Toshihiko Izutsu lahir di Tokyo tahun 1914 adalah Guru Besar
pada Institut Studi Kebudayaan dan Bahasa di Universitas Keio Tokyo dan Guru
Besar pada Institut Islamic Studies, McGill University Montreal dengan
spesifikasi dalam bidang Teologi dan Filsafat Islam. Adapun karya-karyanya yang
sudah dipublikasikan adalah: Language and Magic: Studies in the Magic Function
of Speech (1956), The Structure of Ethical Term in the Koran (1959),
God and Man in the Koran: a Semantical Analysis of the Koranic
Weltanschauung (1964), dan The Concept of Belief in Islamic Theology (1965).[1]
Hal yang menarik inilah
yang menjadi bahan pembuatan makalah kami, dan merupakan tugas yang harus kami
kerjakan.
II.
RUMUSAN MASALAH
1. Biografi Toshihiko
Izutsu
2. Metode Penafsiran Al Qur’an Toshihiko Izutsu.
3. Relasi Tuhan dan Manusia.
III.
PEMBAHASAN
1.
Biografi Toshihiko
Izutsu, Lahir pada 4 Mei 1914 dan wafat pada 1 Juli 1993. Beliau dilahirkan
dalam sebuah keluarga kaya pemilik bisnis di Jepang. Sejak usia dini, ia akrab
dengan Zen meditasi dan teka-teki, karena ayahnya juga seorang ahli kaligrafi
dan Buddha Zen praktisi awam. Ia menjadi asisten riset pada tahun 1937, setelah
lulus dengan gelar BA.
Tahun 1958, beliau menyelesaikan terjemahan langsung pertama Al-Qur'an dari
bahasa Arab ke Jepang. Terjemahannya masih terkenal dengan linguistik
keakuratan dan banyak digunakan untuk karya-karya ilmiah. Beliau sangat
berbakat dalam belajar bahasa asing, dan selesai membaca Al-Qur'an dalam
sebulan setelah mulai mempelajari bahasa Arab. Toshiko Izutsu adalah seorang
profesor universitas dan penulis dari banyak buku tentang Islam dan agama-agama lain. Ia mengajar di Institut
Linguistik Kebudayaan dan belajar di Universitas
Keio diTokyo, Iran Imperial Academy of Philosophy di Teheran, dan Universitas
McGill diMontreal.
Toshihiko Izutsu juga merupakan
seorang professor yang fasih di lebih dari 30 bahasa, termasuk Arab, Persia,
Sansekerta, Pali, Cina, Jepang, Rusia dan Yunani, dengan penelitian yang
bergerak di tempat-tempat seperti Timur Tengah (khususnya Iran), India, Eropa,
Amerika Utara, dan Asia telah dilakukan dengan pandangan untuk mengembangkan
pendekatan filosofis berdasarkan perbandingan agama dalam studi linguistik
teks-teks metafisik tradisional. Beberapa karya tulis yang pernah dia hsilkan
antara lain sebagai berikut:
Creation
and the Timeless Order of Things: Essays in Islamic Mystical
Philosophy (1994) ISBN
1-883991-04-8
Language
and Magic. Studies in the Magical Function of Speech (1956) Keio
Institute of Philological Studies. [2]
2.
Metode Penafsiran Al Qur’an
Toshihiko Izutsu
Ada berbagai cara bagi seseorang untuk mengetahui arti sebuah kata
asing, yang paling sederhana dan paling umum – tapi sayangnya kurang sekali
dapat diandalkan dengan mengatakan dalam bahasa orang itu sendiri dengan kata
yang sama artinya. Dalam cara ini, kata kafir dalam bahasa Arab
dapat diartikan sama dengan penganut yang salah, zalim sebagai
penjahat, dhab sebagai dosa dan lain sebagainya.[3]
Dalam al-Qur’an kita
memiliki banyak sekali contoh yang serupa mengenai penggunaan kata yang sama.
Dengan mengumpulkannya ke dalam satu tempat, membanding-bandingkannya,
memeriksa kata tersebut dengan kata lainnya, maka akan diperoleh definisi kata
dengan benda yang asli dari kata Arab ini.
Di sini Izutsu menekankan
pengkajian terhadap sejarah kata-kata berdasarkan seluruh sistem statis.
Tahapan-tahapan sejarah tersebut pada pembentukan awal sejarah kosakata al-Qur’an
adalah: (1) sebelum turunnya al-Qur’an atau jahiliyyah, (2) masa turunnya al-Qur’an,
(3) setelah turunnya al-Qur’an terutama pada periode Abbasiyah. Jadi pada tahap
pertama, yakni masa pra-Islam, kita mempunyai tiga sistem kata yang berbeda
dengan tiga pandangan dunia yang berbeda pula: (1) Kosakata yang mewakili ideologi Arab
kuno, (2) Kosakata kelompok pedagang yang berlandaskan pada kosakata Baduwi,
(3) Kosakata Yahudi-Kristen. Ketiga poin tersebut merupakan unsur-unsur penting
kosakata Arab pra-Islam.[4]
Sebagai contoh, pada masa
pra-Islam, kata Allah bukannya tidak
dikenal pada masa Arab pra-Islam, kata tersebut dikenal secara luas bukan saja
oleh bangsa Arab Yahudi dan Nasrani, bahkan masyarakat Arab Badui murni sudah
mengenal kata itu sebagai nama Tuhan. Selain nama Allah, bangsa Arab juga
menggunakan kata alihah (tuhan atau dewa-dewa). Eksistensi kata
Allah masa Arab sebelum turunnya al-Qur’an setara dengan kata alihah, dewa-dewa
yang lain. Setelah Islam datang yang dibawa oleh Nabi Muhammad dengan
panduannya berupa al-Qur’an, Islam tidak merubah kata Allah sebagai nama tuhan.
Namun konsep kata Allah yang ada pada masa pra-al-Qur’an sangat berbeda dengan
konsep Allah yang dibawa pada masa al-Qur’an. Konsep kata Allah yang ada pada
pra-Qur’an berupa nama tuhan yang bersifat politeistik, bangsa Arab menggunakan
kata tersebut untuk tuhan mereka yang politeistik. Pandangan seperti ini
dirubah sejak Islam datang, kata Allah pada masa turunnya al-Qur’an menjadi
monoteistik, tuhan yang tunggal.[5]
Aplikasi Ayat.
Contoh yang lain yaitu, ayat yang menerangkan tentang hasan. Hasan,
seperti khayr, kata ini mempunyai cakupan pemakaian yang sangat
luas. Hasan adalah kata sifat yang dapat diterapkan pada hampir
peristiwa apapun yang dianggap menyenangkan, memuaskan, indah, terpuji. Dan
sebagaimana dalam kasus khair, lingkupnya mencakup kehidupan manusia yang bersifat
religius dan bersifat dunia.
وَمِنْ ثَمَرَاتِ
النَّخِيلِ وَالْأَعْنَابِ تَتَّخِذُونَ مِنْهُ سَكَرًا وَرِزْقًا حَسَنًا إِنَّ
فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لِقَوْمٍ يَعْقِلُونَ (النحل:67)
Dan dari buah korma dan anggur, kamu buat minimuman yang memabukkan dan rezki
yang baik. (QS. An Nahl : 67).
Di sini jelaslah, bahwa kata hasan secara kasar, ekuivalen
dengan kata enak atau sesuai dengan selera. Dalam contoh berikut, kata yang
sama merujuk pada sesuatu yang sama sekali berbeda.
فَتَقَبَّلَهَا
رَبُّهَا بِقَبُولٍ حَسَنٍ وَأَنْبَتَهَا نَبَاتًا حَسَنًا وَكَفَّلَهَا
زَكَرِيَّا...
Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan
mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya
pemeliharanya... (QS. Ali Imran: 37)
Haruslah dicatat bahwa dalam ayat ini, hasan tampak
dua kali dalam suatu urutan. Yang pertama kata ini berarti penerimaan yang baik
yang diterima oleh Maryam di tangan Allah, sementara yang kedua kata hasan
menegaskan bahwa Maryam tumbuh sehat dan menjadi wanita yang mulia.
Ayat berikut menggunakan kata itu untuk tipe ideal
dalam hubungan antara manusia dalam hubungan sosial. Secara lebih konkret, ayat
ini memerintahkan kepada manusia akan kewajiban untuk berbicara dengan damai
dengan maksud untuk mempertahankan dan mendukung terwujudnya hubungan yang
penuh damai di antara mereka.
وَقُلْ لِعِبَادِي
يَقُولُوا الَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْ إِنَّ
الشَّيْطَانَ كَانَ لِلْإِنْسَانِ عَدُوًّا مُبِينًا
(الاسراء: 53)
Dan Katakanlah kepada hamha-hamba-Ku: "Hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya syaitan itu menimbulkan
perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata
bagi manusia (QS. Al-Isra’: 53).
3.
Relasi Tuhan dan Manusia.
Makna Dasar dan Makna Relasional, Jika kita
mengambil al-Qur’an dan menelaah istilah-istilah kunci di dalamnya dari sudut
pandang kita, maka kita akan menemukan dua hal, yang satu begitu nyata dan
sering begitu dangkal dan biasa untuk dijelaskan. Dan yang lainnya mungkin
sepintas kilas tidak begitu jelas. Sisi nyata persoalan tersebut adalah bahwa
masing-masing kata individual, diambil secara terpisah memiliki makna dasar
atau kandungan kontekstualnya sendiri yang akan melekat pada kata itu meskipun kata
itu kita ambil di luar konteks al-Qur’an.
Kemudian membahas hubungan eksistensial antara Allah dan manusia, Allah
menciptakan manusia tidak mempunyai hak atas segalanya. Agama
menyajikan objek misterius .Dunia Qur’an
menyajikan gambaran yang sangat berbeda dari kondisi manusia. Kejutan bangun
langit, dan mengusir kegelapan, dan dalam posisi rasa tragis kehidupan
menunjukkan adegan alam baru untuk hidup yang kekal. Dengan demikian, dalam sistem dalam pengetahuan lama adalah Mahakuasa "Allah" adalah pada saat yang sama
awal dan akhir intervensi Allah dalam urusan manusia. Dan "Allah"
dalam adanya prinsip yang membawa mereka menjadi ada, seperti ketika seorang ayah
adalah acuh tak acuh terhadap anak-anaknya, seluruh tugas diselesaikan melalui
objek lain yang disebut "seumur hidup." Dalam sistem Islam konseptual
Sebaliknya itu, فالخلق Menentukan dan mendominasi makhluk. Dan semua urusan manusia,
bahkan rincian terkecil dari kehidupan dan yang paling penting di permukaan, di
bawah akses yang ketat dan pemantauan ketat untuk kehadiran Mahakuasa
"Allah". Yang paling penting dalam hal ini bahwa "Allah"
dalam AlQur’an adalah "Tuhan" dengan Keadilan selama-lamanya bahkan untuk makhluk yang paling halus.
Komunikasi, antara Tuhan dan manusia mengalahkan hubungan berbahasa, melalui dua jenis
hubungan dengan Allah kepada manusia, yaitu: ayatullah, dan bimbingan dari
Allah. Penulis membedakan antara diferensiasi Ayat dan petunjuk. Firman Allah: "Setiap orang yang ku kehendaki, maka beriman dan
barang siapa yang ku kehendaki maka dia akan kafir" (Alkahfi ayat 29), seakan-akan jalan terakhir adalah murni keputusan
Allah SWT. [6]
IV.
KESIMPULAN
Jadi, kesimpulannya adalah
tergantung persepsi anda masing-masing, karena saya ilmu saya belum terlalu
mumpuni untuk menyimpulkan inti dari makalah kami ini. Selebihnya kami mohon
maaf atas kurangnya makalah kami ini, dan mohon atas kritik dan saran dari anda
sekalian. Terima kasih.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat saya susun. Tentunya dalam makalah ini terdapat banyak
kekurangan, oleh karena itu saya mengharapkan partisipasinya dari temen-temen
untuk mengkritisi serta memberikan saran guna memenuhi penyempurnaan makalah
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Toshihiko Izutsu,
1996, Etika Beragama dalam Qur’an, Pustaka Firdaus: Jakarta,
hlm. 37
Ibid. hlm. 37
Toshihiko Izutsu, Konsep-konsep
Etika Religius dalam al-Qur’an, Op.Cit., hlm. 30
Ibid., hlm. 67
Dasar Pemikiran Toshihiko Izutsu
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon