PENDAHULUAN
Salah satu jalan untuk memudahkan orang dalam mempelajari Al-Qur’an dan
memahami makna hukum yang ada di dalamnya, ialah dengan jalan menafsirkan atau
menjelaskan isi kandungan dari Al-Qur,an itu sendiri, tentunya orang yang dapat
menafsirkan Al-Qur’an itu adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang tinggi
serta pemahaman yang banyak tentang Al-Qur’an. Banyak ulama-ulama terkenal yang
telah menafsirakan Al-Qur’an dengan kemampuan yang mereka miliki, diantara
ulama-ulama yang terkenal itu adalah Ibnu ‘Asyur yang nama aslinya Muhammad
Thair Ibnu Asyur dan dengan tafsirnya yang berjudul at-Tahwir wa at-Tanwir
beliau adalah ulama kontemporer yang berasal dari tunisia. Untuk lebih jelas
tentang pembahasan tafsir Ibnu ‘Asyur, kami mencoba menyusunya dalam bentuk
makalah berikut ini.
1. DATA
KITAB
·
Judul asli : Tahrir al-Ma’na al-Sadid wa Tanwir al-’Aql
al-Jadid wa Tafsir al-Kitab al-Majid”
·
Penyusun : Muhammad al-Thahir bin Muhammad bin Muhammad
al-Thahir bin ‘Asyur al-Tunusi (w. 1393H/1973M)
·
Penerbit : Dar Sahnun Linnasyri wat-tauzi', Tunisia,
·
Tahun Terbit : 1965
M.
·
Isi dan
Tebal : kitab ini terdiri dari 30 jilid ada juga yang 15[1] dan
14 jilid, membahas secara keseluruhan ayat al-Qur'an (30 juz), dalam satu jilid
mengkaji satu juz al-Qur'an, sementara yang lainnya membahas 2-3 juz. Tebal
15.000 Halaman (500 Hal. per bab).
·
Kolasi : 25 cm
·
Catatan : Kitab ini ditulis pada abad modern/ abad awal 14 H, Ibn
'Asyur menjelaskan beberapa permasalahan masyarakat dan memberikan jawaban
dengan menafsirkan al-Qur'an, jika berkaitan dengan hukum, beliau memaparkan
pendapat imam 4 madzhab.
2. LATAR
BELAKANG MUFASIR
a. Biografi
Mufassir
Ibnu ‘Asyur nama lengkapnya Muhammad Thahir (Thahir II) bin Muhammmad bin
Muhammad Thahir (Thahir I)[2] bin
Muhammad bin Muhammad Syazili bin ‘Abd al-Qadir bin Muhammad bin ‘Asyur. Lahir
dari sebuah keluarga tehormat yang berasal dari Andalusia pada tahun 1296 H
atau 1879 M dan wafat pada tahun 1393 H. atau 1973 M. Tempat lahir dan wafatnya
sama yaitu di Tunis.[3]
Ibunya bernama Fatimah, anak perempuan dari Perdana Menteri Muhammad Al- Aziz
bu Attar. Ia menikah dengan Fatimah binti Muhamad bin Mushthafa Muhsin. Dari
hasil perkawinan itu ia mempunyai 3 orang anak laki-laki dan dua orang anak
peremuan. Pertama, al Fadlil menikah dengan Sabia binti Muhammad al-Aziz Jait.
Kedua, Abd al-Malik menikah dengan Radliya binti al-Habib al-Juli. Ketiga, Zain
al-Abidin menikah dengan Fatimah binti Shalih ad-Din bin Munshif Bey. Keempat,
Umm Hani menikah dengan Ahmad bin Muhammad bin al-Bashir Ibn al-Khuja dan
Syafiya menikah dengan Syazili al-Asram.[4]
Ibn ‘Asyur dibesarkan dalam lingkungan kondusif bagi seorang yang cinta ilmu.
Ia belajar al-Qur’an, baik hafalan, tajwid, maupun qiraatnya di sekitar tempat
tinggalnya. Setelah hafal al-Qur’an, ia belajar di Masjid Zaitunah sampai ia
ahli dalam berbagai disiplin ilmu.[5] Dia
belajar kepada ayahnya Syaikh Muhammad bin ‘Asyur, Syaikh Ibrahim ar-Riyahi,
Syaikh muhammad bin al-Khaujah, Syaikh ‘Asyur as-Sahili, dan Syaikh Muhammad
al-Khadlar.[6] Zaitunah
adalah sebuah mesjid yang dalam perjalanan sejarah menjadi pusat kegiatan
keagamaan yang berafiliasi kepada mazhab Maliki dan ada sebagian yang menganut
mazhab Hanafi.[7]
Muhammad at-Thahir ibn ‘Asyur adalah seorang ulama kontemporer, wafat pada
sepuluh tahun terakhir ini tepatnya sekitar tahun 2001. Memulai petualangannya
menuntut ilmu pengetahuan Islam dengan bergabung dalam lembaga pendidikan
az-Zaitunah, Tunis. Azzaitunah ini setaraf dengan al-Azhar di Mesir, dari model
pendidikannya yang berpusat pada sebuah masjid dan begitu pula usia berdiri
atau eksisnya lembaga pendidikan tersebut[8].
Beliau hidup sezaman dengan ulama ternama di Mesir, Muhammad al-Khadhar Husain
at-Tunisy. Keduanya adalah teman seperjuangan, ulama yang sangat luar biasa,
memiliki tingkat keimanan yang tinggi, sama-sama pernah dijebloskan ke dalam
bui lantaran mempertahankan pemahaman dan ideologinya serta menanggung
penderitaan yang sangat berat demi memperjuangkan negara dan agama. Pada
akhirnya Muhammad al-Khadhar ditakdirkan oleh Allah menjadi mufti Mesir, beliau
pun mendapat kepercayaan menjadi Qadhi di Tunis yang kemudian diangkat menjadi
seorang penentu fatwa keagamaan di Tunis.
Ibn ‘Asyur menjadi salah satu ulama besar di Tunisia. Karirnya sebagai pengajar
bermula pada tahun 1930 menjadi mudarris (pengajar) tingkat kedua bagi mazhab
Maliki di Mesjid Zaitunah. Menjadi mudarris tingkat pertama pada tahun 1905. Pada
tahun 1905 sampai 1913 ia mengajar di Perguruan Shadiqi.[9] Dia
terpilih menjadi wakil inspektur pengajaran di Mesjid Zaitunah pada tahun 1908.
Pada tahun berikutnya ia menjadi anggota dewan pengelola perguruan Shadiqi. Ia
diangkat menjadi qadli (hakim) mazhab Maliki pada tahun 1913 dan diangkat
menjadi pemimpin mufti (Basy Mufti) mazhab Maliki di negara itu pada tahun
1927. ia juga seorang mufassir, ahli bahasa, ahli nahwu dan ahli sastra. Ia
terpilih menjadi anggota Majma’ al-Lugah al-‘Arabiyyah di Mesir pada tahun 1950
dan anggota majma’ ai-Ilmi al-Arabi di Damaskus pada tahun 1955. Ia banyak
menulis buku dan menulis berbagai majalah dan koran di Tunisia.
Di antara karya-karyanya adalah dari segi buku dan koran:[10]
1. Alaisa ash-Shubh bi Qarib
2. Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah
3. Uslul an-Nizham al-Ijtima ‘i fi al-Islam
4. At-Tahrir wat-Tahrir min at-Tafsir
5. al-Waqfu wa atsaruhu fi al-Islam
6. Uslul al-Insya’i wa al-Khithabah
7. Mujiz al-Balagah
8. Hasyiyah ala al-Qathr
9. Syarh ’ala Burdah al-Busyiri
10. al-Gaits al-Ifriqi
11. Hasyiyah ’ala al-Mahalli ’ala jam’ al-Jawami
12. Hasyiyah ’ala Ibn Sa’id al-Usymuni
13. Hasyiyah ’ala Syarh al-Isham li Risalati al-Bayan
14. Ta’liq ‘ala ma Qara’ahu min Shahihi Muslim
b. Proses Penyusunan
Kitab
Beliau memulai tafsirnya dengan sekelumit materi tentang hal-hal yang
berhubungan dengan pengetahuan dasar memahami seluk beluk gaya bahasa Al-Qur’an
secara singkat. Memaparkan muqaddimahnya sampai kepada sepuluh bagian
pembukaan, mulai dari penjelasan tafsir dan ta’wil, penjelasan fenomena tafsir
bil ma’tsur dan bir ra’yi, asbâbun nuzûl, sampai kepada i’jazuI Qur’an. Itupun
sampai menghabiskan seratus halaman pertama untuk penjelasan sesingkat ini.
Mirip dengan uraian singkat Ulumul Quran yang sudah mencapai tingkat yang cukup
rumit.
Mendeskripsikan cakupan bahasan dalam tafsir ini, beliau mengungkapkan dalam
pendahuluan tafsirnya, “Saya benar-benar berusaha menampilkan dalam tafsir
Al-Quran hal-hal langka yang belum digarap oleh ulama tafsir sebelumnya.
Menempatkan diri sebagai penengah perbedaan pendapat ulama yang pada satu waktu
sepaham dengan salah satunya dan pada waktu lain berseberangan pendapat dengan
alasan tersendiri. Dalam tafsir ini, saya berusaha mengungkap setiap i’jazul
Quran, nilai-nilai balaghah yang terkandung dalam sebuah kalimat Al-Quran serta
menjelaskan uslub-uslub penggunaannya”.
3. SISTEMATIKA
KITAB
Kitab ini ditulis pada abad modern/ abad awal 14 H, Ibn 'Asyur menjelaskan
beberapa permasalahan masyarakat dan memberikan jawaban dengan menafsirkan
al-Qur'an, jika berkaitan dengan hukum, beliau memaparkan pendapat imam 4
madzhab. Demikian juga dalam masalah-masalah tertentu, beliau menukil beberapa
pendapat para mufassir sebelumnya dan menarjih pendapat yang dipandang paling
benar[11].
Kitab
yang terdiri dari tiga puluh juz dan terbagi kepada dua belas jilid ini
merupakan sebuah tafsir kontemporer. Tampilan unik dan berbeda dengan kitab
lain secara kasat mata.
Dari sederetan buku tafsir yang ada dalam khazanah penafsiran Al-Qur,an,
termasuk dalam daftar tafsir terkemuka adalah karangan Ibnu 'Asyur yang satu
ini. Muhammad at-Thahir ibn 'Asyur adalah seorang ulama kontemporer[12].
Dalam muqaddimah tafsir "at-Tahrir wat-Tanwir" beliau
menuturkan, satu angan-angan terbesar dalam hidup beliau yang ingin dicapai
adalah menafsirkan kitab Allah Swt. sebagai mu'jizat terbesar Nabi Muhammad
Saw. Bercita-cita membuat sebuah tafsir yang lengkap dari segi kebahasaan dan
maknanya, yang belum pernah ada sebelumnya. Tafsir yang mencakup kemaslahatan
dunia dan akhirat. Bukan hanya sekedar mengumpulkan perkataan ulama sebelumnya,
melainkan memiliki penjelasan-penjelasan yang berasal dari hasil pengetahuan
sendiri yang lebih detail dan menyeluruh dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur,an.
Menilik tafsir karangan Ibnu 'Asyur dari segi materi, kitab ini terdiri dari
tiga puluh juz dan terbagi kepada dua belas jilid. Masih diterbitkan oleh
penerbit tunggal yang masih cukup sulit kita dapati. Sebuah tafsir kontemporer
yang memiliki ciri khas tersendiri dalam paparannya menafsirkan ayat-ayat
Al-Qur,an. Memiliki tampilan unik dan berbeda dengan kitab lain.
Secara gamblang penulis paparkan
sistematika dari penulisan kitab ini :
4. TINJAUAN
KITAB
a. Metode
Metode umum yang terdapat dalam kitab tafsir ini, lebih cenderung kepada
tafsiran menerusi asas sastra, zahir, bahasa dan logika yang seiring dengan
dalil hujjah serta mementingkan teknik Qira’at (cara bacaan para qura)[13].
Teknik pentafsiran beliau adalah dengan menyebut setiap ayat di dalam
surah tersebut, kemudian mulai menguraikannya menurut kesesuaian dari aspek
bahasa dan tafsiran ringkas dengan dipaparkan padanya teknik Qira,at serta
hukum fiqh di dalamnya.
Beliau turut menyatakan secara terperinci pada kandungan surah dan membicarakan
perkaitan antara ayat-ayatnya[14].
Metodenya yang lebih khusus di dalam tafsirannya ini ialah dengan:
·
Menerangkan nama surah,
bilangan ayat dan keterangannya.
·
Menjelaskan perkara
yang berkaitan dengan akidah
·
Menyatakan uraian
al-Qur’an dengan al-Qur’an
·
Memaparkan uraian
al-Qur’an dengan al-Sunnah
·
Menjelaskan tafsiran
al-Qur’an dengan kalam ulama Salaf
·
Menjelaskan kaitan
dengan aspek sejarah
·
Membentangkan
kekeliruan Israiliyyat
·
Menjelaskan perkaitan
ilmu Qira’at
·
Menyatakan hal yang
bersangkutan dengan Fiqh dan Ushul
·
Menguraikan
berdasarkan ilmu yang lebih modern seperti fizikal, falsafah dan mukjizat yang
terdapat di alam ini
·
Mengutamakan
perkaitan dengan adab dan akhlak yang baik
b. Prosedur
Ada beberapa prosedur yang digunakan Ibnu ‘Asyur dalam menafsirkan
tafsirnya, yaitu : beliau menghubungkan antara satu ayat dengan ayat lainnya,
terutama antara satu ayat dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Al-Qur’an telah
didesain dengan sangat luar biasa, memiliki susunan yang unik namun tetap
memiliki ketersambungan antara satu ayat dengan ayat lain. Tidak melewatkan
satu surat pun dalam Al-Qur’an kecuali berusaha menjelaskan secara lengkap
setiap maksud yang terkandung di dalamnya secara utuh. Tidak sebatas
menjelaskan makna setiap kata dan kalimatnya saja secara parsial, melainkan
merangkai kembali makna tiap kata dan kalimat yang telah diurai terpisah
menjadi satu tujuan atau maksud yang diusung oleh setiap ayat maupun surah
Al-Qur’an.
c. Corak
penafsiran
Adapun corak yang digunakan dalam tafsir Ibnu ‘asyur adalah lughawi, Adaby dan
ijtima’i.[15]
d. Keistimiwaan
Tafsir Ibnu Asyur
Adapun keistimewaan tafsir Ibnu ‘Asyur adalah kitab tersebut termasuk tafsir
yang kontemporer dengan menggunakan bahasa yang mudah di pahami beliau pun
menggunakan pendapat yang paling kuat dalam menyelesaikan suatu penafsiran dan
yang paling rajih sehingga apabila di bandingkan dengan tafsir-tafsir yang lain
belaiu mempunyai kelebihan yang mudah di terima di kalangan orang yang memahami
dalam tafsir khususnya pada zaman sekarang, dan kelebihan dibandingkan dengan
tafsir yang lain beliau menggunakan penafsiran yang di lengkapi dengan I’rab
dan mantiqnya dalam bersitinbat suatu penafsiranya.
e. Kekurangan
dalam tafsir ini
1. Lebih condong menggunakan corak lughawi
2. Lebih banyak menggunakan pendapat
sendiri
f. Sumber
Penafsiran
Dalam penafsirannya beliau merujuk pada[16] :
1. Mafatihal Ghaib karya Fahruddin ar-Razi
2. Tafsir Baidhawi
3. Al-Kasysyaf karya Az-Zamakhsyari
4. Tafsir ath-Thabari karya Muhammad bin Jarir
ath-Thabari
5. Kitab Durratut Tanzil karya Fahruddin ar-Razi
6. Mahrur Wajiz oleh Ibnu ‘Athiyyah
7. Al-Jami’ la ahkamil Qur’an oleh al-Qurthubi
g. Kritik
dan Kajian
Kita megetahui bahwa tafsir Ibnu ‘Asyur (At-tahrir wat-tanwir)
yang ditafsirkan oleh muhammad Thahir Ibnu Asyur hanya mencakup satu metodolgi
yaitu dengan tafsir billughah, dengan menggunakan tafsir billungah maka
sebagian orang (ulama) mengatakan bahwa dengan menggunakan tafsir billungah
saja lebih sulit di bandingkan dengan tafsir yang lainya, seperti tafsir Ibnu
Katsir, Qurtuby, Tafsir al-furqan, atau dengan tafsir bil ma’stur, karena
tafsir bil ma’tsur manggunakan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, al-Qur’an
dengan hadits, al-Qur’an dan qaul sahabat, tabi’in tabiut tabi’in.
5. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa tafsir at-Tahwir wa at-Tanwir adalah tafsir kontemporer yang dikarang oleh Muhammad Thahir Ibnu Asyur ulama dari Tunisia ini memiliki metode penafsiran billughah. Adapun tafsir buillughah muggunakan bahasa lain tapi juga dengan berbahasa arab dan juga munggunakan mantiq, tapi di sisi lain walaupun tafsir ibnu Asyur tersebut terkenal dengan menggunakan tafsir billungah maka di sisi lain juga menggunakan tafsir al-Qur’an dengan Qur’an, al-Qur’an dan hadits, dan al-Qur’an dengan perkataan sahabat.
Dari pembahasan di atas dapat kami simpulkan bahwa tafsir at-Tahwir wa at-Tanwir adalah tafsir kontemporer yang dikarang oleh Muhammad Thahir Ibnu Asyur ulama dari Tunisia ini memiliki metode penafsiran billughah. Adapun tafsir buillughah muggunakan bahasa lain tapi juga dengan berbahasa arab dan juga munggunakan mantiq, tapi di sisi lain walaupun tafsir ibnu Asyur tersebut terkenal dengan menggunakan tafsir billungah maka di sisi lain juga menggunakan tafsir al-Qur’an dengan Qur’an, al-Qur’an dan hadits, dan al-Qur’an dengan perkataan sahabat.
6. REFERENSI
Al-Qur’anul Karim & Tarjamah
Syekh Amanah, Pengantar
ilmu al-Qur’an dan tafsir, Semarang: CV. Asy-Syifa, 1999
As-Shddiqy, Muhammad Hasby, Memahami al-Qur’an, Semarang: Rizki
putra Cet. 11, 2002
‘Abd al-Baqi, Muhammad Fu`ad, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfazh al-Qur`an, Kairo: Dar al-Fikr, 1401
H./1981 M.
Bint asy-Syati`,
A`isyah 'Abd ar-Rahmân, at-Tafsir al-Bayani li al-Qur`ân al-Karîm, Kairo: Dar al-Ma'arif, t.t.
al-Farra’, Abu Zakariyya Yahya ibn Ziyad, Ma'ani al-Qur`an, Kairo: Markaz
al-Ahrâm, 1989.
Ibn 'Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, Tunis: Dar Syahnun li an-Nasyr wa at-Tauzi, t.t.
Contoh Tafsir :
مسألة: الجزء الحادي والثلاثون
)ص)
( 270 : ص:(271: بسم
الله الرحمن الرحيم
سورة
الأعلى
هذه
السورة وردت تسميتها في السنة سورة ( سبح
اسم ربك الأعلى ) ففي
الصحيحين عن جابر بن عبد الله قال : قام
معاذ فصلى العشاء الآخرة فطول ، فشكاه بعض من صلى خلفه إلى النبيء صلى الله عليه
وسلم ، فقال النبيء صلى الله عليه وسلم : أفتان
أنت يا معاذ أين كنت عن سبح اسم ربك الأعلى والضحى اهـ .
وفي
صحيح البخاري عن البراء بن عازب قال : ما
جاء رسول الله صلى الله عليه وسلم المدينة حتى قرأت سبح اسم ربك الأعلى في سور
مثلها .
وروى
الترمذي عن النعمان بن بشير أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقرأ في العيد ويوم الجمعة سبح اسم ربك الأعلى
وهل أتاك حديث الغاشية .
وسمتها
عائشة ( سبح ) . روى
أبو داود والترمذي عنها : كان
النبيء يقرأ في الوتر في الركعة الأولى ( سبح ) الحديث . فهذا
ظاهر في أنها أرادت التسمية لأنها لم تأت بالجملة القرآنية كاملة ، وكذلك سماها
البيضاوي وابن كثير ; لأنها
اختصت بالافتتاح بكلمة سبح بصيغة الأمر .
وسماها
أكثر المفسرين وكتاب المصاحف ( سورة
الأعلى ) لوقوع صفة الأعلى فيها دون
غيرها .
وهي
مكية في قول الجمهور وحديث البراء بن عازب الذي
ذكرناه آنفا يدل عليه ، وعن ابن عمر وابن عباس أن
قوله تعالى : قد أفلح من تزكى وذكر اسم ربه
فصلى نزل في صلاة العيد وصدقة الفطر ، أي : فهما
مدنيتان فتكون السورة بعضها مكي وبعضها مدني .
وعن
الضحاك أن السورة كلها مدنية .
وهي
معدودة ثامنة في ترتيب نزول السور عند جابر بن زيد نزلت
بعد سورة التكوير وقبل سورة الليل . وروي
عن ابن عباس وعكرمة
والحسن أنها سابعة ، قالوا : أول
ما نزل من القرآن : اقرأ
باسم ربك ، ثم ن ، ثم المزمل ، ثم تبت ، ثم إذا الشمس كورت ، ثم سبح اسم ربك . وأما جابر بن زيدفعد
الفاتحة بعد المدثر ، ثم عد البقية ، فهي عنده الثامنة ، فهي من أوائل السور وقوله
تعالى : سنقرئك فلا تنسى ينادي
على ذلك .
وعدد
آيها تسع عشرة آية باتفاق أهل العدد
الافتتاح
بأمر النبيء صلى الله عليه وسلم بأن يسبح اسم ربه بالقول ، يؤذن بأنه سيلقي إليه
عقبه بشارة وخيرا له ، وذلك قوله : سنقرئك فلا تنسىالآيات
كما سيأتي ففيه براعة استهلال .
)ص :( 273:والخطاب للنبيء صلى الله عليه وسلم .
والتسبيح : التنزيه
عن النقائص ، وهو من الأسماء التي لا تضاف لغير اسم الله تعالى ، وكذلك الأفعال
المشتقة منه لا ترفع ولا تنصب على المفعولية إلا ما هو اسم لله ، وكذلك أسماء
المصدر منه نحو : سبحان
الله . وهو من المعاني الدينية ،
فأشبه أنه منقول إلى العربية من العبرانية وقد تقدم عند قوله تعالى : ونحن نسبح بحمدك في
سورة البقرة .
وإذ
عدي فعل الأمر بالتسبيح هنا إلى اسم فقد تعين أن المأمور به قول دال على تنزيه
الله بطريقة إجراء الأخبار الطيبة ، أو التوصيف بالأوصاف المقدسة لإثباتها إلى ما
يدل على ذاته تعالى من الأسماء والمعاني ، ولما كان أقوالا كانت متعلقة باسم الله
باعتبار دلالته على الذات ، فالمأمور به إجراء الأخبار الشريفة والصفات الرفيعة
على الأسماء الدالة على الله تعالى من أعلام وصفات ونحوها ، وذلك آيل إلى تنزيه
المسمى بتلك الأسماء. ولهذا يكثر في القرآن إناطة
التسبيح بلفظ اسم الله ، نحو قوله : فسبح باسم ربك العظيم وقد
تقدم ذلك في مبحث الكلام على البسملة في أول هذا التفسير .
فتسبيح
اسم الله النطق بتنزيهه في الخويصة ، وبين الناس بذكر يليق بجلاله من العقائد
والأعمال كالسجود والحمد . ويشمل
ذلك استحضار الناطق بألفاظ التسبيح معاني تلك الألفاظ إذ المقصود من الكلام معناه . وبتظاهر
النطق مع استحضار المعنى يتكرر المعنى على ذهن المتكلم ويتجدد ما في نفسه من تعظيم
الله تعالى .
وأما
تفكر العبد في عظمة الله تعالى وترديد تنزيهه في ذهنه فهو تسبيح لذات الله ومسمى
اسمه ، ولا يسمى تسبيح اسم الله ; لأن
ذلك لا يجري على لفظ من أسماء الله تعالى ، فهذا تسبيح ذات الله وليس تسبيحا لاسمه .
وهذا
ملاك التفرقة بين تعلق لفظ التسبيح بلفظ اسم الله نحو سبح اسم ربك ،
وبين تعلقه بدون اسم نحو ومن الليل فاسجد له وسبحه ونحو ويسبحونه وله يسجدون فإذا
قلنا الله أحد أو قلنا هو الله الذي لا إله إلا هو الملك
القدوس السلام إلى آخر السورة كان ذلك تسبيحا لاسمه [ ص:
274 ] تعالى ، وإذا نفينا الإلاهية عن الأصنام لأنها لا تخلق كما في قوله تعالى : إن الذين تدعون من دون الله لن
يخلقوا ذبابا ولو اجتمعوا له كان ذلك تسبيحا لذات الله لا
لاسمه ; لأن اسمه لم يجر عليه في هذا
الكلام إخبار ولا توصيف .
فهذا
مناط الفرق بين استعمال سبح اسم ربك واستعمال
وسبحه ومآل الإطلاقين في المعنى واحد ; لأن
كلا الإطلاقين مراد به الإرشاد إلى معرفة أن الله منزه عن النقائص .
واعلم
أن مما يدل على إرادة التسبيح بالقول وجود قرينة في الكلام تقتضيه ، مثل التوقيت
بالوقت في قوله تعالى : وسبحوه بكرة وأصيلا فإن
الذي يكلف بتوقيته هو الأقوال والأفعال دون العقائد ، ومثل تعدية الفعل بالباء مثل
قوله تعالى : وسبحوا بحمد ربهم فإن
الحمد قول فلا يصاحب إلا قولا مثله .
وتعريف
اسم بطريقة الإضافة إلى ربك دون تعريفه بالإضافة إلى علم الجلالة نحو : سبح
اسم الله ، لما يشعر به وصف رب من أنه الخالق المدبر .وأما
إضافة رب إلى ضمير الرسول صلى الله عليه وسلم فلتشريفه بهذه الإضافة وأن يكون له
حظ زائد على التكليف بالتسبيح .
ثم
أجري على لفظ ربك صفة الأعلى وما بعدها من الصلات الدالة على تصرفات قدرته ، فهو
مستحق للتنزيه لصفات ذاته ولصفات إنعامه على الناس بخلقهم في أحسن تقويم ،
وهدايتهم ، ورزقهم ، ورزق أنعامهم ، للإيماء إلى موجب الأمر بتسبيح اسمه بأنه حقيق
بالتنزيه استحقاقا لذاته ولوصفه بصفة أنه خالق المخلوقات خلقا يدل على العلم
والحكمة وإتقان الصنع ، وبأنه أنعم بالهدى والرزق اللذين بهما استقامة حال البشر
في النفس والجسد وأوثرت الصفات الثلاث الأول لما لها من المناسبة لغرض السورة كما
سنبينه .
فلفظ
الأعلى اسم يفيد الزيادة في صفة العلو ، أي : الارتفاع . والارتفاع
معدود في عرف الناس من الكمال ، فلا ينسب العلو بدون تقييد إلا إلى شيء غير مذموم
في العرف ، ولذلك إذا لم يذكر مع وصف الأعلى مفضل عليه أفاد التفضيل المطلق كما في
وصفه تعالى هنا ، ولهذا حكي عن فرعون أنه قال : أنا ربكم الأعلى .
ص:
275 ] والعلو المشتق منه وصفه تعالى الأعلى علو مجازي ، وهو الكمال التام الدائم .
ولم
يعد وصفه تعالى الأعلى في عداد الأسماء الحسنى استغناء عن اسمه العلي لأن أسماء
الله توقيفية فلا يعد من صفات الله تعالى بمنزلة الاسم إلا ما كثر إطلاقه إطلاق
الأسماء ، وهو أوغل من الصفات ، قال الغزالي : والعلو
في الرتبة العقلية مثل العلو في التدريجات الحسية ، ومثال الدرجة العقلية ،
كالتفاوت بين السبب والمسبب والعلة والمعلول والفاعل والقابل والكامل والناقص اهـ .
وإيثار
هذا الوصف في هذه السورة لأنها تضمنت التنويه بالقرآن والتثبيت على تلقيه وما
تضمنه من التذكير وذلك لعلو شأنه فهو من متعلقات وصف العلو الإلهي إذ هو كلامه .
وهذا
الوصف هو ملاك القانون في تفسير صفات الله تعالى ومحاملها على ما يليق بوصف الأعلى
، فلذلك وجب تأويل المتشابهات من الصفات .
وقد
جعل من قوله تعالى : سبح اسم ربك الأعلى دعاء
السجود في الصلاة إذ ورد أن يقول الساجد : سبحان
ربي الأعلى ، ليقرن أثر التنزيه الفعلي بأثر التنزيه القولي .
وجملة الذي خلق فسوى اشتملت
على وصفين وصف الخلق ووصف تسوية الخلق ، وحذف مفعول خلق فيجوز أن يقدر عاما ، وهو
ما قدره جمهور المفسرين ، وروي عن عطاء ، وهو شأن حذف المفعول إذا لم يدل عليه
دليل ، أي : خلق
كل مخلوق ، فيكون كقوله تعالى حكاية عن قول موسى ربنا الذي أعطى كل شيء خلقه ثم هدى
ويجوز
أن يقدر خاصا ، أي : خلق
الإنسان كما قدره الزجاج ، أو
خلق آدم كما روي عن الضحاك ، أي : بقرينة
قرن فعل خلق بفعل سوى قال تعالى: فإذا سويته ونفخت فيه من
روحي الآية .
وعطف
جملة فسوى بالفاء دون الواو للإشارة إلى أن مضمونها هو المقصود من الصلة وأن ما
قبله توطئة له كما في قول ابن زيابة : ص:
276 ]
يا لهف زيابة للحارث الصـ ـابح فالـغـانـم فـالآيب
لأن التلهف يحق إذا صبحهم ، فغنم أموالهم وآب بها ولم
يستطيعوا دفاعه ولا استرجاعه .
فالفاء من قوله : فسوى للتفريع في الذكر باعتبار
أن الخلق مقدم من اعتبار المعتبر على التسوية ، وإن كان حصول التسوية مقارنا لحصول
الخلق .
والتسوية : تسوية ما
خلقه فإن حمل على العموم ، فالتسوية أن جعل كل جنس ونوع من الموجودات معادلا ، أي : مناسبا للأعمال التي في جبلته
فاعوجاج زبانى العقرب من تسوية خلقها لتدفع عن نفسها به بسهولة .
ولكونه مقارنا للخلقة عطف على فعل خلق بالفاء المفيدة
للتسبب ، أي : ترتب على الخلق تسويته .
والتقدير : وضع المقدار
وإيجاده في الأشياء في ذواتها وقواها ، يقال : قدر بالتضعيف وقدر بالتخفيف
بمعنى . وقرأ الجمهور بالتشديد وقرأها الكسائيوحده بالتخفيف .
والمقدار : أصله كمية
الشيء التي تضبط بالذرع أو الكيل أو الوزن أو العد ، وأطلق هنا على تكوين
المخلوقات على كيفيات منظمة مطردة من تركيب الأجزاء الجسدية الظاهرة ، مثل اليدين
، والباطنة مثل القلب ، ومن إيداع القوى العقلية كالحس والاستطاعة وحيل الصناعة .
وإعادة اسم الموصول في قوله : والذي قدر وقوله : والذي أخرج المرعى مع إغناء حرف العطف عن تكريره
، للاهتمام بكل صلة من هذه الصلات وإثباتها لمدلول الموصول وهذا من مقتضيات
الإطناب .
وعطف قوله : فهدى مثل
عطف فسوى ، فإن حمل خلق وقدر على عموم المفعول كانت الهداية عامة .
والقول في وجه عطف فهدى بالفاء مثل القول في عطف فسوى .
وعطف فهدى على قدر عطف المسبب على السبب أي فهدى كل [ ص:
277 ] مقدر إلى ما
قدر له ، فهداية الإنسان وأنواع جنسه من الحيوان الذي له الإدراك والإرادة هي
هداية الإلهام إلى كيفية استعمال ما قدر فيه من المقادير والقوى فيما يناسب
استعماله فيه فكلما حصل شيء من آثار ذلك التقدير حصل بأثره الاهتداء إلى تنفيذه .
والمعنى : قدر الأشياء كلها فهداها إلى أداء وظائفها كما قدر لها ، فالله لما قدر للإنسان أن يكون قابلا للنطق والعلم والصناعة بما وهبه من العقل وآلات الجسد هداه لاستعمال فكره لما يحصل ما خلق له ، ولما قدر البقرة للدر ، ألهمها الرعي ورثمان ولدها لتدر بذلك للحالب ، ولما قدر النحل لإنتاج العسل ألهمها أن ترعى النور والثمار ، وألهمها بناء الجبح وخلاياه المسدسة التي تضع فيها العسل .
والمعنى : قدر الأشياء كلها فهداها إلى أداء وظائفها كما قدر لها ، فالله لما قدر للإنسان أن يكون قابلا للنطق والعلم والصناعة بما وهبه من العقل وآلات الجسد هداه لاستعمال فكره لما يحصل ما خلق له ، ولما قدر البقرة للدر ، ألهمها الرعي ورثمان ولدها لتدر بذلك للحالب ، ولما قدر النحل لإنتاج العسل ألهمها أن ترعى النور والثمار ، وألهمها بناء الجبح وخلاياه المسدسة التي تضع فيها العسل .
ومن أجل مظاهر التقدير والهداية تقدير قوى التناسل
للحيوان لبقاء النوع . فمفعول هدى محذوف لإفادة
العموم وهو عام مخصوص بما فيه قابلية الهدي فهو مخصوص بذوات الإدراك والإرادة وهي
أنواع الحيوان ، فإن الأنواع التي خلقها الله وقدر نظامها ولم يقدر لها الإدراك
مثل تقدير الإثمار للشجر ، وإنتاج الزريعة لتجدد الإنبات ، فذلك غير مراد من قوله : فهدى لأنها مخلوقة ومقدرة
ولكنها غير مهدية لعدم صلاحها للاهتداء ، وإن جعل مفعول خلق خاصا وهو الإنسان كان
مفعول قدر على وزانه ، أي : تقدير كمال
قوى الإنسان ، وكانت الهداية هداية خاصة وهي دلالة الإدراك والعقل .
وأوثر وصفا التسوية والهداية من بين صفات الأفعال
التي هي نعم على الناس ودالة على استحقاق الله تعالى للتنزيه ; لأن لهذين الوصفين مناسبة بما
اشتملت عليه من السورة فإن الذي يسوي خلق النبيء صلى الله عليه وسلم تسوية تلائم
ما خلقه لأجله من تحمل أعباء الرسالة لا يفوته أن يهيئه لحفظ ما يوحيه إليه وتيسيره
عليه وإعطائه شريعة مناسبة لذلك التيسير قال تعالى : سنقرئك فلا تنسى وقال : ونيسرك لليسرى .
وقوله : والذي أخرج المرعى تذكير لخلق جنس النبات من شجر
وغيره . واقتصر على بعض أنواعه وهو
الكلأ ; لأنه معاش السوائم التي ينتفع
الناس بها .
)ص (
278 : والمراد : إخراجه من الأرض وهو إنباته .
والمرعى : النبت الذي
ترعاه السوائم ، وأصله : إما مصدر
ميمي أطلق على الشيء المرعي من إطلاق المصدر على المفعول مثل الخلق بمعنى المخلوق
، وإما اسم مكان الرعي أطلق على ما ينبت فيه ويرعى إطلاقا مجازيا بعلاقة الحلول
كما أطلق اسم الوادي على الماء الجاري فيه .
والقرينة جعله مفعولا لـ أخرج ، وإيثار كلمة المرعى
دون لفظ النبات ، لما يشعر به مادة الرعي من نفع الأنعام به ونفعها للناس الذين
يتخذونها مع رعاية الفاصلة .
والغثاء : بضم الغين
المعجمة وتخفيف المثلثة ، ويقال بتشديد المثلثة وهو اليابس من النبت .
والأحوى : الموصوف
بالحوة بضم الحاء وتشديد الواو ، وهي من الألوان : سمرة تقرب من السواد . وهو صفة غثاء لأن الغثاء يابس
فتصير خضرته حوة .
وهذا الوصف أحوى لاستحضار تغير لونه بعد أن كان أخضر
يانعا ، وذلك دليل على تصرفه تعالى بالإنشاء وبالإنهاء .
وفي وصف إخراج الله المرعى وجعله غثاء أحوى مع ما
سبقه من الأوصاف في سياق المناسبة بينها وبين الغرض المسوق له الكلام إيماء إلى
تمثيل حال القرآن وهدايته وما اشتمل عليه من الشريعة التي تنفع الناس بحال الغيث
الذي ينبت به المرعى فتنتفع به الدواب والأنعام ، وإلى أن هذه الشريعة تكمل ويبلغ ما
أراد الله فيها كما يكمل المرعى ويبلغ نضجه حين يصير غثاء أحوى ، على طريقة
تمثيلية مكنية رمز إليها بذكر لازم الغيث وهو المرعى . وقد جاء بيان هذا الإيماء
وتفصيله بقول النبيء صلى الله عليه وسلم : مثل ما بعثني الله به من الهدى
كمثل الغيث الكثير أصاب أرضا ، فكان منها نقية قبلت الماء فأنبتت الكلأ والعشب
الكثير ، وكانت منها أجادب أمسكت الماء ، فنفع الله بها الناس فشربوا وسقوا وزرعوا
الحديث .
ص: 279 ] ويجوز أن يكون المقصود من جملة فجعله غثاء أحوى إدماج العبرة بتصاريف ما أودع الله في المخلوقات من
مختلف الأطوار من الشيء إلى ضده للتذكير بالفناء بعد الحياة كما قال تعالى : الله الذي خلقكم من ضعف ثم جعل من بعد ضعف قوة ثم جعل
من بعد قوة ضعفا وشيبة يخلق ما يشاء وهو العليم القدير للإشارة إلى أن مدة نضارة
الحياة للأشياء تشبه المدة القصيرة ، فاستعير لعطف جعله غثاء الحرف الموضوع لعطف
ما يحصل فيه حكم المعطوف عليه ، ويكون ذلك من قبيل قوله تعالى : إنما مثل الحياة الدنيا كماء أنزلناه من السماء فاختلط
به نبات الأرض مما يأكل الناس والأنعام إلى قوله : فجعلناها حصيدا كأن لم تغن بالأمس .
[2] Tim Penyusun The Encyclopedia of
Islam , “Ibn Asyur” , The Encyclopedia Of Islam. New Edition (Leiden
: tp, 1971), Vol. III, h. 720.
[3] Adil Nuwaihid, Mu’jam
al-Mufassirin, (Beirut: Muassasah Nuwaihid Ats- tsaqafiyyah, 1986), Jilid
2, h. 541.
[7] Jhon. L. Esposito, “Zaitunah”,
Ensiklopedia Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2001),
Jilid 6, h. 56.
[10] Khair ad-Din az-Zirikli,
al-A’lam: Qamus Tarajim, , (Beirut: Dar al-‘Ilmi Lilmalayin, 1990), Jilid 6,
h. 174.
Arnold, The Tunisian, h. 250. Situs http://www.isci.rnu.tn/ar/cat1a.htm.
[14] ‘Abd
al-Baqi, Muhammad Fu`ad, al-Mu’jam
al-Mufahras li Alfazh al-Qur`an, Kairo: Dar al-Fikr, 1401
H./1981 M.
Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon