Oleh: Zaimuddin Ahya’
Wajib bagi
kita untuk tidak tergesa-gesa menghukumi cacatnya rawi karena adanya
penghukuman dari sebagian ahli jarh wa ta’dil. Akan tetapi harus
diteliti terlebih dahulu.[1]
Kerap kali ditemukan mani’ yang bisa menolak celaan tersebut. Kadang
pen-jarh adalah orang yang cacat. Maka tidak boleh kita menerima sebelum
yang lain juga menyetujuinya. Kadang pula pen-jarh terlalu ketat
sehingga dia mencacat dengan kecacatan paling kecil. Pen-jarh seperti
ini diterima jika men-siqqah-kan rawi. Sedangkan dalam hal mencacatkan
rawi tidak diterima kecuali telah disetujui yang lain.[2]
Al-Sakhawi
dalam kitab “fath al-mughist” berkata bahwa al-Dzahabi membagi ulama’
yang memebahas para rawi menjadi beberapa bagian.
·
Ada yang membahas maoyoritas semua rawi (takallamu
fi aksar al-ruwat atau sair al-ruwat). Misalnya Ibnu Mu’in
dan Abu Hatim.
·
Ada juga yang membahas banyak rawi (takallamu
fi kasirin min al-ruwat). Misalnya Malik dan Syu’bah
·
Ada yang membahas orang demi orang,
yakni sebagian rawi saja (.takallamu fi al-rajul ba’da
al-rajul).Misalnya Ibnu Unainah dan al-Syafi’i
Selajutnya, semuanya itu
bisa dibagi kedalam tiga golongan.
1. Golongan
yang ketat atau keras dalam mencela dan sangat behati-hati dalam memberi
predikat adil kepada rawi (Muta’anit atau Mutasyaddid) seperti
Ibnu Ma’in. jika mereka men-tadh’if-kan rawi, maka harus diteliti dulu,
apakah kritikus yang lain sepakat. Jika sepakat dan tidak ada satupun dari
kritikus yang men-siqqahkan-nya maka rawi tersebut dihukumi dha’if.
Tapi jika ada satu saja yang men-siqqah-kan, maka jarh tidak
diterima kecuali ada penjelasan. Oleh karena itu al-Dzahabi mengatakan “tidak
bersepakat dua ulama’ untuk men-siqqah-an rawi dha’if atau men-tadh’if-kan
rawi yang siqqah”
2. Golongan
yang mudah (mutasammih) seperti al-Tirmidzi dan al-Hakim
3. Golongan
yang sedang, tidak terlalu mudah dan tidak terlalu ketat (muta’addil
atau mutawassit) seperti Ahmad.bin Hambal.[3]
Dalam
kitab “al-nukat” Ibnu Hajr berkata bahwa setiap generasi (tabaqat)
dari tokoh-tokoh yang mengkritik perawi hadits selalu ada yang ketat (mutasyaddid) dan yang sedang (mutawassit).
Pada tabaqat pertama adalah Syu’bah dan
Sufyan al-Sauri. Syu’bah lebih ketat dari Sufyan.
Pada
tabaqat kedua adalah Yahya al-Qattan dan Abdurrahman bin Mahdi. Yahya lebih
ketat dari Abdurrahman
Pada
tabaqat ketiga adalah Yahya bin Ma’in dan Ahmad bin Hambal. Yahya lebih
ketat dari Ahmad
Pada
tabaqat kelima adalah Abu Hatim dan al-Bukhari. Abu Hatim lebih Ketat
dari al-Bukhari
Al-Nasa’i
mengatakan “Tidak ditinggalakan seorang rawi sehingga semuanya sepakat
meninggalkannya”. Untuk itu, jika Ibnu Mahdi men-siqqah-kan,
sedangkan Yahya al-Qattan men-dha’if-kan, maka rawi tersebut tidak
ditinggalkan. Sebagaimana telah diketahui
betapa ketatnya Yahya.[4]
Al-Hafiz
berkata “Sebenarnya mazhab al-Nasa’i tidak muttasi’ (longgar). Berapa
banyak rawi yang telah ditakhrijkan oleh Abu Dawud dan al-Tirmidzi tapi ditolak
oleh al-Nasa’i.[5]
Al-Luknuri
dalam kitab al-takmil fi al-jarh wa al-ta’dil mengatakan bahwa ada
segolongan ulama’ dari tokoh jarh wa ta’dil yang terlalu ketat dalam
men-jarh-kan perawi , maka pernyataannya terhadap keadilan (ta’dil)
seorang rawi kita terima. Sedangkan untuk penjarahannya tidak langsung kita terima kecuali disetujui
oleh tokoh-tokoh lain yang tidak terlalu ketat. Misalnya Abu Hatim, al-Nasa’i,
Ibnu Khaththan, Ibnu Hibban, al-Daruqutni dan Ibnu Ady.[6]
Perlu
diketahui bahwa para kritikus yang ketat, mereka hanya ketat dalam men-jarh
sebagian penduduk daerah atau sebagian mazhab saja, tidak semuanya. Oleh karena
itu harus diteliti terlebih dahulu.
Misalnya
perkataan Ibnu Hajar dalam kitab Tahdzib al-Tahdzib “al-Jurjani
tulisannya tidak dianggap jika menyangkut orang-orang Kuffah”. Jadi, jarh
al-Jurjani kepada ahli kuffah tidak diterima, karena dia asyaddu inhiraf min
Ali r.a.
Kemudian
jarh yang dilakukan al-Dzahabi—dalam kitabnya “al-mizan” dan sir
al-nubala” dan karangannya yang lain—kepada para sufi dan wali-wali ummat.
Maka tidak bisa dibuat pijakan sebelum ada persetujuan dari ulama’ yang
tengah-tengah dan imam-imam yang jernih pemikirannya. Sebagaimana telah
diketahui bahwa al-Dzahabi termasuk orang yang sangat mengingkari terhadap Ibnu
Arabi dan kebanyakan para sufi.[7]
Tokoh-Tokoh
Kritikus Rawi Hadits yang Mu’tadil atau Mutawassit
1. Sufyan
al-saury (W 161 H)
2. Abdurahman
bin Mahdi (W 198 H)
3. Muhammad
bin Sa’d (W 230 H)
4. Ali
bin al-Madini (W 234 H)
5. Al-Imam
Ahmad bin Hambal (W 241 H)
6. Abu
Abdillah al-Bukhari (W 256 H)
7. Abu
Zur’ah al-Razi (W 263 H)
8. Abu
Dawud (W 275 H)
9. Ibnu
‘Adi (W 365 H)[8]
10. Al-Daruqutni
(W 385 H)[9]
[1] Imam Abi al-Hasanat Muhammad Abd al-Hayyi, al-Raf’u wa Al-Takmil Fi al-Jarh Wa al-Ta’dil, Dar
al-Aqsa, Hlm 64-65
[2] Imam Abi al-Hasanat Muhammad Abd al-Hayyi, al-Raf’u wa Al-Takmil
Fi al-Jarh Wa al-Ta’dil, Dar al-Aqsa, Hlm. 74-75 (Lihat juga “Sejarah dan
Pengantar Ilmu Hadits, Muhammad Hashby al-Syiddiqi, Pustaka Rizki Putra
Semarang, Hlm. 293-294
[3] Muhammad Hashby al-Syiddiqi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang; Putra Rizki Putra,
Hlm. 293-294
[4] Imam Abi al-Hasanat Muhammad Abd al-Hayyi, al-Raf’u wa Al-Takmil
Fi al-Jarh Wa al-Ta’dil, Dar al-Aqsa, Hlm. 306-307
[5] Imam Abi al-Hasanat Muhammad Abd al-Hayyi, al-Raf’u wa Al-Takmil
Fi al-Jarh Wa al-Ta’dil, Dar al-Aqsa, Hlm. 307
[6] Muhammad Hashby al-Syiddiqi,
Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Semarang; Putra Rizki Putra,
Hlm. 293-294
[7] Imam Abi al-Hasanat Muhammad Abd al-Hayyi, al-Raf’u wa Al-Takmil
Fi al-Jarh Wa al-Ta’dil, Dar al-Aqsa, Hlm. 308-318
[8] Memasukkan Ibnu ‘adi dalam golongan
mu’tadil masih ada perbincangan. Menurut kalangan Hanafiyah, Ibnu ‘Adi termasuk golongan muta’anit
sebagaimana yang dijelaskan penulis (Imam Abi al-Hasanat Muhammad Abd
al-Hayyi) dalam kitab “al-iqazd”
[9] Abdul Aziz Muhammad bin Ibrahim al-Abd al-Latif, Dhawabit
al-Jarh wa al-Ta’dil, Obekan
Riyad-Arab Sa’udi, Hlm 280-303
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon