Pendahuluan
Tafsir
merupakan karya manusia dan hasil pemahamannya terhadap Kalam Ilahi.
Menafsirkan al-Qur’an berarti bahwa manusia berusaha menangkap ide, gagasan,
dan makna yang terkandung dalam ayat. Karena ia hasil karya manusia, maka
penafsiran al-Qur’an selalu diwarnai oleh pemikiran mufassirnya, komentar dan
ulasannya mengenai suatu ayat merupakan manivestasi dari apa yang sedang ada
dalam pikirannya. Bahkan lebih dari itu, bahwa penafsiran terhadap suatu ayat
diwarnai oleh mazhab yang dianutnya.[1] Mufassir
yang konsen dalam bidang tasawuf, filsafat, sains, dan atau keadaan masyarakat
dimana mufassir itu berada, maka penafsirannya akan cendrung bercorak sufi,
falsafi, ilmi atau ijtima’i.[2]
Dalam
makalah ini secara khusus dibahas tentang secara spesifik tentang tafsir
corak al-adabi al-ijtima’i mulai dari pengertian, bagaimana
coraknya, dan contoh dari corak penafsiran ini. Semoga dengan penyajian makalah
ini dapat memberi sumbanagan dalam khazanah keilmuan.
Munculnya tafsir
corak Adabi Ijtima’i.
Abad
ke-19 dunia Islam mengalami masa suram, terus-menerus merosot, terbelakang dan
banyak Negara muslimin yang sedang menghadapi pendudukan asing. Pada masa
itulah muncul seorang pemimpin Jamaluddin al-Afghani, mengumandangkan seruan
untuk membangkitkan muslimin. Muridnya yang pertam yang mengikuti jejaknya
ialah Syaikh Muhammad Abduh. Dia yang mengajar pembaharuan dalam berbagai
prinsip dan pengertian Islam. Ia menghubungkan ajaran-ajaran agama dengan
kehidupan modern, dan memebuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan
dengan peradaban, kehidupan modern serta apa yang bernama kemajuan.[3] Maka
dari itulah lahirlah kitab-kitab tafsir yang tidak memberikan perhatian khusus
kepada segi-segi dan sisi-sisi kajian seperti nahwu, istilah-istilah dalam
balaghah,bahasa, dll. Perhatian pokok dari kitab-kitab tafsir ini adalah
memfungsikan al-Qur’an sebagai kitab hidayah dengan cara yang sesuai dengan
ayat-ayat al-Qur’an dan makna-maknanya yang bernilai tinggi, yaitu member
peringatan dan kabar gembira., oleh karena tafsir yang bermanfaat bagi ummat
Islam adalah tafsir yang menjelaskan al-Qur’an dari segi bahwa ia adalah kitab
yang berisi ajaran-ajaran agama yang menunjukkan kepada manusia cara untuk
mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.[4]
Corak
ataupun model penafsiran tersebut di kenal dengan nama al-Laun al-Adaby
al-Ijtima’i. Dan salah satu kitab tafsir yang bercorak seperti ini adalah
tafsir al-Manar yang merupakan hasil karya dari dua tokoh yang mempunyai
hubungan guru dan murid, yaitu Syaikh Muhammad Abduh dan Sayyid Muahammad
Rasyid Ridha.
Dalam
kajian ini tampaknya periodisasi yang dilakukan oleh Hasbi Ah-Shiddieqy, M.
Quraish Shihab dan Nashrudin Baidan memiliki kesamaan yakni era modern dan
kontemporer itu adalah sama. Perkembangan tafsir modern dan kontemporer dengan
metode tahlili dari sisi substansi tafsir, baik menyangkut isi, metode atau
corak berdasar karakter perkembangan tafsir tersebut. Maka menurut aliran atau
corak tafsir yang berkembang itu yang dapat kita klasifikasikan menjadi dua
bagian yaitu: aliran/corak tafsir klasik[5] dan
aliran/corak tafsir Modern/Kontemporer (al-Adabi al-Ijtima’i).[6]
Pengertian
Al-adabi
wa al-ijtima’i terdiri
dari dua kata, yaitu al-adabi dan al-ijtima’i. Corak tafsir yang memadukan filologi dan
sastra (tafsir adabi), dan corak tafsir kemasyarakatan.[7] Corak
tafsir kemasyarakatan ini sering dinamakan juga ijtima’i.[8] Kata al-adaby dilihat dari bentuknya termasuk mashdar (infinitif) dari kata kerja (madhi) aduba, yang berarti
sopan santun, tata krama dan sastra. Secara leksikal, kata tersebut bermakna
norma-norma yang dijadikan pegangan bagi seseorang dalam bertingkah laku dalam
kehidupannya dan dalam mengungkapkan karya seninya. Oleh karena itu,
istilah al-adaby bisa diterjemahkan sastra budaya.
Sedangkan kata al-ijtima’iy bermakna banyak
bergaul dengan masyarakat atau bisa diterjemahkan kemasyarakatan. Jadi secara
etimologis tafsir al-adaby al-Ijtima’i adalah
tafsir yang berorientasi pada satra budaya dan kemasyarakatan, atau bisa di
sebut dengan tafsir sosio-kultural.[9]
Corak
tafsir al-Adaby al-Ijtima’I adalah corak tafsir yang menjelaskan
petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan
masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit masyarakat
atau masalah-maslah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan
petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[10]
Jadi,
corak penafsiran al-Adaby al-Ijtima’ adalah corak penafsiran yang berorientasi
pada sastra budaya kemasyarakatan, suatu corak penafsiran yang menitik beratkan
penjelasan ayat al-Qur’an pada segi-segi ketelitian redaksionalnya, kemudian
menyusun kandungan ayat-ayatnya dalam suatu redaksi yang indah dengan
penonjolan tujuan utama turunnya ayat kemudian merangkaikan pengertian ayat
tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan
dunia.
Karakeristik tafsir
corak adabi ijtima’i.
Tafsir
ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri berbeda dan baru dari corak
tafsir lainnya dalam dunia tafsir. Corak tafsir ini berusaha memahami nash-nash
al-Quran dengan cara, pertama dan utama, mengemukakan ungkapan-ungkapan
al-Quran secara teliti, selanjutnya menjelaskan makna-makna yang dimaksud oleh
al-Quran tersebut dengan gaya bahasa yang indah dan menarik. Kemudian pada
langkah berikutnya, penafsiran berusaha menghubungkan nash-nash al-Quran yang
tengah dikaji dengan kenyataan sosial dan sistem budaya yang ada. Corak tafsir
ini pun berupaya mengkompromikan antara al-Quran dan teori-teori pengetahuan
yang valid.[11]
Inti
karakteristik tafsir persfektif modern (dan kontemporer) adalah menjadikan
al-Qur’an sebagai kitab petunjuk dan mengungkap ruh al-Quran. Ini lah inti
gagasan para penafsir era modern dan kontemporer (khususnya Muhammad Abduh)
dalam menafsirkan al-Quran. Bagi mereka, al-Quran seharusnya menjadi petunjuk
dan nilai-nilai universal al-Quran harus digali dan dijadikan pedoman dalam
masyarakat. Mereka mengkritik kecenderungan para penafsir sebelumnya yang
menafsirkan al-Quran dengan cara menganalisa susunan kalimatnya atau hanya
mengungkap sisi teknis kebahasaannya atau hanya memaparkan pendapat para ulama
yang saling berbeda, yang pada akhirnya tidak memberikan petunjuk apa-apa bagi
kehidupan.[12]
Pelopor dan kitab
Tafsir Corak al-Adabi al-Ijtima’i
Dalam bidang
kemasyarakatan dan politik, maka tafsir yang sangat dibanyak dipelajari adalah
tafsir yang terbit pada abad ke XIX dan XX.
Seperti kitab-kitab
tafsir yang di tulis berdasarkan metode ini, antara lain:
– Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H)
– Tafsir Al-Manar, oleh Rasyid Ridha (w. 1345 H)
- Tafsir Al-Maraghi,
oleh Syekh Muhammad Al-Maraghi (w. 1945 M)
- Tafsir Alquran
Al-Karim, karya Al-Syekh Mahmud Syaltut
- Tafsir Al-Wadhih,
karya Muhammad Mahmud Baht Al-Hijazi.
Contoh Tafsir Al-Adabi
Al-Ijtima’i
Pemikiran
Muhammad Abduh yang dimasukkan dalam penafsiran atas al-Qur’an, yang
dipublikasikan berdasarkan atas kitab yang diturunkan (wahyukan).perbedaan
dalam tujuan menafsirkan al-Qur’an itu tampak ketika beliau menafsirkan
al-Qur’an dengan menggunakan persepektif sosiologi, yang dapat menjelaskan
bahwa al-Qur’an al-Hakim itu merupakan sumber kebahagiaan baik dalam konteks
urusan agama dan urusan duniawi dalam setiap masa. Ketika spirit inilah,
Muhammad Abduh memiliki pandangan yang bertolak belakang dengan para ahli
tafsir klasik, bahwa nilai al-Qur’an it uterus mengalami peningkatan disebabkan
minimnya pengaruh konseptual dari aturan-atura balaghah tentang sinonimitas
kata dalam al-Qur’an. Hal itu sebagaimana dalam firman Allah yang
berbunyi: “sesungguhnya Allah adalah Dzat yang maha
penyayang serta pengasih kepada semua manusia”.
Maka yang harus
digaris bawahi dari bentuk penggunaan dua lafazh yang menunjukkan pada dua
makna yang sangat berdekatan ini adalah menggambarkan tartib (susunan) makna
yang ditunjukkan kedua lafazh tersebut, dengan menunjukkan lafzh yang datang
setelahnya itu memiliki makna yang lebih tinggi daripada makna lafazh
sebelumnya. Para ahli Balaghah kemudian menyebut kaidah ini dengan pola
peningkatan dari makna yang lebih rendah ke makna yang lebih tinggi (al-taraqi
min al-adna ila al-a’la). Serta pertayaan yang terkait dengan keyakinan: Apakah
para nabi itu lebih mulia derajatnya daripada derajat para malaikat? Maka
golongan Mu’tazilah dan sebagian dari golongan Asy’ari-al-Baqilani dan
al-Hilimi menyatakan bahwa para malaikat itu lebih utama derajatnya, sedangkan
mazhab Asy’ari pada umumnya menyatakan bahwa para nabi itulah yang memiliki
derajat yang lebih utama daripada malaikat.
Telah terjadi perdebatan sengit
seputar manakah yang lebih utama , ketika menafsirkan ayat 172 surat an-Nisa’
yang berbunyi: “Al-Masih sekali-kali tidak enggan menjadi
hamba bagi Allah, dan tidak (pula enggan) malaikat-malaikat yang terdekat
kepada Allah, barang siapa yang enggan untuk menyembah-Nya dan menyombongkan
diri, nanti Allah akan mengumpulkan mereka semua kepada-Nya”.pada
ayat tersebut para malaikat disebut setela nabi Isa menurut tartib ayat.
Jelaslah, bahwa (al-Baqarah; 142) tidak menganut kaidah tersebut. Lafazh “ra’uf” (yang maha pengasih) itu menunjukkan pada makna “kasih sayang yang sangat”, dan lafazh itu memiliki madlul (makna yang ditunjukkan) lebih kuat dari lafazh “rahim” yang jatuh setelahnya. Dalam tafsir al-Sya’bi karya al-Jalalain terdapat beberapa alasan (sebab) aat ini tidak mengikuti kaidah balaghah, karena lafazh itu memiliki kandungan makna yag lebih karena adanya pemisah.[13]
Penutup
Syaikh
Muhammad Rasyid Ridha telah merintis kebangkitan ilmiah dan memberikan buahnya
kepada murid-muridnya. Kebangkitan ini berpusat pada kesadaran Islami, upaya
pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika
kehidupan masa kini. Tokoh dalam corak penafsiran ini (al-Adaby al-Ijtima’i) adalah dan dilanjutkan oleh
ulama-ulama lain, terutama Muhammad Mustafa al-Maraghi. Muhammad Abduh yang
ketika itu baru berumur 26 tahun telah menulis dengan mendalam tentang
aliran-aliran filsafat, ilmu kalam (teologi) dan tasawuf, serta mengkritik
pendapat-pendapat yang dianggapnya salah.[14]
Corak
tafsir adabi ijtima’i adalah
karakterisitik utama tafsir modern (dan kontemporer) dengan menggunakan metode
tahlili. Corak ini sangat relevan dengan realitas perkembangan kehidupan
manusia dalam berbagai aspeknya. Singkatnya tafsir ini bisa menjadi solusi dari
beragam masalah yang dihadapi manusia era modern dan kontemporer).[15] Lebih
jauh lagi, karakteristik corak tafsir adabi ijtima’i ini
bisa ditelusuri dari tokoh-tokoh yang dianggap sebagai penggagasnya. Corak tafsir al-Adaby al-Ijtima’iadalah corak tafsir yang
menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat al-Qur’an yang berkaitan langsung
dengan masyarakat dan berorientasi pada sastra budaya kemasyarakatan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-“Aridl,
Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali Pers,
1992).
Al-Syirbashi,
Ahmad, Sejarah Tafsir al-Qur’an (Jakarta: Firdaus, 2001).
Baidan,
Nasiruddin, Metodologi Penafsiran Alqur’an, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2005).
________________,
Rekonstruksi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, tt.).
Goldziher,
Ignaz, Mazhab Tafsir
Karman,
Supiana-M, Ulumul Qur’an (Bandung: PUSTAKA ISLAMIKA, 2002).
Kholis,
Mohamad Nur dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran
Modern (Terj.). (Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.1997).
Mustaqim,
Abdul, Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi Penafsiran al-Quran
Periode Klasik hingga Kontemporer. (Yogyakarta: Nun Pustaka
Yogyakarta. 2003).
Syafi’i,
Rachmat, Pengantar Ilmu Tafsir (Bandung:
Pustaka Setia, 2006).
Syihab,
Quraih, Membumikan al-Qur’an (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2007)
_____________,
Studi Kritis Tafsir al-Manar (Bandung, PUSTAKA HIDAYAH, 1994)
Usman. Ilmu Tafsir. (Yogyakarta: Teras. 2009).
[1] Lihat: Nasiruddin
Baidan, Rekonstruksi Ilmu Tafsir, Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa,
hlm. 93-102.
[4] Ali Hasan al-“Aridl, Sejarah
dan Metodologi Tafsir (Jakarta: CV. Rajawali Pers, 1992), hlm. 69-70.
[5] Tafsir al-Qur’an
dengan metode penafsiran klasik terbentuk dengan metode: bi al ma’tsur, bi al-ra’yi, dan bi al-isyarah. Adapun corak yang mendominasinya,
pada tafsir klasik adalah salafi, i’tizali, sunny,
siyasi, falsafi, shufi dan fiqhi. Lihat
ade, Metodologi, hlm. 59.
[6] Sedangkan
penafsiran modern lebih pada metode tahlili, ijmali, muqaran dan
mawdu’i dengan corakilmi, adabi ijtima’i, bayani
ilhadi.Lihat ade, metodologi, hlm.
59.
[7]
Mohamad Nur Kholis dalam J. J. G. Jansen. Diskursus Tafsir al-Quran
Modern (Terj.). (Yogyakarta: Tiara wacana Yogya.1997). Hlm.xi dan Abdul
Mustaqim. Mazahibut. Hlm. 25-26.
[12]
Abdul Mustaqim. Madzahibut Tafsir: Peta Metodologi
Penafsiran al-Quran Periode Klasik hingga Kontemporer. (Yogyakarta:
Nun Pustaka Yogyakarta. 2003). Hlm. 91.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon