Tarekat khalwatiyah


Pendahuluan
Menurut al Khaliq, orang yang pertama kali meletakkan aturan tarekat ialah seorang sufi Iran yang bernama Muhammad Ahmad al Maihimi (w.430H) yang terkenal dengan nama Abu Abi Said. Di negaranya dia membuat aturan bagi para darwis, dia juga membangun khanaqah disamping rumahnya untuk tempat latihan mensucikan diri. Dan dialah yang membuat silsilah tarekat yang diturunkan dengan cara pewarisan. Pada abad kelima dan keenam Hijriyah tarekat mulai menyebar dan berpindah dari Iran menuju ke arh barat. Maka muncullah tarekat al Rifa’iyah dan al Qadiriyah di Irak, al Ahmadiyah dan al Syadzaliyah di Mesir dan diikuti munculnya tarekat al Dasuqiyqh juga di Mesir. Setelah itu semakin berkembang yang dari tarekat lama melahirkan cabang-cabang yang banyak yang lama kelamaan menjadi ribuan jumlahnya,[1] termasuk yang kita bicarakan nanti yaitu tarekat Khalwatiyah.

I.        Sejarah muncul dan berkembangnya
        Tarekat khalwatiyah adalah cabang dari tarekat aqidah suhrawiyah, yang didirikan dibaghdad oleh Abdul Qadir Suhrawardi(mgl.1167) dan oleh Umar Suhrawardi(mgl.1234), yang menamakan dirinya sebagai golongan siddiqiyah, karena mereka menganggap dirinya berasal dari keturunan Khalifah Abu Bakar. Bidang usahanya yang terbesar terdapat di Afganistan dan India. Diantara cabang-cabang yang terkenal adalah Jalaliyah, Jamaliyah, Zainiyah, Safawiyah, Rawshaniyah, dan Khalwatiyah. Cabang Khalwatiyah didirikan di Khurasan oleh Zahirudin(mgl.1397), dan pesat sekali meluasnya di daerah Turki, sehingga bercabang pula sangat banyaknya, seperti di Anatolia Jarrahiyah, Ighitbashiyah, Usysyaqiyah, Niyaziyah, Sunbuliyah, Syamsiyah, Gulsaniyah, Syujaiyah, di Mesir Dhaifiyah, Hafwaniyah, Sabaiyah, Sawiyah-Dardiyah, dan Maghaziyah, di Nubia, di Hijjaz dan di Somali salihiyah, di Kabilia Rahmaniyah.[2]

        Tarekat khalwatiyah di Indonesia banyak dianut oleh suku Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan, atau tempattempat lain dimana suku itu berada seperti Riau, Malaysia, Kalimantan Timur, Ambon, dan Irian Barat.

Nama khalwatiah diambil dari nama seorang sufi ulama dan pejuang Makassar abad ke-17, Syaikh Yusuf Al Makassari Al khalwati (tabarruk terhadap Muhammad Nur Al Khalwati Al Khawa Rizmi (w.751/1350)), yang sampai sekarang masih dihormati. Sekarang terdapat dua cabang terpisah dari tarekat ini yang hadir bersama. Keduanya keduanya dikenal dengan nama Tarekat Khalwatiyah Yusuf dan Khalwatiyah Samman. Pengikut kedua cabang tarekat ini secara keseluruhan mencakup 5% dari penduduk provinsi yang berumur diatas 15 tahun, pengikut yang berada di Maros mencapai dua pertiga dari jumlah penduduk dewasa di daerah tersebut.

Tarekat Khalwatiyah Yusuf disandarkan kepada nama Syaikh Yusuf Al Makassari dan Tarekat Khalwatiyah Samman diambil dari nama seorang sufi Madinah abad ke-18 Muhammad Al Samman. Kedua cabang tarekat ini muncul sebagai tarekat yang sama sekali berbeda, masing-masing berdiri sendiri, tidak terdapat banyak kesamaan selain kesamaan nama. Terdapat berbagai perbedaan dalam hal amalan, organisasi, dan komposisi social pengikutnya. Tarekat Khalwatiyah Yusuf dalam berdzikir mewiridkan nama-nama Tuhan dan kalimat-kalimat singkat lainnya secara sirr dalam hati, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Samman melakukan dzikir dan wiridnya dengan suara keras dan ekstatik.

Tarekat Khalwatiyah Samman sangat terpusat, semua gurunya tundnk kepada pimpinan puat di Maros, sedangkan Tarekat Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai pimpinan pusat. Cabang-cabang lokal Tarekat Khalwatiyah Samman sering kali memiliki tempat ibadah sendiri (musholla, langgar) dan cenderung mengisolasi diri dari pengikut Tarekat lain, sementara pengikut Khalwatiyah Yusuf tidak mempunyai tempat ibadah khusus dan bebas bercampur dengan masyarakat yang tidak menjadi anggota Tarekat. Anggota Tarekat Khalwatiyah Yusuf banyak berasal dari kalangan bangsawan Makassar termasuk penguasa kerjaan Gowa terakhir Andi Ijo Sultan Muhammad Abdul Qadir Aidid (berkuasa 1940-1960). Tarekat Khalwatiyah Samman lebih merakyat baik dalam hal gaya maupun komposisi sosial, sebagian besar pengikutnya orang desa.[3]

II.      Tokoh-tokoh Tarekat Khalwatiyah
a.      Syaikh Abul Futuh Suhrawardi
Memang keluarga Suhrawardi ini termasuk keluarga sufi yang ternama. Abul Futuh Suhrawardi terkenal dengan nama Syeikh Maqtul atau seorang tokoh sufi, yang dijuluki oleh kawan-kawannya diberi gelar ulama berdasarkan paham malakut, dilahirkan di Zinjan, dekat Irak dalam tahun 549 H. Sesudah belajar beberapa waktu dalam ilmu hikmah dan ushul fiqih pada imam Majdudin Al Jili, dan dalam ilmu yang lain-lain pada beberapa guru besar, ia lalu terkenal sebagai seorang yang sangat ahli tentang ketuhanan dan penafsiran Al Qur’an. Ialah yang mendirikan suatu aliran sufi yang disebut madzhab Israqiyah, aliran ini yang menerangkan, bahwa Tuhan itu merupakan pokok dari pada cahaya.

Namanya mengagumkan tatkala ia menafsirkan ayat Al Qur’an mengenai Nurullah, yang disrbut dalam Surat Nur, demikian jelasnya, sehingga orang menuduh dia memberi bentuk jisim dan jauhar kepada Tuhan, yang dianggap bertentangan dengan ajaran Ahlussunah wal Jamaah, bahwa Tuhan itu tidak dapat diumpamakan dengan suatu dzat apapun juga yang baharu. Salahuddin Al Ayyubi menangkap Abul Futuh dan menyerahkan kepada anaknya Az Zahir, raja halab, untuk dihukum bunuh, tetapi hukuman ini diubah atas permintaannya sendiri menjadi hukuman penjara dalam sebuah kamar yang gelap gulita dengan tidak diberi makan dan minum sampai ia mati dalam tahun 587 H.

b.     Syaikh Abu Hafas Umar Suhrawardi   
Suhrawardi yang lain bernama Abu Hafas Umar Suhrawardi, juga seorang tokoh sufi terbesar di Baghdad, pengarang kitab “Awariful Ma’arif”, sebuah karangan yang mengagumkan dan sangat menarik perhatatian Imam Ghazali, sehingga selurah kitab itu dimuat pada akhir karya “Ihya’ Ulumuddin” yang oleh tarekat Suhrawardiyah serta cabang-cabangnya dijadikan pokok pegangan dalam suluknya, dan Suhrawardi ini meninggal dalam tahun 638 H. sebelum ada kitab Ihya’ Ulumuddin, Awariful Ma’arif karangan Suhrawardi ini adalah kitab tasawuf terlengkap, yang membahas hampir semua masalah dalam bidang ilmu batin ini.

Karangan ini terdiri dari lebih kurang enam puluh bab, dimulai dengan menguraikan sejarah nama dan terjadinya serta fadhilahnya ilmu tasawuf, sampai kepada membicarakan dengan mendalam ilmu tarekat mengenai riyadhah bermacam-macam ibadah, sembayang, puasa, dan amal-amal yang lain, sampai kepada kewajiban-kewajiban dalam suluk, mengenai syeikh, murid, ikhwan, mengenai ibadah dan adab, mengenai akhlak, mengenai khirqah, mengenai ma’rifat dan mukasyafah sufi, mengenai hal dan makam, dan persoalan-persoalan lain yang bersangkut paut dengan tarekat.

Kitab ini adalah tuntunan yang terlengkap untuk tarekat-tarekat yang tergabung dalam madzhab Suhrawardiyah, dan oleh karena itu apapun nama yang digunakan untuk cabang-cabang itu, semuanya berpedoman kepada karangan Suhrawardi Sufi ini, meskipun disana-sini ditambah dan dikurangi menurut keperluan yang dianggap perlu oleh syeikh tarekat mursyid, dalam menjalankan tugasnya. Dalam bab ke-enam puluh dua dimuat uraian istilah-istilah sufi yang sudah disaring menurut pendapat Suhrawardi, mengenai persoalan jama’ dan tafarruk, mengenai tajalli dan istitar, mengenai tajrid dan tafriq, mengenai ghulbah, mengenai musamarah, mengenai sakar dan sahu, mengenai ilmu yaqin, ainulyaqin dan haqqul yaqin, mengenai waktu, mengenai ghaibah dan syuhud, mengenaizauq dan syarab, mengenai muhadharab, mukasyafah dan musyahadah, mengenai talwin dan tamkin, dan lain-lain persoalan yang bertalian dengan masalah bidayah dan nihayah, yang semuanya dapat menunjukkan kepada kita suatu tarekat berasal dari ajaran Suhrawardi itu.[4]

c.       Syaikh Yusuf al Makassari
Untuk mengetahui segala sesuatu tentang Tarekat Khalwatiyah, perlu diketahui sejarah singkat Syaikh Yusuf al Makassari, karena beliaulah yang pertama kali membawa dan menyebarkan tarekat ini ke Indonesia pada tahun 1670 M. Al makassari berguru dan mendapatkan ijazah dari syaikh Abu al Barakah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al Khalwati al Quraisyi serta mendapat gelar Taj al Khalwati sehingga namanya menjadi Syaikh Yusuf Taj al Khalwati. Di Sulawesi Selatan beliau digelari Tuanta Salamakari Gowa (guru kami yang agung dari Gowa). Nama lengkapnya Muhammad Yusuf bin Abdullah Abu Mahasin al Taj al Khalwati al Makassari.[5]

Menurut sejarah Gowa, al Makassari dilahirkan 1037 H/ 1627 M di Tallo wilayah kerajaan Gowa dan meninggal di Tanjung Harapan Afrika Selatan pada 22 Dzulqa’dah 1111 H/ 22 mei 1699 M, dikuburkan di Faure di perbukitan pasir False Bay tidak jauh dari tanah pertanian Zandvleit. Pusaranya dikenal sebagai keramat tempat beribu-ribu peziarah yang menghormati tokoh yang mulia ini. Pada tahun 1699 keturunan dan pengikutnya kembali ke nusantara. Pada tahun 1705 kerangka jenazah al Makassari tiba di Gowa di mankamkan di Lakiung. Pusara al Makassari kedua ini pun menjadi tempat ziarah di Sulawesi Selatan.

Ibunya bernama Aminah putri Galiarang Moncongloe, sepupu Raja Gowa yang pertama masuk Islam. Raja Gowa ke 14 bernama Mangorangi Daeng Maurabbiya (1598-1639). Dengan demikian ada pertalian darah dengan keluarga raja dan nanti pada usia muda al Makassari menikah dengan putrid Sultan Gowa Ala’al Din yang dikenal sebagai Mangorangi Daeng Maurabbiya ini.

Riwayat pendidikannya dimulai di daerahnya sendiri karena secara tradisional wilayahnya telah didatangi oleh para da’i kelana yang kebanyakan para sufi berasal dari Aceh, Minangkabau, Kalimantan Selatan, Jawa, Semenanjung Melayu dan timur tengah. Di antara yang datang itu adalah Datuk ri Bandang dan kawan-kawannya dari Minangkabau. Mula-mula belajar menghafal Al Qur’an dengan guru bernama Daeng ri Tasammang, selanjutnya belajar bahasa arab, fiqih, tauhid, dan tasawuf dengan Sayyid Ba ‘Alawi bin Abdullah al Allamah al Thahir, kemudian melanjutklan pelajaran di Cikoang dengan guru bernama Jalaluddin Aydid. Sesudah itu ia melanjutkan belajar ke Timur Tengah meninggalkan Makassar tahun 1644 M.[6]

Kota Makasar sejak abad ke 15 sering didatangi pedagang asing, dihubungkan dengan mata rantai jaringan perdagangan internasional dengan Banten dan pelabuhan lain di pantai utara Jawa serta dengan Malaka dan Aceh. Al Makassari memanfaatkan jaringan perdagangan ini, mula-mula ia ke Banten, dilanjutkan ke Aceh, Gujarat, Yaman, Makkah, Madinah, terakhir ke Damaskus.

Ketika di Banten al Makassari mendapati Sultan Banten Abu al Mafakhir Abd. Al Qadir (1037-1063 M/ 1626-1651 H) yang mendapat gelar Sultan dari Syarif Makkah menjalani hubungan mengenai masalah-masalah keagamaan dengan ulama-ulama diantaranya dengan al Raniri dan ulama Haramain sehingga Banten dikenal sebagai salah satu pusat penting tentang Islam. Maka al Makassari belajar di Banten dan menjalani persahabatan dengan putera mahkota, Pangeran Surya, yang kelak menggantikan ayahnya dengan nama resmi Abdul Fatah, atau lebih dikenal dengan gelar Sultan Ageng Tirtayasa.

Dengan mengikuti rute jaringan perdagangan, al Makassari melanjutkan perjalanannya menuju Aceh karena beliau telah mendengar tentang al Raniri dan ingin berguru kepadanya. Aceh saat itu dipimpin oleh Sultanah Sofiyatu al Din binti Iskandar Muda (1641-1675 M). Sayang al Raniri telah meninggalkan Aceh pada tahun 1644. Ada kemungkinan al Makassari mengikuti al Raniri ke India karena diketahui al Makassari juga berguru kepada Umar bin Abdullah Ba Syayban, guru al Raniri. Dari al Raniri ini al Makassari menerima ijazah Tarekat Qadiriyah sebagaimana dituliskan dalam Risalah Safinah an Najah.

Dari India, al Makassari melanjutkan perjalanan menuju Yaman, belajar kepada Muhammad bin Abd. al Baqi al Mizjaji al Naqsyabandi (w.1074 H/ 1664 M). dari guru ini al Makassari mendapat Tarekat Naqsyabandiyah.

Perjalanan dilanjutkan ke Zabin (masih wilayah Yaman), berguru kepada Syaikh Maulana Sayyid Ali al Zabidi dan dari gurunya ini diduga al Makassari mendapat ijazah Tarekat Ba’alawiyah.

Kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke pusat jaringan ulama di Haramain, Makkah Madinah. Masa belajarnya bersamaan dengan masa belajar al Singkili, oleh karena itu diduga al Makassari berguru juga kepada guru-guru al Singkili. Yang paling utama diantara guru-guru di Haramain adalah Ahmad al Qusyasyi, Ibrahim al Kurani, dan Hasan al Ajami. Syaikh Ibrahim al Kurani, nama lengkapnya Ibrahim bin Hasan bin Syihab al Din al Khudri al Kurabi, terkenal dengan nama Mullah Ibrahim yang juga merupakan guru dari Abdul Rauf Singkel. Dari guru ini al Makassari menerima ijazah Tarekat Syattariyah.

Terakhir al Makassari menuju Damaskus berguru kepada Syaikh Abu al Barakah Ayyub bin Ahmad bin Ayyub al Khalwati al Quraisyi, yang menggelari al Makassari dengan Taj al Khalwati dan ia menerima ijazah Tarekat Khalwatiyah.

Perjuangannya   
Syaikh Yusuf al Makassari, sesudah selesai belajar yang dijalani selama 26 tahun, mulai berjuang sebagai pengajar , ulama, pengarang, pembimbing tarekat, pemimpin perlawanan terhadap belanda, pembimbing pengikutnya di pembuangan, pengembang islam di Afrika Selatan, menyebabkan beliau harus melewati wilayah yang sangat luas mulai dari Sulawesi Selatan, Banten, pulau Ceylon dan Tanjung Harapan Afrika Selatan.

Pekerjaan mengajar sudah di mulai al Makassari suwaktu masih di Makkah dalam rangkaian pembelajaranya. Kebanyakan muridnya berasal dari wilayah Melayu-Indonesia, baik dari kalangan jamaah haji maupun dari komunitas jawa di Haramain. Di antara muridnya di Makkah adalah Abd. al Basyir al Dharir al Rapani (dari Rappang Sulawesi Selatan) yang kemudian diserahi tugas sebagai penyebar Tarekat Naqsyabandiyah dan Khalwatiyah di Sulawesi Selatan.[7]

Setelah kepulangan dari tanah Arab sekitar tahun 1670 M al Makassari menetap pertama-tama di Banten. Semula al Makassari hanya ingin singgah di Banten (pada waktu itu untuk pulang dari Arab ke Makassar harus melewati Banten) tetapi kondisi kerajaan Goa yang telah di tundukkan oleh kerajaan Bugis Bone yang bekerja sama dengan Belanda pada tahun 1669 telah mengubah rencananya. Al Makassari yang sejak sebelum berangkat ke Arab telah bersahabat dengan Pangeran Surya telah menjadi Sultan Ageng Tirtayasa dan al Makassari telah menjadi seorang ulama persahabatan itu tetap ingin dipertahankan, terutama oleh Sultan Ageng demi kebesaran Banten sekaligus untuk menghadapi Belanda yang merupakan musuh utamanya. Salah satu cara Sultan Ageng mengikat persahabatan dengan al Makassari adalah mengawinkan al Makassari dengan putrinya.[8]

Kehadiran al Makassari menyebabkan nama Banten menjadi lebih terkenal sebagai pusat pendidikan Islam yang menarik para pelajar untuk berdatangan kesana dari segala penjuru nusantara. Di Banten ini al Makassari menulis kebanyakan karyanya sehingga menambah kebesaran Banten dan kekhawatiran VOC di Batavia.

Ketika Sultan Ageng berperang melawan putranya sendiri, Sultan Haji, pada tahun 1682 yang dibantu VOC, al Makassari memihak kepada Sultan Ageng. Ketika Sultan kemudian ditawan, al Makassari melanjutkan perlawanan selama dua tahun, memimpin sekelompok pengikutnya yang dikejar-kejar Belanda melewati pegunungan di Jawa Barat. Pada tahun 1683 mereka tertawan, Belanda mengasingkan al Makassari ke pulau Ceylon. Setelah satu dasawarsa di Ceylon Belanda memindahkan al Makassari ke Afrika Selatan. Disana ia wafat pada tahun 1699 dan pegikutnya orang Bugis dan Makassar kembali ke Sulawesi Selatan. Beberpa tahun kemudian kerangka jenazahnya dipulangkan ke Sulawesi Selatan dan dimakamkan di Lakiung.

Selama di Banten, ketika bertindak sebagai ulama besar, al Makassari juga mengajarkan Tarekat Khalwatiyah. Walaupun demikian, tarekat yang berhubungan dengan namanya hanya diikuti orang-orang Makassar dan Bugis saja. Memang ketika al Makassari di Banten Sultan Gowa memanggilnya pulang ke tanah kelahirannya untuk mengajar keluarga kerajaan tentang Islam namun al Makassari menolak sampai upayanya untuk mempelajari ilmu-ilmu Islam mencapai kesempurnaan. Sebagai gantinya al Makassari mengirim muridnya bernama Abd. al Basyri al Dharir “si buta” yang telah mengikutinya dari Makkah ke Banten sebagai khalifahnya dari Tarekat Khalwatiyah dan Naqsyabandiyah. Al Makassari terus mengajar dan menulis karya-karyanya di Banten. Dikemudian hari, ketika al Makassari di kejar-kejar Belanda sesudah Sultan di tawan, ia mundur ke desa Karang tempat tinggal Abd.al Muhyi murid al Singkili. Abd. al Muhyi yang disebut Hajee Karang oleh Belanda, memanfaatkan belajar kepada al Makassari dan meminta al Makassari memberikan silsilah tarekat-tarekat yang diterimanya di Haramain.[9]

Setelah tertawan oleh Belanda al Makassari dibuang ke Ceylon (orang Arab menyebutnya Sarandib, sekarang bernama Srilanka) selama hampir satu dasawarsa, sebenarnya dimaksudkan untuk memisahkannya dari kaum muslimin di Indonesia namun disana al Makassari banyak nenghasilkan karya-karya (sebagian besar memakai judul Saylaniyah) diantaranya karena permintaan kawan-kawan, murid-murid, dan kaum muslimin lainnya. Dengan demikian Srilanka justru menjadi tempat transit jamaah haji Indonesia. Para haji inilah yang membawa dan menyebarkan tulisan-tulisan al Makassari di nusantara sehingga sampai ke zaman kita sekarang. Karena peranan al Makassari di Srilanka itu menimbulkan kekhawatiran Belanda, maka mereka memindahkan al Makassari ke tempat yang lebih jauh yaitu Tanjung Harapan, tiba disana tahun 1694 M ketika itu al Makassari berusia 68 tahun.

Di Tanjung Harapan Afrika Selatan bersama dengan orang-orang buangan lainnya al Makassari berusaha untuk mempersatukan dan memperkuat kepercayaan orang buangan, menyelenggarakan kegiatan pengajaran secara diam-diam di pondok-pondok mereka sekaligus mendapatkan mualaf-mualaf baru. Dengan kata lain lebih memerhatikan dan memberi pengajaran langsung kepada komunitas nusantara. Hal ini disebabkan Belanda selain melarang kaum muslimin menjalankan ibadahnya juga mengadakan kristenisasi terhadap budak-budak muslimin di Tanjung Harapan. Bahkan ada usaha dari pendeta bernama Petrus Kalden untuk mengkristenkan al Makassari tetapi gagal, padahal al Makassari tinggal di tanah milik sang pendeta.[10]

Karya-karya al Makassari
Para ahli berbeda pendapat tentang kitab (karya) karangan al Makassari. Sebagian ada yang menyebutkan 19 buah, sementara Martin van Bruinessen menyebutkan 17 buah, antara lain adalah sebagai berikut:
1.      Al Risalah al Naqsyabandiyah
2.      Safinah al Najah
3.      Tuhfah al Amr fi Fadhilah al Dzikr
4.      Al Nafhah al  Saylaniyah
5.      Zubdat al Asrar
6.      Al Barakat al Saylaniyah
7.      Asrar al Ashalah
8.      Bidayat al Mubtadi
9.      Al Futuhat al Rabbani
10.  Habl al Warid
11.  Kaifiah al Mughni
12.  Maktub
13.  Mathlab al Salikin
14.  Qurrat al Ain
15.  Sirr al Asrar
16.  Taj al Asrar
17.  Fath al Kaifiyat al Dzikr
Menurut Azyumi Azra ada delapan diantara karya tulis al Makassari yang ditulis di Ceylon, yaitu:
1.      Al Barakat al Saylaniyah
2.      Al Nafahat al Saylaniyah
3.      Al Manhat al Saylaniyah fi Manhat al Rahmaniyah
4.      Kayfiyah al Mughni fi al Itsbat fi al Hadits al Qudsi
5.      Habl al Warid li Sa’adat al Murid
6.      Safinah al Najah
7.      Mathalib al Salikin
8.      Risalah al Ghayat al Ikhtisar wa al Nihayat al Intizhar.[11]


III.    Ajaran-ajaran Dasar Tarekat Khalwatiyah

Tarekat Khalwati mempunyai ajaran-ajaran dasar sebagai berikut:
1.      Yaqza: kesadaran akan dirinya sebagai makhluk yang hina dihadapan Allah SWT Yang Maha Agung
2.      Taubah: mohon ampun atas segala dosa.
3.      Muhasabah: menghitung-hitung atau intropeksi diri
4.      Inabah: berhasrat kembali kepada Allah
5.      Tafakkur: merenung tentang kebesaran Allah
6.      I’tisam: selalu bertindak sebagai khalifah Allah di bumi
7.      Firar: lari dari kehidupan jahat dan keduniawian yang tidak berguna
8.      Riyadah: melatih diri dengan beramal sebanyak-banyaknya
9.      Tasyakur: selalu bersyukur kepada Allah dengan mengabdi danmemujiNya
10.  Sima’: mengonsentrasikan seluruh anggota tubuh dalam mengikuti perintah-perintah Allah terutama pendengaran.[12]
Murid harus tawajjuh, yaitu bertemu dan menerima pelajaran-pelajaran dasar khusus dari guru secara berhadap-hadapan. Disini mursyid mengajarkan juga dzikir-dzikir tertentu, silsilah diberikan, sesudah itu diadakan baiat, talkin. Tahap awal yang harus dilakukan oleh seorang calon murid menjelang pembaiatan adalah harus mengadakan penyucian batin, sikap dan perilaku yang tidak baik seperti:
·         Hasad: sikap dengki terhadap nikmat Allah yang diberikan kepada orang lain,
·         Riya’: mempertontonkan kekayaan dan atau amal supaya mendapat pujian dari orang lain,
·         Ghibah: membicarakan orang lain yang bersifat celaan dan hinaan.[13]
Sesudah suci batinnya diisi dengan sikap dan perilaku terpuji seperti:
·         Husn al Zhan: berbaik sangka kepada Allah dan manusia sebagai makhluk ciptaaNya,
·         Husn al Khuluq: berakhlak baik terhadap Allah dan segala ciptaanNya,
·         Husn al Adab: bersopan santun terhadap Allah sebagai bukti taslim, menyerahkan semua urusan kepada Allah dan ridha dengan apa yang diberiNya, demikian pula terhadap sesama manusia.[14]


IV.   Silsilah Syaikh Tarekat Khalwatiyah[15]
Allah SWT. Menurunkan kepada:
1.      Nabi Muhammad SAW.
2.      Ali bin Abi Thalib ra.
3.      Hasan al Basri
4.      Quthb al Gaws Habib al Ajami
5.      Quthb al Daud al Tha’i
6.      Abu al Mahfuz Ma’ruf al Karkhi
7.      Khan Sirri al Saqathi
8.      Sayyid al Thifah Junaid al Baghdadi
9.      Imad al Alwi al Daynuri/Mumsyad al Daynuri
10.  Abu Ahmad Aswad al Daynuri
11.  Muhammad bin Abdullah al Bakri al Shiddiqi
12.  Umar bin Abdillah al Bakri al Shiddiqi
13.  Abu al Najib bin Abdillah al Bakri al Shiddiqi
14.  Quthb al Din Muhammad al Abhari
15.  Ruku al Din al Sijasi
16.  Mullah Syihab al Din Muhammad al Tibrizi
17.  Mullah Jamal al Din Ahmad al Tibrizi
18.  Ibrahim al Zahid al Jilani
19.  Abu Abdillah Muhammad al Syirwani
20.  Quthb al Zamani Maulana Affandi Umar al Khalwati (Dede Umar Khalwati)
21.  Maulana Sayyid Ahmad Yahya al Syarwani
22.  Maulana Affandi Zubair bin Umar al Rumi
23.  Maulana Muhammad Anshari Abdullah al Qarni
24.  Mullah Uways al Qarni Tsani
25.  Mullah Syam al Din al Rumi
26.  Mullah Darwisy al Rumi
27.  Yusuf Ya’qub al Itabi
28.  Ahmad al Rumi
29.  Wali al Ja’i al Halabi al Ajami
30.  Quthb al Zamani Ahmad bin Umar al Kharir
31.  Abu al Barakat Ayyub bin Ahmad al Khalwati
32.  Yusuf Abu al Mahasin Taj al Khalwati al Makassari
33.  Abu al Fath Abd. Bashir al Dharari al Khalwati al Riffani/Tuang Rappang I Wodi (w.1733)
34.  Abu Sa’ad al Fadil al Khalwati
35.  Abu al Majid Nur al Din bin Abdillah
36.  Sayyid Abd. al Ghaffar Waliyullah al Saggaf (qadhi di Bontoala tahun 1730)
37.  Sayyid Muhammad Zayn al Din (qadhi Maros dan Bontoala tahun 1814)
38.  Abd. al Qadir
39.  Sayyid Abd. al Rahman al Saggaf/Puang Rewa (qadhi II di Maros tahun 1856)
40.  Sayyid Badi’ al Samawati/Petta Imam Bontoa
41.  Sayyid abd. Rahman bin Thalib Alli bin al Qadhi Sayyid Abd. al Rahman al Saggaf/Puang Raga
42.  Sayyid Muhammad Husayn al Saggaf/Puang Lewa dan Sayyid Abd. al Gaffar al Saggaf bin Sayyid Abd. al Rahman/puang Sanre
43.  Sayyid Abd. al Muthalib al Saggaf/Puang Lompo
44.  Haji Muhammad Sayyid Abd. al Rahman Saleh/Puang Lallo.

Penutup
        Dari urain diatas dapat disimpulkan bahwa tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari aqidah Suhrawiyah, yang mana ketika masa itu keluarga Suhrawardi sudah terkenal kesufiannya. Sedangkan di Indonesia tokohnya adalah Syaikh Yusuf al Makassari, meskipun sebenarnya al Makassari juga memperoleh ijazah tarekat lain seperti tarekat Qadariyah, tarekat Naqsyabandiyah dan lainnya. WaAllahu A’lam.
Daftar Pustaka
·         Al Khaliq, Abdul Rahman Abdu, ,Al Fikr al Shufi Fi dhaui Al khitan wa al Sunnah, Dar al Haramain li al Thaba’ah, Kairo,1993.
·         Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo,1996.
·         Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung,1955.
·         Azzumari Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulaun nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1995.
·         Abu Hamid, Syaikh Yusuf Tajul Khalwati; Suatu Kajian Antropologi Agama, Disertasi Ph.D Universitas Hasanudin, Ujung Pandang, 1990.
·         Dr. Hj. Sri Mulyati MA (et.al), Mengenal dan Memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Kencana predana media group, Jakarta, 2005.










[1] Al Khaliq, Abdul Rahman Abdu, ,Al Fikr al Shufi Fi dhaui Al khitan wa al Sunnah, Dar al Haramain li al Thaba’ah, Kairo,1993. H.530-540.
[2] Prof. Dr. H. Abubakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo,1996. Hal:337.
. [3] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, pesantren dan Tarekat, Mizan, Bandung,1955. h.286.
[4] Prof. Dr. H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarekat, Ramadani, Solo, 1996. H.389.
[5] Azzumari Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulaun nusantara Abad XVII dan XVIII, Mizan, Bandung, 1995. H. 212.
[6] Ibid, h. 213.
[7] Ibid, h. 220
[8] Ibid, h. 222.
[9] Ibid, h. 223.
[10] Ibid, h. 230.
[11] Ibid, h.238.
[12] Abu Hamid, Syaikh Yusuf Tajul Khalwati; Suatu Kajian Antropologi Agama, Disertasi Ph.D Universitas Hasanudin, Ujung Pandang, 1990. H.181.
[13] Ibid, h.180.
[14] Abu Hamid, op. cit., h. 181.
[15] Menurut Prof. Dr. Abu Hamid dan Drs. Rizal al Saggaf.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan