Rasmul Qur’an

BAB I
PENDAHULUAN

Ilmu Rasmul Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Makalah yang kami buat membahas tentang pengertian Rasm Al-Qur’an, hukumnya dan kedudukan Rasm Al-Qur’an, perkembangan Rasm Al-Qur’an, kekeliruan penulisan, serta hubungan Rasm Al-Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an.
Untuk lebih jelasnya mengenai hal tersebut, pada bab selanjutnya akan dibahas secara lebih terperinci lagi.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Pengertian Rasm Al-Qur’an
Yang dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan[1]. Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan membukukan Al-Qur’an[2]. Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah tertentu[3].
Para Ulama telah membicarakan rasam Al Qur an dan kata-kata yang tidak sesuai dengan pengucapannya. Sebagian Ulama menyusun karya sendiri mengenai hal ini, antara lain al-Imam Abu Amr Ad Daniy yang menyusun buku berjudul Al Muqanna’, Al Allamah Abu Abbas Al Marakisyi yang menyusun buku berjudul ‘Unwan ad dalil fi rusum Khath at Tanzil dan Al Allamah As Syaikh Muhammad bin Ahmad yang lebih populer dengan panggilan Al Mutawaliy yang menyusun Nadham-nadham berjudul Al Lu’lu’ wal Mandhum fi Dzikr jumlah min al marsum. Kemudian muncul Al Allamah As Syaikh Muhammad Khalaf Al Husaini, Guru Al Muqarri’ di kawasan mesir, yang mensyarah nadham-nadham itu dan memberikan notasi pada syarah-syarah itu dalam sebuah buku yang berjudul Mursyid Al Hairan ila ma’rifah ma yajib ittibauhu fi rasm al Qur an[4].

B.       Kaedah rasmul qur’an
Para Ulama meringkas kaidah-kaidah dalam rasmul qur’an menjadi 6 istilah, yaitu:
a.      Penghilangan huruf (al-hadzf)
Al-Hadzf ini terdiri dari enam bagian, yaitu:
1.      Menghilangkan huruf, alif yaitu dari ya al-nida (يأ يها النس) dari ha' al-tanbih (هأ نتم); dari نا dhamir(انجينكم) lajazh jalalah (الله) dari dua kata (الرحن) dan (سبحن); sesudah huruf lam ( خلئف ); sesudah dua huruf lam dari semua mustanna (رجلن); dari semua jama' shahih baik mudzakkar maupun muannats (سمعون) dan ( المؤ منت) dari semua jamak yang satu pola dengan (مسجد) dan dari semua kata bilangan   (  ثلث) dari basmallah dan sebagainya.
2.      Menghilangkan huruf ya, vaitu huruf ya dibuang dari manqush munawwan (bertanwin), baik ketika berharakat rafa' maupun jar (غير ياغ ولاعاد); menghilangkan huruf ya' pada kata خافون، اتفون، اطيعون dan, selain yang dikecualikan.
3.      Menghilangkan huruf lam jika dalam keadaan idqham (اليل) dan (الذي) selain yang dikecualikan.
4.      Menghilangkan huruf waw, yaitu jika terletak bergandengan (فاو الى) dan (لا يستون).
Di samping itu, ada beberapa penghilangan huruf yang tidak masuk kaidah. Misalnya penghilangan huruf alif pada kata dan menghilangkan ya' dari kata ابراهيم serta menghilangkan waw dari empat kata kerja (al-fil) يوم يدع، يمح الله، ويدع الا نسان   dan سندع الزبانيه
b.      Penambahan huruf(al-ziyadah)
Penambahan ini, yaitu alif setelah waw pada akhir isim jamak atau yang mempunyai hukum jamak. Misalnya اولو الالباب, ملا قوا ربهم dan  بنو اسرائيل Di samping  itu menambah alif setelah Hamzah marsumah waw (Hamzah yang terletak di atas tulisan waw). Misalnya, تا الله تفتوا  Yang asalnya di tulis تا الله تفتأ Demikian pada kata  ماتة, dalam ayat,فى كل سنبلة ما ئة حية  kata  الرسول Dalam ayat اطعنا الرسولا dan ,سبيل  dalam ayat  فا ضلونا السميلا. Demikian juga penambahan huruf ya pada kata  با يكمatau penambahan huruf waw pada kataاولو، اوليك، اولاء  Dan  اولات.
c.       Kaidah Hamzah
Yaitu apabila hamzah berharakat suku, maka di tulis dengan huruf yang beharakat sebelumnya. Misalnya انذن Dan اوتمن, selain yang dikecualikan. Adapun Hamzah yang berharakat, jika ia berada di awal kata dan bersambung dengan Hamzah itu huruf tambahan, maka ia harus di tulis dengan alif secara mutlak, baik berharakat fathah maupun berharakat kasrah. Misalnya فياي، ساصرف، اولوا، ايون selain yang dikecualikan. Sedangkan apabila Hamzah terletak di tengah maka ia tulis sesuai dengan huruf harakatnya, yakni fathah dengan alif dan kasrah dengan ya serta dlamah dengan waw. Misalnya  سئل، سال، تقرؤه Tetapi apabila huruf yang sebelum Hamzah itu sukun, maka tidak ada tambahan. Misalnya ملء الارض dan  الخبء selain yang dikecualikan.
Di samping itu, jika Hamzah itu terletak di ujung, Makkah ia di tulis dengan huruf dari jenis harakat huruf sebelumnya. Misalnya, kata  سبا، لؤلو dan شاطئ .
d.     Menggantikan Huruf Dengan Huruf Lain
Badl ini ada beberapa macam yaitu :
1.      Huruf alif di tulis dengan waw sebagai penghormatan pada kata الزكوة، الصلوة dan الحيوة   selain yang dikecualikan.
2.      Huruf alif yang di tulis dengan huruf ya pada kata-kata seperti الى، انى، على Yang berartiكيف  (bagaimana)  بلى، متى dan لدى selain kata dalam surat Yusuf.
3.      Huruf alif di ganti dengan nun tawkid khafifah pada kata  اذن.
4.      Huruf ta’ ta’nits (ة) di ganti dengan ta’ maftuhah (ت) pada kata رحمت sebagai yang terdapat dalam surat al-baqarah, al-araf, hud, maryam, al-rum dan al-zukhruf. Di samping itu huruf ta’ta’nits (ة) di tulis dengan ta’ maftuhah (ت) pada kata نعمت sebagai terdapat dalam surat al-baqarah, ali imran, al maidah, ibrahim dan sebagainya.
e.      Menyambungkan dan memisahkan huruf (al washl dan al fashl)
Washl dan fashl banyak ragamnya yaitu :
1.      Kata ان dengan harakat fathah pada hamzahnya, di susul dengan  لا maka penulisannya bersambung dengan menghilangkan huruf nun, misalnyaالا  tidak di tulisان لا  kecuali pada kata ان لا تقولو  dan  ان لا تعبلوا.
2.      Kata من Yang bersambung dengan ما penulisannya disambungkan kata dan huruf nun pada mimnya tidak di tulis, seperti مما kecuali pada kalimat  من ما ملكت ابما نكم Sebagai terdapat dalam Al-Qur'an surat an-nis      a’ dan ar-rum dan kata ممن رزقناكم dalam surat al-munafiqun.
3.      Kata من yang bersambung dengan من ditulis bersambung dengan menghilangkan-min, sehingga menjadi kata  ممن bukan من منَ
4.      Kata عن yang bersambung  dengan ما ditulis bersambung dengan menghilangkan nun, sehingga menjadi  عماbukan عن ما  kecuali dalam kalimat  عن ما نهوا عنه
5.      Kata ان yang bersambung dengan ما ditulis bersambung dengan menghilangkan nun, sehingga menjadi اما
6.      Kata كل yang diiringi ما Di sambung sehingga menjadi كلما Kecuali pada firman Allah SWT  من كل ماسا لتموه dan   كل ما ردوا الى الفتنة
f.        Kata yang bisa dibaca dengan dua bunyi (ma’ fih qiratani)
Apabila ada dua ayat Al-Qur'an yang memiliki versi qiraat yang berbeda yang dimungkinkan ditulis dalam bentuk tulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka pola penulisannya sama dalam setiap Mushaf Ustmaniy. Dalam Mushaf Ustmaniy, kata tersebut di tulis dengan menghilangkan alif Misalnya, kalimat ملك يوم الدين  dan   يخد عون الله
Ayat-ayat tersebut boleh dibaca dengan menetapkan alif (dibaca dua harakat) dan bisa dibaca sebagai haknya lafzh (dibaca 1 harakat). Akan tetapi, apabila tidak memungkinkan ditulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka ditulis dalam Mushaf `Utsmaniy dengan rasm al-mushaf yang berbeda. Misalnya kalimat ووصبها ابراهيم بنيه Dalam sebagian mushaf ustmaiy di tulis dan di baca واوصى sedangkan dalam sebagian mushaf lainnya di tulis dan dibaca ووصَ Dan sebagainya[5].

C.       Hukum dan Kedudukan Rasm Al-Qur’an
Kedudukan rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat.
Jumbur ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw. Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi[6].
Sekelompok ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an, tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang menulisnya dengan pola-pola tertentu.
Beberapa orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan Rasm Qur’ani itu kepada beliau, padahal beliau adalah seorang Nabi yang tak kenal baca tulis. Mereka mengatakan bahwa Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu : “Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”, bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz “Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz “Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan selalu mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling bersemangat mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul Al-Ibrizt ia mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya; Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang mengatakan sebagai berikut :
“Tidak seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi kitab-kitab suci lainnya”[7].
Lagi pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al Qur’an itu berasal dari Nabi.
Dengan demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan. Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i). Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.

D.      Perkembangan Rasm Al Qur’an
Pada mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan  dari penjelasan Nabi, ada lagi yang menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh penulisnya.
Seperti diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai tanda-tanda baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf ya’ (ي)  dan ba’ (ب). Demikian pula antara sin (س)dan syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan (661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca, terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duwali memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang fatal, yaitu : ان الله برئ من المشركين ورسولُه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Pada suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
ان الله برئ من المشركين ورسولِه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Al-Dawali memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf (ﹿ   ), sebuah titik di bawah huruf ( ِ  ) sebagai tana baris bawah (kasrah), tanda dhammah ben pa wawu kecil (  ُ  ) diantara dua huruf, dan tanpa apa-apa lagi huruf konsonan mati.
Selanjutnya rams mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705), memerintahkan Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an (nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal  ( د ) maka menjadi huruf dzal (ذ  ). Dari pola penulisan tersebut akhirnya berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi, maghribi, naqsh, dll[8]
E.       Kekeliruan Penulisan
Mengenai mushaf Utsamani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi ulang, ketika dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari kekeliruan dan inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa dilakukannya tauhid al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu  mengenal dengan baik seni khath dan cara penulisan (usluh al-Kitabah). Bahkan mereka beluim mengenal tulisan, kecuali beberapa orang saja. Adanya kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah mushaf kepada Utsman, kemudian beliau melihatnya dan mengatakan : “Sungguh kalian telah melakukan hal yang baik. Didalamnya aku melihat ada kekeliruan (lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan : “Seandainya yang mengimlakan dan Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu ini tidak akan terjadi diatasnya.
Waktu akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah tidak dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh tangan-tangan ahli kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau dijadikan mainan para pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti diatas, Ali bin Abi Thalib A.S mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat diotak-ataik dan diubah-ubah[9].

F.        Hubungan Rasm Al Qur’an Dengan Pemahaman Al Qur’an
Meskipun mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris harakat. Bagi mereka (para sahabat dan tabi’in) memang tidak mempengaruhi pembacaan Al-Qur’an, karena mereka telah fasih dalam pembacaan bahasa Arab. Namun bagi mereka orang Islam non Arab akan meresa sulit untuk membedakan bacaan-bacaan yang hampir sama tanpa menggunakan titik perbedaan dan baris barakat.
Dengan demikian hubungan rasmul Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an sangat erat. Karena semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an tersebut[10].



BAB III
PENUTUP

Dari uraian diatas dapat kami ambil sebuah simpulan yaitu sebagai berikut :
1.        Ilmu Rasmul Qur’an adalah ilmu yang mempelajari tentang penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya, maupun bentuk-bentuk huruf yang digunakan.
2.        Orang yang pertama memberikan tanda-tanda pada huruf-huruf yang hampir sama dan baris harakat adalah Abu Aswad Ad-Duali.
3.        Kaidah yang digunakan dalam penulisan mushaf usmani adalah :
a.      Al-Hadzf (membuang, menghilangkan atau meniadakan huruf).
b.      Al-Jiyadah (penambahan)
c.       Al-Hamzah
d.     Badal (penggantian)
e.      Wasal dan Fasl (penyambungan dan pemisahan)
f.        Kata yang dapat dibaca dan bunyi.
4.        Dengan adanya Rasm Al-Qur’an dapat memudahkan kita dalam membaca dan memahami kandungan Al-Qur’an.



DAFTAR PUSTAKA

Anwar Rosihon, Ulumul Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2000.
Shihab, Quraish Muhammad, dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000.
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. 1990.
Rahmad, Jalaluddin, dkk, Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Basritama. 2002.
Syadali Ahmad, M.A dan Ahmad Rafi’i. Ulumul Qur’an II, Bandung, CV. Pustaka Setia. 1997.
Syaikh Muhammad Abdul Adhim Az Zarqani, Manahil al Urfan fi ulum al Qur an, Tarj. Qadirun Nur, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002



[1] Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia. 2000. hal 50-52
[2] Shihab, Quraish Muhammad dkk, Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000, hal 19
[3] Anwar, Rosihon, op.cit
[4] Syaikh Muhammad Abdul Adhim Az Zarqani, Manahil al Urfan fi ulum al Qur an, Tarj. Qadirun Nur, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002. hal 384-385
[5] Ibib. hal 385-389
[6] Shihab, Quraish Muhammad dkk. Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000, hal 19
[7] As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus, 1990), hal. 361-362
[8] Shihab, Quraish Muhammad, dkk, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an. Jakrta : Pustaka Firdaus. 2000, hal 94-98
[9] Rahmat, Jalaluddin, dkk, Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an, Jakarta : Lentera Basritama : 2002. hal 186-187
[10] Syadali Ahmad M.A dab Ahmad Rafi’i. Ulumul Qur’an II. Bandung : CV Pustaka Setia, 1997, hal 25-26
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan