I.
Pendahuluan
Pemikiran Islam di Indonesia dalam seperempat abad
terakhir telah mengalami kemajuan yang berarti melalui pengkayaan tema yang
tidak bisa dibilang konservatf. Tema itu tidak lagi berputar-putar pada mata
rantai teosentrik, melainkan telah memasuki ruang yang betul-betul
bersifat kultural,teologis –antroposentrik,
dan filosofis-sosiologis,dimana pemikiran itu hadir. Ini tentu satu fase
perkembangan baru yang membedakan dengan puluhan tahun sebelumnya yang memiliki
kecenderungan kuat menjadikan Islam sebagai perjuangan politik ideologis di
negeri ini, yang memaksa Islam harus dihadapkan dengan ideologi-ideologi lain
seperti nasionalisme dan sosialisme.
Dari tema-tema itu terlihat kegairahan
berfikir kritis dan “orisinal” melalui penawaran pemikiran
baru yang signifikan dan bermutu, yang tidak saja mendinamisasi kinerja
intelektual di Indonesia, melainkan juga bisa disejajarkan dengan pemikir islam
lainnya dibelahan bumi ini. Dengan demikian kami ingin sedikit memberikan
pemamparan mengenai post-tradisioanla dalam makalah kami kali ini sebagai
tambahan ilmu pengetahuan bagi kita semua.
II.
Rumusan Masalah
A.
Sejarah dan Pengertian
Post-Tradisionalisme Islam
B.
Paradigma Gerakan
Post-Tradisonalisme islam
C.
Nlln
D.
hhol
III.
Pembahasan
A.
Sejarah
Sejarah dan Pengertian Post-Tradisionalisme Islam
Secara leksikal, istilah Postra (Post-Tradisionalisme)
Islam tidak mempunyai pengertian yang memadai. Dalam diskursus keislaman di
Indonesia, tema dan gagasan ini juga kurang mendapat apresiasi yang memadai
sebagai sebuah gagasan besar, mungkin karena gagasan tersebut diusung oleh
kalangan pinggiran yang tidak mempunyai landasan sehingga gagasan itu pun
tenggelam.
Secara literatur, ada bebrapa informasi yang
memberikan pemahaman tentang istilah Postra Islam di Indonesia yang
diusung kaum muda NU sebagai rujukan untuk mengenal gagasan tersebut. Yaitu
berupa karya yang diterbitkan dan hasil dari berbagai kajian yang muncul dari
kelompok pemikir islam ploretar (pinggiran)[1] dikalangan kaum muda NU.
Di Jakarta, gagasan tersebut muncul dari kelompok kajian
ilmiah yang tergabung dalam Lakpesdam NU. Dalam lembaga ini, anak-anak muda
yang kritis bergabung dalam struktur organisasi NU. Mereka menuangkan
gagasannya yang bekerja sama dengan The Asia Foundation (TAF) dengan
menerbitkan jurnal Tashwirul Afkar Edisi khusus No. 9 tahun 2000 dengan
tema “Post-Tradisioanlisme Islam: Ideologi dan Metodologi”. Kalangan muda itu
rata-rata hasil dari pesantren yang bercorak salaf dan bertempat dipinggiran
atau pesantren ndeso, yang kemudian pindah ke kota besar. Ahmad Baso,
Ulil Absar Abdalla, Khamami Zada, Marzuki Wahid, Zuhairi Misrawi, dan lainnya
merupakan indikasi tokoh yang mengusung tema besar tersebut.
Di Yogyakarta, istilah itu muncul dari lembaga swadaya
masyarakat yang berbasiskan kaum muda NU. Yaitu LKiS, sebuah lembaga yang
bergerak dalam bidang islam dan sosial. Lembaga ini dapat memberikan label Postra
Islam ktika menerbitkan terjemahan dari artikel Muhammad Abed al-Jabiri
“Post-Tradisional Islam” yang diterjemahkan oleh Ahmad Baso.
Dalam khazanah ilmu-ilmu sosial, istilah ini memang belum
ada referensinya. Yang ada selama ini adalah Post-Modernisme, Neo-Modernisme,
dan Neo-Sufisme. Paham ini dari satu sisi dipahami sebagai kelanjutan dari
modernisme, tetapi dari sisi lain juga merupakan antitesis (pertentangan) dari
Modernisme itu sendiri. Dalam sebuah pengertian
bahwa Post-tradisionalisme itu berangkat dari tradisi yang
ditransformasikan secara meloncat melampaui batas tradisi itu sendiri. Dalam
hal ini kalaupun ada penolakan dan kritk itu merupakan peramuan tradisi yang
dianggap stagnan dengan pemikiran yang lebih progesif sehingga menjadi
pemikiran yang berakar kepada tradisi secara kuat, akan tetapi lebih mempunyai
pemahaman yang lebih luas.[2]
Yang patut dicermati, proses pembaharuan pemikiran dan
gerakan sosial yang dilakukan kalangan muda NU, bukan karena adanya
tuntutan akademis, melainkan lebih karena tuntutan realitas sosial yang
sehari-hari mereka gumuli bersama masyarakat akar rumput. Karena itu,
pembebasan yang dilakukan tidak hanya pada level sosial, tetapi juga pembebasan
terhadap doktrin-doktrin keagamaan dan tradisi nilai-nilai budaya yang tidak
lagi relevan dengan situasi kekinian. Gagasan liberasi ini juga ditempuh dengan
liberalisasi, yakni pembebasan cara berfikir. Terobosan dan loncatan yang
dilakukan dengan begitu berani ini tidak lain hanya menegakkan harkat dan
martabat kemanusiaan dan keyakinan akan tradisi yang harus berubah.
Bagaimanapun pemikitan ini tidak netral, tetapi berdasarkan komitmen yang
mendalam, akan dampak pada tendensi kekiri-kirian: pemihakan pada yang
tertindas dan terlemahkan.kaum muda ini mendefinisikan diri mereka sendiri
sebagai kelompok Post-Tradisional Islam[3]
Menurut Marzuki Wahid, salah seorang aktivis muda NU
penggerak gagasan Post-tradisioanlisme islam, meyebutkan bhawa istilah
ini digunakan sebagai suatu gerakan yang memiliki ciri-ciri khusus, yang secara
kategorial tidak dapat disebut sebagai modernis, neo-modernis, tradisionalisme
dan neo-tradisionalisme. Gerakan Posta ini, disebut sebgai suatu gerakan
lompat tradisi, berangkat dari suatu
tradisi yang secara terus-menerus berusaha memperbarui tradisi tersebut denagan
cara mendialogkan dengan modernitas, karena intensifnya berdialog dengan
kenyataan modernitas, terjadilah loncatan tradisi dalam kerangka pembentukan
tradisi baru yang sama sekali berbeda dengan tradisi sebelumnya. Dari satu sisi
memang ada kontinuitas, tetapi dalam banyak bidang terdapat diskontinuitas dari
bangunan lamanya. Umumnya, bersamaan dengan pengembangan pemikiran-pemikiran Posta
terjadi nuansa liberalisasi pemikiran.
Menurut Ahmad Baso seorang penggagas lain, meneurutnya
secara historis post-tradisionalisme islam adalah sebuah konstruk
intelektualisme yang berpijak pada dinamika budaya lokal indonesia dan bukan
merupakan tekanan dari luar, yang berinteraksi secara terbuka bukan hanya
dengan berbagai jenis kelompok masyarakat, akan tetapi mengkondisikan mereka
dengan pemikiran luar yang bukan meupakan kultur tradisioanla NU.
Post-tradisoanalisme islam juga menagapresiasi dan mengakomodasi bukan hanya
pemikiran liberal dan radikal yang dilontarkan oleh Hasan Hanafi, Mahmud Thaha,
al-Na’im, Arkoun, Abu Zaid, dan Khalil Abd Karim, tapi juga tradisi pemikiran
sosialis Marxis, Post-Strukturalis, Post- Modernis, gerakan Feminisme dan civil
society. Pemaparan ini memberikan gambaran tentang pengambilan metodologi
berpikir sebagai kritik epistemologi atas tradisi, dan juga penjelasan
peminjaman metodologi dengan kerangka teori para pemikir kontemporer untuk
membedah tradisi.[4]
B. Paradigma Gerakan Post-Tradisonalisme Islam
Paradigma yang dimaksud adalah
sebuah bangunan yang menjadi landasan pemikiran dan gerakan yang merupakan
totalitas konstelasi (keutuhan bangunan) pemikiran, keyakinan, nilai, persepsi,
dan gerakan yang menjadi pijakan dalam menyelesaikan persoalan sesuai konsesus komunitas yang menjalaninya dan dengan latar
belakang sosial dalam ruang dan waktu. Jika dikaitkan dengan gerakan pembaruan
kaum muda NU, berarti hal ini merupakan paradigma teologi, norma, dan
tradisi yang dianutnya serta realitas sosial keindonesiaan yang dikenal agraris
dan tradisional dengan tuntutan yang dihadapinya dalam upaya membangun wacana
dan pola gerakan.
Wacana dan pola gerakan yang dikembangkan kaum muda NU
lebih kearah liberal, yaitu mencoba membebaskan masyarakat Indonesia dari
keterkungkungan doktrin teologis, tradisi, dan bahkan sejarahnya sendiri yang
dipandang tidak transformatif. Srtategi yang dipakai adlah mencoba menggeser
otoritas kelompok ke penguatan otonomi individy, serta mencoba menghilangkan
sikap dan mental elitis dan menggantikannya dengan sikap populis dalam upaya
membangun paradigma kritis terhadap masyarakat dan tradisinya sendiri.
Jika dilakukan pembacaan terhadap akitivias gerakan kaum
muda NU dalam membangun budaya kritisisme pemikiran bercorak liberal, maka ada
beberapa indikator yang dijadikan landasan. Pertama, kelompok yang
dikenal sebagai ialam tradisioanl dan latar belakang pendidikan pesantren, kaum
muda NU justru ingin melepaskan diri dari kungkungan tradisi, kaum muda NU
lebih memilih wacana teologi pembebasan yang membawa aswaja ketataran yang
lebih rasional dan empirik, yankni mengubah pemahaman aswaja dari mazhabi
menjadi aswaja sebagai model berpikir. Kedua, munculnya kesadaran untuk
melepaskan beban sejarah. Dalam hal ini islam dipahami sebagai hal yang
berdimensi historis di mana produk pemahaman masyarakat islam terhadap
ajarannya selalu bedialektika dengan ruang dan waktu. Produk ulama terdahulu
tdak lagi menjadi beban untuk diterima dan dilaksanakan apa adanya oleh
masyarkat masa kini. Ketiga, munculnya pola pikir keislaman yang bisa
melepaskan diri dari ikatan harfiyah teks. Cara berpikir ini lebih menekankan pada
subtansi teks dari pada yang bersifat simbolik dan formal teks.[5]
[1] Disebut proletar karena,
dalam kelompok pemikir ini muncul dari anak-anak muda yang gagasannya
dituangkan dalam tulisan lepas, baik berupa jurnal maupun buku. Mereka
rata-rata muncul dari orang-orang yang tidak terdapat dalam lingkungan akademik
perguruan tinggi.
[2] Ahmad Ali Riyadi, Dekonstruksi
Tradisi (Kaum Muda Nu Merobek Tradisi), Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2007. Hal. 106
[3] Abdul
Mun’im DZ, :Pembaruan Berbasis Tradisi Sebuah Pengantar’, pengantar dalam Muh.
Hanif Dhakhiri & Zaini Rachman, Post-Tradisionalisme Islam Menyingkap Corak
Pemikiran dan Gerakan PMII,: Isisindo Mediatama, 2000) hlm xi. Di akses 25 maret 2014 dari http://bamboemoeda.blogspot.com/2012/01/riset-wacana-post-tradisionalisme-islam.html
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon