Ta’arudl dalam Jarh wa Ta’dil

Pengertian Ta’arudl
Terkadang di antara ucapan-ucapan para ulama ada yang bertentangan di dalam menta’dilkan seorang rawi dan menjarhnya, maka sebagian ada yang menta’dilkan dan sebagian yang lain menjarhkannya. Oleh sebab itu, di dalam pembahasan ini perlu untuk diuraikan.

Terkadang ada sebagian ulama mengetahui keadaan seorang rawi yang pada mulanya ia adalah seorang yang fasiq, maka ia menjarhnya. Kemudian di kemudian hari ternyata rawi tersebut telah taubat dan diketahui taubatnya oleh sebagian ulama’ dan kemudian menta’dilnya. Maka yang demikian ini tidak ada ta’arudl di antara dua ucapan ulama.

Dan terkadang pula, seorang rawi diketahui jelek hafalannya yang ia terima dari seorang guru dan ia tidak punya catatan atau hanya berpegangan pada ingatannya. Pada lain waktu ia menjadi ingat hafalannya dari seorang guru yang lain dan ia berpegang pada kitabnya misalnya, maka dalam hal ini juga tidak ada ta’arudl diantara jarh tersebut.[1]

Taarudl di dalam jarh wa ta’dil
Apabila terdapat ta’arudl antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, sebagian ulama’ ada yang mentajrihkan dan sebagian lagi ada yang menta’dilkan. Dan dalam masalah ini ada tiga pendapat:

      1.      Jarh harus didahulukan secara mutlak, meskipun muaddilnya banyak.  Imam al khotib menukil dari jumhur ulama, ibnu sholah menshohihkannya dan Imam Fahrurrozi, Imam al amidi, dan lainnya dari golongan ulama ushul. Karena bagi jarih tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh muaddil dan bahwa jarih dapat membenarkan muaddil tentang apa yang diberitakan menurut dhohirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan bathin yang tidak diketahui oleh muaddil.

       2.      Jika jumlah muaddil lebih banyak, maka yang diutamakan adalah ta’dil.
Diceritakan  oleh alkhatib dalam kifayahnyya, dan shohib al mahsul. Sebab jumlah yang banyak dapat memperkuat kedudukan mereka dan harus mengamalkan khobar mereka. Al khatib berkata: ini (sebab jumlah yang banyak) salah dari orang yang menduganya, karena sesungguhnya para para muadddil sekalipun mereka banyak tidaak mengabarkan sesuatu yang tidak dikabarkan oleh para rajih, dan apabila mereka mengabarkan dengan itu, maka itu adalah kesaksian yang bathil.

   3.      Tetap dalam ketaarudannya. Maka tidak menrajihkan salah satunya kecuali telah diketahui orang yang menrajihkan. Diceritakan oleh ibnu al hajib dalam “ mukhtasor Ushulnya sebagaimana al iraqi memerincinya dalam syarh alfiyahnya dan tadribnya, begitupun selain assuyuthi dan al iraqi.[2]

Taarudl antara jarh mubham, mufassar, dan ta’dil mubham, mufassar
Muallif  kitab ar-Raf’u wat Takmil berkata: “banyak dari kalangan ulama pada zaman sekarang ini yang salah dan lalai dalam mengaplikasikan atau menerapkan bahwasannya jarh itu lebih diutamakan daripada ta’dil karena kelupaan mereka dalam membatasi dan memerincinya. Mereka hanya menduga bahwasannya jarh mutlak didahulukan (apa itu jarhnya, siapa yang menjarh dan rowi mana yang dijarh). Jarh didahulukan daripada ta’dil secara muthlak (apa itu ta’dilnya, siapa yang menta’dil dan rowi mana  yang dita’dil). Padahal bukan seperti yang mereka duga, akan tetapi masalahnya yaitu jarh didahulukan atas ta’dil harus berupa muqoyyad dengan menjadi jarh mufassar, maka jarh mubham itu tidak diterima secara mutlak menurut mazhab yang shohih. Maka tidak mungkin jarh mubham bertentangan dengan ta’dil mubham.

Para ulama’ ushul menjelaskan bahwasannya, mereka menyebutkan atau menjelaskan tentang masalah jarh mubham. mereka merajihkan tidak diterimanya jarh mubham. Mereka menjelaskan masalah taarud jarh dan ta’dil sesudah dan sebelumnya yang bahwasannya jarh didahulukan atas ta’dil. Itu menunjukkan bahwa yang dimaksud dalam pembahasan ini dengan jarh mufassar, tidak ghoiru mufassar (mubham). Maka tidak ada artinya untuk mempertentangkan tidak maqbul dengan maqbul, menurut orang yang mempunyai akal.[3]

Dan kesimpulannya adalah, hal-hal yang menunjukkan kalimah tsiqot dan disaksikan secara global ketetapannya, yaitu jika ditemukan dalam rawi jarh dan ta’dil yang keduanya mubham maka yang didahulukan adalah ta’dil. Begitu juga jika ditemukan jarh mubham dan ta’dil mufassar maka ta’dil didahulukan. Jarh didahulukan apabila mufassar, sama juga dengan ta’dil mubham atau mufassar. Maka ingatkah ini, karena seseunggguhnya dapat menyelamatkan dari kesalahan dan menjagamu dari perdebatan.[4]

Faidah:
Terkadang ta’dil didahlukan dari jarh mufassar, karena ada alasan-alasan yang baru muncul. Seperti, tidak diterimanya jarh sebagian ulama, pada imam Abu Hanifah dan gurunya Hammad bin Abi Sulaiman, dan sahabatnya Muhammad dan Abi Yusuf dan lainnya dari ahli kufah bahwa mereka termasuk golongan murji’ah.[5]

Referensi:
Dr. Muhammad Ijajul Khatib, Ushulul Hadis, (Beirut: Darul Fikr, 2009),
Muhammad Abdul Hayy, Ar-Rof’u wat Takmil fil Jarh wa Ta;dil, Darul Aqsha, tt.



[1] Dr. Muhammad Ijajul Khatib, Ushulul Hadis, (Beirut: Darul Fikr, 2009), hal. 174.
[2] Muhammad Abdul Hayy, Ar-Rof’u wat Takmil fi Jarh wa Ta’dil, Darul Aqsha, tt. Hal. 117
[3] Ibid., hal. 118
[4] Ibid., hal. 120
[5] Ibid., hal.120-121.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

:)
:(
=(
^_^
:D
=D
|o|
@@,
;)
:-bd
:-d
:p
Silakan berkomentar dengan sopan