BAB I
PENDAHULUAN
Ilmu Rasmul Qur’an adalah
ilmu yang mempelajari tentang penulisan Mushaf Al-Qur’an yang dilakukan dengan
cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya maupun bentuk-bentuk huruf
yang digunakan. Rasimul Qur’an dikenal juga dengan nama Rasm Utsmani.
Makalah yang kami buat
membahas tentang pengertian Rasm Al-Qur’an, hukumnya dan kedudukan Rasm
Al-Qur’an, perkembangan Rasm Al-Qur’an, kekeliruan penulisan, serta hubungan
Rasm Al-Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an.
Untuk lebih jelasnya mengenai
hal tersebut, pada bab selanjutnya akan dibahas secara lebih terperinci lagi.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Rasm Al-Qur’an
Yang
dimaksud dengan Rasm Al-Qur’an atau Rasm Utsmani atau Rasm Utsman adalah tata
cara menuliskan Al-Qur’an yang ditetapkan pada masa khlalifah bin Affan[1].
Istilah rasm dalam Islam Al-Qur’an diartikan sebagai pola penulisan al-Qur’an
yang digunakan Ustman bin Affan dan sahabat-sahabatnya ketika menulis dan
membukukan Al-Qur’an[2].
Istilah Rasm Ustman lahir bersamaan dengan lahirnya Mus bin zubair, Said bin
Al-Ash, dan Abdurrahman bin Al-harits. Mushaf Utsman ditulis dengan kaidah
tertentu[3].
Para
Ulama telah membicarakan rasam Al Qur an dan kata-kata yang tidak sesuai dengan
pengucapannya. Sebagian Ulama menyusun karya sendiri mengenai hal ini, antara
lain al-Imam Abu Amr Ad Daniy yang menyusun buku berjudul Al Muqanna’, Al
Allamah Abu Abbas Al Marakisyi yang menyusun buku berjudul ‘Unwan ad dalil fi
rusum Khath at Tanzil dan Al Allamah As Syaikh Muhammad bin Ahmad yang lebih populer
dengan panggilan Al Mutawaliy yang menyusun Nadham-nadham berjudul Al Lu’lu’
wal Mandhum fi Dzikr jumlah min al marsum. Kemudian muncul Al Allamah As Syaikh
Muhammad Khalaf Al Husaini, Guru Al Muqarri’ di kawasan mesir, yang mensyarah
nadham-nadham itu dan memberikan notasi pada syarah-syarah itu dalam sebuah
buku yang berjudul Mursyid Al Hairan ila ma’rifah ma yajib ittibauhu fi rasm al
Qur an[4].
B.
Kaedah rasmul qur’an
Para
Ulama meringkas kaidah-kaidah dalam rasmul qur’an menjadi 6 istilah, yaitu:
a.
Penghilangan huruf (al-hadzf)
Al-Hadzf ini terdiri dari enam bagian, yaitu:
1.
Menghilangkan huruf, alif
yaitu dari ya al-nida (يأ يها
النس) dari ha' al-tanbih (هأ
نتم); dari نا
dhamir(انجينكم) lajazh jalalah (الله) dari dua kata (الرحن) dan (سبحن);
sesudah huruf lam ( خلئف );
sesudah dua huruf lam dari semua mustanna (رجلن);
dari semua jama' shahih baik mudzakkar maupun muannats (سمعون) dan ( المؤ
منت) dari semua jamak yang satu pola dengan (مسجد) dan dari semua kata bilangan ( ثلث) dari basmallah dan sebagainya.
2.
Menghilangkan huruf ya, vaitu
huruf ya dibuang dari manqush munawwan (bertanwin), baik ketika berharakat
rafa' maupun jar (غير ياغ
ولاعاد); menghilangkan huruf ya' pada kata خافون، اتفون، اطيعون dan, selain yang dikecualikan.
3.
Menghilangkan huruf lam jika
dalam keadaan idqham (اليل) dan
(الذي) selain yang dikecualikan.
4.
Menghilangkan huruf waw,
yaitu jika terletak bergandengan (فاو
الى) dan (لا يستون).
Di samping itu, ada beberapa
penghilangan huruf yang tidak masuk kaidah. Misalnya penghilangan huruf alif
pada kata dan menghilangkan ya' dari kata ابراهيم
serta menghilangkan waw dari empat kata kerja (al-fil) يوم يدع، يمح الله، ويدع الا نسان dan سندع
الزبانيه
b.
Penambahan huruf(al-ziyadah)
Penambahan ini, yaitu alif
setelah waw pada akhir isim jamak atau yang mempunyai hukum jamak. Misalnya اولو الالباب, ملا قوا ربهم dan
بنو اسرائيل Di samping
itu menambah alif setelah Hamzah marsumah waw (Hamzah yang terletak di
atas tulisan waw). Misalnya, تا الله
تفتوا Yang asalnya di tulis تا الله تفتأ Demikian pada kata ماتة,
dalam ayat,فى كل سنبلة ما ئة حية kata الرسول Dalam ayat اطعنا الرسولا dan ,سبيل dalam ayat
فا ضلونا السميلا.
Demikian juga penambahan huruf ya pada kata
با يكمatau penambahan huruf waw
pada kataاولو، اوليك، اولاء Dan اولات.
c.
Kaidah Hamzah
Yaitu apabila hamzah
berharakat suku, maka di tulis dengan huruf yang beharakat sebelumnya. Misalnya
انذن Dan اوتمن,
selain yang dikecualikan. Adapun Hamzah yang berharakat, jika ia berada di awal
kata dan bersambung dengan Hamzah itu huruf tambahan, maka ia harus di tulis
dengan alif secara mutlak, baik berharakat fathah maupun berharakat kasrah.
Misalnya فياي، ساصرف، اولوا، ايون
selain yang dikecualikan. Sedangkan apabila Hamzah terletak di tengah maka ia
tulis sesuai dengan huruf harakatnya, yakni fathah dengan alif dan kasrah
dengan ya serta dlamah dengan waw. Misalnya
سئل، سال، تقرؤه
Tetapi apabila huruf yang sebelum Hamzah itu sukun, maka tidak ada tambahan.
Misalnya ملء الارض dan
الخبء selain yang dikecualikan.
Di samping itu, jika Hamzah
itu terletak di ujung, Makkah ia di tulis dengan huruf dari jenis harakat huruf
sebelumnya. Misalnya, kata سبا، لؤلو dan شاطئ .
d.
Menggantikan Huruf Dengan
Huruf Lain
Badl ini ada beberapa macam
yaitu :
1.
Huruf alif di tulis dengan
waw sebagai penghormatan pada kata الزكوة،
الصلوة dan الحيوة selain yang dikecualikan.
2.
Huruf alif yang di tulis
dengan huruf ya pada kata-kata seperti الى،
انى، على Yang berartiكيف (bagaimana)
بلى، متى dan لدى
selain kata dalam surat Yusuf.
3.
Huruf alif di ganti dengan
nun tawkid khafifah pada kata اذن.
4.
Huruf ta’ ta’nits (ة) di ganti dengan ta’ maftuhah (ت) pada kata رحمت sebagai yang terdapat dalam surat
al-baqarah, al-araf, hud, maryam, al-rum dan al-zukhruf. Di samping itu huruf
ta’ta’nits (ة) di tulis dengan ta’ maftuhah (ت) pada kata نعمت sebagai terdapat dalam surat al-baqarah,
ali imran, al maidah, ibrahim dan sebagainya.
e.
Menyambungkan dan memisahkan
huruf (al washl dan al fashl)
Washl dan fashl banyak
ragamnya yaitu :
1.
Kata ان dengan harakat fathah pada hamzahnya, di
susul dengan لا maka penulisannya bersambung dengan
menghilangkan huruf nun, misalnyaالا tidak di tulisان لا
kecuali pada kata ان لا
تقولو dan ان
لا تعبلوا.
2.
Kata من Yang bersambung dengan ما penulisannya disambungkan kata dan huruf
nun pada mimnya tidak di tulis, seperti مما
kecuali pada kalimat من ما ملكت ابما نكم Sebagai terdapat dalam Al-Qur'an surat
an-nis a’ dan ar-rum dan kata ممن رزقناكم dalam surat al-munafiqun.
3.
Kata من yang bersambung dengan من ditulis bersambung dengan
menghilangkan-min, sehingga menjadi kata
ممن bukan من
منَ
4.
Kata عن yang bersambung dengan ما
ditulis bersambung dengan menghilangkan nun, sehingga menjadi عماbukan عن
ما kecuali dalam
kalimat عن
ما نهوا عنه
5.
Kata ان yang bersambung dengan ما ditulis bersambung dengan menghilangkan
nun, sehingga menjadi اما
6.
Kata كل yang diiringi ما Di sambung sehingga menjadi كلما Kecuali pada firman Allah SWT من
كل ماسا لتموه dan كل ما ردوا الى الفتنة
f.
Kata yang bisa dibaca dengan
dua bunyi (ma’ fih qiratani)
Apabila ada dua ayat
Al-Qur'an yang memiliki versi qiraat yang berbeda yang dimungkinkan ditulis
dalam bentuk tulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka pola penulisannya sama
dalam setiap Mushaf Ustmaniy. Dalam Mushaf Ustmaniy, kata tersebut di tulis
dengan menghilangkan alif Misalnya, kalimat ملك
يوم الدين dan يخد
عون الله
Ayat-ayat tersebut boleh
dibaca dengan menetapkan alif (dibaca dua harakat) dan bisa dibaca sebagai
haknya lafzh (dibaca 1 harakat). Akan tetapi, apabila tidak memungkinkan
ditulis dalam bentuk tulisan yang sama, maka ditulis dalam Mushaf `Utsmaniy
dengan rasm al-mushaf yang berbeda. Misalnya kalimat ووصبها ابراهيم بنيه Dalam sebagian mushaf ustmaiy di tulis dan
di baca واوصى sedangkan dalam sebagian mushaf lainnya di
tulis dan dibaca ووصَ Dan
sebagainya[5].
C.
Hukum dan Kedudukan Rasm
Al-Qur’an
Kedudukan
rams Ustman dipersilahkan para ulama, apakah pola penulisan tersebut merupakan
petunjuk Nabi (tawqifi) atau hanya ijtihad para sahabat.
Jumbur
ulama berpendapat bahwa pola rams Utsmani bersifat dengan alasan bahwa para
penulis wahyu adalah sahabat-sahabat yang ditunjuk dan dipercayai Nabi saw.
Pola penulisan tersebut bukan merupakan ijtihad para sahabat Nabi, dan para
sahabat tidak mungkin melakukan kesepakatan (ijma) dalam hal-hal yang
bertentangan dengan kehendak dan restu Nabi[6].
Sekelompok
ulama berpendapat lain, bahwa pola penulisan didalam rams Ustmani tidak
bersifat taufiqi, tetapi hanya ijtihad para sahabat. Tidak pernah ditemukan riyawat
Nabi mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat Nabi
mengenai ketentuan pola penulisan wahyu. Bahkan sebuah riwayat dikutip oleh
Rajab Farjani : “Sesungguhnya Rasulullah saw, memerintahkan menulis Al-Qur’an,
tetapi tidak memberikan petunjuk teknis penulisannya, dan tidak pula melarang
menulisnya dengan pola-pola tertentu.
Beberapa
orang memperhatikan sikap yang berlebihan dengan menyatakan pendapat, bahwa
Rasm Qur’ani itu adalah tauqifi, yang metode penulisannya diletakkan sendiri
oleh Rasulullah Saw. Mereka mengaitkan Rasm Qur’ani itu kepada beliau, padahal
beliau adalah seorang Nabi yang tak kenal baca tulis. Mereka mengatakan bahwa
Nabi pernah berkata kepada Muawiyah, salah seorang petugas pencatat wahyu :
“Ambillah tinta, tulislah huruf” dengan qalam (pena), rentangkan huruf “baa”,
bedakan huruf “siin”, jangan merapatkan lubang huruf “miim”, tulis lafadz
“Allah” yang baik, panjangkan lafadz “Ar-Rahman”, dan tulislah lafadz
“Ar-Rahim” yang indah kemudian letakkan qalam-mu pada telinga kiri, ia akan
selalu mengingat Engkau. Ibnu Mubarak termasuk orang yang paling bersemangat
mempertahankan pendapat seperti itu. Dalam bukunya yang berjudul Al-Ibrizt ia
mencatat apa yang dikatakan oleh gurunya; Abdul Aziz Ad-Dabbagh, yang mengatakan
sebagai berikut :
“Tidak
seujung rambutpun dari huruf Qur’ani yang ditulis oleh seorang sahabat Nabi
atau lainnya. Rasm Qur’ani adalah tauqif dari Nabi (yakni atas dasar petunjuk
dan tuntunan langsung dari Rasulullah SAW). Beliaulah yang menyuruh mereka (para
sahabat) menulis rasm qur’ani itu dalam bentuk yang kita kenal, termasuk
tambahan huruf alif dan pengurangannya, untuk kepentingan rahasia yang tidak
dapat dijangkau akal fikiran, yaitu rahasia yang dikhususkan Allah bagi
kitab-kitab suci lainnya”[7].
Lagi
pula, seandainya itu petunjuk Nabi, rasm itu akan disebut rasm Nabawi, bukannya
rasm ‘Utsmani. Belum lagi ummi Nabi diartikan sebagai buta huruf, yang berarti
tidak mungkin petunjuk teknis datang dari Nabi. Tidak pernah ditemukan suatu
riwayat, baik dari Nabi maupun sahabat bahwa pola penulisan Al Qur’an itu
berasal dari Nabi.
Dengan
demikian, kewajiban mengikuti pola penulisan Al Qur’an versi Mushaf ‘Utsmani
diperselisihkan para ulama. Ada yang mengatakan wajib, dengan alasan bahwa pola
tersebut merupakan petunjuk Nabi (tauqifi). Pola itu harus dipertahankan
walaupun beberapa di antaranya menyalahi kaidah penulisan yang telah dibakukan.
Bahkan Imam Ahmad ibn Hanbal dan Imam Malik berpendapat haram hukumnya menulis
Al Qur’an menyalahi rasm ‘Utsmani. Bagaimanpun, pola tersebut sudah merupakan
kesepakatan ulama mayoritas (jumhur ulama).
Ulama
yang tidak mengakui rasm ‘Utsmani sebagai rasm tauqifi, berpendapat bahwa tidak
ada masalah jika Al Qur’an ditulis dengan pola penulisan standar (rasm imla’i).
Soal pola penulisan diserahkan kepada pembaca. Kalau pembaca lebih mudah dengan
rasm imla’i, ia dapat menulisnya dengan pola tersebut, karena pola penulisan
itu hanya simbol pembacaan, dan tidak mempengaruhi makna Al Qur’an.
D.
Perkembangan Rasm Al Qur’an
Pada
mulanya mushaf para sahabat berbeda antara satu dengan lainnya. Mereka mencatat
wahyu Al Qur’an tanpa pola penulisan standar. Karena umumnya dimaksudkan hanya
untuk kebutuhan pribadi, tidak direncanakan akan diwariskan kepada generasi
sesudahnya. Di antara mereka ada yang menyelipkan catatan-catatan tambahan dari penjelasan Nabi, ada lagi yang
menambahkan simbol-simbol tertentu dan tulisannya yang hanya diketahui oleh
penulisnya.
Seperti
diketahui, pada masa permulaan Islam mushaf Al Qur’an belum mempunyai tanda-tanda
baca dan baris. Mushaf Utsmani tidak seperti yang dikenal sekarang, dilengkapi
tanda-tanda baca. Belum ada tanda titik, sehingga sulit membedakan antara huruf
ya’ (ي)
dan ba’ (ب).
Demikian pula antara sin (س)dan
syin (ش), antara tha’ (ط) dan zha’ (ظ), dan seterusnya.
Kesulitan
mulai muncul ketika Islam mulai meluas ke wilayah-wilayah non Arab, seperti
Persia di sebelah timur, Afrika disebelah Selatan, dan beberapa wilayah non
Arab disebelah barat. Masalah ini mulai disadari para pemimpin Islam. Ketika
Ziyad ibn Samiyyah menjabat gubernur Bashrah pada masa Mua’wiyah ibn Abi Sofyan
(661-680 M) – riwayat lain menyebutkan pada masa pemerintahan Ali ibn Abi
Thalib – ia memerintahkan Abu Al-Aswad Al-Duwali membuatkan tanda-tanda baca,
terutama untuk menghindari kesalahan dalam membaca Al Qur’an bagi generasi yang
tidak hafal Al Qur’an.
Al-Duwali
memenuhi permintaan itu setelah mendengarkan suatu kasus salah pembacaan yang
fatal, yaitu : ان الله
برئ من المشركين ورسولُه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya
Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrik”.
Pada
suatu ketika seorang membaca ayat tersebut dengan :
ان الله
برئ من المشركين ورسولِه (التوبة ٩:۳)
“Sesungguhnya
Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan Rasul-Nya”.
Al-Dawali
memberikan tanda baca baris atas (fathah) berupa sebuah titik di atas huruf (ﹿ ), sebuah titik di bawah huruf ( ِ )
sebagai tana baris bawah (kasrah), tanda dhammah ben pa wawu kecil ( ُ ) diantara dua huruf, dan tanpa apa-apa lagi
huruf konsonan mati.
Selanjutnya
rams mengalami perkembangan. Khalifah Abdul ibn Marwan (685-705), memerintahkan
Al-Hajjaj ibn Yusuf Al-Saqafi untuk menciptakan tanda-tanda huruf Al-Qur’an
(nuqth al-Qur’an). Mendelegasikan tugas itu kepada Nashr ibn Ashim dan Yahya
ibu Ma’mur, keduanya adalah murid al-Duwali. Kedua orang inilah yang membubuhi
titik pada sejumlah huruf tertentu yang mempunyai kemiripan antara satu dengan
yang lainnya, misalnya penambahan titik diatas huruf dal ( د )
maka menjadi huruf dzal (ذ ). Dari pola penulisan tersebut akhirnya
berkembanglah berbagai pola penulisan dalam berbagai bentuk seperti pola kufi,
maghribi, naqsh, dll[8].
E.
Kekeliruan Penulisan
Mengenai
mushaf Utsamani, walaupun sejak awal telah dilakukan evaluasi ulang, ketika
dilakukan tauhid al-Mashahif, ternyata tidak luput dari kekeliruan dan
inkosistensi. Hal demikian terjadi karena pada masa dilakukannya tauhid
al-Mashahif, kaum muslimin belum begitu
mengenal dengan baik seni khath dan cara penulisan (usluh al-Kitabah).
Bahkan mereka beluim mengenal tulisan, kecuali beberapa orang saja. Adanya
kekeliruan (lahn) ini, diakui oleh Ustman sendiri. Ibnu Abi Daud meriwayatkan
bahwa setelah mereka menyelesaikan naskh Al-Mahsahif, mereka membawa sebuah
mushaf kepada Utsman, kemudian beliau melihatnya dan mengatakan : “Sungguh
kalian telah melakukan hal yang baik. Didalamnya aku melihat ada kekeliruan
(lahn) yang lanjutnya Utsman mengatakan : “Seandainya yang mengimlakan dan
Hudzail dan yang menulis dari tsaqif, tentu ini tidak akan terjadi diatasnya.
Waktu
akan diluruskan oleh (kemampuan) bahasa “mereka sepanjang sejarah tidak
dilakukan. Disini terdapat hikmah. Karena bila dilakukan, justru oleh
tangan-tangan ahli kebatilan yang mengatasnamakan istilah atas kekeliruan, atau
dijadikan mainan para pengekor hawa nafsu. Oleh karena itu pula, seperti
diatas, Ali bin Abi Thalib A.S mengatakan. “Sejak ini Al-Qur’an tidak dapat
diotak-ataik dan diubah-ubah[9].
F.
Hubungan Rasm Al Qur’an
Dengan Pemahaman Al Qur’an
Meskipun
mushaf Utsmani tetap dianggap sebagai satu-satunya mushaf yang dijadikan
pegangan bagi umat Islam diseluruh dunia dalam pembacaan Al-Qur’an, namun
demikian masih terdapat juga perbedaan dalam pembacaan. Hal ini disebabkan
penulisan Al-Qur’an itu sendiri pada waktu itu belum mengenal adanya
tanda-tanda titik pada huruf-huruf yang hampir sama dan belum ada baris
harakat. Bagi mereka (para sahabat dan tabi’in) memang tidak mempengaruhi
pembacaan Al-Qur’an, karena mereka telah fasih dalam pembacaan bahasa Arab.
Namun bagi mereka orang Islam non Arab akan meresa sulit untuk membedakan
bacaan-bacaan yang hampir sama tanpa menggunakan titik perbedaan dan baris
barakat.
Dengan
demikian hubungan rasmul Qur’an dengan pemahaman Al-Qur’an sangat erat. Karena
semakin lengkap petunjuk yang dapat ditangkap semakin sedikit pula kesulitan
untuk mengungkap pengertian-pengertian yang terkandung didalam Al-Qur’an.
Untuk
mengatasi permasalahan tersebut Abu Aswad Ad-Duali berusaha menghilangkan
kesulitan-kesulitan yang sering dialami oleh orang-orang Islam non Arab dalam
membaca Al-Qur’an dengan memberikan tanda-tanda yang diperlukan untuk menolong
mereka membaca ayat-ayat al-Qur’an dan memahami kandungan ayat-ayat al-Qur’an
tersebut[10].
BAB III
PENUTUP
Dari uraian diatas dapat kami
ambil sebuah simpulan yaitu sebagai berikut :
1.
Ilmu Rasmul Qur’an adalah
ilmu yang mempelajari tentang penulisan mushaf al-Qur’an yang dilakukan dengan
cara khusus, baik dalam penulisan lafal-lafalnya, maupun bentuk-bentuk huruf
yang digunakan.
2.
Orang yang pertama memberikan
tanda-tanda pada huruf-huruf yang hampir sama dan baris harakat adalah Abu
Aswad Ad-Duali.
3.
Kaidah yang digunakan dalam
penulisan mushaf usmani adalah :
a.
Al-Hadzf (membuang,
menghilangkan atau meniadakan huruf).
b.
Al-Jiyadah (penambahan)
c.
Al-Hamzah
d.
Badal (penggantian)
e.
Wasal dan Fasl (penyambungan
dan pemisahan)
f.
Kata yang dapat dibaca dan
bunyi.
4.
Dengan adanya Rasm Al-Qur’an
dapat memudahkan kita dalam membaca dan memahami kandungan Al-Qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar Rosihon, Ulumul
Qur’an. Bandung : Pustaka Setia. 2000.
Shihab, Quraish Muhammad,
dkk, Sejarah dan Ulum Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka Firdaus. 2000.
As-Shalih, Subhi, Membahas
Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus. 1990.
Rahmad, Jalaluddin, dkk, Belajar
Mudah Ulum Al-Qur’an. Jakarta : Lentera Basritama. 2002.
Syadali Ahmad, M.A dan Ahmad
Rafi’i. Ulumul Qur’an II, Bandung, CV. Pustaka Setia. 1997.
Syaikh Muhammad Abdul Adhim
Az Zarqani, Manahil al Urfan fi ulum al Qur an, Tarj. Qadirun Nur,
Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002
[1]
Anwar, Rosihon, Ulumul Qur’an, Bandung : Pustaka Setia. 2000. hal 50-52
[2]
Shihab, Quraish Muhammad dkk, Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an. Jakarta :
Pustaka Firdaus. 2000, hal 19
[3]
Anwar, Rosihon, op.cit
[4] Syaikh
Muhammad Abdul Adhim Az Zarqani, Manahil al Urfan fi ulum al Qur an, Tarj.
Qadirun Nur, Jakarta: Gaya Media Pratama. 2002. hal 384-385
[5]
Ibib. hal 385-389
[6]
Shihab, Quraish Muhammad dkk. Sejarah dan Ulumul Al-Qur’an, Jakarta : Pustaka
Firdaus. 2000, hal 19
[7]
As-Shalih, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Al Qur’an, (Jakarta : Pustaka Firdaus,
1990), hal. 361-362
[8]
Shihab, Quraish Muhammad, dkk, Sejarah Dan Ulum Al-Qur’an. Jakrta : Pustaka
Firdaus. 2000, hal 94-98
[9]
Rahmat, Jalaluddin, dkk, Belajar Mudah Ulum Al-Qur’an, Jakarta : Lentera
Basritama : 2002. hal 186-187
[10]
Syadali Ahmad M.A dab Ahmad Rafi’i. Ulumul Qur’an II. Bandung : CV Pustaka
Setia, 1997, hal 25-26
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon