I.
PENDAHULUAN
1.
Latar
Belakang
Mempelajari Pancasila
sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan
hidup bangsa Indonesia adalah kewajiban moral seluruh warga negara Indonesia.
Pancasila yang benar dan sah (otentik) adalah yang tercantum dalam alinea keempat
Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu ditegaskan melalui Instruksi
Presiden RI No.12 Tahun 1968, tanggal 13 April 1968. Penegasan tersebut
diperlukan untuk menghindari tata urutan atau rumusan sistematik yang berbeda,
yang dapat menimbulkan kerancuan pendapat tentang isi Pancasila yang benar dan
sesungguhnya.
Dalam rangka
mempelajari Pancasila, Laboratorium Pancasila IKIP Malang (1986:9-14)
menyarankan dua pendekatan yang semestinya dilakukan untuk memperoleh pemahaman
secara utuh dan menyeluruh mengenai Pancasila. Pendekatan tersebut adalah
pendekatan yuridis-konstitusional dan pendekatan komprehensif.
Pendekatan yuridis-konstitusional
diperlukan guna meningkatkan kesadaran akan peranan Pancasila sebagai sumber
dari segala sumber hukum, dan karenanya mengikat seluruh bangsa dan negara
Indonesia untuk melaksanakannya. Pelaksanaan Pancasila mengandaikan tumbuh dan berkembangnya
pengertian, penghayatan dan pengamalannya dalam keseharian hidup kita secara
individual maupun sosial selaku warga negara Indonesia.
Pendekatan
komprehensif diperlukan untuk memahami aneka fungsi dan kedudukan Pancasila
yang didasarkan pada nilai historis dan yuridis-konstitusional Pancasila:
sebagai dasar negara, ideologi, ajaran tentang nilai-nilai budaya dan pandangan
hidup bangsa Indonesia. Telaah tersebut dilakukan dengan pertimbangan bahwa
selain merupakan philosphische grondslaag dasar filsafat Negara Republik
Indonesia, Pancasila pun merupakan satu kesatuan sistem filsafat bangsa atau
pandangan hidup bangsa (Ing: way of life; Jer: weltanschauung).
2.
Pokok Masalah
a)
Sekilas Sejarah Pancasila
b)
Pancasila dan nasionalisme religius
II.
ANALISIS
1.
Sejarah
Singkat Pancasila
Proses
awal rumusan Pancasiladiperkenalkan oleh Ir. Soekarno dalam rapat BPUPKI yang
diketuai Dr. Radjiman Widyodiningrat pada tanggal 1 Juni 1945 di Pejambon,
Jakarta dengan rumusan :
1)
Kebangsaan
Indonesia,
2)
Internasionalisme
atau perikemanusiaan,
3)
Mufakat atau
demokrasi,
4)
Kesejahteraan
sosial,
5)
Menyusun
Indonesia merdeka dengan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Semula
Soekarno menyebut Panca Dharma dan menurutnya atas saran seorang ahli bahasa
(konon adalah Mr. M. Majin) lalu lebih tepat dinamakan dengan istilah
Pancasila. Inilah proses awalnya, belum sampai tahap putusannya, namun
merupakan dokumen historis yang penting.[1]
Dalam
perdebatan-perdebatan selanjutnya dibentuk Panitia persiapan keerdekaan
Indonesia (PPKI) yang diketuai Ir. Soekarno. Kemudian dibentuk Panitia kecil
yang beranggotakan sembilan orang, yaitu :
1)
Ir. Soekarno
2)
Drs. Mohammad
Hatta
3)
Mr. A.A.
Maramis
4)
Abisukno
Tjokrosoerojo
5)
Abdul Kahar
Muzakkir
6)
H. Agus Salim
7)
Mr. Ahmad
Soebardjo
8)
Wahid Hasyim
9)
Mohammad Jamin
Panitia
kecil ini berhasil membuat rumusan yang kemudian terkenal dengan istilah Piagam
Jakarta tertanggal 22 Juni 1945, dengan rumusan Ketuhanan “dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Dari
seluruh konstitusi yang pernah kita miliki, yaitu Uud 1945 (asli), Konstitusi
RIS 1949, UUD Sementara 1950, Dekrit Presiden 5 Juli 1959, dan yang terakhir
hasil dari amandemen, yang sekaligus ditetapkannya Pembukaan UUD 1945 (di
dalamnya ada rumusan Pancasila) dan NKRI sebagai tidak bisa diamandemen lagi.
Dengan demikian hanya Pancasila 18 Agustus itulah Konsensus nasional sebagai
pemersatu bangsa, dan itulah satu-satunya ideologi negara dan karena itu hanya
Pancasila 18 Agustus itulah yang legal formal dan bisa diperingati secara resmi
oleh kelembagaan negara.
2.
Pancasila
dan Nasionalisme Religius
Kelahiran Pancasila sebagai dasar bagi negara
Indonesia merdeka tidak bisa dilepaskan dari gagasan tentang konstruksi
negara-bangsa (nation-state). Itulah sebab para pengusul Pancasila sebagai
dasar negara dalam sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), di antaranya Soekarno dan Hatta, disebut sebagai kalangan
nasionalis. Kalangan nasionalis menjadi mitra debat kalangan islamis. Disebut
kalangan islamis karena mereka menggagas konstruksi Indonesia merdeka sebagai negara-
Islam (Islamic-state) atau Islam sebagai dasar negara.[2]
Walaupun sebagian besar kalangan nasionalis juga
beragama Islam, mereka tidak disebut sebagai kalangan islamis dalam konteks ini
karena gagasan tentang konstruksi Indonesia merdeka tidak berorientasi “hanya
kepada Islam”. Kalangan nasionalis mendapatkan gagasan tentang konsep
negara-bangsa dari negara-negara Eropa yang telah terlebih dulu menggunakannya.
Latar
belakang sejarah kelahiran konsepsi negara-bangsa di Eropa adalah penentangan
kaum reformis terhadap konsep penyatuan (integralistik) antara gereja (Katolik)
dan negara. Dengan kata lain, gagasan tentang negara-bangsa di Eropa muncul
karena tuntutan pemisahan antara agama dan negara.Penyatuan antara keduanya
telah menyebabkan berbagai bentuk penyelewengan kekuasaan.
Namun,
alur berpikir kalangan nasionalis tersebut belum bisa ditangkap secara
komprehensif oleh kalangan islamis sehingga menyebabkan kalangan islamis
menolak habis-habisan konsep negarabangsa. Mereka berpandangan bahwa konsep
negara-bangsa adalah konsepsi tentang konstruksi negara yang sekuler yang akan
menyebabkan agama terpinggirkan dari negara.
Karakter
negara-bangsa sebagai konstruksi Negara Republik Indonesia sesungguhnya berbeda
secara sangat signifikan dengan konsepsi negara bangsa yang lahir di Eropa.
Dengan konsepsi negara-bangsa berdasarkan Pancasila yang sila pertamanya adalah
Ketuhanan Yang Maha Esa, para pendukung gagasan negara bangsa di Indonesia
tidak hendak memisahkan agama dan negara, sebagaimana terjadi di Eropa,
melainkan hanya tidak menjadikan agama tertentu sebagai dasar negara Indonesia
merdeka.
Keislaman
seorang Soekarno yang pernah menjadi murid, bahkan juga pernah menjadi menantu,
HOS Cokroaminoto itu tidak bisa diragukan.Keislaman Hatta, yang pemikiran-
pemikiran ekonominya dipandang memiliki dasar pijakan yang kuat dari perspektif
Islam, juga tidak dapat diragukan.Keduanya berpandangan bahwa dengan
mengonstruksi Indonesia sebagai negara bangsa tidak lantas akan menyebabkan
agama Islam terpinggirkan.[3]
Apalagi
mayoritas penduduk Indonesia adalah Islam. Soekarno bahkan berpandangan
simpel,tapi sangat logis bahwa jika Islam terpinggirkan dalam negara yang
mayoritas penduduknya Islam, kaum muslim yang ada di dalamnya perlu
ditingkatkan kualitasnya. Selain itu,kebangsaan yang dimaksud di Indonesia juga
berbeda dengan konsepsi kebangsaan di Eropa sebab kebangsaan di Eropa
disebabkan oleh kesamaan bangsa yang lebih disebabkan oleh garis keturunan yang
sama.
Namun,di
Indonesia perasaan sebagai satu bangsa lebih disebabkan oleh perasaan senasib
yang disebabkan oleh faktor penjajahan walaupun mereka berbeda suku,adat,ras,
dan agama (SARA). Karena itu,konsepsi negarabangsa dalam konteks ini,
sebagaimana dikatakan Soekarno, bukan hendak mengerdilkan agama, melainkan
hendak menempatkan agama-agama yang ada dan dipeluk oleh warga negara Indonesia
dalam posisi yang sama di hadapan negara.
Dalam
konteks ini, nasionalisme Indonesia dengan dasar Pancasila adalah nasionalisme
religius, yakni nasionalisme yang tetap menjadikan agama sebagai dasar. Namun,
agama yang dimaksud di sini bukanlah satu agama tertentu, melainkan seluruh
agama yang diakui oleh negara.
III.
PENUTUP
Makalah
ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari
embaca sangat kami harapkan.
DAFTAR
PUSTAKA
A.
M. Fatwa, Pancasila Karya Bersama Milik Bangsa, The Fatwa Centre :
Jakarta, 2010.
Deliah
Noer, Islam dan Politik, Yayasan Risalah : Jakara, 2003.
Mohammad
Nasih, Pancasila dan Nasionalisme Religius, artikel yang dimuat di koran
Sindo tertanggal 31 Mei 2012.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon