Hasan al Basri
4. Quthb al Gaws Habib al Ajami
5. Quthb al Daud al Tha’i
6. Abu al Mahfuz Ma’ruf al Karkhi
7. Khan Sirri al Saqathi
8. Sayyid al Thifah Junaid al Baghdadi
9. Imad al Alwi al Daynuri/Mumsyad al Daynuri
10. Abu Ahmad Aswad al Daynuri
11. Muhammad bin Abdullah al Bakri al Shiddiqi
12. Umar bin Abdillah al Bakri al Shiddiqi
13. Abu al Najib bin Abdillah al Bakri al Shiddiqi
14. Quthb al Din Muhammad al Abhari
15. Ruku al Din al Sijasi
16. Mullah Syihab al Din Muhammad al Tibrizi
17. Mullah Jamal al Din Ahmad al Tibrizi
18. Ibrahim al Zahid al Jilani
19. Abu Abdillah Muhammad al Syirwani
20. Quthb al Zamani Maulana Affandi Umar al Khalwati (Dede
Umar Khalwati)
21. Maulana Sayyid Ahmad Yahya al Syarwani
22. Maulana Affandi Zubair bin Umar al Rumi
23. Maulana Muhammad Anshari Abdullah al Qarni
24. Mullah Uways al Qarni Tsani
25. Mullah Syam al Din al Rumi
26. Mullah Darwisy al Rumi
27. Yusuf Ya’qub al Itabi
28. Ahmad al Rumi
29. Wali al Ja’i al Halabi al Ajami
30. Quthb al Zamani Ahmad bin Umar al Kharir
31. Abu al Barakat Ayyub bin Ahmad al Khalwati
32. Yusuf Abu al Mahasin Taj al Khalwati al Makassari
33. Abu al Fath Abd. Bashir al Dharari al Khalwati al
Riffani/Tuang Rappang I Wodi (w.1733)
34. Abu Sa’ad al Fadil al Khalwati
35. Abu al Majid Nur al Din bin Abdillah
36. Sayyid Abd. al Ghaffar Waliyullah al Saggaf (qadhi di
Bontoala tahun 1730)
37. Sayyid Muhammad Zayn al Din (qadhi Maros dan Bontoala
tahun 1814)
38. Abd. al Qadir
39. Sayyid Abd. al Rahman al Saggaf/Puang Rewa (qadhi II
di Maros tahun 1856)
40. Sayyid Badi’ al Samawati/Petta Imam Bontoa
41. Sayyid abd. Rahman bin Thalib Alli bin al Qadhi Sayyid
Abd. al Rahman al Saggaf/Puang Raga
42. Sayyid Muhammad Husayn al Saggaf/Puang Lewa dan Sayyid
Abd. al Gaffar al Saggaf bin Sayyid Abd. al Rahman/puang Sanre
43. Sayyid Abd. al Muthalib al Saggaf/Puang Lompo
44. Haji Muhammad Sayyid Abd. al Rahman Saleh/Puang Lallo.
Penutup
Dari
urain diatas dapat disimpulkan bahwa tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari
aqidah Suhrawiyah, yang mana ketika masa itu keluarga Suhrawardi sudah terkenal
kesufiannya. Sedangkan di Indonesia tokohnya adalah Syaikh Yusuf al Makassari,
meskipun sebenarnya al Makassari juga memperoleh ijazah tarekat lain seperti
tarekat Qadariyah, tarekat Naqsyabandiyah dan lainnya. WaAllahu A’lam.
Daftar Pustaka
·
Al Khaliq, Abdul Rahman Abdu, ,Al Fikr al
Shufi Fi dhaui Al khitan wa al Sunnah, Dar al Haramain li al Thaba’ah,
Kairo,1993.
·
Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu
Tarekat, Ramadani, Solo,1996.
·
Martin
van Bruinessen, Kitab Kuning, pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung,1955.
·
Azzumari Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah
dan Kepulaun nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1995.
·
Abu Hamid, Syaikh Yusuf Tajul Khalwati;
Suatu Kajian Antropologi Agama, Disertasi Ph.D Universitas Hasanudin, Ujung
Pandang, 1990.
·
Dr. Hj. Sri Mulyati MA (et.al), Mengenal dan
Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Kencana predana media group,
Jakarta, 2005.
[1] Al
Khaliq, Abdul Rahman Abdu, ,Al Fikr al Shufi Fi dhaui Al khitan wa al
Sunnah, Dar al Haramain li al Thaba’ah, Kairo,1993. H.530-540.
[2] Prof.
Dr. H. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo,1996.
Hal:337.
[4] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar
Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo, 1996. H.389.
[5] Azzumari
Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulaun nusantara Abad XVII dan
XVIII, Mizan, Bandung, 1995. H. 212.
[6] Ibid, h.
213.
[7] Ibid, h.
220
[8] Ibid, h.
222.
[9] Ibid, h.
223.
[10] Ibid,
h. 230.
[11] Ibid,
h.238.
[12] Abu
Hamid, Syaikh Yusuf Tajul Khalwati; Suatu Kajian Antropologi Agama,
Disertasi Ph.D Universitas Hasanudin, Ujung Pandang, 1990. H.181.
[13] Ibid, h.180.
[14] Abu Hamid, op. cit., h. 181.
[15] Menurut Prof. Dr. Abu Hamid dan Drs.
Rizal al Saggaf.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon