I. Pendahuluan
“Knowledge is power”. Kutipan yang terkenal dari Francis Bacon tersebut jelas mengungkapkan pentingnya pendidikan bagi manusia. Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Sebab, manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus dan berkembang. Proses olah cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan pendidikan. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh kebelakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan adopsi dari berbagai model pendidikan di masa lalu.
Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terkonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan media pembelajaran yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.
Membicarakan dinamika pendidikan, tidak bisa dilepaskan dari membicarakan lembaga pendidikan sebagai tempat berlangsungnya interaksi proses belajar mengajar. Sistem pendidikan sering dipahami sebagai suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga formal, agen-agen, serta organisasi dengan mentransfer pengetahuan, warisan kebudayaan serta sejarah kemanusiaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual, dan intelektual. Artinya, sistem pendidikan tidak bisa dipisahkan dari sistem-sistem di luarnya, seperti sistem politik, sistem tata laksana, sistem keuangan, dan sistem kehakiman.
Karena itu kalau kita hendak memahami sistem pendidikan islam, misalnya dibutuhkan informasi yang menyajikan konstruk sosial, politik, dan pemikiran tokoh keagamaan islam pada masa-masa tertentu. Dalam makalah ini akan bi bahas mengenai model atau sistem pendidikan di jawa dari masa Hindhu-Budha.
II. Rumusan Masalah
1. Pendidikan pada masa Hindu-Buddha
2. Pendidikan di Kerajaan Hindu-Buddha
III. Analisis
1. Pendidikan pada masa Hindu Buddha
Pembahasan sejarah Hindu Buddha di Indonesia kerap di awali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: kerajaan Hindu Buddha di Kutai [kalimantan]. Di Jawa barat muncul kerajaan Hindu Tarumanegara. Pada masa ini lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia khususnya di Jawa sejak periode permulaan. Pada masa ini pendidikan melekat dengan agama.
Sistem pendidikan pada masa lalu baru dapat terekam dengan baik pada masa Hindu-Buddha. Menurut Agus Aris Munandar dalam tesisnya yang berjudul Kegiatan Keagamaan di Pawitra Gunung Suci di Jawa Timur Abad 14—15(1990). Sistem pendidikan Hindu-Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.
Patapan memiliki arti tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan dapat sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah Resi/Rsi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja.
Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan nagara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewaguru.
Berdasarkan keterangan yang terdapat pada kropak 632 yang menyebutkan bahwa ” masih berharga nilai kulit musang di tempat sampah daripada rajaputra (penguasa nagara) yang tidak mampu mempertahankan kabuyutan atau mandala hingga jatuh ke tangan orang lain” (Atja & Saleh Danasasmita, 1981: 29, 39, Ekadjati, 1995: 67), dapat diketahui bahwa nagara atau ibu kota atau juga pusat pemerintahan, biasanya dikelilingi oleh mandala. Dalam hal ini, antara mandala dan nagara tentunya mempunyai sifat saling ketergantungan. Nagara memerlukan mandala untuk dukungan yang bersifat moral dan spiritual, mandala dianggap sebagai pusat kesaktian, dan pusat kekuatan gaib.
Dengan demikian masyarakat yang tinggal di mandala mengemban tugas untuk melakukan tapa. Kemakmuran suatu negara, keamanan masyarakat serta kejayaan raja sangat tergantung dengan sikap raja terhadap kehidupan keagamaan. Oleh karena itu, nagara perlu memberi perlindungan dan keamanan, serta sebagai pemasok keperluan yang bersifat materiil (fasilitas dan makanan), agar para pendeta/wiku dan murid dapat dengan tenang mendekatkan diri dengan dewata.
Pendapat lain mengatakan bahwa pada masa Hindu-Budha, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruang diskusi dan seminar.
Dalam perkembangannya, kebudayaan Hindu-Budha membaur dengan unsur-unsur asli Indonesia dan memberi ciri-ciri serta coraknya yang khas. Sekalipun nanti Majapahit sebagai kerajaan Hindu terakhir runtuh pada abad ke-15, tetapi ilmu pengetahuannya tetap berkembang khususnya di bidang bahasa dan sastra, ilmu pemerintahan, tata negara dan hukum. Beberapa karya intelektual yang sempat lahir pada zaman ini antara lain:
a) Arjuna Wiwaha karya Mpu Kanwa (Kediri, 1019)
b) Bharata Yudha karya Mpu Sedah (Kediri, 1157)
c) Hariwangsa karya Mpu Panuluh (Kediri, 1125)
d) Gatotkacasraya karya Mpu Panuluh
e) Smaradhahana karya Mpu Dharmaja (Kediri, 1125)
f) Negara Kertagama karya Mpu Prapanca (Majapahit, 1331-1389)
g) Arjunawijaya karya Mpu Tantular (Majapahit, ibid)
h) Sotasoma karya Mpu Tantular, dan
i) Pararaton (Epik sejak berdirinya Kediri hingga Majapahit).
Menjelang periode akhir tersebut, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosal, tetapi oleh para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid disini selain belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Jadi secara umum dapatlah disimpulkan bahwa:
a) Pengelola pendidikan adalah kaum brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi;
b) Bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain;
c) Kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu;
d) Pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun-temurun melalui jalur kastanya masing-masing.
2. Pendidikan di Kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia
a. Sriwijawa
Sriwijaya menjadi kerajaan besar adalah karena kehidupan sosial masyarakatnya meningkat dengan pesat terutama dalam bidang pendidikan dan hasilnya Sriwijaya terbukti menjadi pusat pendidikan dan penyebaran agama Budha di Asia Tenggara. Hal ini sesuai dengan berita I-Tshing pada abad ke 8 bahwa di Sriwijaya terdapat 1000 orang pendeta yang belajar agama Budha di bawah bimbingan pendeta Budha terkenal yaitu Sakyakirti. Di samping itu juga pemuda-pemuda Sriwijaya juga mempelajari agama Budha dan ilmu lainnya di India, hal ini tertera dalam prasasti Nalanda. Kemajuan di bidang pendidikan yang berhasil dikembangkan Sriwijaya bukanlah suatu hasil perkembangan dalam waktu yang singkat tetapi sejak awal pendirian Sriwijaya, raja Sriwijaya selalu tampil sebagai pelindung agama dan penganut agama yang taat. Sebagai penganut agama yang taat maka raja Sriwijaya juga memperhatikan kelestarian lingkungannya (seperti yang tertera dalam Prasasti Talang Tuo) dengan tujuan untuk meningkatkan kemakmuran rakyatnya.
Dengan demikian kehidupan ekonomi dan sosial masyarakat Sriwijaya sangat baik dan makmur, dalam hal ini tentunya juga diikuti oleh kemajuan dalam bidang kebudayaan. Kemajuan dalam bidang budaya sampai sekarang dapat diketahui melalui peninggalan peninggalan suci seperti stupa, candi atau patung/arca Budha seperti ditemukan di Jambi, Muaratakus, dan Gunung Tua (Padang Lawas) serta di Bukit Siguntang (Palembang).
b. Holing ( Chopo )
Kerajaan ini ibukotanya bernama Chopo ( nama China ), menurut bukti- bukti China pada abad 5 M. Mengenai letak Kerajaan Holing secara pastinya belum dapat ditentukan. Ada beberapa argumen mengenai letak kerajaan ini, ada yang menyebutkan bahwa negara ini terletak di Semenanjung Malay, di Jawa barat, dan di Jawa Tengah. Tetapi letak yang paling mungkin ada di daerah antara pekalongan dan Plawanagn di Jawa tengah. Hal ini berdasarkan catatan perjalanan dari Cina.
Kerajaan Holing adalah kerajaan yang terpengaruh oleh ajaran agama Budha. Sehingga Holing menjadi pusat pendidikan agama Budha. Holing sendiri memiliki seorang pendeta yang terkenal bernama Janabadra. Sebgai pusat pendidikan Budha, menyebabkan seorang pendeta Budha dari Cina, menuntut ilmu di Holing. Pendeta itu bernama Hou ei- Ning ke Holing, ia ke Holing untuk menerjemahkan kitab Hinayana dari bahasa sansekerta ke bahasa cina pada 664-665.
IV. Penutup
a. Simpulan
Pendidikan pada zaman ini, selain diselenggarakan di dalam keluarga dan didalam kehidupan keseharian masyarakat, juga diselenggarakan di dalam lembaga pendidikan yang disebut Perguruan (Paguron) atau Pesantren . Hal ini sebagaimana telah berlangsung di kerajaan Tarumanegara dan Kutai. Pada awalnya yang menjadi pendidik (guru atau pandita) adalah kaum Brahmana, kemudian lama kelamaan para empu menjadi guru menggantikan kedudukan para Brahmana. Terdapat tingkatan guru: pertama, guru (perguruan) keraton , di sini yang menjadi murid-muridnya adalah
para anak raja dan bangsawan; kedua adalah guru (perguruan) pertapa , di sini yang menjadi murid-muridnya berasal dari kalangan rakyat jelata.
b. Rekomendasi
Pendidikan sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat saat ini. Namun dalam prakteknya, pendidikan saat ini seolah-olah menjadi “lahan pekerjaan” bagi para pengajar. Kebanyakan tenaga pengajar saat ini sudah mengalami disorientasi. Sebab, orientasi kebanyakan dari mereka adalah menjadi guru untuk mencari uang, bukan untuk mencerdaskan bangsa. Sebagaimana para sofis di zaman Plato dulu, dan akhirnya Plato menganggap sofis sebagai “pemilik warung yang menjajakan barang-barang rohani”. Oleh karena itu, penulis berharap agar tidak ada lagi guru yang berorientasikan terhadap kapital. Sebagaimana Sayyidina Ali pernah berkata “’Allim Majjânan kamâ ‘ullimta Majjânan”.
Disamping itu, dalam makalah ini masih terdapat banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca sangat diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
H. Syamsul Nizar, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Ciputat: pt. Ciputat Press Group, 2005
Anasom, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
Suhendi, Idit, Dasar-Dasar Historis dan Sosiologis Pendidikan , dalam Dasar-Dasar Kependidikan, IKIP Bandung. (1997)
http://tinulad.wordpress.com
______________________________________
1. H. Syamsul Nizar, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Ciputat: pt. Ciputat Press Group, 2005, hlm. 1.
2. http://tinulad.wordpress.com
3. Anasom, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.
4. Suhendi, Idit, Dasar-Dasar Historis dan Sosiologis Pendidikan , dalam Dasar-Dasar Kependidikan, IKIP Bandung. (1997)
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon