Kekuasaan Politik Bani Abbasiyah

I.                   Pendahuluan
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah merupakan lanjutan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan al;Abbas paman Nabi Muhammad saw. dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abdullah al-Shaffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abbas. Kekuasaannya berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sd. 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa , pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarkan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
1.      Periode pertama (132 H/ 750 M – 232 H/ 847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
2.      Periode kedua (232 H/ 847 M – 334 H/ 945 M), disebut periode pengaruh turki pertama.
3.      Periode ketiga (334 H/ 945 M – 447 H/ 1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Peride ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
4.      Periode keempat ( 447 H/ 1055 M – 590 H/ 1149 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah, biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5.      Periode kelima (590 H/ 1194 M – 656 H/ 1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaanya hanya efektif di sekitar kota Baghdad.

Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasanya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.[1]

II.                Rumusan masalah
A.    Munculnya dinasti-dinasti yang memerdekakan diri dari Baghdad
B.     Perkembangan Kebudayaan

III.             Pembahasan
A.    Munculnya dinasti-dinasti yang memerdekan diri dari Baghdad
Disitegrasi dalam bidang politik sebenarnya sudah mulai terjadi di akhir zaman Bani Umayyah. Akan tetapi berbicara tentang politik Islam dalam lintas sejarah, akan terlihat perbedaan antara pemerintahan dengan pemerintahan Bani Abbas. Wilayah kekuasaan Bani Umayyah, mulai awal berdirinya sampai masa keruntuhannya, sejajar dengan batas-batas wilayah kekuasaan Islam. Hal ini tidak seluruhnya benar untuk diterapkan pada pemerintahan Bani Abbas. Kekuasaan dinasti ini tidak pernah diakui di Spanyol dan seluruh Afrika Utara, kecuali Mesir yang bersifat sebentar-sebentar dan kebanyakan bersifat nominal. Bahkan dalam kenyataanya, banyak daerah tidak dikuasai khalifah. Secara riil, daerah-daerah itu berada di bawah kekuasaan gubernur-gubernur propinsi bersangkutan. Hubungannya dengan khalifah ditandai dengan pembayaran upeti.

Ada kemungkinan bahwa para khalifah Abbasiyah sudah cukup puas dengan pengakuan nominal dari propinsi-propinsi tertentu, dengan pembayaran upeti itu. Alasannya, pertama, mungkin para khalifah tidak cukup kuat untuk membuat mereka tunduk kepadanya. Kedua, penguasa Bani Abbas lebih menitik beratkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dari pada politik dan ekspansi.

Akibat dari kebijaksanaan yang lebih menekankan pembinaan dan kebudayaan Islam dari persoalan politik itu, propinsi-propinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari genggaman penguasa Bani Abbas. Ini terjadi dalam salah satu dari dua cara: pertama, seorang pemimpin lokal memimpin suatu pemberontakan dan berhasil memperoleh kemerdekaan penuh, seperti daulat Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah  di Maroko. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah, kedudukannya semakin bertambah kuat, seperti daulat Aghlabiyah di Tunisia dan Thahiriyah di Khurasan.

Kecuali Bani Umayyah di Spanyol dan Idrisiyah di Maroko, propinsi-propinsi itu pada mulanya tetap patuh membayar upeti selama mereka menyaksikan Baghdad stabil dan khalifah mampu mengatasi pergolakan-pergolakan yang muncul. Namun pada saat wibawa khalifah sudah memudar mereka melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad. Mereka bukan saja menggrogoti kekuasaan khalifah, tetapi beberapa diantaranya bahkan berusaha menguasai khalifah itu sendiri.[2]

Dinasti-dinasti yang lahir dan melepaskan diri dari kekuasaan Baghdad pada masa khilafah Abbasiyah, di antaranya adalah:
1.      Yang berbangsa Persia:
a.      Thahiriyah di Khurasan, (205-259 H/ 820-872 M).
b.      Shafariyah di Fars, (254-290 H/ 868-901 M).
c.       Samaniyah di Transoxania, (261-389 H/873-998 M).
d.     Sajiyyah di Azerbaijan, (266-318 H/ 878-930 M).
e.      Buwaihiyyah, bahkan menguasai Baghdad, (320-447 H/ 932-1055 M).
2.      Yang berbangsa Turki:
a.      Thuluniyah di Mesir, (254-292 H/ 837-903 M).
b.      Ikhsyidiyah di Turkistan, (320-560 H/ 932-1163 M).
c.       Ghaznawiyah di Afganistan, (351-585 H/ 962-1189M).
d.     Dinasti Seljuk dan cabang-cabangnya:
1)      Seljuk besar, atau Seljuk Agung, didirikan oleh Rukn al-Din Abu Thalib Tuqhrul Bek ibn Mikail ibn Seljuk ibn Tuqaq. Seljuk ini menguasai Baghdad dan memerintah selama sekitar 93 tahun (429-552 H/ 1037-1127 M).
2)      Seljuk Kirman di Kirman, (433-583 H/ 1040-1187 M).
3)      Seljuk Syria atau Syam di Syria, (487-511 H/ 1094-1117 M).
4)      Seljuk Irak di Irak dan Kurdistan, (511-590 H/ 1117-1194 M).
5)      Seljuk Rum atau Asia kecil di Asia kecil, (470-700 H/ 1077-1299 M).
3.      Yang berbangsa Kurdi:
a.      Al-Barzuqani, (348-406 H/ 959-1015 M).
b.      Abu Ali, (380-489 H/ 990-1095 M).
c.       Ayubiyah, (564-648 H/ 1167-1250 M).
4.      Yang berbangsa Arab:
a.      Idrisiyyah di Maroko, (172-375 H/ 788-958 M).
b.      Aghlabiyyah di Tunusia, (184-289 H/ 800-900 M).
c.       Dulafiyah di Kurdistan, (210-285 H/ 825-898M).
d.     Alawiyah di Tabaristan, (250-316 H/ 864-928 M).
e.      Hamdaniyah di Aleppo dan Maushil, (317-394 H/ 929-1002 M).
f.        Mazyadiyah di Hillah, (403-545 H/ 1011-1150 M).
g.      Ukailiyah di Mushil, (386-489 H/ 996-1095 M).
h.      Mirdasiyah di Aleppo, (414-472 H/ 1023-1079 M).
5.      Yang mengaku dirinya sebagai khilafah:
a.      Umawiyah di Spanyol
b.      Fathimiyah di Mesir.

Dari latar belakang dinasti-dinasti itu, nampak jelas adanya persaingan antar bangsa, terutama antara Arab, Persia, dan Turki. Di samping latar belakang kebangsaan, dinasti-dinasti itu juga di latar belakangi paham keagamaan, ada yang berlatar belakang Syi’ah, ada yang Sunni.[3]

B.     Perkembangan Kebudayaan
Zaman ini (Daulah Abbasiyah) adalah zaman keemasan Islam, demikian Jarji Zaidan memulai lukisannya tentang Daulah Abbasiyah. Dalam zaman ini, kedaulatan kaum Muslimin telah sampai kepuncak kemulyaan, baik kekayaan, kemajuan ataupun kekuasaan. Dalam zaman inilah telah lahir berbagai ilmu Islam, dan telah diterjemah berbagai ilmu penting kedalam bahasa Arab.

Istana para Khalifah menjadi medannya para penyair, para pujangga, para Ulama dan para sarjana. Daulah Abbasiyah mempunyai kedaulatan atas Dunia Islam, pada saat Eropa sedang tenggelam dalam kebodohan.

Pada saat itu Timur sedang berada dalam periode kebangkitan pikiran, dimana Islam datang menghembuskan semangat ini. Maka bangkitlah Persia, Turki, Tatar, Hindia, bahkan penduduk Cina dan Jepang turut bangkit kebudayaanya dimasa Daulah Abbasiyah.[4]

Popularitas daulah Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Makmun (813-833 M). Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah terdapat paling tidak sekitar 800 orang. Disamping itu, pemandian-pemandian umum juga dibangun. Tingkat kemakmuran yang paling tinggi terwujud pada zaman khalifah ini. Kesejahteraan sosial, kesehatan, pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Makmun, pengganti al-Rasyid, dikenal sebagai khalifah yang cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya, penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani, ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan kristen dan penganut agama lain yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang terpenting adalah pembangunan bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Makmun inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.[5]

Pengaruh dari kebudayaan bangsa yang sudah maju tersebut, terutama melalui gerakan terjemahan, bukan saja membawa kemajuan di  bidang ilmu pengetahuan umum, tetapi juga ilmu pengetahuan agama. Dalam bidang tafsir, sejak awal sudah dikenal dua metode, penafsiran pertama, tafsir bi al-ma’tsur, yaitu interpretasi tradisional dengan mengambil interpretasi dari Nabi dan para sahabat. Kedua, tafsir bi al-ra’yi, yaitu metode rasional yang banyak bertumpu kepada pendapat dan pikiran dari pada hadis dan pendapat sahabat. Ini menunjukkan bahwa tafsir metode bi al-ra’yi, sangat dipengaruhi oleh pemikiran filsafat dan ilmu pengetahuan. Hal yang sama juga terlihat dalam ilmu fikih dan terutama dalam ilmu teologi. Perkembangan logika dikalangan umat Islam sangat mempengaruhi perkembangan dua bidang ilmu tersebut. Imam-imam mazhab yang empat dalam bidang fikih, kelahiran aliran teologi Asy’ariyah juga pada zaman pemeritahan Abbasiyah.

Terlihat perkembangan ilmu pengetahuan umum, terutama  astronomi, kedokteran, filsafat, kimia, dan sejarah. Dalam lapangan astronomi terkenal nama al-Fazari, yang pertama kali menyusun astrolobe. Al-Fargani, yang dikenal di Eropa dengan nama Faragnus, menulis ringkasan ilmu astronomi yang diterjemahkan ke dalam bahasa latin olehGerrat Cremona dan johanes Hispalensis. Dalam lapangan kedokteran dikenal nama al-Razi dan ibnu Sina. Ar-Razi adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit cacar dan measles. Dia juga orang pertama yang menyusun buku kesehatan anak. Sesudahnya dilanjutkan ibnu Sina yang juga seorang filosof. Dia berhasil menemukan sistem peredaran darah pada manusia. Diantara karyanya adalah al-Qanun fi al-Thibb yang merupakan ensiklopedi kedokteran paling besar dalam sejarah.

Dalam bidang optika Abu Ali al-Hasan ibn al-Haitami, yang di Eropa dikenal dengan nama Alhazen, terkenal sebagaai orang yang menentang pendapat bahwa mata yang mengiri cahaya kebenda yang dilihat. Menurut teorinya yang kemudian terbukti kebenarannya yaitu bendalah yang mengiri cahaya ke mata. Di bidang kimia, terkenal nama Jabir ibn Hayyan. Di bidang matematika terkenal nama Muhammad ibn Musa al-khawarizmi, yang juga mahir dalam bidang astronomi. Dialah yang menciptakan ilmu aljabar. Dalam bidang sejarah terkenal nama al-Mas’udi, yang juga ahli geografi.

Tokoh-tokoh yang terkenal dalam bidang filsafat antara lain al-Farabi, ibnu Sina, dan ibnu Rusyd. Al-farabi banyak menulis buku tentang filsafat, logika, jiwa, kenegaraan, etika, dan interpretasi terhadap filsafat Aristoteles. Karangan ibnu Sina dalam filsafat yang terkenal  adalah al-Syifa’. Ibnu Rusyd lebih terkenal dengan nama Averreoes di barat.[6]


IV.             Penutup
Dari uraian diatas, bahwa munculnya dinasti-dinasti baru dalam pemerintahan Abbasiyyah, menunjukkan mulai melemahnya status sebagai khalifah yang ada pada pusat pemerintahan (Baghdad). Meskipun dalam perpolitikan melemah, namun tidak halnya dengan perkembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, yang justru berkembang dengan pesat sehingga ada yang menyebutnya zaman keemasan. Meskipun juga pada akhirnya sempat terjadi kemunduran di akhir-akhir dinasti Abbasiyah. WaAllahu A’lam bis showab.

            V. Daftar Pustaka

Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003.
A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang (cet. Pertama), 1975.



[1] Dr. Badri Yatim, M.A., Sejarah Peradaban Islam, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2003. Hal.49-50.
[2] Ibid, hal 63-64.
[3] Ibid, hal 56-66.
[4] A. Hasjmy, Sejarah Kebudayaan Islam, Jakarta, Bulan Bintang (cet. Pertama), 1975. Hal. 187.
[5] Dr. Badri Yatim, M.A., op.cit., hal 53.
[6] Ibid, hal 56-59.
Suka artikel ini ?

About Anonim

Admin Blog

Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon

Silakan berkomentar dengan sopan