I.
PENDAHULUAN
Tafsir
Al Baidhowi atau “Anwar at tanzil wa
asror at ta’wil” merupakan karya tafsir yang masyhur di kalangan umat
Islam, apalagi di kalangan muslim Sunni. Selain itu, kitab ini juga banyak yang
mengomentari (hasiyyah). Untuk lebih tau bagaimana sekilas tentang tafsir ini,
disini kami uraikan tentang tafsir Al Baidhawi atau “ Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Setting
Historis-Biografi Al-Baidhowi
2. Sejarah
pembuatan Tafsir Baidhowi
3. Bentuk
dan corak. Tafsir Baidhowi
4. Metodologi
Tafsir Baidhowi
III.
PEMBAHASAN
1.
Setting Historis- Biografis Al Baidhowi
Nama
lengkap Al Baidhowi adalah Nashiruddin Abul Khoir Abdullah bin Umar bin Muhammad
bin Ali Al Baidhowi As Syafi’i. Beliau dilahirkan di Baida’ sebuah daerah yang
berdekatan dengan kota syiroz di Iran Selatan. Di kota inilah Al Baidhowi
tumbuh dan berkembang menimba ilmu. Ia juga sempat tinggal dan belajar di
Baghdad hingga kemudian menjadi hakim agung di Syiroz mengikuti jejak ayahnya.[1]
Al
Baidhowi hidup dalam suasana politik yang tidak menentu. Sultan Abu bakar yang
memegang tampuk kekuasaan di Syiroz saat itu sangat lemah, tidak mempunyai
kekuatan yang cukup untuk membangun tatanan masyarakat yang baik. Bukan hanya
supremasi keadilan yang lemah, namun para elit yang berkuasa pun hidup dalam
budaya yang hedonis dan boros. Intervensi penguasa terhadap dunia peradilan pun
demikian kuatnya, sehingga banyak fuqoha yang menghawatirkan kemungkinan
diperintah untuk mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan syariat islam.
Mungkin, karena pertimbangan inilah
setelah mengikuti guru spiritualnya, Syeh Muhammad Khotai yang
memintanya keluar dari pemerintah yang menyebabkan Al Baidhowi mengundurkan
diri dari jabatan hakim agung.
Selepas
mengundurkan diri, Al Baidhowi
mengembara ke Tabriz hingga akhir hayatnya. Di kota inilah beliau berhasil
menulis salah satu karya monumentalnya berupa tafsir yang berjudul “Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”.
Mengenai tahun meninggalnya tidak ada kesepakatan di tangan ulama, Assubki dan
Al Asnawi menyebut tahun wafatnya adalah 691 H, semantara Ibnu Katsir tahun 685
H[2]
Karya-karya Al Baidhowi diantaranya :
a.
Anwar at tanzil wa asror at ta’wil
(bidang tafsir)
b.
Syarah Musyabih (Hadis)
c.
Tawali’ al anwar (teologi)
d.
Syarah Al Mahsul (Ushul fiqih)
e.
Syarah At tanbih (Fiqih)
2. Sejarah
penulisan tafsir “Anwar at tanzil wa
asror at ta’wil”
Kitab
ini merupakan kitab tafsir yang populer dalam umat islam, dan kitab tafsir ini
dinamai oleh Al Baidhowi sendiri dengan nama “Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”. Hal ini tampak dalam
pernyataan beliau yang terdapat dalam pengantar tafsirnya:
“Setelah melakukan shalat istikharoh,
saya memutuskan untuk melakukan apa yang telah saya niatkan, yaitu menulis dan
menyelesaikan apa yang telah saya harapkan. Saya akan menamakan kitab ini,
setelah penulisannya, dengan nama Anwar at tanzil wa asror at ta’wil”
Al
Baidhowi menyebutkan dua alasan yang mendesaknya untuk menulis tafsir ini.
Pertama, bagi beliau, tafsir dianggap sebagai ilmu yang tertinggi diantara ilmu
agama yang lain. Mengenai alasan yang pertama beliau menulis “Sesungguhnya ilmu yang paling tinggi
derajatnya dan paling mulya adalah ilmu tafsir. Ia adalah pemimpin ilmu-ilmu
agama dan kepalanya, fondasi dan dasar agama. Tidak pantas bagi seseorang untuk
bicara mengenainya kecuali bagi mereka yang menguasai pengetahuan agama, baik
yang ushul maupun yang furu’, dan ahli dalam bahasa dan sastra”.
Kedua,
melaksanakan apa yang diniatkan sejak lama yang berisi tentang fikiran-fikiran
yang terbaik. Dalam hal ini beliau menulis: “saya
telah lama berkeinginan menulis disiplin ini.... yang telah saya pelajari dari
para sahabat, tabiin dan kaum salaf. Buku yang juga akan mencakp
fikiran-fikiran terbaik yang saya, dan mereka sebelum saya, peroleh dari para
pendahulu dan para ulama...”.
Dalam
penulisan tafsir ini, beliau memperoleh dari gurunya (Syaikh Muhammad Al
Khata’i) yang menyarankan beliau untuk mundur dari jabatannya sebagai hakim
agung. Penulisan kitab tafsir ini pun dilakukan secara ringkas, tanpa
menguraikannya secara panjang lebar.[3]
Beberapa
penelitian terhadap tafsir Al Baidhawi, seperti Al Zahabi menyimpulkan bahwa
sang pengarang memiliki ketergantungan pada kitab-kitab tafsir terdahulu,
sehingga ada beberapa orang yan menganggap tafsir ini sebagai mukhtashar dari
tafsir Al Kasyaf karya Zamakhsyari, Mafatihul Ghaib karya Fakhruddin Ar Razi,
dan tafsir karya Al Raghib Al Asfahani. Hanya saja, Al Baidhawi melakukan
seleksi secara ketat, sehingga meninggalkan paham-paham yang di anut para
penulisnya.[4]
3.
Bentuk dan Corak penafsiran Al Baidhawi
Kitab
tafsir Al Baidhawi merupakan salah satu kitab tafsir yang mencoba memadukan
penafsiran secara bil ma’tsur dan bir ra’yi sekaligus. Dalam hal ini, beliau
tidak hanya memasukkan riwayat-riwayat dari Nabi dan para sahabat dalam
menafsirkan Al Qur’an, yang menjadi ciri khas dari penafsiran bil ma’tsur,
namun juga menggunakan ijtihad untuk memperjelas analisisnya atau memperkuat
argumentasinya.[5]
Dalam
menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an, Al Baidhawi sebenarnya tidak memiliki
kecenderungan khusus untuk menggunakan satu corak yang spesifik secara mutlak,
misalnya fiqih, akidah atau yang lain. Karyanya ini justru mencakup berbagai
corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqih, bahkan tasawuf. Hanya saja
sebagai seorang sunni, penafsira Al baidhawi memang cenderung kepada madzhab
yang diikutinya. Dan secara min bab al taghlib kitab tafsir ini lebih kental
nuansa teologinya. Meskipun Al Baidhawi banyak merujuk pada tafsir Al Kasyaf
karya Zamakhsyari yang beraliran muktazilah, Al Baidhawi meninggalkan, bahkan
seringkali mengkritik aspek-aspek kemuktazilahannya.[6]
Salah
satu ciri yang menjadi karakter dari kitab tafsir Al Baidhawi ini adalah bahwa
penulisannya senantiasa menggunakan bahasa yang ringkas, singkat dan pendek. Keringkasan
penggunaan bahasa dalam kitab tafsir ini secara nyata tampak dari jumlahnyayang
hanya dua jilid. Meski disiplin keilmuan yang digunakan dan sumber penafsiran
hampir sama dengan kitab Mafatihul Ghaib dan Al Kasyaf, namun kedua kitab ini
lebih tebal. Selain itu banyaknya syarah atau hasyiyah mungkin bisa disebut
sebagai salah satu indikasi sangat ringkasnya kitab tafsir ini.
4.
Metodologi yang digunakan Anwar at tanzil wa asror at ta’wil
Tafsir
Anwar at tanzil wa asror at ta’wil,
sebagaimana kebanyakan kitab-kitab tafsir saat itu, menggunakan metodologi tahlili (analitis) yang berupaya
menafsirkan ayat-ayat Al Quran secara berurutan sesuai dengan mushaf Usmani,
dari Al Fatihah sampai An Nas.
Dalam
menafsirkan al Quran, al Baidawi memanfaatkan berbagai sumber: ayat al Quran,
hadis Nabi, pendapat para sahabat dan tabi’in, dan pandangan para ulama
sebelumnya. Penggunaan tata bahasa dan qira’at menjadi bagian yang sangat
penting untuk memperkuat analisis dan penafsiran yang dilakukan al-Baidhawi.
Kisah-kisah israiliyat yang menjadi “bagian penting” dalam kitab-kitab tafsir
sebelumnnya diminimalisir. Kalaupun mengutip kisah-kisah tersebut al-Baidhawi
menyebutkannya dengan menggunakan istilah “ruwiya” (diriwayatkan) atau “qila”
(dikatakan). Menurut al-Zahabi, penggunaan kedua istilah ini menunjukkan bahwa
al-Baidhawi mengisyaratkan akan kelemahan kualitas kisah-kisah israiliyat
tersebut.
Dalam
mengoprasikan penafsirannya, langkah pertama yang dilakukan al-Baidhawi adalah
menjelaskan tempat turunnya surah (makki atau madani) dan jumlah ayt dari surah
yang sedang ditafsirkan tersebut. Setelah itu, al-Baidhawi menjelaskan ayat
satu per satu baik dengan menggunakan analisis kebahasaan, menyitir hadis-hadis
Nabi maupun qira’ah. Dia akhir hampir setiap surah, al-Baidhawi menyertakan
hadis-hadis yang menjelaskan tentang keutamaan surah yang baru saja
ditafsirkan.
Pendekatan
bahasa menjadi “menu utama” dalam setiap penafsiran al-Baidhawi. Dalam hal ini,
al-Baidhawi menjelaskan kata-kata dan istilah yang kurang jelas, menjelaskan
hubungan antara satu kata dengan kata yang lain, dan kadang-kadang menjelaskan
posisi kata dalam struktur kalimat. Hal ini dilakukan al-Baidhawi untuk
menguraikan maknanya. Dari sini sangat tampak bahwa al-Baidhawi memang sangat
menguasai beberapa karya ahli tata bahasa Arab, seperti Sibawayh, al-Khalil,
al-Mubarrad, Sa’lab dan lain-lain.
Menafsirkan
ayat al-Qur’an dengan menghubungkannya dengan ayat lain (atau yang sering
disebut dengan “hubungan internal”) merupakan bagian penting dalam tafsir
al-Baidhawi. Metode ini dilakukan dengan cara menghubungkan kata dalam ayat
yang sedang ditafsirkan dengan ayat lain yang dalam surah yang sama, atau
mencari makna kandungan ayat yang sedang ditafsirkan dengan melihat pada ayat
dan surah yang lain dari al-Qur’an. Penggunaan “hubungan internal” (munasabah)
ini tampak sangat kentara dalam tafsir al-Baidhawi.
Dalam
hal qiraat, al-Baidhawi tidak hanya menggunakan tujuh qiraat yang sering
dianggap sebagai al-qiraat al masyhurah, yaitu bacaan al-Qur’an yang
disandarkan pada tujuh imam: Ibnu Amir, Ibn Kasir, Asim, Abu Amr, Hamzah, Nafi’
dan al-Kisa’i. Al-Baidhawi tidak hanya memanfaatkan bacaan (qiraat) yang
diperkenankan oleh imam tujuh ini, tetapi juga menambahkan bacaan yang
diperkenalkan oleh tokoh-tokoh qiraah yang lain, seperti Ya’qub al-Hadhrami,
Abu Bakr, dan lain-laian yang masuk dalam kategori al-qiraat al syazzah.
Selain
mendasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan macam qiraat, dalam menafsirkan
al-Qur’an, al-Baidhawi juga sangat besar memberikan porsi kepada hadis Nabi
SAW. Hadis-hadis yang dikutip sebagai penjelas ayat yang sedang ditafsirkan,
kemudian hadis yang termasuk dalam kategori asbabun nuzul, dan hadis-hadis yang
lebih bersifat untuk menunjukkan keutamaan surat-surat yang ditafsirkan.[7]
5.
Contoh penafsiran al-Baidhawi
Sebagaimana
sudah dikemukakan, meskipun al-Baidhawi tidak memilih corak khusus secara
muthlak dalam memahami ayat al-Qur’an, namun dalam beberapa hal tampak nuansa
teologisnya. Dalam hal ini, al-Baidhawi berupaya untuk memegangpandangan kaum
sunni yang menjadi “mazhab” yang dianutnya. Sebagai contoh adalah ketika beiau
menafsirkan Qs. Al-Baqarah(2): 2-3:
“Sebagai petunjuk bagi orang yang bertaqwa,
(yaitu) orang yang percaya kepada yang ghaib, mendirikan shalat dan menafkahkan
sebagian rizki yang Kami anugrahkan kepada mereka.”
Setelah
memberikan penjelasan secukupnya mengenai ayat tersebut, al-Baidhawi mencoba
untuk mengemukakan makna “iman” dan “munafik” menurut pandangan mazhab
Ahlussunnah, Mu’tazilah dan Khawarij. Namun pada akhirnya beliau mentarjih
pandangan Ahlussunnah. [8]
IV.
Penutup
Tafsir
Al Baidhawi atau dengan nama Anwar at
tanzil wa asror at ta’wil merupakan tafsir yang populer dikalangan umat
islam, karena penulis tafsir ini bermadzhab sunni, dalam penafsirannya beliau
mengunggulkan madzhab sunni.
Mengenai
metodologi yang digunakan dalam tafsir ini adalah tahlili, sedangkan coraknya
mencakup berbagai corak, baik kebahasaan, akidah, filsafat, fiqih, bahkan
tasawuf. Dan secara min bab al taghlib kitab tafsir ini lebih kental
nuansa teologinya.
V.
Daftar Pustaka
Dosen
Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Study Kitab Tafsir, (Depok: Teras 2004),
Muhammad
Husain Al-Zahabi, At Tafsir wal Mufassirun, (tnp: ttp, 1976)
Al
Baidhawi, Anwar at tanzil wa Asrar at
ta’wil, (Beirut: Dar Shadar, ttp.).
[1] Dosen Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN
Sunan Kalijaga, Study Kitab Tafsir,
(Depok: Teras 2004), hal. 114-115.
[2]Muhammad
Husain Al-Zahabi, At Tafsir wal Mufassirun, (tnp: ttp, 1976), hal. 297.
[3] Dosen
Tafsir Hadits Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Op., Cit., hal. 118.
[4] Ibid,
hal 119. Lihat juga Al-Zahabi, At Tafsir..., hal. 297-298
[5] Ibid,
hal 120-121
[6] Ibid,
hal 121
[7] Ibid,
hal. 124
[8] Ibid,
hal. 125, untuk lebih jelasnya silakan baca: Al Baidhawi, Anwar at tanzil wa Asrar at ta’wil, (Beirut: Dar Shadar, ttp.)
hal.48-59
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon