Kedudukan As Sunnah Disisi Al Qur’an Dan Syari’at

I.                   Pendahuluan
Al-Qur’an merupakan kalam Allah yang diturunkan dengan perantara malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad Saw. untuk menjadi pedoman bagi umat manusia sepanjang zaman. Karena fungsinya yang sangat penting ini, maka kebanyakan ayat-ayat Al-Qur’an berisi prinsip-prinsip umum yang tidak aplikatif dan praktis.[1] Pengalaman ayat-ayat Al-Qur’an yang universal ini baru dapat dilaksanakan setelah ayat-ayat tersebut dikolerasikan, terutama dengan hadis-hadis Rasulullah Saw.

Al-Qur’an juga menyatakan bahwa Rasulullah adalah penafsir ayat-ayat Al-Qur’an. Lebih jauh, Al-Qur’an juga menerangkan fungsi Rasulullah yaitu mengumumkan wahyu kepada orang banyak, memberikan didikan moral pada umat, dan mengajarkan kitab suci serta kearifan. Dengan demikian Sunnah terkait erat dengan Al-Qur’an dan karenanya agak sulit untuk mengatakan bahwa keduanya adalah dua sunber yang terpisah.

Disamping itu, meskipun  tindakan-tindakan umat diatur oleh Al-Qur’an, Rasulullahlah yang memberikan bentuk-bentuk konkrit dan praktis bagi ajaran-ajarannya. Jadi dapat dikatakan bahwa Sunnah atau Hadis nabi adalah wujud aplikatif dan wajah konstektual Al-Qur’an. Namun demikian, tidak berarti bahwa Sunnah selamanya bersifat lokal dan dibatasi waktu. Para ulama’ sependapat bahwa Sunnah, disamping Al-Qur’an, adalah sumber utama syari’at islam.

II.                Rumusan Masalah
1.      Kedudukan Sunnah disisi Al-Qur’an
2.      Kedudukan Sunnah disisi Syari’at

III.             Pembahasan
       1.      Kedudukan Sunnah disisi Al-Qur’an
Para ulama sepakat bahwa kedudukan tertinggi adalah Al-Qur’an, sedangkan kedudukan Nabi berada pada posisi setelah Al-Qur’an. Kedudukan beliau tidak bersumber dari penerimaan komunitas atas keberadaan Nabi sebagai seorang yang mempunyai kekuasaan, tetapi kedudukan beliau diekspresikan melalui kehendak wahyu yang diturunkan Tuhan. Kehendak wahyu kepada seorang Nabi sebagai utusanNya, jelas terungkap dari beberapa ayat yang dimunculkan. Bahwa seorang Nabi semenjak diangkat telah diberi potensi oleh Tuhan. Sehingga sesuatu yang diterima Nabi atau yang dimilikinya adalah karunia atau hikmah.

Nabi Muhammad disamping diturunkan kepadanya Al-Qur’an, Allah juga menurunkan hikmah. Walaupun Al-Qur’an sendiri mengandung hikmah, tetapi disatu sisi hikmah juga dibedakan dengan Al-Qur’an. Kata-kata hikmah didalam Al-Qur’an banyak dijumpai.

Ar-Razi dalam tafsirnya al-Kabir menjelaskan dan berpendapat dalam menafsirkan ayat-ayat yang mengandung lafal al-hikmah dalam Al-Qur’an ada empat pengertian yaitu:
1.      Ajaran-ajaran Al-Quran, yaitu sebagaimana disebutkan dalam ayat: “Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, yaitu al-Kitab dan al-Hikmah. Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkanNya itu.
2.      Hikmah berarti paham dan mengerti (pemahaman dan pengetahuan). Ini terdapat dalam ayat: “Dan kami berikan kepadanya hikmah selagi ia masih kanak-kanak”. Dan ayat:”Dan sesungguhnya kami telah memberikan hikmah kepada Luqman”.  Dan ayat:”Mereka itulah orang-orang yang telah kami berikan kepada mereka kitab, hikmah (pemahaman agama) dan kenabian”.
3.      Hikmah berarti kenabian, sebagaimana yang tercantum dalam ayat ini:”Sesungguhnya kami telah memberikan kitab dan hikmah (kenabian) kepada keluarga Ibrahim”. Dalam ayat lain: “Dan kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) dan kebijaksanaan dalam menyelesaikan perselisihan”. Ayat lain: “kemudian Allah memberikan kepadanya (Dawud) kekuasaan dan hikmah (kenabian dan kitab zabur)”.
4.      Hikmah berarti Al-Qur’an dengan berbagai rahasianya yang menajubkan, seperti yang disebutkan dalam ayat ini: “Seluruh (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah”. Ayat lain: “ Dan barangsiapa yang dianugrahkan al-hikmah itu, ia benar-benar telah dianugrahi kebaikan yang banyak”.

Imam Syafi’i dalam Risalahnya menjelaskan, bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah sunnah rasul.[2] Ibnu Katsir juga mengatakan bahwa kata al-kitab dan al-hikmah tersebut adalah Al-Qur’an dan al-sunah,[3] meskipun Ibnu Katsir juga berpendapat bahwa hikmah bukan hanya kenabian, tetapi lebih umum dari itu, yang pengertiannya lebih dekat adalah kenabian dan yang lebih khusus lagi adalah kerasulan. Akan tetapi karena para nabi selalu mengikuti jalan yang baik (maknanya menjadi lebih umum), sebagaimana disebutkan dalam beberapa hadis.

            Bila dihubungkan antara pengertian hikmah dari ayat dan pendapat Imam Syafi’i, Ibnu Katsir dan lainnya, dapat dinyatakan bahwa sunah adalah bentuk aktual hikmah yang potensial. Konsekuensinya, sunah adalah juga firman Tuhan yang diwahyukan melalui jalur potensi kenabian.

Penegasan Al-Qur’an akan wewenang Sunnah
Uraian sebelumnya telah dikatakan bahwa hikmah adalah potensi nabi atau potensi yang diberikan tuhan kepada seseorang sebagai bekal kenabian. Hikmah juga dapat dikatakan intervensi tuhan sepenuhnya terhadap seorang nabi.maka apabila seorang nabi berbuat, secara langsung dapat dipahami adalah intervensi tuhan. Kaitannya dengan sunnah nabi secara jelas dapat dikatakan bahwa ini adalah hikmah. Karena sunnah nabi adalah perbuatan, perkataan yang telah dilakukan nabi dalam kehidupan sehari-hari. Dapat dikatakan ketika hikmah telah diaktualkan nabi, hal ini menjadi sunnah. Secara langsung dapat dipahami bahwa sunnah juga adalah wahyu selain al-qur’an.

Disamping itu, karena al-qur’an atau wahyu mengatakan bahwa al-kitab dan al-hikmah juga harus disampaikan kepada ummat. Maka bentuk hikmah yang ada pada nabi tidak hanya milik nabi, tetapi juga milik ummat. Bebrapa ayat menerangkan ini.[4] Lalu ketegasan apa yang diberikan oleh al-qur’an sehingga sunnah nabi adalah suatu hal yang harus dipatuhi. Dengan pengertian bawah apa yang dibawa nabi adalah suatu yang datang dari tuhana. Oleh karena itu penegasan otoritas nabi harus jelas, disamping itu melihat akan pentingnya keedudukan tersebut.

Secara umum, tugas kenabian adalah membawa petunjuk bagi manusia. Rasul bertugas menyampaikan apa yang diturunkan dari tuhan[5] inilah kewajiban seorang rosul[6] perintah tuhan teernyata tidak hanya kepada rosul, tetapi juga kepada yang lain, yaitu ummat sebagai manusia yang akan diberi petunjuk. Dan manusia wajib mentaati raosul-rosul yang dikirim tuhan. Bahkan dalam banyak ayat ketaatan kepada tuhan. Taat kepada rosul berarti taat kepada Allah[7] dan memang rosul diturunkan hanya untuk ditaati[8] taat kepada rosul adalah ciri orang mukmin[9] disamping itu dilarang mengkhianati rosul.[10]

Ayat-ayat diatas jelas menggambarkan kepada kita bahwa nabi ataupun seorang rosul mempunyai kedudukan yang sangat penting. Apa yang dibawanya juga adalah suatu kebenaran yang harus dipatuhi. Tidak mungkin tuhan memberikan legalasi akan ketaatan ummat kepadanya, jika tidak, itu merupakan bagian daripada wahyu yang harus dipatuhi melalui potensi kenabiannya. Dan ketaatan mengikuti rosul, baik semasa beliau hidup maupun setelah wafat, ayat-ayat tersebut juga dengan jelas dengan menunjukkan bahwa Rasulullah saw diutus hanyalah agar dipatuhi perintah-perintahnya dengan izin Allah, bukan sekedar tablig (menyampaikan) atau memberikan kepuasan.[11]

Fungsi Sunnah terhadap Al-Qur’an
            Al-Qur’an menyajikan ideologi Islam dalam bentuk yang umum, yang sesuai dengan keadaan yang selalu berubah di segala tempat dan zaman. Qur’an menyebut dirinya sebagai tuntunan dan bukan hukum. Haruslah dicatat bahwa Al-Qur,an kadang-kadang menerangkan dirinya sendiri, dan sebagai sebuah buku tuntunan (bidayah) ia tak melewatkan apapun yang berkaitan dengan hal-hal yang mendasar. Mengenai bentuk praktis kehidupan nyata yang harus diikuti oleh seorang muslim dan masyarakat secara keseluruhan, ia menunjukan dan menggariskan batas-batas dari berbagai segi kehidupan. Tugas Rasulullah untuk menyuguhkan ukuran-ukuran kehidupan praktis yang ideal dalam sinaran batas-batas yang dinyatakan Al-Qur’an. Sebenarnya Rasulullah diutus terutama untuk mencontohkan ajaran Al-Qur’an. Itulah sebabnya mengapa sunah dalam wataknya sendiri tak akan pernah berlawanan dengan Al-Qur’an, begitu pula Al-Qur’an tak akan berlawanan dengan sunah.

            Uraian diatas menggambarkan betapa pentingnya posisi sunah sebagai aplikasi dari Qur’an. Ulama berbeda pendapat dalam membagi fungsi sunah terhadap Qur’an. Abdul Wahab Khallaf dalam kitabnya Ushul fiqih membagi menjadi tiga hal:
1.      Ada kalanya As-Sunnah itu menetapkan atau mengukuhkan hukum yang telah ada dalam Al-Qur’an.
2.      Ada kalanya As-Sunnah itu merinci dan menafsirkan terhadap sesuatu yang datang dalam Al-Qur’an secara global, membatasi terhadap hal-hal yang datang dalam Al-Qur’an secara mutlak, atau mentakhshish sesuatu yang datang didalamnya secara umum.
3.      Ada kalanya sunnah itu menetapkan dan membentuk hukum yang tidak terdapat di dalam Al-Qur’an.

M, Quraish Shihab menerangkan hubungan Al-Quran dengan fungsi sunnah dengan mengutip pendapat Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha mengatakan, bahwa sunah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. 

Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi’i di dalam risalahnya. Abdul Halim menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi al-sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta’kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekedar menguatkan atau menggariskan kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir ayat-ayat Al-Quran.[12] Persoalan yang diperselisihkan adalah apakah hadis atau sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syari’at) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi Muhammad Saw. untuk ditaati.

Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, berdasarkan Inn al-hukm illa lillah, sehingga rasul pun harus merujuk kepada Allah (dalam hal ini Al-Quran), ketika menetapkan hukum.[13] Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi al-sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah.

2.      Kedudukan Sunnah disisi Syari’at
Melihat posisi penting Sunnah dan otoritas yang diberikan kepada Nabi Muhammad sebagai pengemban hikmah aktual dalam uraian di atas, lahir pertanyaan lanjutan apa sebenarnya fungsi Sunnah dalam kerangka syari’at Islam? Lebih khusus lagi apa fungsi pokok sunnah wahyu yang berdiri serasi dengan Al-Quran? Padahal sudah menjadi keyakinan umat Islam bahwa Al-Quran telah mengandung semua hal yang kita butuhkan, telah dapat memecahkan semua problem yang kita hadapi. Menjawab pertanyaan ini, uraian yang dibutuhkan adalah hubungan Al-Quran dengan Sunnah. Mengenai nisbah As-sunnah terhadap Al-Quran, sehubungan dengan penempatannya pada posisi utama sumber syari’at Islam, para ulama sepakat menempatkan pada tiga hal, sebagaimana yang telah dituturkan diatas. Sunnah sebagai penguat (muakkid) Al-Quran, sebagai penjelas (mubayyin), dan sebagai pembentuk hukum baru pada hal-hal yang tidak disebutkan dalam al-quran. Misalnya hadits nabi tentang sholat, puasa, haji, zakat, membunuh manusia tanpa hak, dan lain-lain.

Contoh hadits dengan fungsi penguat Al-Quran adalah hadits tentang rukun Islam. Nabi bersabda: “Islam adalah bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah rasul Allah, mendirikan sholat, mengeluarkan zakat, menunaikan puasa Ramadhan, dan mengerjakan haji bagi yang sudah mampu (HR. Muslim). Hadits ini menjadi muakkid  terhadap ayat-ayat sholat, zakat, puasa, dan haji. Fungsi kedua sebagai bayan (penjelas) dibagi menjadi tiga bagian, pertama, untuk membatasi kemutlakan lafadz Al-Quran (taqyid al-mutlaq), kedua untuk men-takhshish keumuman lafadz Al-Quran (takhshish al-‘am), dan ketiga, perincian mujmal Al-quran (tafsil al-mujmal). Contoh untuk fungsi kedua ini adalah surat An-nisa ayat 11. 

Allah berfirman: “Allah mensyari’atkan bagi kamu tentang pembagian harta pusaka untuk anak-anakmu...” ayat ini masih umum karena mencakup setiap orang yang mewariskan dan kepada setiap ahli waris. Kemudian Sunnah datang membuat pengkhususan bahwa warisan itu tidak berlaku bagi para nabi, “Kami para nabi tidak mewariskan sesuatu, apa yang kami tinggalkan adalah sodaqoh”. Fungsi ketiga adalah sebagai sumber syar’i pada hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-quran. Contoh hadits untuk funsi ketiga ini adalah tentang larangan Rasulullah memakan tiap-tiap binatang buas yang bertaring dan binatang yang berkuku tajam dari golongan burung (HR. Muslim). Memakan binatang bertaring dari golongan burung yang berkuku tajam tidak disebutkan dalamAl-Quran. Karena itu larangan pada hadits ini menjadi sumber syari’at baru.

Yusuf Qardhawi, melihat dengan cara yang berbeda dan meninjau dari aspek kemandirian sunnah. Menurutnya, kedudukan sunnah dalam Islam terangkum dalam tiga manhaj:
1.      Manhaj komperehensif yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia dalam dimensi panjang lebar dan dalamnya. Yang dimaksud adalah rentang waktu kehidupan manusia dalam aspek vertikal, horizontal, dan aspek lahir batinnya.
2.      Manhaj yang seimbang, diri dari manhaj ini adalah keseimbangan antar ruh dan jasad, akal dengan kalbu, dunia dengan akhirat, perumpaan dengan kenyataan, antara teori dengan praktek, antara alam yang ghoib dengan kasat mata, antara kebebasan dan tanggung jawab, dan lain-lain. Dengan kata lain, merujuk pada Al-quran Q.S. Al-baqoroh 143, ini merupakan manhaj yang bersifat “tengah-tengah”.
3.      Manhaj memudahkan, ciri-ciri manhaj ini adalah sunnah hadir untuk membawa kemudahan bagi manusia. Hal ini juga tercermin dalam Al-Quran “...menyuruh mereka mengerjakan apa yang ma’ruf dan melarang mereka mengerjakan yang mungkar, dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu yang ada pada mereka...” (Al-A’raf: 157).[14]

IV.             Kesimpulan
            Dari uraian diatas, bahwa sunah mempunyai peranan penting didalam Al-Qur’an, yaitu sunnah sebagai penguat Al-Qur’an, sebagai penjelas, dan sebagai pembentuk hukum baru pada hal-hal yang tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, dan sunnah sebagai sumber hukum Syari’at kedua setelah Al-Qur’an.

V.                Penutup
             Demikianlah makalah ini kami sampaikan, tentu masih jaih dari sempurna, maka kritik dan saran saudara sangat kami harapkan, untuk membantu kami lebih baik kedepannya. Kuramg lebihnya mohon maaf sebesar-besarnya.

      VI. Daftar Pustaka
- Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (terjemahan Agah Garnadi),Cet. 1, Bandung : Pustaka, 1984.
- Imam Syafi’i, Ar-Risalah (terjemah Ahmadie Thoha), Cet.III, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1986.
- Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (H.Salim Bahareisy, H. Said Baheiresy), jilid II, Surabaya, Bina Ilmu, 1990.

- M.M Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terjemahan dari studies in Early Hadits Literature oleh Ali Musthafa Yaqub), Jakarta, Pustaka Firdaus 1994.
-M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fumgsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan,1993.
- Dr. Moh. Ishom Yoesqi, dkk, Eksitensi Hadis dan Wacana Tafsir Temetik, Yogjakarta, Grafika Indah, 2007.




[1] Ahmad Hasan, Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup (terjemahan Agah Garnadi),(Cet. 1, Bandung : Pustaka, 1984), h. 40
[2] Imam Syafi’i, Ar-Risalah (terjemah Ahmadie Thoha), Cet.III, Jakarta, Pustaka Firdaus, 1986, hal 55-56.
[3] Ibnu Katsir, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (H.Salim Bahareisy, H. Said Baheiresy), jilid II, Surabaya, Bina Ilmu, 1990, hal 247.
[4] Qur’an, 2 : 151, 3, 164, 62 : 2.
[5] Qur’an, 5 : 67, 5 :99.
[6] Qur’an, 16 : 35.
[7] Qur’an, 48: 80.
[8] Qur’an, 4 : 64.
[9] Qur’an, 49 : 15.
[10] Qur’an, 8 : 27.
[11] M.M Azami, Hadits Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (Terjemahan dari studies in Early Hadits Literature oleh Ali Musthafa Yaqub), Jakarta, Pustaka Firdaus 1994, hal. 29.
[12] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Fumgsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Bandung, Mizan,1993, hal 122
[13] Ibid., hal 123
[14] Dr. Moh. Ishom Yoesqi, dkk, Eksitensi Hadis dan Wacana Tafsir Temetik, Yogjakarta, Grafika Indah, 2007, hal 25
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan